UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 1967

 

TENTANG

 

KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.


KAMI, PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang : a.

bahwa guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensiil di bidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil;

    b.

bahwa berhubungan dengan itu, dengan tetap berpegang pada Undang-undang Dasar 1945, dipandang perlu untuk mencabut Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 tentang Pertambangan (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 119) serta menggantinya dengan Undang-undang Pokok Pertambangan yang baru yang lebih sesuai dengan kenyataan yang ada, dalam rangka memperkembangkan usaha-usaha pertambangan Indonesia di masa sekarang dan di kemudian hari;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/1966.
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966;
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXXIII/MPRS/1967; 
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 163 tahun 1966;
6.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 171 tahun 1967;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong; 

Memutuskan: 

    I.

Mencabut Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 tentang Pertambangan (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 119).

II. Menetapkan: Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. 
    BAB I.
KETENTUAN UMUM.
Pasal 1
Penguasaan bahan galian.
   

Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat. 

Pasal 2.
Istilah-istilah. 
    a.

bahan galian: unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam;

b. hak tanah: hak atas sebidang tanah pada permukaan bumi menurut hukum Indonesia;
    c.

penyelidikan umum: penyelidikan secara geologi umum atau geofisika, di daratan, perairan dan dari udara, segala sesuatu dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya;

    d.

eksplorasi: segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti/saksama adanya dan sifat letakan bahan galian;

    e.

eksploitasi: usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya;

    f.

pengolahan dan pemurnian: pengerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan galian itu.

    g. pengangkutan: segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil pengolahan dan pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan/pemurnian;
h. penjualan: segala usaha penjualan bahan galian dan hasil pengolahan/pemurnian bahan galian;
    i.

kuasa pertambangan: wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan;

j. Menteri: Menteri yang lapangan tugasnya meliputi urusan pertambangan.
    k.

Wilayah hukum pertambangan Indonesia: seluruh kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan Indonesia dan paparan benua (continental shelf) kepulauan Indonesia;

l. Perusahaan Negara:
a.

Perusahaan Negara seperti yang dimaksud dalam Undang-undang tentang Perusahaan Negara yang berlaku;

b. Badan hukum yang seluruh modalnya berasal dari Negara;
m.

Perusahaan Daerah:  Perusahaan seperti yang dimaksud dalam Undang-undang tentang Perusahaan Daerah yang berlaku;

n.

Pertambangan Rakyat; yang dimaksud dengan Pertambangan Rakyat adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan a, b dan c seperti yang dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri.

B A B II.
PENGGOLONGAN DAN PELAKSANAAN PENGUSAHAAN

BAHAN GALIAN.

Pasal 3.

(1) Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan:
a. golongan bahan galian strategis;
b. golongan bahan galian vital;
c. golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a atau b. 
(2)

Penunjukan sesuatu bahan galian ke dalam sesuatu golongan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 4.
(1)

Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a dan b dilakukan oleh Menteri;

(2)

Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.

(3)

Dengan memperhatikan kepentingan pembangunan Daerah khususnya dan Negara umumnya Menteri dapat menyerahkan pengaturan usaha pertambangan bahan galian tertentu dari antara bahan-bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b kepada Pemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.

BAB III.
BENTUK DAN ORGANISASI PERUSAHAAN

PERTAMBANGAN.

Pasal 5.
Usaha pertambangan dapat dilaksanakan oleh:
a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri;
b. Perusahaan Negara;
c. Perusahaan Daerah;
d. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah.
e. Koperasi;
f.

Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1);

g. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan/atau Daerah dengan Koperasi dan/atau Badan/Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1);
h. Pertambangan Rakyat.
Pasal 6.
Usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh:
a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri;
b. Perusahaan Negara.

Pasal 7. 

Bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a, dapat pula diusahakan oleh pihak swasta yang memenuhi syarat-syarat sebagai dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), apabila menurut pendapat Menteri, berdasarkan pertimbangan-pertimbangann dari segi ekonomi dan perkembangan pertambangan, lebih menguntungkan bagi Negara apabila diusahakan oleh pihak swasta.

Pasal 8.

Apabila jumlah endapan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a sedemikian kecilnya sehingga menurut pendapat Menteri akan lebih menguntungkan jika diusahakan secara sederhana atau kecil-kecilan, maka endapan bahan galian itu dapat diusahakan secara Pertambangan Rakyat sebagai dimaksud dalam pasal 11.

Pasal 9. 

(1) Usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh:
a. Negara atau Daerah.
b.

Badan atau Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 (1).

(2) Usaha pertambangan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini dapat dilaksanakan oleh:
a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri;
b. Perusahaan Negara;
c. Perusahaan Daerah;
d.

