TAMBAHAN
LEMBARAN - NEGARA R.I.


No.3312 FINEK. PAJAK AGRARIA Bangunan. Ekonomi. Uang. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1985
TENTANG
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

1. UMUM
Dalam Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dan perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk perairan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mempunyai fungsi penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak.
Sebelum berlakunya Undang-undang ini, terhadap tanah yang tunduk pada hukum adat telah dipungut pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 dan terhadap tanah yang tunduk pada hukum barat dipungut pajak berdasarkan ordonansi Verponding Indonesia 1923, dan Ordonansi Verponding 1928 Di samping itu terdapat pula pungutan pajak atas tanah serta lain-lain pungutan daerah atas tanah dan bangunan.
Sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan kekayaan telah menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya sehingga mengakibatkan beban pajak berganda bagi masyarakat. Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapat masyarakat.
Oleh karena itu Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928, Ordonansi Pajak Kekayaan 1923, Ordonansi Pajak Jalan 1942, Pasal 14 huruf j, huruf k, dan huruf l Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), dan lain-lain peraturan perundang-undangan tentang pungutan daerah sepanjang mengenai tanah dan bangunan perlu dicabut.
Peraturan Perundang-undangan lainnya terutama yang selama ini menjadi dasar bagi penyelenggaraan pungutan oleh Daerah, khususnya seperti pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor masih berlaku. Dengan mengadakan pembaharuan sistem perpajakan melalui penyederhanaan yang meliputi macam-macam pungutan atas tanah dan/atau bangunan, tarif pajak dan cara pembayarannya, diharapkan kesadaran perpajakan dari masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan pajak akan meningkat pula. Obyek Pajak dalam Undang-undang ini adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di wilayah Republik Indonesia.
Dalam mencerminkan keikutsertaan dan kegotongroyongan masyarakat di bidang pembiayaan pembangunan, maka semua obyek pajak dikenakan pajak. Dalam Undang-undang ini, bumi dan/atau bangunan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dikenakan pajak. Penentuan pengetahuan Pajak Bumi dan Bangunan atas obyek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Hasil penerimaan pajak ini diarahkan kepada tujuan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan, maka sebagian besar hasil penerimaan pajak ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Penggunaan pajak yang demikian oleh daerah akan merangsang masyarakat untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak mereka sekaligus mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat dalam pembiayaan pembangunan.
Karena Pajak Bumi dan Bangunan sebagian besar akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah maka dirasa perlu untuk menetapkan tempat-tempat pembayaran yang lebih mudah dan dekat sehingga Pemerintah Daerah yang bersangkutan dapat segera memanfaatkan hasil penerimaan pajak guna membiayai pembangunan dimasing-masing wilayahnya.
Tempat yang lebih dekat tersebut adalah seperti Bank, Kantor Pos dan Giro serta tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Bagi wajib pajak dimungkinkan memperoleh pengurangan atas pembayaran pajaknya, karena sebab-sebab tertentu atau dalam hal obyek pajak ditimpa bencana alam atau sebab lain yang luar biasa, sehingga wajib pajak tidak mampu membayar hutang pajaknya.

- obyek pajak dengan luas dan nilai jual.
- luas obyek pajak menurut SPOP.
- Pokok pajak =

