KETETAPAN

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : I/MPR/1983

TENTANG

PERATURAN TATA TERTIB

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945;
b. bahwa Majelis berpendapat, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No: I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib perlu disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan yang ada;
c. bahwa oleh karena itu demi kemantapan tata susunan dan tata laksana Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam rangka penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis konstitusional berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, perlu adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mengatur Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (2), pasal 3, pasal 6 ayat (2) dan pasal 37 Undang-undang Dasar 1945;
2. Keputusan MPR-RI No: I/MPR/1982 tentang Peraturan Tata Tertib Sementara;
3. Keputusan-keputusan MPR-RI No: II/MPR/1982, No: III/MPR/1982, No: IV/MPR/1982 dan No:V/MPR/1982.
Memperhatikan : 1. Permusyawaratan dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat bulan Maret 1983 yang membahas Rancangan Ketetapan tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat yang telah dipersiapkan oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2. Putusan Rapat Paripurna ke-2 tanggal 1 Maret 1983 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat bulan Maret 1983.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN TATA TERTIB MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dimaksud dalam Peraturan Tata Tertib ini ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang selanjutnya disebut Majelis.
(2) Majelis melakukan tugasnya berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
(3) Anggota-anggota Majelis adalah Wakil-wakil Rakyat sebagai yang dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang selanjutnya disebut Anggota.

BAB II

KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG MAJELIS

Pasal 2

      Majelis adalah penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia dan merupakan Lembaga Tertinggi Negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya Kedaulatan Rakyat.

Pasal 3

      Majelis mempunyai tugas :

a. Menetapkan Undang-Undang Dasar.
b. Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara
c. Memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden

Pasal 4

    Majelis mempunyai wewenag :

a. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh Lembaga Negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
b. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.
c. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
d. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
e. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/Mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
f. Mengubah Undang-Undang Dasar.
g. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
h. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh Anggota.
i. Mengambil/memberi keputusan terhadap Anggota yang melanggar sumpah/janji Anggota.

BAB III

KEANGGOTAAN, HAK, KEKEBALAN DAN

TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP ANGGOTA

KEANGGOTAAN MAJELIS

Pasal 5

      Anggota adalah pengemban dan pengutara yang berbudi pekerti luhur dari cita-cita moral Pancasila serta setia kepada Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan Revolusi Kemerdekaan Bangsa Indonesia untuk mengemban Amanat Penderitaan Rakyat.

Pasal 6

(1) Untuk dapat menjadi Anggota harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Dapat berbahasa Indonesia dan cakap menulis serta membaca huruf latin serta berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Lanjutan Pertama atau yang berpengetahuan sederajat dan berpengalaman di bidang kemasyarakatan dan atau kenegaraan.
c. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan seseorang yang terlibat langsung atau tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G-30-S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya.
d. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan Keputusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi.
e. Tidak sedang menjalani pidana penjara atau kurungan berdasarkan Keputusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang dikenakan ancaman hukuman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
f. Nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.
(2) Anggota harus bertempat tinggal di dalam wilayah Republik Indonesia.
(3) Keanggotaan Majelis diresmikan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 7

     Anggota Majelis berakhir keanggotaannya pada hari Anggota Majelis yang baru diambil sumpah/janjinya.

Pasal 8

(1). Anggota berhenti antar waktu sebagai Anggota karena:
a. Meninggal dunia
b. Atas permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan Majelis.
c. Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia
d. Berhenti sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
e. Tidak memenuhi lagi syarat-syarat tersebut dalam pasal 6 berdasarkan keterangan yang berwajib.
f. Dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai Anggota Majelis dengan Keputusan Majelis.
g. Diganti menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
h. Terkena larangan perangkapan jabatan menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku
(2). Anggota yang berhenti antar waktu menurut ayat (1) tempatnya diisi oleh:
a. Calon dari organisasi yang bersangkutan.
b. Calon dari pejabat, baik atas usul instansi/organisasi yang bersangkutan, maupun atas prakarsa pejabat itu.
(3). Anggota yang menggantikan antar waktu Anggota lama, berhenti sebagai Anggota pada saat Anggota yang digantikannya itu seharusnya meletakkan jabatannya.
(4). Anggota diberhentikan dengan tidak hormat apabila tidak memenuhi lagi syarat pasal 6 ayat (1) huruf c, d dan karena alasan tersebut dalam pasal 8 ayat (1) huruf f.
(5). Pemberhentian Anggota diresmikan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 9

(1). Sebelum memangku jabatannya Anggota Majelis diambil sumpah/janjinya bersama-sama oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Rapat Paripurna untuk Peresmian Anggota Majelis yang dihadiri oleh anggota-anggota yang sudah ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dipimpin oleh anggota yang tertua dan termuda usianya.
(2). Ketua Majelis atau Anggota Pimpinan lainnya mengambil sumpah/janji Anggota Majelis yang belum diambil sumpah/janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung menurut ayat (1).
(3). Bunyi sumpah/janji yang dimaksud ayat (1) dan (2) pasal ini disesuaikan dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

HAK-HAK ANGGOTA

Pasal 10

(1). Setiap Anggota berhak mengikuti semua kegiatan Majelis.
(2). Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Anggota, setiap Anggota mempunyai:
a. Hak suara.
b. Hak bicara dan mengeluarkan pendapat.
c. Hak usul dan menyokong usul perubahan terhadap rancangan Ketetapan/Keputusan Majelis.
d. Hak menilai kebijaksanaan Presiden/Mandataris pada Sidang Umum/Sidang Istimewa.
e. Hak mencalonkan dan memilih Presiden dan Wakil Presiden.
(3). Hak Keuangan/administratif dan Kedudukan Protokoler Anggota/Pimpinan Majelis diatur dengan dan atau berdasarkan Undang-undang.

KEKEBALAN ANGGOTA

Pasal 11

     Anggota tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan-pernyataan yang dikemukakan dalam rapat-rapat Majelis baik terbuka maupun tetutup, baik yang diajukan secara lisan atau tertulis kepada Pimpinan Majelis atau kepada Pemerintah, kecuali jika mereka mengumumkan apa yang disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan arau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan-ketentuan mengenai pengumuman rahasia Negara dalam Buku Kedua Bab I KUHP.

TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP ANGGOTA

Pasal 12

(1). Yang dimaksud dengan tindakan Kepolisian ialah:
a. Pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana.
b. Meminta keterangan tentang tindak pidana
c. Penangkapan.
d. Penahanan.
e. Penggeledahan.
f. Penyitaan
(2). Untuk pelaksanaan tindakan Kepolisian terhadap Anggota/Pimpinan Majelis diperlakukan Undang-undang yang berlaku.

BAB IV

FRAKSI-FRAKSI MAJELIS

Pasal 13

(1). Fraksi Majelis adalah pengelompokan Anggota yang mencerminkan konstelasi Politik dan pengelompokan fungsional dalam masyarakat.
(2). Fraksi-fraksi dalam Majelis terdiri dari :
a. Fraksi ABRI.
b. Fraksi Karya Pembangunan.
c. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia.
d. Fraksi Persatuan Pembangunan.
e. Fraksi Utusan Daerah                                                                                                   

Pasal 14

     Fraksi dibentuk untuk meningkatkan daya guna kerja Majelis dan Anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai Wakil Rakyat.

