DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


LEMBARAN-NEGARA
REPUBLIK - INDONESIA
---------------------------------------------------------------------------------------

    
No.21,1969. PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.12 tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan
( PERSERO) ( Pejelasan dalam Tambahan Lembaran- Negara
No. 2894).


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang : bahwa dipandang perlu untuk segera mengeluarkan peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 tahun 1969 (Lembaran - Negara Republik Indonesia tahun 1969 No.16, Tambahan Lembaran- Negara Republik Indonesia No.2890);
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (IC.W.Stbl.1925 : 448) Sebagaimana beberapa kali telah diubah dan ditambah;
3. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Stbl. 1847 : 23) sebagaimana beberapa kali telah diubah dan ditambah;
4. Undang-undang No.19 Prp.tahun 1960 (Lembaran-Negara Republik Indonesia tahun
1960 No.59,Tambahan Lembaran-Negara Republik Indonesia No.1989);
5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 tahun 1969 (lembaran-Negara Republik Indonesia tahun 1969 No.16, Tambahan Lembaran-Negara Republik Indonesia No.2890);


M e m u t u s k a n :

Menetapkan :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Perusahaan
Perseroaan (Persero).


B A B I.

PENYERTAAN MODAL NEGARA.

Pasal 1.

Negara hanya dapat melakukan penyertaan modal dalam sesuatu perseroan terbatas,
untuk seluruhnya atau sebagainya, apabila untuk itu telah disediakan modal dari negara berdasarkan ketentuan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Pasal 2.

(1) Keputusan untuk melakukan setiap penyertaan modal dalam sesuatu perseroan terbatas sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Peraturan Pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memuat ketentuan-ketentuan tentang maksud dari penyertaan modal tersebut dan besarnya kekayaan Negara yang dipisahkan untuk penyertaan modal yang bersangkutan.



Pasal 3.

Menteri Keuangan ditunjuk untuk mewakili Negara selaku pemegang saham dari
setiap penyertaan modal Negara sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1 Peraturan
Pemerintah ini.



Pasal 4.

Pelaksanaan dari penyertaan modal sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal1 Peraturan Pemerintah ini,dilakukan menurut ketentuan-ketentuan tentang perseroan terbatas
yang termaktub dalam Kitab undang-undang Hukum Dagang dengan memperhatikan ketentuan - ketentuan dalam pasal-pasal 5 sampai dengan pasal 11 Peraturan Pemerintah ini.



Pasal 5.

Dalam penyelesaian pendirian PERSERO di muka Notaris,maka Menteri Keuangan dapat menyerahkan kekuasaan untuk mewakili Negara disertai hak subsitusi kepada Menteri yang bidangnya sesuai dengan tujuan dan lapangan usaha PERSERO tersebut dengan ketentuan bahwa rancangan Anggaran Dasar PERSERO yang bersangkutan harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan.



Pasal 6.

Dalam hal modal PERSERO untuk seluruhnya merupakan milik Negara maka ditunjuk
seseorang untuk ikut serta mendirikan PERSERO.



Pasal 7.

(1) Modal PERSERO terbagi atas saham-saham prioritas dan biasa dengan tidak mengurangai hal kemungkinan pengeluaran jenis saham lainnya.
(2) Dalam tidak seluruh saham dikuasai oleh Negara,maka jumlah saham prioritas yang dimiliki oleh Negara akan ditentukan libih lanjut menurut sifat dari bidang usaha PERSERO yang bersangkutan.



Pasal 8.

Dividen yang menjadi hak Negara sebagai pemegang saham harus disetorkan ke Kas Umum Negara segera setelah diadakan penentuan pembagian dividen.



Pasal 9.

(1) Dalam hal modal PERSERO seluruhnya merupakan milik Negara, maka pengangkatan anggota Direksi dan Komisaris dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku pemegang saham berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. pengangkatan anggota Direksi dilakukan atas usul Menteri yang bidangnya sesuai dengan tujuan dan lapangan usaha PERSERO tersebut;
b. pengangkatan anggota Komisaris dilakukan setelah mendengar pertimbangan dari
Menteri yang bidangnya sesuai dengan tujuan dan lapangan usaha PERSERO tersebut.
(2) Dalam hal Negara hanya memiliki sebagian dari modal PERSERO, maka pencalonan anggota Direksi dan Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku pemegang saham Priorittas yang menjadi haknya berdasarkan ketentuan- ketentuan sebagai berikut :
a. pencalonan anggota Direksi dilakukan atas usul Menteri yang bidangnya sesuai dengan tujuan dan lapangan usaha PERSERO tersebut;
b. pencalonan anggota Komisaris dilakukan setelah mendengar pertimbangan dari Menteri yang bidangnya sesuai dengan tujuan dan lapangan usaha PERSERO tersebut.



Pasal 10.

Dalam Rapat Umum Pemegang Saham wewenang Menteri Keuangan selaku pemegang saham dapat dikuasakan kepada Menteri yang bidangnya sesuai dengan tujuan dan lapangan usaha PERSERO tersebut atau kepada pejabat lainnya.