Rp 1000.000,-

- Sanksi adminitrasi 25% x Rp 1.000.000,- =

Rp. 250.000,-


Jumlah pajak yang terhutang dalam SKP =

Rp 1.250.000,-

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.
Angka 2
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
- jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
- jalan TOL;
- kolam renang;
- pagar mewah;
- tempat olah raga;
- galangan kapal, dermaga;
- taman mewah;
- tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
- fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Angka 3
Yang dimaksud dengan :
- Perbandingan harga dengan obyek lain sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara membandingkannya dengan obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
- Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi pisik obyek tersebut.
- Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak tersebut.
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terhutang.
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
1. letak;
2. peruntukan;
3. pemanfaatan;
4. kondisi lingkungan dan lain-lain.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
1. bahan yang digunakan ;
2. rekayasa;
3. letak;
4. kondisi lingkungan dan lain-lain.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa obyek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.
Contoh :
- pesantren atau sejenis dengan itu;
- madrasah;
- tanah wakaf;
- rumah sakit umum.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan obyek pajak dalam ayat ini adalah obyek pajak yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perorangan dan/atau badan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.
Ayat (3)
Obyek pajak berupa bangunan diberi batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk tiap satu bangunan.
Contoh : 1. Nilai jual bangunan ...........................................
Batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak ............

Nilai jual bangunan kena pajak .........................

Rp. 1.800.000,-
Rp. 2.000.000,-


Rp N i h i l

2. Nilai jual bangunan ...........................................
Batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak ............

Nilai jual bangunan kena pajak .........................

Rp. 10.000.000,-
Rp. 2.000.000,-


Rp. 8.000.000,-

3. Nilai jual bangunan ...........................................
Batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak ............

Nilai jual bangunan kena pajak .........................

Rp. 500.000.000,-
Rp. 2.000.000,-


Rp. 498.000.000,-

Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menentu kan subyek pajak sebagai wajib pajak, apabila sesuatu obyek pajak belum jelas wajib pajaknya.
Contoh :
1. Subyek pajak bernama A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bengunan milik orang lain bernama B bukan karena sesuatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian maka dalam hal demikian A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
2. Suatu obyek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan obyek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
3. Subyek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak obyek pajak, sedang untuk merawat obyek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak. Penunjukan sebagai wajib pajak oleh Direktur Jenderal Pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pada dasarnya penetapan nilai jual obyek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan nilai jual obyek pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas "self assessment"
Ayat (3)
Yang dimaksud Nilai Jual Pajak ("assessment value") adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.
Contoh :
1. Nilai Jual suatu obyek pajak sebesar Rp 1.000.000,- Persentase Nilai Jual Kena Pajak misalnya 20% maka besarnya nilai jual pajak 20% x Rp 1.000.000,- = Rp 200.000,-
2. Nilai jual suatu obyek pajak sebesar Rp 1.000.000,- Persentase Nilai Jual Kena Pajak misalnya 50% maka besarnya nilai jual kena pajak 50% x Rp 1.000.000,- = Rp 500.000,-
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Nilai jual untuk bangunan sebelum ditetapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan batas nilai bangunan tidak kena pajak sebesar Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah).
Contoh :
Wajib pajak A mempunyai obyek pajak berupa :
-
-
-
-
Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp 300.000/m2;
Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp 350.000/m2;
Taman mewah seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp 50.000/m2;
Pagar mewah sepanjang 120 m dan tinggi rat-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp 175.000/m2.
Persentase nilai jual kena pajak misalnya 20%.
Besarnya pajak yang terhutang adalah sebagai berikut :
1. Nilai jual tanah : 800 x Rp 300.000,- =

Rp 240.000.000,-

nilai jual bangunan
a. Rumah dan garasi

400 x Rp.350.000,-

=

Rp 140.000.000,-

b. Taman mewah

200 x Rp 50.000,-

=

Rp 10.000.000,-

c. Pagar mewah

(120 x 1,5) x Rp 175.000,-

=

Rp 31.500.000,-


Rp 181.500.000,-

Batas nilai jual bangunan tidak kena pajak

Rp 2.000.000,-

Nilai Jual bangunan =

Rp 179.500.000,-

Nilai jual tanah dan bangunan =

Rp 419.500.000,-

2. Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang :
a. Atas tanah = 0,5% x 20% x Rp 240.000.000,-
Rp 240.000,-
b. Atas bangunan = 0,5% x 20% x Rp 179.500.000,-
Rp 179.500,-
Jumlah pajak yang terhutang =

