PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR 10 TAHUN 1961
TENTANG

PENDAFTARAN TANAH

 

I.

UMUM

 

A.

Pendahuluan

 

 

1)

Untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, Undang-undang Pokok Agraria mengharuskan Pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia. Dalam pasal 19 ayat (2) Undang-undang Pokok Agraria tersebut ditentukan, bahwa pendaftaran tanah itu harus meliputi dua hal, yaitu:

 

 

 

a)

pengukuran dan pemetaan-pemetaan tanah-tanah serta menyelenggarakan tata usahanya.

 

 

 

b)

Pendaftaran hak serta peralihannya dan pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

 

 

 

Dalam Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah ini, penyelenggaraan pendaftaran tanah dijadikan tugas dari Jawatan Pendaftaran Tanah (pasal 1).

 

 

 

Sebelum tahun 1947 tugas Jawatan Pendaftaran tanah atau "Cadaster" hanya mengenai pengukuran dan pemetaaan serta penyelenggaraan tata-usaha dari hak-hak yang telah diukur dan dipeta. Sejak tahun 1947, pendaftaran hak serta peralihannya, sebagaimana diatur dalam "Overschrijvingsordonnatie" (S. 1834. Nomor 27) menjadi tugas pula dari jawatan Pendaftaran Tanah. Dengan demikian, maka Peraturan Pemerintah ini yang menyerahkan tugas pendaftaran tanah kepada Jawatan Pendaftaran tanah hanya mengatur sesuatu yang telah menjadi kenyataan. Yang baru
dalam hubungan ini ialah, bahwa tugas pendaftaran tanah itu sekarang mengenai semua tanah diwilayah Republik Indonesia, sedang sebelumnya terutama hanya mengenai tanah-tanah dengan apa yang disebut "hak-hak barat" saja.

 

 

2)

Dalam menyelenggarakan pendaftaran tanah harus diperhatikan secara seksama:

 

 

 

a)

dasar permulaannya ("opzet) dan

 

 

 

b)

pemeliharaannya ("bijhouding").

 

 

 

Kekurangan perhatian terhadap salah satu dari kedua hal tersebut akan banyak meminta korban berupa biaya, tenaga dan waktu dan akan mendatangkan pula banyak kesulitan dan kekecewaan.

 

B.

Pengukuran dan pemetaan tanah-tanah serta penyelenggaraan tata usahanya.

 

 

3)

Pekerjaan pengukuran dan pembuatan peta baik didalam penyelenggaraan dasar permulaannya, maupun dalam pemeliharaannya pada azasnya tidak akan merupakan suatu soal yang sulit, karena telah diperoleh pengalaman selama berpuluh-puluh tahun dari pendaftaran tanah-tanah dengan hak-hak barat.

 

 

 

Dalam pada itu kesukaran yang terpokok terletak pada kenyataan, bahwa pengukuran dan pemetaaan semua tanah diwilayah Republik Indonesia itu akan merupakan suatu pekerjaan raksasa, yang akan memakan biaya banyak sekali serta membutuhkan banyak pula tenaga ahli.

 

 

 

Cara mengukur dan membuat peta-peta tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, akan tetapi dipandang lebih baik untuk diserahkan pengaturannya kepada Menteri Agraria (pasal 5). Dengan demikian penyesuaian cara mengukur dan membuat peta-peta dengan perkembangan-perkembangan dalam ilmu geodesi dapat dilaksanakan dengan mudah. Perlu dikemukakan di sini, bahwa ilmu geodesi pada waktu akhir-akhir ini mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali.

 

 

4)