Pasal 11.

Dalam hal PERSERO dibubarkan,maka hasil likwidasi yang menjadi hak Negara selaku pemegang saham harus disetorkan ke Kas Umum Negara.



B A B II.
PENATA-USAHAAN.

Pasal 12.

Menteri Keuangan menyelenggarakan penata-usahaan pemilikan atas setiap penyertaan modal Negara termaksud pada pasal 1 Peraturan Pemerintah ini dan penyertaan-penyertaan lainnya yang dilakukan oleh PERSERO.



Pasal 13.

Penyelenggaraan penata-usahaan tersebut pada pasal 12 Peraturan Pemerintah ini dilakukan oleh sebuah Direktorat di lingkungan Direktorat Jenderal Keuangan, Departemen Keuangan, yang akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.



B A B III.
PENGALIHAN BENTUK PERUSAHAAN NEGARA
MENJADI PERSERO.

Pasal 14.

(1) Perusahaan Negara yang akan dialihkan bentuknya menjadi PERSERO sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1969 harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini :
a. Telah melakukan penyehatan sedemikian rupa sehingga perbandingan antara faktor-faktor produksi menunjukan perbandingan yang rasional.
b. Telah menyusun neraca dan perkiraan laba/rugi sampai dengan saat dijadikannya sebagai PERSERO dengan ketentuan bahwa neraca penutupan /likwidasinya diperiksa oleh Direktorat Akuntan Negara dan disahkan oleh Menteri yang bersangkutan.
c. Telah melunasi semua hutang-hutangnya kepada Kas Umum Negara.
d. Ada harapan baik untuk mengembangkan usahanya tanpa rugi.
(2) Neraca pembukaan dari PERSERO sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3) Dalam hal pengalihan bentuk sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini, demi kelancaran usahaperusahaan selanjutnya perlu dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya, sehingga tidak memungkinkan terpenuhinya persyaratan tersebut pada ayat (1) huruf b dan c pasal ini,makakewajiban untuk memenuhi peryaratan tersebut di atas dapat ditunda sampai selambat-lambatnya pada akhir tahun 1969.
(4) Penundaan kewajiban tersebut ayat (3) pasal ini dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan negara yang bersangkutan menjadi PERSERO.



B A B IV.
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 15.

(1) Perseroan terbatas yang modal sahamnya baik untuk seluruhnya maupun sebagiannya merupakan milik Negara yang pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah berdiri, dinyatakan termasuk dalam PERSERO setelah melalui penelitian yang dilakukan oleh Menteri Keuangan.
(2) Penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan Peraturan pemerintah ini bagi perseroan terbatas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini,diselesaikan selambat-lambatnya akhir tahun1969.



B A B V.
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 16.

Hal-hal belum cukup diatur dalam eraturan Pemerintah ini akan diatur
tersendiri.



Pasal 17.

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam lembaran-Negara Republik Indonesia.

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Mei 1969.
Sekretaris Negara Republik Indonesia,


ALAMSJAH
Mayor Jenderal T.N.I.





T A M B A H A N
L E M B A R A N - N E G A R A. R.I.
-----------------------------------------------------------------------------------------

   
No. 2894.
     
PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO).
Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No.12 tahun 1969 tentang perusahaan Perseroan (Persero).


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1969

TENTANG
PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO).


PENJELASAN UMUM :

Dengan telah diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1969 (Lembaran-Negara Republik Indonesia tahun 1969 Nomor 16.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2890) tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara, perlulah dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1969 tersebut.
Peraturan Pemerintah ini tidaklah dimaksudkan untuk dijadikan suatu peraturan perundang-undangan sui generasi bagi perusahaan Perseroaan (Persero) di samping ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Stbl 1847;23), sebab ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini didasarkan atas ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang tersebut.
Dalam Peraturan Pemerintah ini ditetapkan bahwa unsur pemilikan Negara atas setiap usaha Negara yang berbentuk Persero disentralisir penata- usahaannya kepada Menteri Keuangan.Hal ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa pada hakekatnya fungsi utama dari Persero ialah pemupukan dana bagi Negara ataupun sebagai alat untuk mencari sumber keuangan Negara. Dalam hubungan inimasalah penanaman kekayaan Negara dalam modal Persero sangat erat hubungannya dengan kebijaksanaan Keuangan Negara, kebijaksanaan mana dalam keseluruhannya merupakan tugas dari Menteri Keuangan.
Berdasarkan Pertimbangan,bahwa penanaman kekayaan Negara dalam modal Persero bertujuan untuk memupuk dana bagi Negara, maka sebagai suatu syarat utama yang harus diperhatikan dalam hal ini ialah,bahwa pernyataan modal tersebut hanya akan dilakukan oleh Negara,jika menurut perkiraan Persero tersebut dapat memberikan keuntungan bagi Kas Umum Negara.
Berhasil tidaknya sesuatu Persero untuk memenuhi fungsi utamanya termaksud di atas antara lain sangat tergantung dari pengurusan yang dilakukan oleh Direksi dari Persero yang bersangkutan. Dalam hubungan ini tentulah merupakan suatu keharusan,bahwa anggauta Direksi yang diangkat itu mempunyai keahlian/pengetahuan tehnis yang sesuai dengan bidang usaha dari Persero tersebut,sesuai dengan hal ini,maka baik pengangkatan anggota Direksi(dalam hal modal Persero seluruhnya merupakan milik Negara) ataupun pencalonan anggota Direksi kepada Rapat Umum Pemegang Saham(dalam hal Negara hanya memiliki sebagian modal Persero) dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku pemegang saham didasarkan atas usul dari Menteri yang bidangnya sesuai dengan tujuan dan lapangan usaha Persero tersebut (Menteri bidang tehnis).
Ketentuan yang sedemikian akan dapat pula menjamin tercapainya keserasian antara pengurusan Persero yang harus dilakukan oleh Direksinya dan bimbingan yang harus diberikan oleh Menteri bidang tehnis yang bersangkutan terhadap Persero tersebut.