Pasal 15

     Tiap anggota wajib bergabung dalam salah satu Fraksi yang ada dalam Majelis.

Pasal 16

     Segala sesuatu tentang pengaturan intern Fraksi menjadi urusan sepenuhnya dari masing-masing Fraksi.

Pasal 17

     Dalam masa sidang, Majelis menyediakan sarana bagi kelancaran tugas Fraksi.

BAB V

ALAT-ALAT KELENGKAPAN MAJELIS

Pasal 18

     Alat-alat Kelengkapan Majelis disusun menurut pengelompokan kegiatan dalam rangka pelaksanaan tugas Majelis.

Pasal 19

     Majelis mempunyai Alat-alat Kelengkapan sebagai berikut :

a.  Pimpinan Majelis.

b.  Badan Pekerja Majelis.

c.  Komisi Majelis.

d.  Panitia Ad Hoc Majelis.

BAB VI

PIMPINAN MAJELIS

KETENTUAN UMUM

Pasal 20

     Pimpinan Majelis merupakan satu kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif.

Pasal 21

     Pimpinan Majelis terdiri dari seorang Ketua dan beberapa orang Wakil Ketua, yang mencerminkan Fraksi-Fraksi yang ada.

Pasal 22

     Masa jabatan Pimpinan Majelis sama dengan masa jabatan keanggotaan Majelis, seperti yang dimaksud dalam pasal 7 Peraturan Tata Tertib ini.

Pasal 23

(1). Selama Pimpinan Majelis belum terpilih, maka rapat-rapat Majelis untuk sementara waktu dipimpin oleh Anggota yang tertua usianya dan Anggota yang termuda usianya, yang disebut Pimpinan Sementara.
(2). Dalam hal Anggota yang tertua usianya dan atau Anggota yang termuda usianya tersebut ayat (1) berhalangan hadir, maka yang bersangkutan diganti oleh Anggota yang tertua dan atau termuda usianya di antara yang hadir dalam Rapat tersebut.

TATA-CARA PEMILIHAN PIMPINAN MAJELIS

Pasal 24

     Pemilihan Pimpinan Majelis diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah untuk mufakat, sehingga merupakan putusan bulat.

Pasal 25

     Apabila putusan secara bulat tidak tercapai, pemilihan itu dilakukan dengan cara putusan berdasarkan suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 26

     Pimpinan Majelis dipilih oleh dan dari Anggota.

Pasal 27

     Anggota yang menjabat Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dipilih menjabat Pimpinan Majelis dengan komposisi yang sama.

Pasal 28

     Komposisi Pimpinan Majelis tersebut di atas ditambah dengan seorang Wakil Ketua yang dipilih dari unsur Utusan Daerah.

Pasal 29

     Calon Wakil Ketua yang berasal dari unsur Utusan Daerah harus diusulkan oleh sedikit-dikitnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota.

Pasal 30

     Usul tersebut dalam pasal 29 disampaikan kepada Pimpinan Sementara secara tertuli dengan disertai daftar tanda tangan pengusul.

Pasal 31

     Kepada para pengusul diberi kesempatan untuk mengemukakan penjelasan atas usulnya melalui juru bicara masing-masing.

Pasal 32

     Berdasarkan pertimbangan jumalh penanda tangan usul yang masuk, Pimpinan Sementara Majelis menetapkan salah satu cara:

(1). Jika jumlah tanda tangan terhadap satu usul atau usul-usul yang sama isinya melampaui jumlah suara terbanyak, sebagai upaya mencapai musyawarah untuk mufakat, Pimpinan Sementara menanyakan pendapat para Anggota yang tidak menandatangani usul atau usul-usul yang sama isinya itu, baik secara perorangan maupun melalui kelompok, maka berdasarkan pendapat itu Pimpinan Sementara menetapkan jenis usul dengan dukungan suara terbanyak termaksud di atas menjadi putusan Majelis.
(2). Jika jumlah pendukung terhadap satu jenis usul mencapai jumlah suara seperti termaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, diadakan pemungutan suara secara rahasia.

Pasal 33

(1). Sebelum memangku jabatannya, Pimpinan Majelis diambil sumaph/janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung menurut ketentuan pasal 9 Peraturan Tata Tertib ini.
(2). Apabila Pimpinan Majelis sudah diambil sumpah/janjinya, maka Pimpinan Sementara menyerahkan Pimpinan kepada Pimpinan Majelis yang terpilih.

PENGISIAN LOWONGAN KETUA/WAKIL KETUA MAJELIS

Pasal 34

(1). Dalam hal Wakil ketua Majelis yang berasal dari unsur Utusan Daerah berhalangan tetap di luar masa Sidang, maka Fraksi Utusan Daerah mengusulkan salah seorang dari unsur Utusan Daerah untuk disetujui oleh Pimpinan Majelis dan ditetapkan dengan Keputusan Majelis menjadi Wakil Ketua Majelis setelah mendengar pertimbangan dari Fraksi-Fraksi dan diberitahukan kepada Anggota melalui Fraksi-Fraksi.  Apabila ada Sidang Umum/Sidang Istimewa pergantian tersebut dilaporkan sebagai pengukuhan.
(2). Dalam hal Anggota Pimpinan Majelis lainnya berhalangan tetap, maka ia diganti oleh Anggota yang menggantikan Anggota Pimpinan yang berhalangan tersebut dalam kedudukannya sebagai anggota Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.

Tentang penggantian ini ditetapkan dengan Keputusan Pimpinan Majelis dan diberitahukan kepada Anggota melalui Fraksi-Fraksi.

Apabila ada Sidang Umum/Sidang Istimewa, pergantian tersebut dilaporkan sebagai pengukuhan.

PERANGKAPAN JABATAN PIMPINAN MAJELIS

Pasal 35

     Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Pimpinan Majelis ialah :

a. Presiden.
b. Wakil Presiden.
c. Menteri.
d. Jaksa Agung.
e. Ketua dan Hakim-hakim Anggota Mahkamah Agung.
f. Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
g. Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung.
h. Jabatan-jabatan lain yang tidak mungkin dirangkap yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan.

TUGAS-TUGAS PIMPINAN MAJELIS

Pasal 36

(1). Dalam memimpin Majelis, Pimpinan Majelis bertugas :
a. Memimpin Rarpat-rapat Majelis sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Majelis dan menyimpulkan pembicaraan-pembicaraan dalam rapat tersebut.
b. Menyampaikan hasil-hasil putusan Majelis yang bertalian dengan tugas Mandataris kepada Presiden untuk dilaksanakan.
c. Menugaskan Wakil Ketua Majelis yang berasal dari unsur Utusan Daerah untuk menjadi Ketua Badan Pekerja Majelis.
d. Apabila Ketua Badan Pekerja Majelis berhalangan tetap, Pimpinan Majelis menunjuk Anggota Pimpinan yang lain untuk menjadi Pejabat Sementara Ketua Badan Pekerja Majelis, sampai terisinya jabatan Wakil Ketua Majelis yang berasal dari unsur Utusan Daerah.
e. Menetapkan tugas dan pembagian kerja antara Ketua dan para Wakil Ketua Majelis
f. Menjaga ketertiban dalam rapat dengan melaksanakan asas-asas Demokrasi yang berintikan hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan untuk mencapai mufakat.
g. Memanggil Anggota Badan Pekerja Majelis untuk mengadakan sidang.
h. Meneliti surat-surat yang berhubungan dengan keanggotaan Majelis.
(2). Pimpinan Majelis tidak berwenang mengeluarkan statemen-statemen politik atas nama Majelis dan jabatannya, kecuali ditugaskan oleh Majelis.
(3). Anggota Pimpinan Majelis berwenang bertindak atas nama Pimpinan Majelis hanya dalam hal-hal yang bersifat protokoler.