Seperti telah dikemukakan diatas pekerjaaan pengukuran dan pemetaan ini akan merupakan suatu pekerjaan raksasa, yang dengan sendirinya akan memakan waktu yang banyak. Meskipun pada waktu sekarang, disamping pengukuran biasa ("terrestrisch"), sudah dapat dilakukan pengukuran dengan cara pemotretan dari udara ("luchfotograrnmetrie "), namun pekerjaan pengukuran dan pembuatan peta itu tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Berhubung dengan itu maka dalam Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, bahwa pekerjaan pendaftaran tanah, yang meliputi pengukuran dan pembuatan peta serta pendaftaran hak dan peralihannya, harus dilakukan desa demi desa di daerah-daerah yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (pasal 2). Penunjukkan itu akan dilakukan secara berangsur-angsur, disesuaikan dengan keperluan daerah-daerah yang bersangkutan serta dengan banyaknya tenaga, alat dan biaya yang tersedia. Dari tanah-tanah yang terdapat di dalam desa-desa di daerah-daerah yang telah ditunjuk oleh Menteri Agraria itu, diselidiki batas-batasnya serta siapa yang berhak atasnya. Setelah penyelidikan itu selesai, maka tanah-tanah dalam desa itu diukur dan dibuatkan peta-peta pendaftarannya (pasal 3). Baru setelah peta pendaftaran sesuatu desa selesai dapat dibuatkan surat ukur dari tiap-tiap bidang tanah yang ada di situ. Surat-ukur pada dasarnya adalah kutipan dari peta pendaftaran tersebut (pasal 11). Jika belum ada peta pendaftaran belum dapat dibuatkan surat ukur baru dari sesuatu bidang tanah.

 

 

5)

Untuk menyelenggarakan tata-usaha pendaftaran tanah, Peraturan Pemerintah (pasal 7) mengharuskan Kantor-kantor pendaftaran tanah, yang merupakan kantor-kantor dari Jawatan Pendaftaran Tanah, mengadakan 4 macam daftar, yaitu :

 

 

 

a)

daftar tanah:

 

 

 

 

Dalam daftar ini akan didaftar semua tanah (tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, tanah-tanah yang dipunyai dengan sesuatu hak, jalan-jalan dan sebagainya) yang terdapat dalam sesuatu desa.

 

 

 

b)

daftar nama:

 

 

 

 

Dalam daftar ini akan didaftar nama orang-orang yang mempunyai sesuatu hak atas tanah.

 

 

 

c.

daftar buku tanah:

 

 

 

 

Dalam daftar ini akan didaftar hak-hak atas tanah serta peralihan hak-hak itu.

 

 

 

d.

daftar surat ukur:

 

 

 

 

Daftar ini merupakan kumpulan surat-surat ukur : surat ukur menguraikan keadaan, letak serta luas sesuatu tanah yang menjadi obyek sesuatu hak yang telah didaftar dalam daftar buku tanah. Tentang arti surat ukur lihat selanjutnya pasal 11 ayat (1) dan (2).

 

 

 

Penetapan bentuk dan caranya mengisi keempat daftar tersebut diserahkan kepada Menteri Agraria (pasal 8, 9, 10 dan 11).

 

C.

Pendaftaran hak serta peralihannya.

 

 

6)

Cara atau sistim pendaftaran.

 

 

 

Cara atau sistim pendaftaran hak serta peralihannya yang sebaik-baiknya adalah cara yang memanuhi syara-syarat yang berikut:

 

 

 

a.

sedapat mungkin disesuaikan dengan hukum adat yang masih berlaku,

 

 

 

b.

sesederhana-sederhananya,

 

 

 

c.

dapat dipahami oleh rakyat.

 

 

 

Adapun cara yang agaknya memenuhi syarat-syarat tersebut ialah sistem buku tanah (grondboekstelsel"), yang antara lain dipakai di Australia, Siam, Philipina dan sebagainya. Bagi Indonesia cara buku tanah itupun tidak asing pula, karena sebelum tahun 1911 cara semacam itu telah dipergunakan oleh Sultan Sulaiman di Lingga dan pada waktu ini terdapat juga di Sumatera Timur (dikenal orang sebagai peraturan "grant"). Yogyakarta serta dikota-kota dalam keresidenan Surakarta.

 

 

 

Berhubung dengan itu maka dalam Peraturan Pemerintah ini pendaftaran hak dan peralihannya diatur menurut cara atau sistem buku tanah itu yang dengan sendirinya disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.

 

 

7)

Pembukuan hak.

 

 

 

a)

Pendaftaran untuk pertama kali atau pembukuan sesuatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah menghadapi persoalan yang berikut: bagaimanakah kita dapat menentukan secara memuaskan siapa yang berhak atas sesuatu tanah serta batas-batas dari tanah itu.

