UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

 

NOMOR 33 TAHUN 2014

 

TENTANG

 

JAMINAN PRODUK HALAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

a.

bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu;

   

b.

bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat;

   

c.

bahwa produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya;

   

d.

bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan;

   

e.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal;

     

Mengingat

:

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

MEMUTUSKAN:

     

Menetapkan

:

UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL.

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

   

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

   

1.

Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

   

2.

Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.

   

3.

Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.

   

4.

Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan Produk.

   

5.

Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

   

6.

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH.

   

7.

Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim.

   

8.

Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk.

   

9.

Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk.

   

10.

Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.

   

11.

Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk.

   

12.

Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia.

   

13.

Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH.

   

14.

Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

   

15.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.

 

Pasal 2

   

Penyelenggaraan JPH berasaskan:

   

a.

pelindungan;

   

b.

keadilan;

   

c.

kepastian hukum;

   

d.

akuntabilitas dan transparansi;

   

e.

efektivitas dan efisiensi; dan

   

f.

profesionalitas.

 

Pasal 3

   

Penyelenggaraan JPH bertujuan:

   

a.

memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan

   

b.

meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.

 

Pasal 4

   

Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

 

BAB II
PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 5

   

(1)

Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH.

   

(2)

Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

   

(3)

Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.

   

(4)

Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.

   

(5)

Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.

 

Bagian Kedua
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

Pasal 6

   

Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang:

   

a.

merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;

   

b.

menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;

   

c.

menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;

   

d.

melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;

   

e.

melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;

   

f.

melakukan akreditasi terhadap LPH;

   

g.

melakukan registrasi Auditor Halal;

   

h.

melakukan pengawasan terhadap JPH;

   

i.

melakukan pembinaan Auditor Halal; dan

   

j.

melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

 

Pasal 7

   

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:

   

a.

kementerian dan/atau lembaga terkait;

   

b.

LPH; dan

   

c.

MUI.

 

Pasal 8

   

Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait.

 

Pasal 9

   

Kerja sama BPJPH dengan LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan untuk pemeriksaan dan/atau pengujian Produk.

 

Pasal 10

   

(1)

Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk:

     

a.

sertifikasi Auditor Halal;

     

b.

penetapan kehalalan Produk; dan

     

c.

akreditasi LPH.

   

(2)

Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.

 

Pasal 11

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Ketiga
Lembaga Pemeriksa Halal

Pasal 12

   

(1)

Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH.

   

(2)

LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.

 

Pasal 13

   

(1)

Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan:

     

a.

memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;

     

b.

memiliki akreditasi dari BPJPH;

     

c.

memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan

     

d.

memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.

   

(2)

Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.

 

Pasal 14

   

(1)

Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH.

   

(2)

Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

     

a.

warga negara Indonesia;

     

b.

beragama Islam;

     

c.

berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi;

     

d.

memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam;

     

e.

mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan

     

f.

memperoleh sertifikat dari MUI.

 

Pasal 15

   

Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 bertugas:

   

a.

memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;

   

b.

memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;

   

c.

memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;

   

d.

meneliti lokasi Produk;

   

e.

meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;

   

f.

memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;

   

g.

memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan

   

h.

melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.

 

Pasal 16

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

BAB III

BAHAN DAN PROSES PRODUK HALAL

Bagian Kesatu
Bahan

Pasal 17

   

(1)

Bahan yang digunakan dalam PPH terdiri atas bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong.

   

(2)

Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari:

     

a.

hewan;

     

b.

tumbuhan;

     

c.

mikroba; atau

     

d.

bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik.

   

(3)

Bahan yang berasal dari hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a pada dasarnya halal, kecuali yang diharamkan menurut syariat.

 

Pasal 18

   

(1)

Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi:

     

a.

bangkai;

     

b.

darah;

     

c.

babi; dan/atau

     

d.

hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.

   

(2)

Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.

 

Pasal 19

 

 

(1)

Hewan yang digunakan sebagai bahan Produk wajib disembelih sesuai dengan syariat dan memenuhi kaidah kesejahteraan hewan serta kesehatan masyarakat veteriner.

 

 

(2)

Tuntunan penyembelihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 20

 

 

(1)

Bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya.

 

 

(2)

Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.

   

(3)

Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.

 

Bagian Kedua
Proses Produk Halal

Pasal 21

 

 

(1)

Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk tidak halal.

   

(2)

Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

 

 

 

a.

dijaga kebersihan dan higienitasnya;

 

 

 

b.

bebas dari najis; dan

     

c.

bebas dari Bahan tidak halal.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 22

 

 

(1)

Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:

 

 

 

a.

peringatan tertulis; atau

 

 

 

b.

denda administratif.

 

 

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

 

BAB IV

PELAKU USAHA

Pasal 23

 

 

Pelaku Usaha berhak memperoleh:

 

 

a.

informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem JPH;

 

 

b.

pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan

 

 

c.

pelayanan untuk mendapatkan Sertifikat Halal secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak diskriminatif.

 

Pasal 24

 

 

Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib:

 

 

a.

memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;

 

 

b.

memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;

 

 

c.

memiliki Penyelia Halal; dan

 

 

d.

melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH.

 

Pasal 25

 

 

Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib:

 

 

a.

mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal;

 

 

b.

menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal;

 

 

c.

memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;

 

 

d.

memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal berakhir; dan

 

 

e.

melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH.

 

Pasal 26

 

 

(1)

Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal.

 

 

(2)

Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk.