Pasal 37

     Ketua/Wakil Ketua Majelis dalam memimpin rapat-rapat, bertugas untuk mendudukkan persoalan yang sebenarnya dan/atau mengembalikan rapat itu kepada pokok pembicaraan.

B A B     VII

BADAN PEKERJA MAJELIS

KEANGGOTAAN

Pasal 38

(1). Badan Pekerja Majelis terdiri dari 45 orang Anggota Tetap dengan 45 orang Anggota Pengganti yang susunannya mencerminkan perimbangan jumlah Anggota Fraksi dalam Majelis.
(2). Anggota Tetap dan Anggota Pengganti tersebut ditunjuk oleh Fraksi yang bersangkutan.

Pasal 39

     Apabila seorang Anggota Pengganti Badan Pekerja menghendaki untuk berbicara/mengajukan pendapatnya, dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Seorang Anggota Tetap dari Fraksi yang sama menyatakan pada Pimpinan Rapat, bahwa kedudukan keanggotaannya akan digantikan oleh Anggota Pengganti tertentu.
b. Pernyataan tersebut dituangkan dalam formulir yang telah disediakan.
c. Pimpinan Rapat mengumumkan adanya penggantian Anggota.
d. Anggota Tetap dan Anggota Pengganti dari masing-masing Fraksi duduk berdampingan.
e. Apabila telah selesai dapat dilakukan penggantian kembali dengan tata-cara yang sama.

TUGAS BADAN PEKERJA MAJELIS

Pasal 40

    Badan Pekerja Majelis bertugas :

a. Mempersiapkan Rancangan Acara dan Rancangan Putusan-putusan Sidang Umum atau Sidang Istimewa Majelis.
b. Memberi saran dan pertimbangan kepada Pimpinan Majelis menjelang Sidang Umum atau Sidang Istimewa.
c. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Majelis sebagaimana dimaksud huruf a dan b pasal ini.
d. Membantu Pimpinan Majelis dalam rangka melaksanakan tugas-tugas Pimpinan Majelis.

Pasal 41

(1). Rapat-rapat Badan Pekerja Majelis diselenggarakan segera setelah Badan Pekerja terbentuk untuk mempersiapkan bahan-bahan Sidang Umum Majelis.
(2). Rapat-rapat Badan Pekerja Majelis sekurang-kurangnya telah diselenggarakan 2 (dua) bulan sebelum Sidang Istimewa kecuali Sidang Istimewa untuk mengisi lowongan Presiden dan Wakil Presiden yang berhalangan tetap.
(3). Untuk mempersiapkan Sidang Umum/Sidang Istimewa Majelis, maka Pimpinan Majelis dapar mengundang Badan Pekerja Majelis untuk menampung bahan-bahan yang masuk, mengikuti perkembangan keadaan secara terus menerus dan mempertimbangkan Anggaran Belanja Majelis untuk Sidang Umum/Istimewa yang disiapkan oleh Sekretaris Jenderal.
(4). Dalam rangka membantu tugas-tugas Pimpinan Majelis, maka Pimpinan Majelis dapat mengundang Badan Pekerja Majelis untuk mengadakan rapat.

Pasal 42

(1). Badan Pekerja Majelis dipimpin oleh Wakil Ketua Majelis yang berasal dari unsur Utusan Daerah sebagai Ketua dan dibantu oleh 5 orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Tetap Badan Pekerja Majelis dan mencerminkan Fraksi-Fraksi yang ada.
(2). Dalam hal Ketua Badan Pekerja Majelis berhalangan sementara, Ketua Badan Pekerja Majelis menunjuk salah seorang Wakil Ketua Badan Pekerja Majelis melakukan tugas/kewajiban Ketua.
(3). Bilamana dalam Rapat Pimpinan Badan Pekerja Majelis ada yang berhalangan hadir, Fraksi yang bersangkutan menunjuk penggantinya.

Pasal 43

     Pimpinan Badan Pekerja Majelis bertugas:

a. Memimpin Badan Pekerja Majelis.
b. Menetapkan pembagian tugas antara Anggota Pimpinan Badan Pekerja Majelis.
c. Menampung dan menyalurkan pendapat Anggota Badan Pekerja Majelis pada forum rapat yang bersangkutan.
d. Menyiapkan acara Badan Pekerja dan memimpin rapat-rapat Badan Pekerja Majelis.
e. Menyampaikan hasil-hasil Badan Pekerja Majeis kepada Pimpinan Majelis.

PANITIA AD HOC BADAN PEKERJA MAJELIS

Pasal 44

     Badan Pekerja Majelis dapat membentuk Panitia Ad Hoc.

Pasal 45

     Pembentukan Panitia Ad Hoc yang dimaksud dalam pasal 44 dituangkan dalam putusan Badan Pekerja Majelis.

Pasal 46

(1). Keanggotaan Panitia Ad Hoc sejauh mungkin mencerminkan Fraksi-Fraksi Majelis dan susunannya tidak terikat pada perimbangan jumlah Anggota Fraksi dalam Majelis.
(2). Setipa Anggota Badan Pekerja Majelis wajib memasuki salah satu Panitia Ad Hoc Badan Pekerja Majelis.
(3). Kesertaan Anggota Pengganti Badan Pekerja Majelis dalam Panitia Ad Hoc ditentukan oleh Fraksi yang bersangkutan.
(4). Pimpinan Panitia Ad Hoc dipilih dari dan oleh Anggota Panitia Ad Hoc Badan Pekerja Majelis.
(5). Pimpinan Panitia Ad Hoc terdiri dari :
a. Seorang Ketua.                                                                                                           
b. Seorang Wakil Ketua.
c. Seorang Sekretaris

Pasal 47

     Pimpinan Badan Pekerja Majelis memimpin Rapat pemilihan Pimpinan Panitia Ad hoc.

BAB  VIII

KOMISI MAJELIS

KETENTUAN UMUM

Pasal 48

(1). Majelis membentuk Komisi-komisi Majelis sesuai dengan acara Rapat-rapat selama masa Sidang Umum atau Sidang Istimewa.
(2). Komisi Majelis dapat membentuk Sub-Komisi Sub-Komisi menurut keperluan.

Pasal 49

(1). Komisi Majelis bertugas memusyawarahkan dan mengambil putusan mengenai soal-soal yang menjadi acara Sidang.
(2). Dengan memperhatikan saran-saran dan pendapat Anggota Komisi yang bersangkutan, disusun laporan Komisi Majelis tanpa menyebutkan nama-nama pembicara dan setelah ditanda tangani oleh Ketua Komisi Majelis, disampaikan kepada Pimpinan Majelis.
(3). Laporan Komisi Majelis disusun oleh Pimpinan Komisi Majelis dengan bantuan Sekretariat Jenderal Majelis, dan dengan persetujuan Komisi Majelis.