Perusahaan dengan modal bersama antara Negara/Perusahaan di satu pihak dengan Daerah Tingkat I dan/atau Daerah Tingkat II atau Perusahaan Daerah di pihak lain;

e.

Perusahaan dengan modal bersama antara Negara/Perusahaan Negara dan/atau Daerah/Perusahaan Daerah di satu pihak dengan Badan dan/atau Perseorangan Swasta di pihak lain.

(3)

Perusahaan yang dimaksud dalam ayat (2) huruf e pasal ini harus berbentuk Badan hukum dengan ketentuan bahwa Badan dan/atau Perseorangan Swasta yang ikut dalam perusahaan itu harus memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1).

Pasal 10.
(1)

Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan.

(2)

Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara harus berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri.

(3)

Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah disahkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a sepanjang mengenai bahan galian yang ditentukan dalam pasal 13 Undang-undang ini dan/atau yang perjanjian karyanya berbentuk penanaman modal asing.

Pasal 11. 
Pertambangan Rakyat. 
(1)

Pertambangan Rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun Negara di bidang pertambangan dengan bimbingan Pemerintah.

(2)

Pertambangan Rakyat hanya dilakukan oleh Rakyat setempat yang memegang Kuasa Pertambangan (izin) Pertambangan Rakyat.

(3)

Ketentuan-ketentuan mengenai Pertambangan Rakyat dan cara serta syarat-syarat untuk memperoleh Kuasa Pertambangan (Izin) Pertambangan Rakyat diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 12. 
(1)

Kuasa Pertambangan untuk pelaksanaan usaha pertambangan bahan-bahan galian yang tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada:

a. Badan Hukum Kopersi.
b.

Badan Hukum Swasta yang didirikan sesuai dengan peraturan-peraturan Republik Indonesia  bertempat kedudukan di Indonesia dan bertujuan berusaha dalam lapangan pertambangan dan pengurusnya mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia.

c. Perseorangan yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia. 
(2)

Khusus untuk usaha eksploitasi, sebelum diberikan kuasa pertambangan kepada pihak termaksud dalam ayat (1) pasal ini, haruslah didengar lebih dahulu pendapat dari suatu Dewan Pertambangan, yang pembentukan dan penentuan susunannya akan diatur oleh Pemerintah.

Pasal 13.

Dengan Undang-undang ditentukan bahan-bahan galian yang harus diusahakan semata-mata oleh Negara dan cara melaksanakan usaha tersebut.

BAB IV.
USAHA PERTAMBANGAN.

Pasal 14.

Usaha pertambangan bahan-bahan galian dapat meliputi:
a. penyelidikan umum.
b. eksplorasi;
c. eksploitasi;
d. pengolahan danpemumian;
e. pengangkutan;
f. penjualan.
BAB V.
KUASA PERTAMBANGAN.
Pasal 15.
(1)

Usaha pertambangan termaksud dalam pasal 14 hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau perseorangan yang tersebut dalam pasal 6, 7, 8 dan 9 apabila kepadanya telah diberikan kuasa pertambangan.

(2)

Ketentuan-ketentuan tentang isi, wewenang, luas wilayah dan syarat-syarat kuasa pertambangan serta kemungkinan pemberian jasa penemuan bahan galian baik langsung oleh Pemerintah maupun dalam rangka pemberian kuasa pertambangan, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3)

Kuasa pertambangan diberikan dengan Keputusan Menteri . Dalam Keputusan Menteri itu  dapat diberikan ketentuan-ketentuan khusus disamping apa yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah yang termaksud dalam ayat (2) pasal ini.

(4)

Kuasa pertambangan dapat dipindahkan kepada perusahaan atau perseorangan lain bilamana memenuhi ketentuan-ketentuan dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan 12 dengan persetujuan Menteri.

Pasal 16.
(1)

Dalam melakukan pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan, maka Pertambangan Rakyat yang telah ada tidak boleh diganggu, kecuali bilamana Menteri menetapkan lain demi kepentingan Negara.

(2)

Pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan tidak boleh dilakukan di wilayah yang tertutup untuk kepentingan umum dan pada lapangan sekitar lapangan-lapangan dan bangunan-bangunan pertahanan.

(3) Wilayah pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan tidak meliputi:
a.

tempat-tempat kuburan, tempat-tempat yang dianggap suci, pekerjaan-pekerjaan umum, misalnya jalan-jalan umum, jalan kereta api, saluran air, listrik, gas dan sebagainya.

b. tempat-tempat pekerjaan usaha pertambangan lain;
c.

bangunan-bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-pabrik beserta tanah-tanah pekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin yang berkepentingan.

