PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

NOMOR 23 TAHUN 1959


TENTANG


KEADAAN BAHAYA.

 

 

PENJELASAN UMUM
1. Jika suatu Negara terancam oleh bahaya atau kehidupannya berada dalam bahaya, maka perhatiannya harus dipusatkan pada kedudukannya sendiri, oleh karena bagaimanapun juga, Negara tersebut tidak akan dapat mencapai tujuan-tujuannya, apabila Negara itu sendiri roboh kelak.
  Berhubung dengan itu, maka adakalanya terpaksa diadakan perobahan dalam susunan, pembagian dan sifat kekuasaan Negara serta dalam kedudukan Negara terhadap penduduk negeri, agar dapat bertindak terhadap bahaya yang dihadapinya dengan kekuasaan-kekuasaan yang istimewa. Ini berarti, bahwa kemungkinan untuk menyimpang dari hukum obyektif harus diadakan, karena perangkaian kaidah yang ada, menjadi amat rendah kedudukannya sebagai unsur dari keputusan untuk mengambil suatu tindakan terhadap unsur kenyataan-kenyataan yang mengancam Negara, bahkan harus diterima pula, bahwa ada kalanya tindakan pemerintah hanya untuk mengatasi keadaan bahaya itu semata-mata atas dasar kaidah darurat.
  Undang-undang Dasar 1945, yang berlaku kembali sejak 5 Juli 1959 pasal 12, sekarang menjadi dasar bagi pemerintah untuk dapat menyatakan seluruh/sebagian wilayah Negara dalam keadaan bahaya. Pasal 12 tidak menghendaki bahwa kekuasaan pemerintah dalam keadaan bahaya untuk menyimpang dari hukum obyektif, hanya bersandar pada satu atau beberapa ketentuan yang umum bunyinya, akan tetapi mengharuskan adanya suatu undang-undang yang mengatur syarat-syarat pernyataan keadaan bahaya pun akibat-akibat pernyataan demikian itu.
  Undang-undang keadaan bahaya yang dimaksud itu tidak lain daripada suatu peraturan yang menentukan bagaimana batas-batas kekuasaan-kekuasaan yang harus diberikan dalam hal-hal yang tertentu, supaya penguasa yang bertanggung jawab dapat melakukan tugasnya dengan seksama. Begitulah diluar peraturan keadaan bahaya itu tidak ada pembatasan dari hak-hak yang diberikan oleh Undang-undang Dasar atau Undang-undang dan juga tidak ada alasan dalam keadaan bahaya untuk mengesahkan tindakan-tindakan menurut pandangan sendiri-sendiri diluar kekuatan undang-undang keadaan bahaya itu, dengan maksud supaya ada pegangan jelas bagi penguasa-penguasa dalam keadaan bahaya dan ada ketentuan yang dapat dipegang oleh rakyat, agar penguasa-penguasa tidak begitu saja dapat memakai kekuasaan-kekuasaan dan dengan cara yang tidak selayaknya.
2. Pernyataan keadaan bahaya, menurut pasal 12 Undang-undang Dasar dilakukannya sendiri.
  Dalam peraturan keadaan bahaya ini diadakan ketentuan-ketentuan dalam hal-hal manakah pernyataan keadaan bahaya dapat dilakukan.
  Apabila suatu sebab/alasan yang ditentukan dalam undang-undang telah timbul, maki Presiden boleh memilih tingkatan mana yang selayaknya menurut pendapatnya dinyatakan untuk mengatasi keadaan.
  Dengan menetapkan hal-hal/kejadian-kejadian/keadaan-keadaan sebagai alasan untuk pernyataan suatu keadaan bahaya, maka tak diutamakan sebab-musabab daripada hal-hal/kejadian-kejadian/keadaan-keadaan tersebut.
  Yang penting dan yang menjadi ukuran bagi Presiden untuk menyatakan sesuatu keadaan bahaya, yaitu tingkatan keadaan bahaya yang setimpal, ialah intensiteit peristiwa/keadaan yang mengkhawatirkan bagi berlangsungnya kehidupan Negara dan masyarakat.
  Selain daripada sebab-sebab/alasan-alasan yang lazim dipakai untuk menentukan apabila keadaan bahaya dapat dinyatakan, juga disebut sebagai sebab/alasan terancamnya ketertiban hukum oleh kerusuhan-kerusuhan atau gangguan-gangguan lain, pun kekhawatiran akan terjadinya ancaman-ancaman yang demikian.
  Menurut ilmu perang, mengadakan kerusuhan-kerusuhan atau gangguan-gangguan ketertiban hukum dinegara musuh termasuk suatu siasat penting untuk mendahului penyerbuan umum. Siasat demikian itu yang terkenal dengan nama perang psychologis atau perang dingin dan selanjutnya perang gelap (subversif) yang kedua-duanya dilakukan tidak secara terang-terangan, tetapi dengan tipu muslihat yang halus dan bermaksud untuk merusak jiwa penduduk, ekonomi dan kedudukan negara musuh.