Pasal 50

     Komisi-komisi Majelis memberikan pertanggungjawaban kepada Rapat Paripurna majelis tentang hasil pekerjaan masing-masing.

Pasal 51

(1). Tiap Komisi Majelis dibantu oleh sebuah Sekretariat.
(2). Pembicaraan dalam Komisi Majelis disusun dalam suatu Risalah.

KEANGGOTAAN KOMISI MAJELIS

Pasal 52

(1). Setiap Anggota harus menjadi Anggota salah satu Komisi Majelis, kecuali Pimpinan Majelis.
(2). Susunan dan jumlah Anggota Komisi ditetapkan oleh Pimpinan Majelis dengan persetujuan Rapat Paripurna Majelis sesuai dengan perimbangan jumlah keanggotaan dalam Fraksi.
(3). Anggota suatu Komisi tidak boleh merangkap menjadi Anggota Komisi lain, tetapi dapat mengikuti rapat-rapat Komisi lainnya sebagai peninjau.
(4). Pimpinan Majelis dapat menghadiri dan turut serta dalam semua rapat Komisi-komisi dan Sub Komisi-Sub Komisi untuk melakukan tugas koordinasi.

PIMPINAN KOMISI MAJELIS

Pasal 53

(1). Pimpinan Komisi Majelis terdiri dari seorang Ketua dan 5 (lima) orang Wakil Ketua yang mencerminkan Fraksi-Fraksi.
(2). Pimpinan Komisi Majelis dipilih dari dan oleh Anggota Komisi dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan Majelis.
(3). Pimpinan Komisi Majelis merupakan suatu kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif.
(4). Pembagian tugas di antara Pimpinan Komisi Majelis diatur sendiri berdasarkan tugas-tugas Komisi Majelis.

BAB IX

PANITIA AD HOC MAJELIS

Pasal 54

     Panitia Ad Hoc Majelis dapat dibentuk oleh Majelis untuk melakukan tugas-tugas tertentu apabila diperlukan dalam masa persidangan.

Pasal 55

     Pimpinan Panitia Adhoc Majelis dan Anggotanya ditetapkan oleh Pimpinan Majelis setelah mendengar pendapat Fraksi-Fraksi Majelis.

Pasal 56

     Tata Kerja Panitia Ad Hoc Majelis sama dengan Tata Kerja Komisi Majelis kecuali dalam hal keanggotaannya.

BAB X

PERSIDANGAN DAN RAPAT-RAPAT MAJELIS

Pasal 57

     Rentetan Rapat-rapat Paripurna Majelis pada suatu masa tertentu disebut masa Sidang, baik untuk Sidang Umum atau Sidang Istimewa.

Pasal 58

(1). Sidang Umum Majelis ialah Sidang yang diadakan pada permulaan masa jabatan keanggotaan Majelis.
(2). Sidang Istimewa ialah Sidang-sidang yang diadakan di luar Sidang Umum itu.

Pasal 59

     Rancangan acara Sidang disampaikan oleh Pimpinan Majelis kepada Rapat Paripurna Majelis untuk disahkan.

Pasal 60

(1). Ketua dan Wakil Ketua Majelis membuka Sidang pada hari pertama dengan pidato pembukaan dan menutup Sidang pada hari terakhir dengan pidato penutupan.
(2). Pidato pembukaan Sidang menguraikan pekerjaan yang dihadapi oleh Majelis, sedang pidato penutupan mengemukakan hasil-hasil pekerjaan Majelis dalam masa Sidang bersangkutan.

JENIS RAPAT-RAPAT MAJELIS

Pasal 61

     Majelis mengenal 7 (tujuh) jenis Rapat :

a.  Rapat Paripurna Majelis.

b.  Rapat Pimpinan Majelis.

c.  Rapat Badan Pekerja Majelis.

d.  Rapat Komisi Majelis.

e.  Rapat Gabungan Pimpinan Majelis dengan Pimpinan-pimpinan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis.

f.  Rapat Panitia Ad Hoc Majelis.

g.  Rapat Fraksi Majelis.

Pasal 62

     Rapat-rapat seperti tersebut dalam pasal 61 di atas diadakan sesuai dengan acara-acara persidangan atas putusan Pimpinan Rapat yang bersangkutan.

PERSIAPAN DAN PERSYARATAN RAPAT MAJELIS

Pasal 63

(1). Undang dan bahan-bahan untuk Sidang Umum/Istimewa harus sudah disampaikan kepada Anggota selambat-lambatnya dua minggu sebelum persidangan dimulai.
(2). Bahan-bahan untuk rapat lainnya sudah disampaikan kepada para Anggota sebelum rapat yang bersangkutan dimulai.
(3). Sebelum menghadiri rapat, setiap Anggota menanda tangani daftar hadir.
(4). Apabila daftar hadir telah ditanda tangani oleh lebih dari separoh jumlah Anggota, maka Pimpinan membuka rapat.
(5). Jika pada waktu yang telah ditetapkan untuk dimulainya rapat jumlah Anggota yang ditentukan pada ayat (4) belum juga tercapai, maka Pimpinan Rapat menunda rapat paling lama 1 (satu) jam.
(6). Jika setelah ditunda 1 (satu) jam belum juga tercapai jumlah yang ditentukan pada ayat (4) pasal ini, maka Pimpinan membuka rapat.
(7). Untuk dapat mengambil putusan diperlukan quorum sebagaimana diatur dalam BAB XI tentang Pengambilan Putusan Majelis.

RAPAT-RAPAT MAJELIS

Pasal 64

(1). Sesudah rapat dibuka, Sekretaris dari Sekretariat Jenderal Majelis membacakan surat-surat masuk dan risalah-risalah terakhir.
(2). Surat-surat masuk dan keluar dibicarakan apabila dianggap perlu oleh rapat.

Pasal 65

(1). Anggota berbicara setelah mendapat izin dari Ketua Rapat, ditempat yang disediakan.
(2). Ketua Rapat hanya dapat berbicara untuk menunjukkan duduk perkara yang sebenarnya atau untuk mengembalikan kepada pokok pembicaraan.
(3). Apabila Ketua Rapat hendak berbicara dengan menggunakan hak sebagai Anggota tentang hal yang dirundingkan, maka ia menyerahkan rapat kepada Pimpinan yang lain dan utnuk sementara meninggalkan tempat duduknya.
(4). Pembicara tidak boleh diganggu selama berbicara.

Pasal 66

(1). Pimpinan dapat mengadakan ketentuan mengenai lamanya para Anggota berbicara dengan persetujuan rapat.
(2). Bilamana pembicara melampaui batas waktu yang ditetapkan, Pimpinan Rapat memperingatkan pembicara supaya mengakhiri pembicaraannya, dan pembicara harus mentaati peringatan itu.

