KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 29 TAHUN 1984
TENTANG
PELAKSANAAN ANGGARAN DAN BELANJA NEGARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa agar pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dapat berjalan lebih efektif dan efisien, dipandang perlu untuk menetapkan kembali ketentuan - ketentuan tentang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana disempurnakan dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1981;
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 23 Undang - Undang Dasar 1945.
2. Indische Comptabiliteitswet (stbl 1925 nomor 445) sebagaimana telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 53) ;

MEMUTUSKAN

Dengan mencabut Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara beserta segala lampirannya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1981 tentang Penyempurnaan Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980;
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

          BAB. I

        PEDOMAN POKOK

          Pasal 1

(1) Tahun Anggaran berlaku dari tanggal 1 April sampai dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
(2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam suatu tahun anggaran mencakup semua penerimaan dan pengeluaran anggaran yang selama tahun anggaran;
a. dimasukkan dalam dan/atau dikeluarkan dari Kas Negara atau Kantor yang diserahi pekerjaan Kas Negara;
b. diperhitungkan antar bagian anggaran;
c. dibukukan pada rekening-rekening tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
d. diterima dan/atau dikeluarkan oleh Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

          Pasal 2

(1) Jumlah - jumlah yang dimuat dalam Anggaran Belanja Negara merupakan batas tertinggi untuk masing - masing pengeluaran.
(2) Dengan Keputusan Presiden ditetapkan perincian lebih lanjut :
a. untuk tiap jenis penerimaan anggaran pada Sumber - sumber Anggaran Rutin dan Sumber-sumber Anggaran Pembangunan ke dalam masing-masing Bagian Anggaran;
b. untuk tiap sub sektor dalam Anggaran Belanja Rutin ke dalam Program, kegaitan, dan jenis pengeluaran serta ke dalam masing masing Bagian Anggaran;
c. untuk tiap sub sektor dalam Anggaran Belanja Pembangunan ke dalam program dan proyek serta ke dalam masing masing Bagian Anggaran;

          Pasal 3

(1) Menteri Keuangan mengatur penyediaan uang untuk membiayai Anggaran Belanja Negara dalam batas - batas pelaksanaan prinsip Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berimbang.
(2) Anggaran Belanja Rutin dibiayai dari penerimaan sumber - sumber Anggaran Rutin berupa penerimaan anggaran rutin dalam negeri dan penerimaan Anggaran rutin luar negeri, sedangkan Anggaran Belanja Pembangunan dibiayai dari tabungan Pemerintah berupa nilai lawan bantuan program dan bantuan proyek, bantuan teknis, serta bantuan luar negeri lainnya.

          Pasal 4

(1) Departemen, Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Kejaksaan Agung, Sekretariat Negara, dan Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Departemen / Lembaga tidak dapat dikenakan melakukan tindakan yang mangakibatkan beban atas Anggaran Belanja Negara jika dana untuk membiayai tindakan itu tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam Anggaran Belanja Negara.
(2) Departemen/ Lembaga tidak diperkenankan melakukan pengeluaran atas beban Anggaran Belanja Negara untuk tujuan lain daripada yang ditetapkan dalam Anggaran Belanja Negara.
(3) Pengeluaran atas beban Anggaran Belanja Negara dilaksanakan berdasarkan bukti atas hak yang sah untuk memperoleh pembayaran.
(4) Pengeluaran atas beban Anggaran Belanja Negara dilakukan dengan penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SKO)
(5) Penerimaan Departemen/Lembaga baik dalam maupun luar negeri adalah penerimaan anggaran, dan oleh karena itu tidak dapat dipergunakan langsung untuk pengeluaran, akan tetapi disetor sepenuhnya dan pada waktunya sebagimana dimaksud dalam Pasal 9.
(6) Komisi, rabat, potongan atau penerimaan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebagai akibat dari penjualan dan/atau pemborongan/pembelian oleh dan/atau untuk Negara, adalah hak Negara, Penerimaan tersebut apabila berupa uang harus disetor kepada Kas Negara dan apabila berupa barang menjadi milik Negara.
(7) Ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Jaksa Agung, Panitera Mahkamah Agung, Sekretariat Negara, dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang selanjutnya disebut Menteri/ Kepala Lembaga, serta keputusan keputusan lainnya yang lebih rendah yang bertentangan dengan atau tidak sesuai dengan ayat (5) dinyatakan tidak berlaku.

          Pasal 5

(1) Dalam melaksanakan pengeluaran anggaran sejauh mungkin dilaksanakan standardisasi.
(2) Menteri/Ketua Lembaga yang bersangkutan menetapkan peraturan mengenai standardisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Keuangan.
(3) Harga standar untuk pelbagai jenis barang dan kegiatan ditetapkan secara berkala.