Rp 419.500,-

Pasal 4
Ayat (1)
Pasal 8 Ayat (1) Jangka waktu 1 (satu) tahun takwin adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Ayat (2)
Karena tahun pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka keadaan obyek pajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan pajak yang terhutang.
Contoh :
a. Obyek pajak pada tanggal 1 Januari 1986 berupa tanah dan bangunan.
Pada tanggal 10 Januari 1986 bangunannya terbakar, maka pajak yang terhutang tetap berdasarkan keadaan obyek pajak pada tanggal 1 Januari 1986, yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut terbakar;
b. Obyek pajak pada tanggal 1 Januari 1986 berupa sebidang tanah tanpa bangunan di atasnya .
Pada tanggal 10 Agustus 1986 dilakukan pendataan, ternyata diatas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terhutang untuk tahun 1986 tetap dikenakan pajak berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 1986.
Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 1987.
Ayat (3)
Tempat pajak yang terhutang untuk Kotamadya Batam, di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Pasal 9
Ayat (1)
Dalam rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan surat Pemberitahuan Obyek Pajak untuk diisi dan dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Wajib Pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan obyek pajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya dan mengembalikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jelas, benar, dan lengkap adalah :
Jelas, dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun wajib pajak sendiri.
Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah dan/atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) diterbitkan atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP), namun untuk membantu wajib pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dapat diterbitkan berdasarkan data obyek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.
Menurut ketentuan ayat (2) huruf a, wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak pada waktunya, walaupun sudah ditegor secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran itu, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Pajak secara jabatan. Terhadap ketetapan ini dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat (3).
Menurut ketentuan ayat (2) huruf b, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang yang dihitung atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan Pajak secara Jabatan. Terhadap ketetapan ini dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat (3).
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sangsi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, sanksi tersebut dikenakan sebagai tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak.
Surat Ketetapan Pajak memuat penetapan obyek pajak dan besarnya pajak yang terhutang beserta denda administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak.
Contoh :
Wajib pajak A tidak menyampaikan SPOP.
Berdasarkan data yang ada, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan SKP yang berisi:
Ayat (4)
Ayat ini mengatur sanksi adminitrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak terhutang dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT =

Rp 1.000.000,-

Berdasarkan pemeriksaan pajak yang seharusnya terhutang dalam SKP
=



Rp 1.500.000,-

Selisih = Rp 500.000,-
Denda administrasi 25% x Rp 500.000,- =

Rp 125.000,-


Jumlah pajak terhutang dalam SKP =

Rp 625.000,-

Adapun jumlah pajak yang terhutang sebesar =

Rp 1.000.000,-

Yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, apabila belum dilunasi wajib pajak, penagihannya dilakukan berdasarkan surat pemberitahuan Pajak terhutang tersebut.
Pasal 11
Ayat (1)
Contoh :
Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 1986.
Ayat (2)
Contoh :
Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 1986.
Ayat (3)
Menurut ketentuan ini pajak yang terhutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar, tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh :
SPPT tahun pajak 1986 diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 1986 dengan pajak yang terhutang sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah). Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 1986.
Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) yakni : 2% X Rp 100.000,- = Rp 2.000,- Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 1986 adalah:
Pokok pajak + denda administrasi = Rp 100.000,- + Rp 2.000,-
= Rp 102.000,-

Bila wajib pajak tersebut baru membayar hutang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 1986, maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni : 4% x Rp 100.000,- = Rp 4.000,- Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 1986 adalah :