Pasal 67

(1). Sebelum berbicara, para pembicara mendaftarkan nama terlebih dahulu pendaftaran tersebut dapat juga dilakukan oleh Fraksinya.
(2). Anggota yang belum mendaftarkan namanya sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tidak berhak berbicara kecuali bila menurut pendapat Pimpinan Rapat ada alasan-alasan yang dapat diterima.

Pasal 68

(1). Giliran berbicara diberikan menurut urutan permintaan.
(2). Untuk kelancaran rapat, Pimpinan Rapat dapat mengadakan penyimpangan dari urutan berbicara seperti termaksud dalam ayat (1) pasal ini.
(3). Seorang Anggota yang berhalangan dalam waktu giliran berbicara, dapat diganti oleh Anggota se-Fraksinya sebagai pembicara.

Pasal 69

     Setiap waktu dapat diberikan kesempatan interupsi kepada Anggota untuk:

a. Mengajukan koreksi mengenai pelaksanaan peraturan Tata Tertib.
b. Minta penjelasan tentang duduk perkara sebenarnya mengenai soal yang dibicarakan.
c. Menjelaskan soal-soal yang menyangkut dirinya.
d. Mengajukan usul tata cara mengenai yang sedang dibicarakan.
e. Mengajukan usul untuk menunda sementara rapat.

Pasal 70

     Agar supaya menjadi pokok permusyawaratan, maka suatu usul tata cara mengenai soal yang sedang dibicarakan dan usul penundaan rapat sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 d dan e harus didukung oleh Anggota lain yang hadir, terkecuali bila usul itu diajukan oleh Pimpinan Rapat.

Pasal 71

(1). Seorang Anggota yang diberi kesempatan mengadakan interupasi mengenai salah satu hal tersebut dalam pasal 69 tidak boleh melebihi waktu 10 (sepuluh) menit.
(2). Terhadap pembicaraan mengenai hal-hal tersebut dalam pasal 69 b dan e tidak diadakan perdebatan.
(3). Sebelum rapat melanjutkan permusyawaratan mengenai soal-soal yang menjadi acara hari itu, jika dianggap perlu Pimpinan Rapat dapat mengambil putusan terhadap pembicaraan mengenai hal-hal tersebut dalam pasal 69 huruf d dan e.

Pasal 72

(1). Penyimpangan dari pokok pembicaraan kecuali dalam hal-hal tersebut dalam pasal 69 tidak diperkenankan.
(2). Apabila seorang pembicara menyimpang dari pokok-pokok pembicaraan, maka Pimpinan Rapat dapat memperingatkan dan memintanya supaya kembali kepada pokok pembicaraan.

Pasal 73

(1). Apabila seorang pembicara dalam rapat mempergunakan kata-kata yang tidak layak, mengganggu ketertiban atau menganjutkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum, Pimpinan Rapat dapat memberi nasehat dan memperingatkan supaya pembicara tertib kembali.
(2). Dalam hal demikian, Pimpinan Rapat memberi kesempatan kepada pembicara yang bersangkutan untuk menarik kembali kata-kata yang menyebabkan ia diberi peringatan.  Jika ia memenuhi permintaan Pimpinan Rapat, maka kata-kata tersebut tidak dimuat dalam Risalah, laporan atau catatan tentang perundingan itu, dan dianggap sebagai tidak diucapkan.

Pasal 74

(1). Apabila seorang pembicara tidak memenuhi peringatan Pimpinan Rapat sebagai tersebut dalam pasal-pasal 72 dan 73 ayat (1) atau megulangi pelanggaran tersebut di atas, Pimpinan Rapat dapat melarangnya meneruskan pembicaraan.
(2). Jika dianggap perlu, Pimpinan Rapat dapat melarang pembicara yang dimaksud dalam pasal 73 ayat (1) untuk terus menghadiri rapat yang merundingkan soal yang bersangkutan.
(3). Jiak Anggota yang bersangkutan tidak dapat menerima putusan Pimpinan Rapat yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, maka kepada Anggota ini diberi kesempatan berbicara selama-lamanya 10 (sepuluh) menit untuk memberikan penjelasan seperlunya dengan ketentuan, bahwa rapat tidak mengadakan perdebatan mengenai penjelasan itu dan Pimpinan Rapat langsung mengambil putusan tentang boleh atau tidaknya Anggota yang bersangkutan untuk terus menghadiri rapat.

Pasal 75

(1). Apabila seorang Anggota melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban rapat, Pimpinan Rapat memperingatkan agar Anggota tersebut menghentikan perbuatan itu.
(2). Jika peringatan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak diindahkan, Pimpinan Rapat dapat menyuruh Anggota Rapat itu untuk meninggalkan ruangan rapat.
(3). Apabila Anggora tersebut tidak mengindahkan perintah pada ayat (2) pasal ini, atas perintah Pimpinan Rapat ia dapat dikeluarkan dengan paksa dari ruangan rapat.
(4). Yang dimaksud dengan ruangan rapat ialah ruangan yang dipergunakan untuk rapat termasuk ruangan untuk umum, undangan dan para tamu lainnya.

Pasal 76

(1). Apabila Pimpinan Rapat menganggap perlu maka ia boleh menunda rapat (schorsing).
(2). Lamanya penundaan rapat (schorsing) tidak boleh melebihi waktu 24 (dua puluh empat) jam.

Pasal 77

(1). Rapat Paripurna Majelis dapat diadakan berdasarkan putusan Pimpinan Majelis setelah mendengar saran/pertimbangan-pertimbangan Pimpinan Fraksi-Fraksi.
(2). Apabila di dalam Rapat Paripuran diadakan Pemandangan Umum jumlah pembicara dan batas waktunya berbicara ditetapkan oleh Pimpinan Majelis setelah mendengar saran/Pertimbangan Pimpinan Fraksi-Fraksi.
(3). Pimpinan Majelis memberikan putusan apabila dalam Rapat Paripurna timbul perbedaan pendapat mengenai suatu ketentuan Peraturan Tata Tertib.

Pasal 78

(1). Rapat Pimpinan Majelis dapat diadakan setiap kali dipandang perlu untuk mengusahakan
(2). Dalam rangka mencapai apa yang dimaksud oleh rapat pada ayat (1) pasal ini dapat diadakan Rapat Gabungan Pimpinan Majelis dengan Pimpinan-pimpinan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis seperti yang dimaksud pada pasal 61 huruf e Peraturan Tata Tertib ini.
(3). Semua rapat-rapat Pimpinan tersebut pada ayat (1) dan (2) pasal ini adalah tertutup dan bersifat rahasia.

Pasal 79

(1). Rapat Komisi Majelis diadakan atas putusan Rapat Paripurna Majelis dan/atau putusan Komisi yang bersangkutan.
(2). Hasil Rapat Komisi Majelis atau sinkronisasi hasil Rapat Sub-sub Komisi Majelis merupakan kesimpulan Komisi Majelis yang diajukan kepada Pimpinan Majelis sebagai usul Komisi Majelis.

SIFAT-SIFAT RAPAT MAJELIS

Pasal 80

(1). Rapat-rapat pada dasarnya bersifat terbuka kecuali rapat-rapat Pimpinan Majelis dan Rapat-rapat Badan Pekerja Majelis.
(2). Khusus Rapat Pekerja Majelis tahap pertama untuk mendengar pemandangan umum Fraksi-Fraksi dinyatakan terbuka.
(3). Dalam hal-hal tertentu dapat diadakan rapat tertutup.