 

 

 

 

Pemerintah Hindia Belanda dahulu hendak memecahkan persoalan tersebut dengan suatu cara atau sistim "uitwijzingsprocedure" melalui Pengadilan Negeri (lihat S. 1872 Nomor 118). "Uitwijzingsprocedure" itu yang bermaksud akan menentukan dengan seksama siapa yang sesungguhnya berhak atas sesuatu bidang tanah, memakan waktu lama sekali dan sangat memusingkan bagi orang Indonesia.

 

 

 

 

Berhubung dengan itu maka dalam Peraturan Pemerintah ini dipakai cara yang lebih sederhana.

 

 

 

b)

Seperti telah dikemukakan diatas pada angka 4, maka sebelum sebidang tanah dalam sesuatu desa diukur diadakan terlebih dahulu penyelidikan mengenai siapa yang berhak atas tanah itu dan bagaimana batas-batasnya. Penyelidikan itu dilakukan oleh suatu Panitia yang terdiri atas seorang pegawai Jawatan Pendaftaran Tanah sebagai ketua dan dua orang anggota Pemerintah Desa atau lebih sebagai anggota. Berdasarkan hasil penyelidikan Panitia tersebut, maka tanah-tanah didalam desa itu diukur dan dibuatkan peta-peta pendaftarannya (pasal 3). Peta-peta pendaftaran beserta daftar-daftar isian, yang dimuat hasil penyelidikan Panitia, kemudian ditempatkan dikantor Kepala Desa, untuk memberi kesempatan kepada yang berkepentingan mengajukan keberatan-keberatan mengenai penetapan batas-batas dan isi daftar isian di dalam waktu 3 bulan. Jika keberatan-keberatan itu diajukan pada waktunya dan Panitia menganggap keberatan-kekeberatan tersebut beralasan, maka Panitia akan mengadakan perubahan dalam peta ataupun daftar isian yang bersangkutan.

 

 

 

 

Peta-peta dan daftar-daftar isian kemudian disahkan oleh Panitia dengan suatu berita acara (pasal 3, 5 dan 6). Setelah peta-peta dan daftar-daftar isian itu disahkan, maka tanah-tanah yang batas-batasnya maupun orang yang berhak atasnya telah tetap oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dibukukan dalam daftar buku tanah yang bersangkutan (pasal 12). Pembukuan sesuatu hak dalam daftar buku-tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan, bahwa orang yang sebenarnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya; orang tersebut masih dapat menggugat hak dari orang yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak (pasal 19 ayat (2) Undang-undang Pokok Agraria). Jadi cara pendaftaran hak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidaklah positif, tetapi negatif. Kepada yang berhak diberikan sertipikat, yaitu suatu tanda bukti hak yang terdiri atas salinan buku tanah, dan surat ukur yang dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul (pasal 13 ayat (1), (2) dan (3), Sertipikat itu merupakan alat pembuktian yang kuat (pasal 13 ayat (4) j.o. pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria). Oleh karena surat-ukur meukur itu merupakan pula alat pembuktian yang kuat. Dengan demikian batas-batas yang telah ditetapkan oleh Jawatan Pendaftaran Tanah mempunyai kekuatan hukum, sehingga pendaftaran tanah itu merupakan suatu "rechtskadaster". Hingga sekarang batas-batas yang ditetapkan oleh Jawatan Pendaftaran Tanah hanya mempunyai "feitelijke kracht" oleh karena hakim dapat menerima atau menolak kebenaran
dari batas-batas yang telah ditetapkan oleh Jawatan Pendaftaran Tanah. Dalam hal "rechtskadaster" maka hakim itu, selama tidak ada bantahan, harus menerima batas-batas yang telah ditetapkan oleh Jawatan Pendaftaran Tanah sebagai batas-batas yang benar.

 

 

 

c)

Selain pembukuan hak atas tanah melalui pengukuran dan pembuatan peta-peta pendaftaran desa demi desa sebagaimana diuraikan diatas pada sub b, pembukuan hak atas tanah itu dapat pula dilakukan menurut cara yang diatur dalam pasal 15, 16 dan 18.