(4)

Dalam hal dianggap sangat perlu untuk kepentingan pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan, pemindahan sebagaimana termaksud dalam ayat (3) pasal ini dapat dilakukan atas beban pemegang kuasa pertambangan dan setelah diperoleh izin dari yang berwajib.

B A B VI.
CARA DAN SYARAT-SYARAT BAGAIMANA MEMPEROLEH

 KUASA PERTAMBANGAN.

Pasal 17.

(1) Permintaan untuk memperoleh kuasa pertambangan diajukan kepada Menteri.
(2)

Dengan Keputusan Menteri diatur cara mengajukan permintaan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, begitu pula syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh peminta, apabila belum ditentukan dalam Peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 15 ayat (2)

Pasal 18. 

Permintaan kuasa pertambangan hanya dipertimbangkan oleh Menteri setelah peminta membuktikan kesanggupan dan kemampuannya terhadap usaha pertambangan yang akan dijalankan.

Pasal 19. 

Dengan mengajukan permintaan kuasa pertambangan, maka peminta dengan sendirinya menyatakan telah memilih domisili pada Pengadilan Negeri yang berkedudukan di dalam Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

BAB VII
BERAKHIRNYA KUASA PERTAMBANGAN.

Pasal 20.

Kuasa pertambangan berakhir:
a. Karena dikembalikan;
b. Karena dibatalkan;
c. Karena habis waktunya.
Pasal 21.
(1)

Pemegang kuasa pertambangan dapat menyerahkan kembali kuasa pertambangannya dengan pernyataan tertulis kepada Menteri.

(2)

Pernyataan tertulis yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini disertai dengan alasan-alasannya yang cukup apa sebabnya pernyataan itu disampaikan.

(3) Pengembalian kuasa pertambangan dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri.
Pasal 22.
(1) Kuasa pertambangan dapat dibatalkan dengan keputusan Menteri: 
a.

apabila pemegang kuasa pertambangan tidak memenuh] syarat-syarat yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) atau yang ditentukan dalam Keputusan Menteri yang tersebut dalam pasal 15 ayat (3);

b.

jikalau pemegang kuasa pertambangan ingkar menjalankan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pihak yang berwajib untuk kepentingan Negara.

(2)

Kuasa pertambangan dapat dibatalkan dengan Keputusan Menteri untuk kepentingan Negara.

Pasal 23.

Apabila waktu yang ditentukan dalam suatu kuasa pertambangan telah berakhir, sedangkan untuk kuasa pertambangan tersebut tidak diberikan perpanjangan maka kuasa pertambangan tersebut berakhir menurut hukum.

Pasal 24.

(1)

 Jika Kuasa pertambangan berakhir karena hal-hal termaksud dalam pasal 21, 22 ayat (1) dan pasal 23, maka:

a.

segala beban yang diberatkan kepada kuasa pertambangan batal menurut hukum;

b. Wilayah kuasa pertambangan kembali kepada kekuasaan Negara.
c.

segala sesuatu yang diperlukan untuk pengamanan bangunan-bangunan tambang dan kelanjutan pengambilan baban-bahan galian menjadi hak Negara tanpa penggantian kerugian kepada pemegang kuasa pertambangan;

d.

perusahaan atau perseorangan yang memegang kuasa pertambangan itu diharuskan menyerahkan semua klise dan bahan-bahan peta, gambar-gambar ukuran tanah dan sebagainya yang bersangkutan dengan usaha pertambangan kepada Menteri dengan tidak menerima ganti kerugian.

(2)

Menyimpang dari bunyi ayat (1) pasal ini, maka bilamana kuasa pertambangan dibatalkan untuk kepentingan Negara, maka kepadanya diberi ganti kerugian yang wajar.

(3)

Menteri menetapkan waktu dalam mana pemegang kuasa pertambangan terakhir diberi kesempatan untuk mengangkat segala sesuatu yang menjadi hak miliknya. Segala sesuatu yang belum diangkat dalam waktu tersebut menjadi milik Negara.

BAB VIII
HUBUNGAN KUASA PERTAMBANGAN DENGAN

HAK-HAK TANAH.

Pasal 25.

(1)

Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun di luarnya, dengan tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih dahulu.

(2)

Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha dari dua pemegang kuasa pertambangan atau lebih, dibebankan kepada mereka bersama.

Pasal 26.

Apabila telah didapat izin pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya:

a.

sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa pertambangan atau salinannya yang sah, diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaan-pekerjaan itu akan dilakukan;

b.

diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu.

Pasal 27.
(1)

Apakah telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak diberikan ganti rugi yang jumlahnya ditentukan benama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk pengantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan.