          Bagian Pertama

        Penerimaan Anggaran

          Pasal 6

(1) Departemen / lembaga yang mempunyai sumber penerimaan anggaran selambat - lambatnya pada akhir bulan April tahun anggaran berikutnya, dengan surat keputusan menetapkan bendaharawan yang diwajibkan menagih, menerima, dan dan melakukan penyetoran penerimaan anggaran.
(2) Direktorat Jenderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan dan Badan - badan lain yang melakukan pembayaran untuk barang dan jasa dari belanja negara dan/atau belanja daerah ditetapkan sebagai wajib pungut Pajak Pemerintah (PPh) dan pajak lainnya.
(3) Departemen/lembaga :
a. mengadakan insentifikasi penerimaan anggaran yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya baik mengenai jumlahnya maupun ketepatan penyetorannya;
b. mengintensifikasikan penagihan dan pemungutan piutang negara;
c. melakukan penuntutan/pemungutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh Negara.
d. mengintensifikasikan pemungutan sewa atas penggunaan barang - barang milik Negara oleh pihak ketiga.
e. melakukan penuntutan/pemungutan denda yang telah diperjanjikan.
f. melakukan sanksi terhadap kelalaian pembayaran atas piutang-piutang Negara tersebut di atas.
(4) Menteri Keuangan menetapkan barang - barang jenis tertentu milik Negara yang dapat dipergunakan oleh pihak ketiga dengan pembayaran sewa. Hasil pembayaran sewa tersebut merupakan penerimaan anggaran.
(5) Menteri / Ketua Lembaga yang bersangkutan menetapkan tarif sewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mendapat persetujuan tertulis Menteri Keuangan.
(6) Departemen, Lembaga, Kantor, Satuan Kerja, Proyek yang tidak atau tidak sepenuhnya, lambat atau lalai dalam melakukan penyetoran ke Kas Negara atas penerimaan anggaran yang diterimanya dapat dikenakan tindakan berupa diperhitungkannya jumlah yang tidak disetor tersebut dengan jumlah dana yang tersedia dalam Daftar Isian Kegiatan (DIK) atau Daftar Isian Proyek (DIP) bersangkutan cq. dengan pembayaran uang untuk dipertanggungjawabkan (UUDP) bulan berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (10).

          Pasal 7

(1) Departemen/Lembaga menetapkan kebijaksanaan untuk mengadakan pungutan dan/atau menentukan besarnya pungutan setelah mendapat persetujuan tertulis Menteri Keuangan.
(2) Departemen / Lembaga tidak diperkanankan pungutan atau tambahan pungutan yang tidak tercakup dalam Anggaran Pendapatan Negara.
(3) Penghuni rumah dinas atau rumah negeri dikenakan pembayaran sewa rumah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum setelah mendapat persetujuan tertulis Menteri Keuangan.

          Pasal 8

Departemen, Lembaga, Kantor, Satuan Kerja, Proyek dan Badan Usaha Negara dalam rangka usaha peningkatan penerimaan Anggaran Pendapatan Negara, menyampaikan bahan - bahan keterangan untuk keperluan pekerjaan kepada Departemen Keuangan cq. Direktorat Jenderal Pajak.

          Pasal 9

(1) Orang atau Badan yang melakukan pemungutan atau penerimaan uang Negara menyetor seluruhnya selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah penerimaannya kepada :
a. Kantor Kas Negara (KKN) atau ke dalam rekening Kas Negara pada Bank Indonesia milik Pemerintah lainnya atau Giro Pos;
b. Rekening pada bank di luar negeri atas nama Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri cq. Menteri Keuangan sepanjang mengenai anggaran di luar negeri.
(2) Bendaharawan penerima/penyetor berkala sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) menyetor seluruh penerimaan anggaran yang telah dipungutnya dalam waktu-waktu yang telah ditentukan, sekurang-kurangnya sekali seminggu.
(3) Direktorat Jenderal Bea dan cukai, Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan dan Badan-badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) sebagai wajib pungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak lainnya menyetor seluruh penerimaan pajak yang dipungutnya dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Penyetoran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan ke Kantor Kas Negara atau ke dalam rekening Kas Negara pada Bank Indonesia, bank milik Pemerintah lainnya atau Giro Pos dengan uang tunai dan/ atau cek/giro yang ditarik sendiri oleh pemungut yang bersangkutan.
(5) Wajib setor lainnya melaksanakan penyetoran ke Kantor Kas negara atau ke dalam rekening Kas Negara pada Bank Indonesia, bank milik Pemerintah lainnya atau Giro Pos dengan uang tunai dan/atau cek/giro yang baru dapat dianggap sah setelah Kantor Kas Negara menerima nota kredit yang bersangkutan.
(6) Bendaharawan penerima/penyetor berkala dilarang menyimpan uang dalam penguasaannya.
a. Lebih dari batas waktu yang telah ditetapkan daam ayat (2) ;
b. Atas nama pribadi pada suatu bank/Giro Pos ;
c. Atas nama instansinya pada suatu bank/Giro Pos, kecuali atas izin Menteri Keuangan yang ditetapkan dengan suatu surat keputusan.
(7) Barang siapa tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) dapat dikenakan tindakan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
(8) Penerimaan anggaran dibukukan menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