 

 

 

 

Pasal 15 menentukan, bahwa hak-hak atas tanah yang telah diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah dan surat ukur yang masih memenuhi syarat teknis (antara lain semua surat-ukur yang dibuat oleh Jawatan Pendaftaran Tanah) dapat dengan segera dibukukan dalam daftar buku tanah yang bersangkutan dan (yang penting lagi) kepada yang berhak dapat diberikan sertipikat, Tujuan dari pasal 15 ialah agar arsip Jawatan Pendaftaran Tanah dapat dengan segera dipergunakan untuk menyusun arsip sebagaimana dikehendaki Peraturan Pemerintah ini.

 

 

 

 

Dalam pada itu hak-hak atas tanah yang belum diuraikan dalam suatu surat ukur, yang dimaksud dalam pasal 15 atau yang tidak dapat dengan segera dibuat surat-ukurnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, dapat pula dibukukan dalam daftar buku tanah yang bersangkutan (pasal 16 dan 18); kepada yang berhak diberikan sertipikat sementara, yang sertipikat tanpa surat ukur. Dengan adanya ketentuan dalam pasal 16 dan 18 itu dan juga dalam pasal 25 sampai dengan 27, maka hak-hak tanah-tanah itu belum diukur dan dibuatkan peta-petanya. Dengan demikian pendaftaran hak-hak dapat dilaksanakan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

 

 

 

 

Meskipun pendaftaran hak menurut pasal 16, 18 dan 25 sampai dengan 27 tersebut hanya mengenai subjeknya saja, namun hal itu sudah merupakan langkah yang baik kearah penertiban lalu lintas tanah di Indonesia.

 

 

8)

Pendapatan peralihan hak dan pembebanannya.

 

 

 

a)

Agar supaya apa yang telah didaftarkan dalam daftar buku tanah tetap sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, maka perubahan yang terjadi dalam keadaan sesuatu hak harus pula didaftarkan. Berhubung dengan itu dalam Peraturan Pemerintah ini ditentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan
hak atas tanah sebagai jaminan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan seorang penjabat yang akan ditunjuk oleh Menteri Agraria (pasal 19). Pejabat itu diwajibkan mengirimkan akta tersebut kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah untuk didaftarkan dalam daftar buku tanah yang bersangkutan (pasal 22). Agar Pejabat tersebut melaksanakan tugasnya sebagaimana diharapkan, maka dalam pasal 38 sampai dengan 40 diadakan ketentuan-ketentuan yang menjamin ha1 itu. Yang akan ditunjuk ialah pejabat-penjabat yang tempat kedudukannya tidak jauh dari letak tanah yang bersangkutan.

 

 

 

 

Kecuali peralihan yang diakibatkan oleh perbuatan yang berhak juga peralihan yang diakibatkan karena pelelangan oleh kantor lelang harus pula didaftarkan (pasal 21, 24 dan 27).

 

 

 

 

Disamping itu peralihan karena warisan diharuskan pula untuk didaftarkan (pasal 20, 23 dan 26). Oleh karena dalam soal waris, ahli waris dengan sendirinya karena hukum telah memperoleh hak yang diwariskan kepadanya, sehingga tidak ada sesuatu keperluan yang mendorongnya untuk mendaftarkan hak yang diperolehnya itu, maka agar tata usaha pendaftaran tanah tidak menjadi kacau, kewajiban ahli waris tersebut diatas diperkuat dengan suatu ancaman hukuman yang diatur dalam pasal 41.

 

 

 

 

Juga beban-beban yang diletakkan atas sesuatu hak beserta penghapusannya harus didaftarkan pula (pasal 29 sampai dengan 32).

 

 

 

b)

Untuk mencegah agar supaya yang mengalihkan sesuatu hak bukan orang yang tidak berhak maka diserahkannya sertipikat/dijadikan syarat mutlak untuk pembuatan akta oleh pejabat maupun untuk pendaftarannya dalam buku tanah yang bersangkutan (lihat pasal 22 ayat (1) dan pasal 28 ayat (1) sub a), Jadi tanpa sertipikat seorang pejabat dilarang membuat akta peralihan dan Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dilarang mendaftarkannya dalam buku tanah yang bersangkutan. Disamping itu ditetapkan pula bahwa peralihan sesuatu hak harus disertai dengan peralihan sertipikat yang bersangkutan (lihat pasal 22 ayat (4), pasal 23 ayat (2) dan pasal 24 ayat (2).