(2)

 Jika yang bersangkutan tidak dapat mencapai kata mufakat tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, maka penentuannya diserahkan kepada Menteri.

(3)

Jika yang benangkutan tidak dapat menerima penentuan Menteri tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, maka penentuannya diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah/wilayah yang bersangkutan.

(4)

Ganti rugi yang dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) pasal ini beserta segala biaya yang berhubungan dengan itu dibebankan kepada pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan.

(5)

Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah, maka atas sebidang tanah tersebut atau bagian-bagiannya tidak dapat di beri hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.

BAB IX.
PUNGUTAN-PUNGUTAN NEGARA.

Pasal 28.

(1)

Pemegang kuasa pertambangan membayar kepada Negara iuran tetap, iuran eksplorasi dan/atau eksploitasi dan/atau pembayaran-pembayaran yang berhubungan dengan kuasa pertambangan yang bersangkutan.

(2)

Pungutan-pungutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(3)

Kepada Daerah I Tingkat I dan II diberikan bagian dari pungutan-pungutan Negara tersebut, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X.
PENGAWASAN PERTAMBANGAN.
Pasal 29.
(1)

Tata-usaha, pengawasan pekerjaan usaha pertambangan dan pengawasan hasil pertambangan dipusatkan kepada Menteri dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

(2)

Pengawasan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini  terutama meliputi keselamatan kerja, pengawasan produksi dan kegiatan lainnya dalam pertambangan yang menyangkut kepentingan umum.

Pasal 30.

Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian ada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya.

B A B XI.
KETENTUAN-KETENTUAN PIDANA.

Pasal 31.

(1)

Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah, barangsiapa yang tidak mempunyai kuasa pertambangan melakukan usaha pertambangan seperti dimaksud dalam pasal 14 dan 15.

(2)

Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah, barangsiapa yang melakukan usaha pertambangan sebelum memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap yang berhak atas tanah menurut Undang-undang ini.

Pasal 32.
(1)

Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima ribu  rupiah, barangsiapa yang tidak berhak atas tanah merintangi atau mengganggu usaha pertambangan yang sah.

(2)

Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah, barangsiapa yang berhak atas tanah merintangi atau mengganggu usaha pertambangan yang sah, setelah pemegang kuasa pertambangan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 26 dan 27 Undang-undang ini.

Pasal 33. 

Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah:

a.

Pemegang kuasa pertambangan yang tidak memenuhi atau tidak melaksanakan syarat-syarat yang berlaku menurut Undang-undang ini dan/atau Undang-undang termaksud dalam pasal 13 atau Peraturan Pemerintah dan/atau Surat Keputusan Menteri yang diberikan berdasarkan Undang-undang ini dan/atau Undang-undang termaksud dalam pasal 13.

b.

Pemegang kuasa pertambangan yang tidak melakukan perintah-perintah dan/atau petunjuk-petunjuk yang berwajib berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 34.

(1)

Jikalau pemegang kuasa pertambangan atau wakilnya adalah suatu perseoran, maka hukuman termaksud pasal 31, 32 dan 33 dijatuhkan kepada para anggota pengurus.

(2)

Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) adalah kejahatan dan perbuatan-perbuatan lainnya adalah pelanggaran.

BAB XII.
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP.

Pasal 35.

(1)

Semua hak pertambangan dan kuasa pertambangan perusahaan Negara, perusahaan swasta, badan lain atau perseorangan yang diperoleh berdasarkan peraturan yang ada sebelum saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dapat dijalankan sampai sejauh masa berlakunya, kecuali ada penetapan lain menurut Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berdasarkan kepada Undang-undang ini.

(2)

Sebelum penetapan menurut Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam ayat (1) diatas dikeluarkan, pemegang-pemegang hak dan kuasa pertambangan tersebut harus menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang ini.

Pasal 36. 
(1) Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan eara pengusahaan pertambangan oleh perusahaan negara, perusahaan swasta, badan lain atau perseorangan yang tersebut dalam pasal 35 ayat diatas serta peraturan perundang-undangan lainnya yang masih berlaku pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini tetap berlaku selama belum ada ketentuan-ketentuan pengganti berdasarkan Undang¬undang ini. 
(2)  Semua peraturan perundang-undangan yang bersumber kepada Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 yang masih ber¬laku pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak disebut, dirubah atau ditambah berdasar¬kan Undang-undang ini.

Pasal37.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dan disebut Undang-undang Pokok Pertambangan.
 
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, . memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
 
pada tanggal 2 Desember 1967
Pd. Presiden Republik Indonesia,
Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal2 Desember 1967
Sekretaris Kabinet Ampera,
SOEHARTO Jenderal TNI.
SUDHARMONO S.H.
Brig. Jen. TN!.