Pokok pajak + denda administrasi = Rp 100.000,- + Rp 4000,-
= Rp 104.000,-
Ayat (4)
Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti tersebut pada contoh penjelasan ayat (3), ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Dalam hal tagihan pajak yang terhutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihan dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.
Pasal 14
Pelimpahan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, bukanlah pelimpahan urusan penagihan, tetapi hanya sebagai pemungut pajak, sedangkan pendataan obyek pajak dan penetapan pajak yang terhutang tetap menjadi kewenangan Menteri Keuangan. Dalam hal jumlah pajak yang terhutang sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang tidak sesuai dengan obyek pajak di lapangan, maka pemungut pajak tidak dibenarkan mengubah jumlah pajak yang terhutang, tetapi harus melaporkan hal tersebut kepada Menteri Keuangan dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 15
Ayat (1)
Keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dan Surat Ketetapan Pajak harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini dimasukkan untuk memberi waktu yang cukup kepada wajib pajak untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasan-alasannya.
Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak karena keadaan diluar kekuasaanya ("force mayeur") maka tenggang waktu tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (4)
Contoh :
Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 1986.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Ketentuan ini mengharuskan wajib pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak, dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan terhadap ketetapan secara jabatan.
Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran Surat Ketetapan Pajak secara jabatan itu, maka keberatannya ditolak.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak, yaitu apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya surat keberatan, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan yang diajukan berarti keberatan tersebut diterima.
Pasal 17
Ayat (1)
Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak yang kurang puas terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan untuk mengajukan banding ke badan peradilan pajak, dalam hal ini seperti yang ada sekarang yaitu Majelis Pertimbangan Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Karena penerimaan pajak ini diarahkan untuk kepentingan masyarakat di Daerah Tingkat II yang bersangkutan, maka sebagian besar penerimaan pajak ini diberikan kepada Daerah Tingkat II
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Kondisi tertentu obyek pajak ada hubungannya dengan subyek pajak dan sebab-sebab tertentu lainnya, berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan yang ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan wajib pajak tertentu, lahan yang nilai jualnya meningkat sebagai akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan serta yang pemanfaatannya belum sesuai dengan peruntukan lingkungan.
Huruf b
- Yang dimaksud dengan bencana alam adalah gempa bumi, banjir, tanah longsor.

- Yang dimaksud dengan sebab lain yang luar biasa adalah seperti :

    - kebakaran;
    - kekeringan;
    - wabah penyakit tanaman;
    - hama tanaman.

Pasal 20
Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk meminta pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), dan ayat (4), kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan sebagian atau seluruh denda administrasi dimaksud.
Pasal 21
Ayat (1)
- Pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan obyek pajak adalah : Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan Pejabat Pembuat Akta tanah.
- Laporan tertulis tentang mutasi obyek pajak misalnya antara lain jual beli, hibah, warisan, harus disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak.
Ayat (2)
Pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) misalnya antara lain :
Kepala Kelurahan atau Kepala Desa, Pejabat Dinas Tata Kota, Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan, Pejabat Agraria, Pejabat Balai Harta Peninggalan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Pasal 22 Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pejabat dalam pasal ini ialah antara lain :
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Staatsblad 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan peraturan peundang-undangan lainnya adalah antara lain Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.
Pasal 24
Kealpaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, dan kurang hati-hati sehingga perbuatan tersebut mengakibatkab kerugian bagi negara.
Surat Pemberitahuan Obyek Pajak harus dikembalikan/disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
Pasal 25
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja merupakan tindak pidana kejahatan, karena itu diancam dengan pidana yang lebih berat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bukan wajib pajak dalam ayat ini yaitu pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan obyek pajak ataupun pihak lainnya.
Ayat (3)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana perpajakan maka bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesai menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda, dikenakan pidana lebih berat ialah 2 (dua) kali lipat dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 26
Penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kewajiban menyimpan dokumen perpajakan yang lamanya 10 (sepuluh) tahun .
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap obyek yang digunakan dalam rangka Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya yang perjanjiannya ditandatangani sejak berlakunya Undang-undang ini yaitu tanggal 1 Januari 1986, sedangkan untuk Kontrak karya dan Kontrak Bagi Hasil yang telah ada tetap berlaku ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kontrak karya dan Bagi Hasil tersebut.
Pasal 31
Cukup jelas