 

 

 

 

Oleh karena sertipikat merupakan syarat mutlak untuk pembuatan akta dan pendaftaran peralihan sesuatu hak, sedang peralihan hak itu harus disertai pula dengan peralihan sertipikatnya, maka ditentukan bahwa jika sesuatu sertipikat hilang, untuk memperoleh gantinya harus ditempuh
suatu prosedure yang agak sulit, sebagai yang tercantum dalam pasal 33 ayat (2) sampai dengan (5). Tujuan dari prosedure yang dipersukar itu ialah untuk mencegah agar untuk satu hak jangan sampai beredar lebih dari satu sertipikat.

 

 

 

c)

Pada angka 7b diatas telah dikemukakan, bahwa sertipikat terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur, yang pembuatannya harus dilakukan desa demi desa yang telah diukur dan dibuatkan peta pendaftarannya. Dengan demikian maka untuk hak-hak atas tanah yang terletak diluar desa-desa tersebut tidak dapat dibuatkan sertipikatnya, karena belum dapat dibuatkan surat ukurnya (lihat penjelasan sub 4). Jika sertipikat juga dijadikan syarat bagi peralihan hak-hak atas tanah didesa-desa tersebut, maka hal itu akan berakibat, bahwa pendaftaran peralihan hak-hak didesa-desa itu akan terhambat lama sekali, karena harus menunggu pembuatan sertipikat yang akan memakan waktu yang lama. Untuk mencegah kemacetan tersebut, maka ditetapkan bahwa untuk peralihan hak-hak atas tanah didesa-desa yang dimaksudkan itu tidak diwajibkan adanya sertipikat tetapi cukup jika ada pernyataan dari yang bersangkutan atau surat keterangan Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang menyatakan, bahwa hak atas tanah itu belum mempunyai sertipikat (pasal 25 dan 27). Peralihan hak tersebut dibutuhkan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dalam daftar buku tanah dan kepada yang berhak diberikan suatu sertipikat sementara, yaitu suatu sertipikat tanpa surat ukur (pasal 25, 26, 27).

 

 

 

 

Berhubung dengan adanya ketentuan yang diuraikan diatas maka peraturan Pemerintah ini dapat sekaligus dijalankan untuk seluruh Indonesia. KecuaIi itu pekerjaan pembuatan peta-peta desa demi desa dapat dilakukan secara sistematis dan berencana, oleh karena dengan adanya sistim sertipikat sementara tersebut Jawatan Pendaftaran Tanah tidak lagi diganggu dengan permohonan-permohonan pengukuran bidang-bidang tanah satu demi satu seperti sekarang ini. Dalam rangka peraturan pendaftaran tanah yang lama maka permohonan-permohonan itu tidak dapat dielakkan, oleh karena surat ukur menjadi syarat bagi pendaftaran peralihan sesuatu hak.

II.

PASAL DEMI PASAL.

 

Pasal 1.

 

 

Sudah dijelaskan dalam penjelasan umum (angka 1).

 

Pasal 2.

 

 

Sudah dijelaskan dalam penjelasan umum (angka 4).

 

Pasal 3.

 

 

Ayat (1) sampai dengan (6)

 

 

 

tidak memerlukan penjelasan; sudah dijelaskan dalam penjelasan umum (angka 4 dan 7b).

 

 

Ayat (7)

 

 

 

Peraturan Menteri Agraria yang mengatur tanda-tanda batas tidak perlu dipasang. Misalnya karena sudah tanda-tangan batas tidak perlu dipasang. Misalnya karena sudah ada batas alam.

 

Pasal 4.

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 5.

 

 

Sudah dijelaskan dalam penjelasan umum (angka 3).

 

Pasal 6.

 

 

Sudah dijelaskan dalam penjelasan umum (angka 7b).

 

 

Pengesahan Panitia yang dimaksud dalam ayat (2) tidak mengenai baik/tidaknya peta dibuat dilihat dari sudut teknik pembuatan peta.

 

Pasal 7 sampai dengan 10.

 

 

Sudah dijelaskan dalam penjelasan umum (angka 5).

 

Pasal 11.

