UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 5 TAHUN 1960

TENTANG

PERATURAN DASAR POKOK - POKOK AGRARIA

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

Menimbang

:

a.

bahwa didalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur;

 

 

b.

bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;

 

 

c.

bahwa hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat disamping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;

d.

bahwa bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum;

Berpendapat

:

a.

bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan - pertimbangan diatas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;

 

 

b.

bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang dimaksud diatas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria;

 

 

c.

bahwa hukum agraria nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan. Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai azas kerokhanian Negara dan cita-cita bangsa, seperti yang tercantum didalam Pembukaan Undang-undang Dasar.

 

 

d.

bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong;

e.

bahwa berhubung dengan segala sesuatu itu perlu diletakkan sendi-sendi dan disusun ketentuan-ketentuan pokok baru dalam bentuk Undang-undang yang akan merupakan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional tersebut diatas;

Memperhatikan

:

Usul Dewan Pertimbangan Agung Sementara Republik Indonesia Nomor 1/Kpts/Sd/II/60 tentang Perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah;

Mengingat

:

a.

Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959;

b.

Pasal 33 Undang-undang Dasar;

c.

Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 Nomor 10) tentang Penetapan Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 sebagai Garis-garis besar dari pada haluan Negara dan Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960;

d.

Pasal 5 jo. 20 Undang-undang Dasar;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

Memutuskan:

Dengan mencabut

:

1.

"Agrarische Wet" (Staatsblat 1870 Nomor 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 " Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 Nomor 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;

2.

a.

"Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit" (Staatsblad 1870 Nomor 118);

b.

"Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 Nomor 119A;

c.

"Domeinverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 Nomor 94f;

d.

"Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 Nomor 55;

e.

"Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 Nomor 58;

3.

Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 Nomor 29 (Staatsblad 1872 Nomor 117) dan peraturan pelaksanaannya;

4.

Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini;

Menetapkan

:

Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

PERTAMA

BAB I

DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK

Pasal 1

(1)

Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

(2)

Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indoneisa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

(3)

Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

(4)

Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.

(5)

Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedaftaran maupun laut wilayah Indonesia.

(6)

Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.

Pasal 2.

(1)

Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1 bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2)

Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :

a.

mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b.

menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c.

menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3)

Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

(4)

Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Pasal 3.

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Pasal 4.

(1)

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.

(2)

Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan, yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

(3)

Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.

Pasal 5.

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan, yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur yang bersandar pada hukum agama.

Pasal 6.

Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Pasal 7.

Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

Pasal 8.

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.

Pasal 9.

(1)

Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.

(2)

Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Pasal 10.

(1)

Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

(2)

Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.

(3)

Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.

Pasal 11.

(1)

Hubungan hukurn antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.

(2)

Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.

Pasal 12.

(1)

Segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.

(2)

Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria.

Pasal 13.

(1)

Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

(2)

Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.

(3)

Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.

(4)

Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.

Pasal 14.

(1)

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:

a.

untuk keperluan Negara;

b.

untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;

c.

untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;

d.

untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;

e.

untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.

(2)

Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.

(3)

Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 15.

Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.

BAB II
HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA
PENDAFTARAN TANAH.

Bagian 1
Ketentuan-ketentuan umum.

Pasal 16.

(1)

Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal ayat (1 ) ialah:

a.

hak milik,

b.

hak guna-usaha,

c.

hak guna-bangunan,

d.

hak pakai,

e.

hak sewa,

f.

hak membuka tanah,

g.

hak memungut-hasil hutan,

h.

hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.

(2)

Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah:

a.

hak guna air,

b.

hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,

c.

hak guna ruang angkasa.

Pasal 17.

(1)

Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

(2)

Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.

(3)

Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

(4)

Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Pasal 18.

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Bagian II.
Pendaftaran tanah.

Pasal 19.

(1)

Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2)

Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

a.

pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;

b.

pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c.

pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

(3)

Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial-ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

(4)

Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Bagian III.

Hak milik,

 Pasal 20.

(1)

Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.

(2)

Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 21.

(1)

Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

(2)

Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.

(3)

Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

(4)

Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.

Pasal 22.

(1)

Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2)

Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1 ) pasal ini hak milik terjadi karena :

a.

penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

b.

ketentuan Undang-undang.

Pasal 23.

(1)

Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

(2)

Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

Pasal 24.

Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan.

Pasal 25.

Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Pasal 26.

(1)

Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2)

Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Pasal 27.

Hak milik hapus bila:

a.

tanahnya jatuh kepada Negara;

1.

karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;

2.

karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;

3.

karena diterlantarkan;

4.

karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2),

b.

tanahnya musnah.

Bagian IV.
Hak guna-usaha.

Pasal 28.

(1)

Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

(2)

Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.

(3)

Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 29.

(1)

Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.

(2)

Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.

(3)

Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.

Pasal 30.

(1)

Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah:

a.

warga-negara Indonesia;

b.

badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

(2)

Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut.  Jika hak guna-usaha, yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31

Hak guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.

Pasal 32.

(1)

Hak guna-usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

(2)

Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Pasal 33.

Hak guna-usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Pasal 34.

Hak guna-usaha hapus karena :

a.

jangka waktunya berakhir;

b.

dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;

c.

dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

d.

dicabut untuk kepentingan umum;

e.

diterlantarkan;

f.

tanahnya musnah;

g.

ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).

Bagian V.
Hak guna-bangunan.

Pasal 35.

(1)

Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

(2)

Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

(3)

Hak guna-bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 36.

(1)

Yang dapat mempunyai hak guna-bangunan ialah :

a.

warga-negara Indonesia;

b.

badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

(2)

Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.