  Selanjutnya dalam Peraturan ini disebut pula secara tegas sebagai alasan, "hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara". Hal inilah dapat merupakan alasan atau alasan-tambahan pada tiap alasan lain bagi pernyataan dalam keadaan bahaya.
  Pengawasan oleh hakim terhadap pernyataan-pernyataan keadaan bahaya tidak diadakan, oleh karena tidak selaras dengan susunan pengara Indonesia umumnya dan tidak sesuai dengan kedudukan hakim khususnya di Indonesia ini.
  Juga tidak diadakan pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat terhadap sesuatu pernyataan keadaan bahaya oleh Presiden, karena tidak sesuai dengan kedudukan Presiden menurut Undang-undang Dasar yang hanya bertanggung jawab terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Dengan maksud untuk lebih memperhitungkan gradities kegentingan keadaan, maka peraturan baru ini mengenal 3 tingkatan keadaan bahaya : keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer dan keadaan perang.
4. Agar ada kepastian tentang siapa yang memegang kekuasaan dalam keadaan bahaya berdasarkan Peraturan ini, maka oleh Peraturan ini ditentukan dari semula dengan tegas penguasa untuk keadaan bahaya dipusat, ialah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
  Untuk daerah ditentukan penguasa-penguasanya dalam keadaan bahaya dengan dasar susunannya. Dalam pada itu untuk menghadapi keadaan yang setiap waktu dapat berubah, dimungkinkan kepada Penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat untuk menentukan susunan penguasaan dalam suatu keadaan bahaya, yang berlainan daripada dasar susunan tersebut.
  Perlu diperhitungkan pula bahwa menurut Undang-undang Dasar kekuasaan Pemerintah dipegang oleh Presiden yang dalam hal ini hanya bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pun unsur musyawarah dan terpimpinnnya musyawarah itu perlu diberi tempat yang sewajarnya dalam kita memikirkan tentang sistim, bentuk dan susunan penguasaan dalam keadaan bahaya ini.
5. Kekuasaan-kekuasaan istimewa yang diberikan kepada penguasa-penguasa dalam keadaan bahaya tidak boleh sama besarnya pada setiap waktu keadaan bahaya, berhubung dengan kekuasaan-kekuasaan istimewa ini pada dasarnya harus sesuai dengan derajat gentingnya keadaan bahaya yang dihadapi. Itulah sebabnya diadakan pembagian keadaan bahaya dalam beberapa tingkatan, masing-masing dengan golongan-wewenang-wewenang tersendiri bagi penguasanya.
  Demikianlah diperoleh susunan tingkatan-itingkatan dengan kekuasaan-kekuasaan penguasa-penguasanya sebagai berikut :
  A. Dalam keadaan darurat sipil penguasa yang bersangkutan, yaitu Penguasa Darurat Sipil, dapat :
    1. mengeluarkan peraturan-peraturan polisi (pasal 10);
    2. meminta keterangan-keterangan dari pegawai negeri (dicatat disini, bahwa dalam keadaan darurat militer/ keadaan perang penguasa dapat mewajibkan setiap orang untuk memberikan keterangan) (pasal 12; selanjutnya  pasal 23 dan 36, pada huruf c).
    3. mengadakan peraturan-peraturan tentang pembatasan pertunjukan-pertunjukan apapun juga serta semua pencetakan, penerbitan dan pengumuman apapun juga (pasal 13);
    4. menggeledah tiap-tiap tempat (pasal 14);
    5. memeriksa dan mensita barang-barang yang disangka dipakai atau akan dipakai untuk merusak keamanan (pasal 15);
    6. mengambil atau memakai barang-barang dinas umum (pasal 16);
    7. Mengetahui percakapan melalui radio, membatasi pemakaian kode-kode dan sebagainya (pasal 17);
    8. membatasi rapat-rapat umum dan lain sebagainya dan membatasi atau melarang/memasuki dan memakai gedung (pasal 18);
    9. membatasi orang berada diluar rumah (pasal 19);
    10. memeriksa badan dan pakaian (pasal 20);
    11. memerintah dan mengatur badan-badan kepolisian, pemadam kebakaran dan badan-badan keamanan lainnya (pasal 21);
  B.