          Pasal 10

(1) Bendaharawan penerima/penyetor berkala selambat-lambatya pada tanggal 10 tiap bulan menyampaikan pertanggungjawaban kepada Departemen/Lembaga masing- masing tentang penerimaan dan penyetoran penerimaan anggaran dalam bulan sebelumnya yang menjadi tanggung jawabnya, dan tembusannya kepada Inspektorat Jenderal Departemen/Unit pengawasan pada Lembaga yang bersangkutan serta Kantor wilayah Direktorat Jenderal Anggaran setempat.
(2) Berdasarkan pertanggungjawaban yang diterimanya dari Bendaharawan penerima/ penyetor berkala dalam lingkungan Departemen/Lembaga masing-masing, selambat- selambatnya pada akhir tiap bulan semua Departemen/Lembaga menyampaikan laporan bulanan kepada Departemen Keuangan mengenai penerimaan anggaran yang dilakukan Bendaharawan penerima dilingkungannya dalam bulan sebelumnya sebagai hasil pelaksanaan Anggaran Pendapatan Negara yang menjadi tanggungjawabnya.

          Pasal 11

(1) Departemen Keuangan melakukan pengawasan atas penerimaan, pembukuan, dan penyetoran penerimaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), pasal 6, pasal 9, dan pasal 10.
(2) Inspektorat Jenderal Departemen/Unit Pengawasan Lembaga melakukan pemeriksa- an atas penerimaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (5), ayat 6, dan ayat (7), pasal 6, pasal 9, dan pasal 10.

          Pasal 12

Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (5) :

a. Sisa UUDP yang terdapat pada tanggal 31 maret harus disetorkan kembali ke Kas Negara selambat-selambatnya pada tanggal 10 April berikutnya;
b. Sisa UUDP yang disetorkan kembali setelah tahun anggaran berakhir, merupakan penerimaan anggaran dari tahun anggaran waktu penyetoran.

          Pasal 13

(1) Barang bergerak milik negara hanya dapat dijual atau diperhitungkan atau di musnahkan jika dinyatakan dihapuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena :
a. berlebih atau tidak dapat digunakan lagi;
b. alasan lain setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan.
(2) Barang tidak bergerak milik Negara, sepanjang tidak diatur lain, hanya dapat dihapuskan untuk dijual, dipindah tangankan, dipertukarkan, dihibahkan, dimusnahkan, setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
(3) Hasil penjualan Barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan penerimaan anggaran.

          Bagian Kedua

        Pengeluaran Anggaran

          Pasal 14

Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. hemat, tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang di syaratkan;
b. terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan serta fungsi masing-masing Departemen/Lembaga;
c. keharusan penggunaan kemampuan/hasil produksi dalam negeri sejauh hal ini dimungkinkan.

          Pasal 15

(1) Dana anggaran yang diperlukan untuk membiayai pengeluaran disediakan dengan penerbitan SKO.
(2) DIK dan DIP berlaku sebagai SKO
(3) SKO hanya berlaku sampai akhir tahun anggaran.
(4) Dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dikecualikan surat-surat keputusan yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku umum bagi pegawai negeri dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3).

          Pasal 16

(1) Pada setiap awal tahun anggaran Menteri/Ketua Lembaga menetapkan pejabat :
a. Yang diberi wewenang untuk menandatangani SKO.
b. Sebagai atasan langsung dari bendaharawan.
c. Sebagai bendaharawan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dilakukan oleh Sekretaris Jenderal/Pimpinan Kesekreta- riatan yang bersangkutan/Panitera Mahkamah Agung.
(3) Dalam penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (7) diperintukan larangan perangkapan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 Undang - undang Perbendaharaan Indonesia (ICW).
(4) Dalam hal bendaharawan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditunjuk maka Kantor Perbendaharaan Negara (KPN)/Kantor Kas Negara (KKN) dilarang melakukan pembayaran kecuali untuk Belanja Pegawai.
(5) Kepala Kantor/Satuan Kerja selambat 0 lambatnya pada akhir bulan April tahun anggaran bersangkutan menetapkan atau menetapkan kembali pejabat yang ditunjuk sebagai pembuat daftar gaji.

Pasal 17 ...