Pasal 81

(1). Rapat Paripurna Tertutup Majelis dapat diadakan atas putusan Rapat Paripurna Majelis.
(2). Rapat-rapat Komisi/Panitia Ad Hoc dapat diadakan tertutup atas putusan Komisi/Panitia Ad Hoc yang bersangkutan.
(3). Rapat-rapat tertutup hanya dihadiri oleh para Anggota dan mereka yang diundang.

Pasal 82

(1). Pada waktu rapat terbuka, jika Pimpinan Rapat memandang perlu atau salah satu Fraksi meminta untuk dijadikan rapat tertutup, maka Pimpinan Rapat mempersilahkan para undangan dan peninjau meninggalkan rapat.
(2). Kemudian rapat memutuskan apakah permusyawaratan selanjutnya dilakukan secara tertutup.

Pasal 83

(1). pembicaraan-pembicaraan dalam rapat tertutup tidak boleh diumumkan, kecuali jika rapat memutuskan untuk mengumumkan seluruhnya atau sebagian.
(2). Atas usul Pimpinan salah satu Fraksi, rapat dapat pula memutuskan, bahwa pembicaraan dalam rapat tertutup bersifat rahasia.
(3). Penghapusan sifat rahasia itu, dapat dilakukan terhadap seluruhnya atau sebagian daripada Pembicaraan-pembicaraan.
(4). Rahasia itu harus dipegang teguh oleh mereka yang berhubung dengan pekerjaannya mengetahui apa yang dibicarakan itu.

RISALAH RAPAT

Pasal 84

     Untuk setiap rapat dibuat Risalah Resmi, yakni laporan tulisan cepat, rekaman, yang selain memuat Pengumuman dan Pembicaraan yang telah dilakukan dalam rapat, juga mencantumkan:

a.  Tempat dan acara rapat.

b.  Hari/tanggal rapat dan jam dibuka serta ditutupnya rapat.

c.  Ketua dan Sekretaris rapat.

d.  Nama-nama Anggota yang hadir.

e.  Nama-nama Pembicara dan pendapat masing-masing.

f.  Keterangan-keterangan tentang putusan/kesimpulan.

Pasal 85

(1). Setelah rapat selesai maka Risalah Sementara, selekasnya dikirimkan kepada para Anggota Rapat.
(2). Dalam waktu 2 kali duapuluh empat jam setelah menerima Risalah, para Anggota yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk mengadakan koreksi dalam bagian Risalah tanpa mengubah maksud semula.
(3). Setelah jangka waktu yang dimaksud pada ayat (2) pasal ini lewat, maka Risalah Sementara selekasnya ditetapkan menjadi Risalah Resmi.
(4). Jika terdapat perbedaan tafsiran terhadap Risalah Rapat, maka Pimpinan Rapat menetapkan berdasarkan hasil rekaman.

Pasal 86

(1). Segala kegiatan yang dilakukan oleh Majelis dapat deketahui oleh Anggota.
(2). Segala kegiatan Majelis diumumkan dengan Press release dan Bulletin Majelis setelah mendapat persetujuan Pimpinan Majelis.

BAB XI

PENGAMBILAN PUTUSAN MAJELIS

KETENTUAN UMUM

Pasal 87

(1). Pengambilan putusan pada asasnya diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dan apabila hal ini tidak mungkin, maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(2). Mufakat dan/atau putusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak sebagai hasil musyawarah haruslah bermutu tinggi yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bertentangan dengan Dasar Negara Pancasila dan Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sebagai termaktub dalam Pembukaan, Barang Tubuh dan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.
(3). Musyawarah menuju ke arah persatuan dengan mengutamakan ikut sertanya semua Fraksi dalam Majelis serta berpangkal tolak pada sikap harga menghargai setiap pendirian para peserta.
(4). Setiap peserta musyawarah mempunyai hak dan kesempatan yang sama bebasnya untuk mengemukakan pendapat dan melahirkan kritik yang bersifat membangun tanpa tekanan dari pihak manapun.
(5). Ketentuan-ketentuan dalam Bab XI ini berlaku bagi tata-cara pengambilan putusan dalam jenis-jenis Rapat Alat-alat Kelengkapan Majelis, kecuali Rapat Pimpinan Majelis, Sub-sub Komisi dan Panitia-panitia Ad Hoc Badan Pekerja Majelis, yang hanya dapat mengambil putusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

Pasal 88

(1). Rapat untuk dapat mengambil putusan, memerlukan quorum sebagaimana yang diatur dalam pasal 91 dan pasal 93 Peraturan Tata Tertib ini.
(2). Apabila hal termaksud dalam ayat (1) pasal ini tidak tercapai, maka rapat ditunda sampai paling banyak 2 (dua) kali dengan selang waktu paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam.
(3). Apabila setelah dua kali penundaan masih juga hal tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini belum tercapai, maka :
a. Jika terjadi di dalam Rapat Paripurna Majelis pemasalahannya menjadi batal.
b. Jika terjadi dalam Rapat Pekerja, Komisi dan Panitia Ad Hoc Majelis cara pemecahannya diserahkan pada Pimpinan Majelis.

Pasal 89

(1). Setelah dipandang cukup diberikan kesempatan kepada para Anggota untuk mengemukakan pendapat serta saran sebagai sumbangan pendapat dan pikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan, maka Pimpinan Rapat mengusahakan secara bijaksana agar rapat segera dapat mengambil keputusan.
(2). Untuk mencapai apa yang dimaksud ayat (1) pasal ini, maka Pimpinan Rapat ataupun Panitia yang diberi tugas untuk itu wajib membuat kesimpulan dan rumusan.naskah putusan yang mencerminkan pendapat-pendapat yang hidup dalam rapat.

PUTUSAN BERDASARKAN MUFAKAT

Pasal 90

(1). Hakekat daripada musyawarah untuk mufakat dalam kemurniannya adalah suatu tata-cara khas yang bersumber pada inti paham kerakyatan yang dimpimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan untuk merumuskan dab/atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak Rakyat, dengan jalan mengemukakan Hikmat Kebijaksanaan yang tiada lain daripada pikiran (ratio) yang sehat yang megungkapkan dan mempertimbangkan persatuan dan kesatuan Bangsa, kepentingan Rakyat sebagaimana yang menjadi tujuan pembentukan Pemerintah Negara termaksud dalam alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pengaruh-pengaruh waktu, oleh semua wakil/utusan yang mencerminkan penjelmaan seluruh Rakyat, untuk mencapai putusan berdasarkan kebulatan pendapat (mufakat) yang diitikadkan untuk dilaksanakan secara jujur dan bertanggung jawab.
(2). Segala putusan diushakan dengan cara musyawarah untuk mufakat di antara semua Fraksi.
(3). Apabila yang tersebut dalam ayat (2) pasal ini tidak dapat segera terlaksana, maka Pimpinan Rapat dapat mengusahakan/berdaya-upaya agar rapat dapat berhasil mencapai mufakat.