Dalam keadaan darurat militer penguasa yang bersangkutan, yaitu Penguasa Darurat Militer, selain dapat melakukan kekuasaan-kekuasaan tersebut sub A, dapat :

    1. mengambil kekuasaan sipil yang mengenai ketertiban dan keamanan umum (pasal 24 ayat 1);
    2. memerintah dan mengatur badan-badan pemerintah sipil serta pegawai-pegawainya dan orang-orang yang diperbantukan kepadanya (pasal 24 ayat 2);
    3. mengambil tindakan apapun juga terhadap senjata-senjata api, senjata tajam dan barang-barang peledak (pasal 25 angka 1);
    4. menguasai dan mengatur perlengkapan-perlengkapan pos, telekomunikasi dan elektronika (pasal 25 angka 2).
    5. membatasi atau melarang mengubah lapangan-lapangan dan benda-benda dilapangan itu (pasal 25 angka 3);
    6. menutup untuk sementara gedung-gedung penghibur (pasar 25 angka 4);
    7. melarang dan membatasi pemasukan barang-barang dari dan kedaerah yang dinyatakan dalam keadaan  darurat (pasal 25 angka 5);
    8. membatasi atau melarang peredaran barang dan lain sebagainya (pasal 25 angka 6);
    9. melarang dan membatasi lalu-lintas didarat, di perairan dan diudara (pasal 25 angka 7);
    10. mengadakan tindakan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan apapun juga serta semua percetakan penerbitan dan pengumuman apapun juga (pasal 26);
    11. membatasi dan meniadakan hak rahasia Surat dan kawat (pasal 27);
    12. mengusir orang (pasal 28);
    13. melarang orang meninggalkan daerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer (pasal 29);
    14. mengadakan kewajiban bekerja untuk kepentingan keamanan atau pertahanan dan pelaksanaan peraturan penguasa keadaan darurat militer pasal 30);
    15. mengadakan militerisasi terhadap suatu jawatan, perusahaan, jabatan dan seterusnya (pasal 31);
    16. menangkap dan menahan orang (pasal 32);
    17. menyimpang dari dan memberi beberapa terhadap Hinderordonnantie, Veilingheidsreglement dan sebagainya, karena ini menyinggung kekuasaan-kekuasaan yang lain (pasal 33);
    18. memberi persetujuan sebelum peraturan-peraturan yang bukan perundang-undangan pusat dapat dikeluarkan dan diumumkan (pasal 34 ayat 1);
    19. mengeluarkan peraturan-peraturan mengenai hal-hal yang harus diatur oleh perundang-undangan pusat, setelah diberi kekuasaan oleh Presiden, kecuali hal-hal yang termasuk kekuasaan pengundang-undangan hanyalah apabila keadaan mendesak (pasal 24 ayat 2);
  C. Dalam keadaan perang penguasa yang bersangkutan yaitu, Penguasa Perang, selain dapat melakukan kekuasaan-kekuasaan tersebut sub. A dan sub. B, dapat :
    1. mengambil atau memerintahkan penyerahan semua barang untuk dimiliki atau dipakai guna kepentingan keamanan atau pertahanan (pasal 37);
    2. mengerahkan tenaga guna mengambil barang tersebut angka 1 (pasal 37-38);
    3. melarang pertunjukan apapun juga serta semua percetakan, penerbitan dan pengumuman apapun juga, menutup percetakan (pasal 40);
    4. memanggil orang-orang untuk bekeda pads Angkatan Pe-rang (pasal 40 angka 1);
    5. mencegah pemogokan/lock out (pasal 41 angka 2 dan 3);
    6. mengadakan militerisasi terhadap suatu jawatan, perusa¬haan, jabatan dan seterusnya (pasal 42);
    7. menunjuk suatu tempat kediaman untuk sementara bagi orang terhadap siapa terdapat petunjuk-petunjuk bahwa is akan mengganggu keamanan (pasal 43);
    8. menyimpang dari tiap peraturan perundang-undangan pusat dalam keadaan yang membahayakan keselamatan negara yang sangat mendesak (pasal 44).
  Kekuasaan-kekuasaan yang diberikan kepada penguasa dari suatu keadaan bahaya, dimiliki juga oleh penguasa dari tingkatan keadaan bahaya yang lebih tinggi derajatnya.
6. Dalam prinsipnya, Penguasa d4arn keadaan bahaya tidak boleh menyimpang dari perundang-undangan pusat, kecuali dalam hal-hal yang diperbolehkan menurut atau berdasarkan Peraturan ini.
  Mengenai kedudukan Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang serta peraturan-peraturan dan/atau tindak¬an-tindakan Penguasa-penguasa tersebut terhadap peraturan-pera¬turan perundang-undangan pusat dapat disebut disini :
    -- pasal 10 dan pasal 11 (untuk keadaan darurat sipil),
    -- pasal 33 dan pasal 34 ayat 2 (untuk keadaan darurat mi¬liter), kemudian
    -- pasal 44 (untuk keadaan perang).
  Pasal-pasal tersebut menunjukkan sesuatu yang bertingkat¬tingkat dan tiap pasal mengandung syarat yang harus diperhati¬kan oleh penguasa yang bersangkutan.
   
   
   
   
  a.  
  b.  
7.