 

 

Dari ayat (1) dan (2) kita dapat menyimpulkan apa yang dimaksud dengan surat-ukur, yaitu kutipan dari peta-pendaftaran, yang selain membuat gambar tanah yang melukiskan batas tanah, tanda-tanda batas, gedung-gedung, jalan-jalan, saluran air dan lain-lain benda yang penting, memuat pula nomor pendaftaran, nomor dan tahun surat ukur (buku tanah, nomor pajak (jika mungkin), uraian tentang letak tanah, uraian tentang keadaan tanah, luas tanah dan orang atau orang-orang yang menunjukkan batas-batasnya.

 

Pasal 12.

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 13.

 

 

Pemberian sertipikat yang dimaksud dalam ayat (3) hanya dilakukan jika yang berhak menghendakinya. Dengan demikian maka ketakutan bahwa pendaftaran tanah akan memperberat beban rakyat yang tak mampu adalah tidak beralasan.

 

Pasal 14.

 

 

Ayat (1)

 

 

 

surat keputusan pejabat yang berwenang memberi hak atas tanah Negara dengan sendirinya harus disertai warkah atau warkah-warkah yang menguraikan letak, keadaaan serta luas tanahnya.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Dengan menunjuk pada surat ukur yang dimaksud dalam pasal 11 maka sertipikat yang dimaksud dalam ayat (2) ini hanya diberikan, jika tanah yang bersangkutan telah diukur dan digambat dalam suatu peta pendaftaran. Hal tersebut ternyata pula dari ketentuan dalam pasal 16 ayat (2).

 

Pasal 15.

 

 

Pasal 15 bermaksud agar tanah-tanah yang telah diuraikan dalam sesuatu surat ukur yang dibuat oleh Jawatan Pendaftaran Tanah dan yang telah dinyatakan dalam sesuatu surat hak tanan tidak perlu diukur dan dibuatkan petanya lagi menurut apa yang ditentukan dalam pasal 3 dan 4 Dengan demikian arsip Jawatan Pendaftaran Tanah dapat dengan segera dipergunakan untuk menyusun tata-usaha sebagai yang dikehendaki oleh Peraturan Pemerintah ini.

 

Pasal 16.

 

 

Ayat (1)

 

 

 

merupakan kekecualian dari apa yang ditentukan dalam pasal 14 ayat (2). Seperti halnya dengan pasal 15, ayat ini bermaksud supaya tanah-tanah yang telah diukur oleh jawatan Pendaftaran Tanah dan telah dibuatkan surat ukurnya jangan diukur lagi.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

lihat penjelasan pasal 14 diatas dan penjelasan umum (angka 7 c).

 

Pasal 17.

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Yang dimaksud dengan fungsi dalam ayat ini ialah, bahwa jika dalam sesuatu pasal ditentukan bahwa harus diperlihatkan sertipikat, maka dapatlah dipakai sertipikat sementara.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Dengan sendirinya sertipikat sementara tidak membuktikan sesuatu mengenai batas-batas tanah, oleh karena sertipikat sementara tidak mempunyai surat ukur.

 

Pasal 18.

 

 

Pasal ini adalah untuk menampung keperluan akan tanda bukti hak yang terasa pada orang-orang yang berkepentingan sendiri. Misalnya diperlukan tanda bukti hak untuk dapat memperoleh kredit.

 

Pasal 19, 20 dan 21

 

 

Perlu ada ketentuan-ketentuan ini demi ketertiban pendaftaran. Ketentuan-ketentuan ini mengenai baik tanah-tanah yang sudah maupun yang belum dibukukan.

 

 

Pertimbangan-pertimbangan khusus yang dimaksud dalam ayat (2) Pasal 20 adalah misalnya kebiasaan di BaIi untuk mengadakan pembagian warisan baru setelah dilakukan adat pembakaran jenazah.

 

Pasal 22.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Apakah pembuatan akta perlu disaksikan oleh Kepala Desa dan seorang anggota Pemerintah Desa, hal itu diserahkan kepada kebijaksanaan pejabat. Dalam hal pejabat meragu-ragukan wewenang orang yang hendak mengalihkan sesuatu hak dihadapannya, sebaiknya pejabat membuat akta yang bersangkutan dengan disaksikan oleh Kepala Desa dan seorang anggota Pemerintah Desa, mengingat wewenangnya dapat dicabut oleh Menteri Agraria jika ia sering menimbulkan kerugian bagi orang-orang yang meminta jasanya dalam membuat akta (lihat pasal 37 ayat (3).