Pasal 91

     Putusan berdasarkan mufakat adalah sah bilamana diambil dalam rapat yang dihadiri oleh semua perwakilan Fraksi-fraksi dan lebih dari separoh jumlah Anggota rapat, kecuali untuk hal-hal yang diatur dalam pasal 95 dan BAB XIV Peraturan Tata Tertib ini.

PENGAMBILAN PUTUSAN

BERDASARKAN SUARA TERBANYAK

Pasal 92

(1). Putusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila putusan berdasarkan mufakat sudah tidak mungkin diusahakan karena adanya pendirian dari sebagian peserta musyawarah yang tidak dapat didekatkan lagi atau karena faktor waktu yang mendesak.
(2). Sebelum rapat mengambil putusan berdasarkan suara terbanyak, kepada para Anggota diberi kesempatan untuk lebih dahulu mempelajari naskahnya atau perumusan masalah yang bersangkutan.
(3). Penyampaian suara dilakukan oleh para Anggota untuk menyatakan sikap setuju, menolak atau abstain dengan secara lisan, mengacungkan tangan, berdiri, tertulis, pindah tempat, atau pemanggilan nama.

Pasal 93

(1). Pengambilan putusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila:
a. Diambil dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah Anggota rapat (quorum).
b. Disetujui oleh lebih dari separoh jumlah Anggota yang hadir yang memenuhi quorum.
c. Didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) Fraksi.
(2). Apabila karena sifat masalah yang dihadapi tidak mungkin dicapai putusan dengan mempergunakan sistem suara terbanyak termaksud secara sekali jalan (langsung), maka diusahakan sedemikian rupa sehingga putusan terakhir masih juga ditetapkan dengan persetujuan suara terbanyak.
(3). Apabila dalam mengambil putusan berdasarkan putusan suara terbanyak, suara-suara sama banyak, maka dalam hal rapat itu lengkap Anggoranya, usul yang bersangkutan dianggap ditolak, atau dalam hal lain, maka pengambilan putusan ditangguhkan sampai rapat berikut.
(4). Apabila dalam rapat yang berikut itu suara-suara sama banyak lagi, maka usul itu ditolak.
(5). Pemungutan suara tentang orang dan/atau masalah-masalah yang dipandang penting oleh rapat dilakukan dengan rahasia atau tertulis, dan apabila suara-suara sama banyak, maka pemungutan suara diulangi sekali lagi dan apabila hasilnya masih sama banyak pula, maka orang dan/atau usul dalam permasalahan yang bersangkutan ditolak.
(6). Ketentuan pada ayat (10 c tidak berlaku bagi pemungutan suara yang dilakukan secara rahasia mengenai orang.

Pasal 94

(1). Pengambila putusan berdasarkan suara terbanyak dilakukan dengan mengadakan penghitungan suara secara langsung dari Anggota.
(2). Untuk memenuhi ketentuan pasal 93 ayat (1) c penghitungan suara tersebut dalam ayat (1) dilaksanakan Fraksi demi Fraksi kecuali dalam hal pengambilan putusan secara rahasia.

KETENTUAN KHUSUS

Pasal 95

     Untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara baik yang dicapai dengan putusan secara mufakat maupun dengan putusan berdasarkan suara terbanyak maka :

a. Sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah Anggota harus hadir dalam hal tidak semua Fraksi diwakili.
b. Dalam hal semua Fraksi diwakili, quorum sekurang-kurangnya adalah lebih dari separoh dari jumlah Anggora harus hadir.
c. Putusan diambil atas persetujuan sekurang-kurangnua 2/3 (dua pertiga) dari jumlah Anggota yang hadir yang memenuhi quorum.

Pasal 96

     Tentang Tata-Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam ketentuan tersendiri.

PELAKSANAAN PUTUSAN

Pasal 97

     Setiap putusan, baik sebagai hasil mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak harus diterima dan dilaksanakan dengan kesungguhan, keikhlasan hati, kejujuran dan bertanggung jawab.

BAB XII

BENTUK-BENTUK PUTUSAN MAJELIS

Pasal 98

(1). Bentuk-bentuk putusan Majelis adalah:
a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat                                                                
b. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(2). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah putusan Majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam Majelis.
(3). Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah putusan Majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis.
BAB XIII
PROSES PEMBUATAN PUTUSAN-PUTUSAN MAJELIS
Pasal 99

     Pembuatan putusan-putusan Majelis dilakukan melalui 4 (empat) tingkat pembicaraan, kecuali untuk laporan Pertanggungjawban Presiden/Mandataris dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Majelis.

Pasal 100

     Tingkat-tingkat pembicaraan seperti yang disebut dalam pasal 99 tersebut di atas adalah:

a.
Tingkat I :
Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pada pembahasan tersebut merupakan Rancangan Ketetapan/Keputusan Majelis sebagai bahan pokok Pembicaraan Tingkat II.
b.
Tingkat II :
Pembahasan oleh Rapat Paripurna Majelis yang didahului oleh penjelasan Pimpinan dan dilanjutkan dengan Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi.
c.
Tingkat III :
Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis terhadap semua hasil-hasil dari pembicaraan Tingkat I dan II. Hasil dari pembahasan pada Tingkat III ini merupakan Rancangan Ketetapan/Keputusan Majelis.
d.
Tingkat IV :
Pengambilan putusan oleh Rapat Paripurna Majelis setelah mendengar laporan dari Pimpinan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis dan bilamana perlu dengan kata terkahit dari Fraksi-Fraksi.

Pasal 101

     Sebelum dilakukan pembicaraan Tingkat II dan III dapat didahului dengan rapat-rapat Fraksi.

Pasal 102

     Fraksi berhak mengajukan usul/pendapat dalam bentuk pokok-pokok pikiran untuk bahan Putusan Majelis di dalam Tingkat Pembicaraan I, II dan III.

Pasal 103

     Putusan-putusan Majelis yang bertalian dengan tugas-tugas Mandataris diserahkan oleh Pimpinan Majelis kepada Presiden/Mandataris di hadapan Rapat Paripurna Majelis untuk dilaksanakan.

BAB XIV
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
Pasal 104

     Majelis berketetapan untuk mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekwen.

(1). Apabila ada kehendak Anggota Majelis untuk mengajukan usul perubahan Undang-Undang Dasar 1945, maka usul tersebut harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 4 Fraksi seutuhnya dengan daftar nama dan tanda tangan selutuh anggotanya.
(2). Untuk pengambilan keputusan secara mufakat, terhadap kehendak untuk mengusulkan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota Majelis yang terdiri dari seluruh Fraksi harus hadir.
(3). Untuk pengambilan keputusan dengan suara terbanyak terhadap kehendak untuk mengusulkan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota Majelis harus hadir.
(4). Putusan terhadap kehendak untuk mengusulkan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diambil secara mufakat dalam rapat yang dihadiri oleh seluruh Fraksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini atau atas persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah Anggota yang hadir sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini.

Pasal 106

     Apabila kehendak untuk mengusulkan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 disetujui oleh Majelis, maka Majelis menugaskan Presiden/Mandataris untuk melaksanakan Referendum sesuai dengan Undang-undangnya.

Pasal 107

     Hasil Referendum sebagaimana dimaksud pasal 106 dilaporkan oleh Presiden/Mandataris kepada Majelis dalam Sidang Istimewa yang khusus diadakan untuk itu.