PENJELASAN PASAL DEMI PASAL :


Pasal 1.

Pada dasarnya pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan penyertaan Negara dalam modal Persero hanya dapat dilakukan melalui (Undang-undang) Anggaran Belanja dan
Pendapatan Negara.
Pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan modal nominal dari suatu Persero dapat dilakukan untuk maksud-maksud sebagai berikut :
-
-
-


-
pendirian suatu Persero baru;
perluasan kapasitas sesuatu Persero;
untuk memperbaiki atau mengadakan reorganisasi keuangan sesuatu Persero yang ternyata mengalami kerugian terus atau yang struktur keuangannya telah memburuk sedemikian rupa, hingga tidak memungkinkan pengurusan yang baik tanpa penambahan modal.
turut sertanya Negara dalam modal perseroan terbatas(swata) yang telah berdiri.



Pasal 2.

Ayat (1): Karena anggaran yang telah disediakan dalam (Undang-undang) Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara tahun fiskal yang bersangkutan belum teperinci penggunaannya untuk maksud-maksud tersebut dalam Penjelasan dari pasal 1 di atas, maka keputusan untuk melakukan setiap penyertaan modal ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan ketentuan ini akan dapat pula dilakukan pengawasan (preventif) oleh Pemerintah terhadap maksud penyertaan modal dalam sesuatu Persero.
Ayat (2): Cukup jelas.



Pasal 3.
Lihat Penjelasan Umum.


Pasal 4.
Lihat Penjelasan Umum.


Pasal 5.
Cukup jelas.


Pasal 6.

Didasarkan atas ketentuan bahwa perseroan terbatas adalah merupakan suatu
asosiasi modal.



Pasal 7.

Ayat (1): Cukup jelas.
Ayat (2): Sejauhmana intensitas pengusaan Negara atas sesuatu Persero yang modalnya hanya sebagian merupakan milik Negara ditentukan dari jumlah saham prioritas yang dimiliki
oleh Negara.



Pasal 8.
Cukup jelas.


Pasal 9.

Ayat (1): Tentang Direksi lihat Penjelasan Umum.Khusus mengenai pengangkatan Komisaris, cukup dilakukan setelah mendengar pertimbangan Menteri bidang tehnis yang bersangkutan, halmana didasarkan atas pertimbangan,bahwa Menteri Keuangan selaku pemegang saham perlu diberi wewenang penuh untuk melaksanakan pengawasan secara intensip.
Ayat (2): Lihat Penjelasan Ayat (1) pasal ini.
Pengangkatan Direksi dan Komisaris dalam hal Persero yang sedemikian ini
merupakan wewenang dari Rapat Umum Pemegang Saham.



Pasal 10.
Cukup jelas.


Pasal 11.
Cukup jelas.


Pasal 12.
Cukup jelas.


Pasal 13.
Cukup jelas.


Pasal 14.

Ayat (1) : Maksud syarat ini ialah agar usaha Negara yang bersangkutan mempunyai dasar bergerak yang sehat dan untuk dapat mengetahui nilai sesunguhnya dari pada kekayaan Negara yang telah ditanam dalam badan-usaha yang bersangkutan.
Ayat (2) : Ketentuan ini berlaku bagi Persero(pengganti Perusahaan Negarayang bersangkutan) yang modalnya seluruhnya dimiliki oleh Negara.Jika Persero tersebut tidak seluruh modalnya dimiliki oleh Negara,maka nilai dari kekayaan bersih Perusahaan Negara yang bersangkutan, yang akan merupakan penyertaan Negara dalam modal Persero tersebut, ditentukan juga oleh Menteri Keuangan.

    Ayat (3): Cukup jelas.
    Ayat (4): Cukup jelas.



Pasal 15.
Ayat (1): Cukup jelas.
Ayat (2): Cukup jelas.


Pasal 16.
Cukup jelas.


Pasal 17.
Cukup jelas.


*********