Jika hak guna-bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37.

Hak guna-nungunan terjadi:

a.

mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara; karena penetapan Pemerintah;

b.

mengenai tanah milik; karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna-bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.

Pasal 38.

(1)

Hak guna-bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus; didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

(2)

Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna-bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak hapus karena jangka waktunya berakhir.

Pasal 39.

Hak guna-bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Pasal 40.

Hak guna-bangunan hapus karena :

a.

jangka waktunya berakhir;

b.

dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;

c.

dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

d.

dicabut untuk kepentingan umum;

e.

diterlantarkan;

f.

tanahnya musnah;

g.

ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).

Bagian VI.

Hak pakai,

Pasal 41.

(1)

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

(2)

Hak pakai dapat diberikan:

a.

selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;

b.

dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.

(3)

Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Pasal 42.

Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :

a.

warga-negara Indonesia;

b.

orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

c.

badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

d.

badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pasal 43

(1)

Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.

(2)

Hak pakai atas tanah-milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

Bagian VII.
Hak sewa untuk bangunan.

Pasal 44.

(1)

Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

(2)

Pembayaran uang sewa dapat dilakukan :

a.

satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;

b.

sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.

(3)

Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Pasal 45.

Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah :

a.

warga-negara Indonesia;

b.

orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

c.

badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

d.

badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Bagian VIII.
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan.

Pasal 46.

(1)

Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga-negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2)

Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

Bagian IX.
Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan.

Pasal 47.

(1)

Hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain.

(2)

Hak guna-air serta pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian X.
Hak guna ruang angkasa.

Pasal 48.

(1)

Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.

(2)

Hak guna ruang angkasa diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian XI
Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial.

Pasal 49.

(1)

Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.

(2)

Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.

(3)

Perwakilan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian XII.
Ketentuan-ketentuan lain.

Pasal 50.

(1)

Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan Undang-undang.

(2) 

Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan diatur dengan peraturan perundangan.

Pasal 51.

Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha dan hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang.

BAB III
KETENTUAN PIDANA.

Pasal 52.

(1)

Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000;

(2) 

Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud dalam pasal 19, 22, 24, 26, ayat (1), 46, 47, 48, 49, ayat (3) dan 50 ayat (2) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-.

(3)

Tindak pidana dalam ayat (1) dan (2) pasal ini adalah pelanggaran.

BAB IV
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN.

Pasal 53.

(1)

Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat.

(2) 

Ketentuan dalam pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 54.

Berhubung dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 21 dan 26, maka jika seseorang yang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok, telah menyatakan menolak kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok itu yang disahkan menurut peraturan perundangan yang bersangkutan, ia dianggap hanya berkewarga-negaraan Indonesia saja menurut pasal 21 ayat (1).

Pasal 55.

(1)

Hak-hak asing yang menurut ketentuan konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak usaha-usaha dan hak guna-bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.

(2) 

Hak guna-usaha dan hak guna-bangunan hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana.

Pasal 56.

Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 57.

Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad 1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190.

Pasal 58.

Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang dengan itu.

KEDUA.
KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI.

Pasal I.

(1)

Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.

(2) 

Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing  dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.

(3)

Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga-negara yang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1), dengan jangka waktu 20 tahun.

(4)

Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut diatas, tetapi selama-lamanya 20 tahun.

(5)

Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak erfpahct, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak-hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.

(6)

Hak-hak hypotheek, servituu, vruchtengebruik dan hak-hak lain yang membebani hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna-bangunan tersebut dalam ayat (1) dan (3) pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-undang ini.

Pasal II.

(1)

Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat (I) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya. Undang-undang ini, yaitu : hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand Sultan, landerinjbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.

(2)

Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, warga-negara yang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna-usaha atau hak guna-bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Pasal III.

(1)

Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna-usaha tersebut dalam pasal 28 ayat (1) yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.

(2)

Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut hapus, dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria.

Pasal IV.

(1)

Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu satu tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini harus mengajukan permintaan kepada Menteri Agraria agar haknya diubah menjadi hak guna-usaha.

(2)

Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau permintaan itu tidak diajukan, maka concessie dan sewa yang bersangkutan berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.

(3)

Jika pemegang concessie atau sewa mengajukan permintaan termaksud dalam ayat (1) pasal ini tetapi tidak bersedia menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh Menteri Agraria, ataupun permintaannya itu ditolak oleh Menteri Agraria, maka concessie atau sewa itu berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.

Pasal V

Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut tetapi selama-lamanya 20 tahun.

Pasal VI.

Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Pasal VII.

(1)

Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat (1).

(2)

Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.

(3)

Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menter Agrarialah yang memutuskan.

Pasal VIII.

(1)

Terhadap hak guna-bangunan tersebut pada pasal I ayat (3) dan (4), pasal II ayat (2) dan V berlaku ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).

(2)

Terhadap hak guna-usaha tersebut pada pasal II ayat (2), pasal III ayat (1) dan (2) pasal IV ayat (1) berlaku ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).

Pasal IX.

Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal diatas diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

KETIGA.

Perubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini akan diatur tersendiri.

KEEMPAT.

A.

Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara.

B.

Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

KELIMA

Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pokok Agraria dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 24 September 1960.

Presiden Republik Indonesia,

SUKARNO.

Diundangkan

pada tanggal 24 September 1960.

Sekretaris Negara,

TAMZIL

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1960 NOMOR 104

Penjelasan................