Pasal 108

Apabila dari hasil Referendum sebagaimana dilaporkan oleh Presiden/Mandataris, rakyat menyatakan tidak setuju merubah Undang-Undang Dasar 1945, maka kehendak untuk mengusulkan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud pasal 105 dengan sendirinya gugur dan tidak dapat diajukan lagi selama masa jabatan keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bersangkutan.

Pasal 109

(1). Apabila dari hasil Referendum, rakyat menyatakan setuju untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana yang dilaporkan oleh Presiden/Mandataris, maka Rancangan Usul Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 diajukan oleh sekurang-kurangnya 4 Fraksi seutuhnya dengan daftar nama dan tanda tangan seluruh Anggotanya.
(2). Untuk pengambilan keputusan secara mufakat terhadap Rancangan Usul Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, maka sekurang- kurangnya 2/3 Anggota Majelis yang terdiri dari seluruh Fraksi harus hadir.
(3). Untuk pengambilan keputusan dengan suara terbanyak terhadap Rancangan Usul Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota Majelis harus hadir.
(4). Putusan terhadap Rancangan Usul Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini diambil secara mufakat dalam Rapat yang dihadiri oleh seluruh Fraksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, atau atas persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah Anggota yang hadir sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini.
BAB XV
GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA
DAN LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN
PRESIDEN/MANDATARIS MAJELIS

Pasal 110

     Garis-Garis Besar Haluan Negara ditetapkan dalam bentuk Ketetapan Majelis.

Pasal 111

(1). Untuk menerima Laporan/Pertanggungjawaban Presiden/Mandataris Majelis tentang Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara, diadakan Rapat Paripurna Majelis.
(2). Dalam Rapat Paripurna Majelis untuk Laporan/Pertanggungjawaban Presiden/Mandataris, Presiden/Mandataris dapat menggunakan hak jawabnya atas Pemandangan Umum Fraksi.
(3). Dalam hal Laporan/Pertanggungjawaban, diberikan dalam Sidang Istimewa yang diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat, apabila Majelis menilai bahwa Laporan Pertanggungjawaban masih kurang lengkap, atas permintaan Majelis, Presiden/Mandataris melengkapinya.
BAB XVI
SEKRETARIAT JENDERAL MAJELIS

Pasal 112

     Majelis mempunyai suatu Sekretariat Jenderal yang berkedudukan sebagai Kesekretaraitan Lembaga Tertinggi Negara.

Pasal 113

     Sekretariat Jenderal Majelis :

a. Bertugas memenuhi segala keperluan/kegiatan Majelis, Alat Kelengkapan Majelis dan Fraksi.
b.
Membantu Pimpinan Badan Pekerja/Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis menyempurnakan redaksi Rancangan-rancangan Putusan Badan Pekerja/Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis.
Hasil penyempurnaan tersebut diajukan kembali kepada Pimpinan Badan Pekerja/Komisi/ Panitia Ad Hoc dan Pimpinan Fraksi di Alat-alat Kelengkapan Majelis tersebut untuk mendapatkan paraf pada setiap Naskah yang bersangkutan sebagai tanda persetujuan masing-masing.
c.
Membantu Pimpinan Majelis menyempurnakan secara redaksional/tehnis yuridis dari Rancangan-Rancangan Ketetapan/Keputusan Majelis.
Hasil penyempurnaan ini diajukan kembali kepada Pimpinan Majelis untuk mendapatkan paraf pada setiap halaman Naskah Rancangan Ketetapan/Keputusan sebagai tanda persetujuannya.
d. Membantu Pimpinan Majelis menyiapkan Rancangan Anggaran Belanja Majelis untuk Sidang Umum/Istimewa.

Pasal 114

(1). Sekretariat Jwnderal Majelis dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang bertanggung jawab kepada Pimpinan Majelis mengenai pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
(2). Sekretaris Jenderal dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal.
(3). Sekretaris Jenderal/Wakil Sekretaris Jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Majelis.

Pasal 115

(1). Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal Majelis ditetapkan menurut peraturan Perundang-undangan setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Majelis.
(2). Tata Kerja mengenai pelaksanaan tugas Sekretariat Jenderal Majelis yang menyangkut kegiatan Majelis beserta Alat Kelengkapannya dan Fraksi-Fraksi ditetapkan oleh Pimpinan Majelis.

Pasal 116

     Sekretariat Jenderal Majelis memberikan laporan umum tertulis secara berkala kepada Pimpinan Majelis tentang pelaksanaan tugas Sekretariat Jenderal.

BAB XVII

TATA-CARA MEMPERLAKUKAN SURAT-SURAT

MASUK DAN KE LUAR MAJELIS

SURAT-SURAT MASUK

Pasal 117

(1). Semua surat-surat masuk setelah diberi nomor agenda oleh Sekretariat Jenderal Majelis disampaikan kepada Pimpinan Majelis.
(2). Pimpinan Majelis menentukan apa yang harus diperbuat dengan surat-surat masuk tersebut.
(3). Semua surat-surat masuk disimpan di Sekretaria Jenderal Majelis.

SURAT-SURAT KE LUAR

Pasal 118

(1). Semua surat-surat ke luar diberi nomor oleh Sekretariat Jenderal Majelis.
(2). Surat-surat ke luar ditanda tangani oleh Pimpinan Majelis secara bersama-sama atau oleh Sekretaris Jenderal atas nama Pimpinan Majelis.
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (2) pasal ini, diatur oleh Pimpinan Majelis.
(4). Semua arsip surat-surat ke luar disimpan di Sekretariat Jenderal Majelis.

BAB XVIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 119

(1). Usul perubahan dan tambahan mengenai Peraturan Tata Tertib ini dapat diusulkan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota yang ditanda tangani oleh Pimpinan Fraksinya.
(2). Usul perubahan dan tambahan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, ditanda tangani oleh para pengusul dan disertai penjelasan.  Setelah diberi nomor pokok dan diperbanyak oleh Sekretariat Jenderal disampaikan kepada Badan Pekerja Majelis.

Pasal 120

(1). Usul perubahan dan tambahan tersebut dalam pasal 119 dengan disertai pertimbangan Badan Pekerja Majelis disampaikan kepada Rapat Paripurna Majelis.
(2). Majelis memutusakan usul itu dapat disetujui seluruhnya, disetujui dengan perubahan atau ditolak.

Pasal 121

     Segala sesuatu yang belum diatur dalam Peraturan Tata Tertib ini, diputuskan oleh Majelis.

Pasal 122

(1). Segala ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2). Dengan berlakunya Peraturan Tata Tertib ini, maka Ketetapan MPR-RI No:  I/MPR/1978 juncto Keputusan MPR-RI No: 1/MPR/1982 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 123

     Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA

KETUA,

H. AMIRMACHMUD

            WAKIL KETUA,                                                                   WAKIL KETUA,

         M. KHARIS SUHUD                                                           HAJI AMIR MURTONO

            WAKIL KETUA,                                                                    WAKIL KETUA,

Drs. HARDJANTHO SUMODISASTRO                                          H. NUDDIN LUBIS

WAKIL KETUA,

H. SOENANDAR PROJOSOEDARMO