 

Pasal 27

 

 

(1)

Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi administratif berupa:

 

 

 

a.

peringatan tertulis;

 

 

 

b.

denda administratif; atau

 

 

 

c.

pencabutan Sertifikat Halal.

 

 

(2)

Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:

 

 

 

a.

teguran lisan;

 

 

 

b.

peringatan tertulis; atau

 

 

 

c.

denda administratif.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Pasal 28

 

 

(1)

Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c bertugas:

 

 

 

a.

mengawasi PPH di perusahaan;

 

 

 

b.

menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan;

 

 

 

c.

mengoordinasikan PPH; dan

 

 

 

d.

mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan.

 

 

(2)

Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:

 

 

 

a.

beragama Islam; dan

 

 

 

b.

memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan.

 

 

(3)

Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH.

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

 

BAB V
TATA CARA MEMPEROLEH SERTIFIKAT HALAL

Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan


Pasal 29

 

 

(1)

Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH.

 

 

(2)

Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen:

 

 

 

a.

data Pelaku Usaha;

 

 

 

b.

nama dan jenis Produk;

 

 

 

c.

daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan

 

 

 

d.

proses pengolahan Produk.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Bagian Kedua

Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal

Pasal 30

 

 

(1)

BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.

 

 

(2)

Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Bagian Ketiga
Pemeriksaan dan Pengujian

Pasal 31

 

 

(1)

Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh Auditor Halal.

 

 

(2)

Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi.

 

 

(3)

Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.

 

 

(4)

Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.

 

Pasal 32

 

 

(1)

LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH.

 

 

(2)

BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk.

 

Bagian Keempat
Penetapan Kehalalan Produk

Pasal 33

 

 

(1)

Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.

 

 

(2)

Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.

 

 

(3)

Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.

 

 

(4)

Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH.

 

 

(5)

Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI.

 

 

(6)

Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.

 

Bagian Kelima
Penerbitan Sertifikat Halal

Pasal 34

 

 

(1)

Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan halal pada Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.

 

 

(2)

Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan.

 

Pasal 35

 

 

Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI.

 

Pasal 36

 

 

Penerbitan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalamPasal 35 wajib dipublikasikan oleh BPJPH.

 

Bagian Keenam
Label Halal

Pasal 37

 

 

BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional.

 

Pasal 38

 

 

Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantumkan Label Halal pada:

 

 

a.

kemasan Produk;

 

 

b.

bagian tertentu dari Produk; dan/atau

 

 

c.

tempat tertentu pada Produk.

 

Pasal 39

 

 

Pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.

 

Pasal 40

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Pasal 41

 

 

(1)

Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi administratif berupa:

 

 

 

a.

teguran lisan;

 

 

 

b.

peringatan tertulis; atau

 

 

 

c.

pencabutan Sertifikat Halal.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Bagian Ketujuh

Pembaruan Sertifikat Halal

Pasal 42

 

 

(1)

Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.

 

 

(2)

Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Pasal 43

 

 

Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh Pelaku Usaha.

 

Bagian Kedelapan
Pembiayaan

Pasal 44

 

 

(1)

Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.

 

 

(2)

Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 45

 

 

(1)

BPJPH dalam mengelola keuangan menggunakan pengelolaan keuangan badan layanan umum.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH diatur dalam Peraturan Menteri.

 

BAB VI
KERJA SAMA INTERNASIONAL

 

Pasal 46

 

 

(1)

Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional dalam bidang JPH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(2)

Kerja sama internasional dalam bidang JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk pengembangan JPH, penilaian kesesuaian, dan/atau pengakuan Sertifikat Halal.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 47

 

 

(1)

Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

 

 

(2)

Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2).

 

 

(3)

Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk diedarkan di Indonesia.

 

 

(4)

Ketentuan mengenai tata cara registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 48

 

 

(1)

Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

 

BAB VII

PENGAWASAN

Pasal 49

 

 

BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.

 

Pasal 50

 

 

 

 

 

Pengawasan JPH dilakukan terhadap:

 

 

a.

LPH;

 

 

b.

masa berlaku Sertifikat Halal;

 

 

c.

kehalalan Produk;

 

 

d.

pencantuman Label Halal;

 

 

e.

pencantuman keterangan tidak halal;

 

 

f.

pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;

 

 

g.

keberadaan Penyelia Halal; dan/atau

 

 

h.

kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.

 

Pasal 51

 

 

(1)

BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

 

 

(2)

Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 52

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 53

 

 

(1)

Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.

 

 

(2)

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

 

 

 

a.

melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan

 

 

 

b.

mengawasi Produk dan Produk Halal yang beredar.

 

 

(3)

Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.

 

Pasal 54

 

 

BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.

 

Pasal 55

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Menteri.

 

BAB IX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 56

 

 

Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

 

Pasal 57

 

 

Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

 

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 58

 

 

Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir.

 

Pasal 59

 

 

Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan.

 

Pasal 60

 

 

MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.

 

Pasal 61

 

 

LPH yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak BPJPH dibentuk.

 

Pasal 62

 

 

Auditor halal yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Auditor Halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

 

Pasal 63

 

 

Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Penyelia Halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 28 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan.

 

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 64

 

 

BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

 

Pasal 65

 

 

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

 

Pasal 66

 

 

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini.

 

Pasal 67

 

 

(1)

Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

 

 

(2)

Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis Produk yang bersertifikat halal diatur secara bertahap.

 

 

(3)

Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 68

 

 

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disahkan di Jakarta

 

 

 

 

 

 

pada tanggal 17 Oktober 2014

 

 

 

 

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                          ttd.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 17 Oktober 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

              REPUBLIK INDONESIA,

 

                           ttd.

 

                 AMIR SYAMSUDIN

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 295

Penjelasan................................