 

 

Ayat (3), (4)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (5)

 

 

 

Berlainan halnya dengan "Overschrijvingsordonnantie" surat keterangan pelunasan pajak dalam Peraturan Pemerintah tidak menjadi syarat dari pendaftaran surat keterangan tersebut hanya merupakan syarat untuk penyerahan sertipikat, setelah peralihan hak dicatat dalam daftar buku tanah yang bersangkutan dan sertipikatnya.

 

Pasal 23 dan 24

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 25, 26 dan 27

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 28

 

 

Ayat (1c)

 

 

 

Sertipikat dan surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah dapat tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar Kantor Pendaftaran Tanah, oleh karena pada pencatatan yang dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) dan pasal 30 ayat (1) dan (2) yang berhak tidak dapat dipaksa menyerahkan sertipikatnya untuk diadakan catatan yang dimaksud.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Penolakan harus tertulis agar pejabat yang bersangkutan mempetoleh pegangan yang kuat untuk memperbaiki permintaan pendaftaran peralihan yang telah disampaikan kepada Kepala Kantor pendaftaran Tanah itu.

 

Pasal 29

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Pencatatan yang dimaksud dalam ayat ini dilakukan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah, dengan tidak menunggu permintaan dari yang bersangkutan.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Pencatatan yang dimaksud dalam ayat ini dilakukan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah atas permintaan dari yang bersangkutan.

 

Pasal 30.

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 31.

 

 

Surat-surat yang dimaksud dalam pasal ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari daftar-daftar buku tanah. Berhubung dengan itu, jika dianggap perlu, salinan buku tanah yang menjadi bagian dari sertipikat atau sertipikat sementara dapat disertai dengan salinan dari surat yang dimaksud dalam pasal ini.

 

Pasal 32.

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 33.

 

 

Untuk penggantian sertipikat yang rusak tidak diperlukan prosedur yang panjang, sebagaimana halnya untuk penggantian sertipikat yang hilang. Penggantian sertipikat yang rusak tidak mungkin memperlihatkan adanya dua sertipikat yang beredar untuk satu hak; sertipikat yang rusak yang ditahan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah harus dengan segara dimusnakan.

 

Pasal 34.

 

 

Biaya-biaya apa yang akan dipungut bersangkutan dengan penyelenggaraan pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 19 ayat (4) Undang-undang Pokok Agraria. Adapun jumlah biaya-biaya itu dipandang lebih baik jika Menteri Agraria yang menetapkan, agar kalau perlu dapat lekas disesuaikan dengan keadaan dan keperluannya.

 

Pasal 35.

 

 

Biaya pembuatan akta yang dibayar kepada penjabat merupakan penghasilan pribadi dari Peniabat itu; demikian pula uang saksi yang dibayar kepada Kepala Desa dan anggota Pemerintah Desa adalah penghasilan pribadi mereka masing-masing.

 

Pasal 36.

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 37.

 

 

Dengan adanya ketentuan dalam pasal ini, maka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah bukan seorang pegawai yang berdiri sendiri (otonom) seperti halnya dengan pegawai baliknama menurut Overschrijvingsordonnantie (S. 1834 Nomor 27).

 

Pasal 38 sampai dengan 40

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 41 sampai dengan 44

 

 

Sanksi-sanksi pidana ini diperlukan untuk menjamin diserenggarakannya ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya.

 

 

Pasal 41 ayat (2). Kealpaan seperti dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) adalah misalnya sengketa antara para ahli waris mengenai atas nama siapa tanah warisan harus dibalik nama.

 

Pasal 45

 

 

Pasal ini perlu karena belum disemua daerah dapat diadakan Kantor Pendaftaran Tanah.

 

Pasal 46

 

 

Mulai berlakunya pelaksanaan pendaftaran tanah ini akan ditetapkan oleh Menteri Agraria dengan mengingat selesainya segala persiapan yang diperlukan ditiap-tiap daerah (pasal 1).

         
  TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2171