DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 1992
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa peranan usaha perasuransian di Indonesia dalam menunjang pembangunan nasional perlu diarahkan agar dalam kegiatan usahanya, Perusahaan Perasuransian di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang dengan tidak mengabaikan prinsip usaha yang sehat dan bertanggung jawab;
b. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur penyelenggaraan usaha perasuransian di dalam suatu Peraturan Pemerintah.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971 tentang Perubahan dan Penambahan atas ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2959);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467);
4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3502);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan :
1. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Asuransi Jiwa.
2. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi adalah Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria.
3. Retensi Sendiri adalah bagian dari jumlah uang pertanggungan untuk setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri tanpa dukungan reasuransi.
4. Pengurus adalah direksi untuk perseroan terbatas atau persero, atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan usaha bersama.
5. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

BAB II
PENUTUPAN OBYEK ASURANSI

Pasal 2

Obyek asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi yang mendapat izin usaha dari Menteri, kecuali dalam hal :
a. tidak ada Perusahaan Asuransi di Indonesia, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang memiliki kemampuan menahan risiko asuransi dari obyek yang berangkutan; atau
b. tidak ada Perusahaan Asuransi yang bersedia melakukan penutupan asuransi atas obyek yang bersangkutan; atau
c. pemilik obyek asuransi yang bersangkutan bukan warga negara Indonesia atau bukan badan hukum Indonesia.

BAB III
PERIZINAN USAHA PERASURANSIAN

Bagian Pertama
Persyaratan Umum Perusahaan Perasuransian

Pasal 3

(1) Perusahaan Perasuransian dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa :
1. maksud dan tujuan pendirian perusahaan hanya untuk menjalankan salah satu jenis usaha perasuransian;
2. perusahaan tidak memberikan pinjaman kepada pemegang saham.
b. Susunan organisasi perusahaan sekurang-kurangnya meliputi fungsi-fungsi sebagai berikut :
1. Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan;
2. Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan;
3. Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang jasa yang diselenggarakannya.
c. Memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahanya dalam jumlah yang memadai untuk mengelola kegiatan usahanya.
e. Melaksanakan pengelolaan perusahaan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini, yang sekurang-kurangnya didukung dengan :
1. Sistem pengembangan sumber daya manusia;
2. Sistem administrasi;
3. Sistem pengelolaan data.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai huruf d dan huruf e ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 4

(1) Perusahaan Perasuransian yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang seluruh atau mayoritas pemiliknya warga negara Indonesia, seluruh anggota dewan komisaris dan Pengurus harus warga negara Indonesia.
(2) Anggota dewan komisaris dan anggota direksi Perusahaan Perasuransian yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing harus warga negara Indonesia dan warga negara asing, atau seluruhnya warga negara Indonesia.

Pasal 5

(1) Anggota dewan komisaris dan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perasuransian dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang perasuransian dan perekonomian, serta memiliki akhlak dan moral yang baik.
(2) Sekurang-kurangnya separo dari jumlah anggota Pengurus harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan risiko.
(3) Pengurus tidak diperkenankan merangkap jabatan pada perusahaan lain kecuali untuk jabatan komisaris.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 6

(1) Modal disetor bagi perusahaan yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang seluruh atau mayoritas pemiliknya warga negara Indonesia, untuk masing-masing Perusahaan Perasuransian sekurang-kurangnya sebagai berikut :
a. Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Kerugian;
b. Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), bagi perusahaan Asuransi Jiwa;
c. Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) bagi perusahaan Reasuransi;
d. Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), bagi Perusahaan Pialang Asuransi;
e. Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), bagi Perusahaan Pialang Reasuransi.
(2) Dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, modal disetor untuk masing-masing Perusahaan Perasuransian sekurang-kurangnya sebagai berikut :
a. Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Kerugian;
b. Rp. 4.500.000.000,- (empat milyar lima ratus juta rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Jiwa;
c. Rp. 30.000.000.000,- (tiga puluh milyar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi;
d. Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Pialang Asuransi;
e. Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Pialang Reasuransi.
(3) Pada saat pendirian perusahaan, penyertaan langsung pihak asing dalam Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling banyak 80% (delapan puluh per seratus).
(4) Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memiliki perjanjian antar pemegang saham yang memuat kesepakatan mengenai rencana peningkatan kepemilikan saham pihak Indonesia.

Pasal 7

(1) Pada awal pendirian, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus menempatkan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh per seratus) dari modal disetor yang dipersyaratkan, dalam bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum di Indonesia yang bukan Afiliasi dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan.
(2) Deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis.
(3) Penempatan deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus atas nama Menteri untuk kepentingan perusahaan yang bersangkutan.
(4) Deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disesuaikan dengan perkembangan volume usaha yang besarnya ditetapkan oleh Menteri dengan ketentuan besarnya deposito dimaksud tidak kurang dari yang dipersyaratkan pada awal pendirian.
(5) Deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dicairkan atas persetujuan Menteri berdasarkan :
a. atas permintaan likuidator dalam hal perusahaan dilikuidasi; atau
b. atas permintaan perusahaan yang bersangkutan dalam hal izin usahanya dicabut atas permintaan perusahaan yang bersangkutan dengan ketentuan kewajibannya telah diselesaikan.


Pasal 8

(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus menyelenggarakan :
a. Pengembangan sumber daya manusia yang dapat menunjang pengelolaan perusahaan secara profesional, pengembangan perusahaan secara sehat, adanya kemampuan dalam mengikuti perkembangan teknologi, serta penyelenggaraan jasa asuransi secara tertib dan bertanggung jawab;
b. Administrasi keuangan yang dapat menunjang ketertiban pengelolaan keuangan dan pelaksanaan pengendalian intern perusahaan;
c. Pengelolaan data yang dapat menunjang pelaksanaan fungsi pengelolaan risiko, pemasaran, penyelesaian klaim dan pelayanan kepada pemegang polis, serta memungkinkan tersedianya data yang relevan, akurat, dan tepat waktu, untuk pemeriksaan dan pengawasan perusahaan maupun analisis dalam rangka pengembangan perusahaan.
(2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi harus menyelenggarakan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b.
(3) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan Konsultan Aktuaria harus menyelenggarakan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Kedua Perizinan Perusahaan Pereasuransian

Pasal 9

(1) Pemberian izin bagi Perusahaan Perasuransian dilakukan dalam dua tahap, yaitu :
a. persetujuan prinsip;
b. izin usaha.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak berlaku bagi agen asuransi dan konsultan aktuaria.
(3) Permohonan persetujuan prinsip bagi Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diajukan kepada Menteri dengan melampirkan :
a. Anggaran dasar perusahaan yang dibuat di hadapan notaris;
b. Rencana susunan organisasi perusahaan;
c. Rencana penggunaan tenaga ahli oleh perusahaan;
d. Rencana kerja perusahaan dalam garis besar;
e. Rancangan perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing;
f. Program asuransi yang akan dipasarkan dan rencana reasuransinya, khusus bagi Perusahaan Asuransi;
g. Bukti penempatan deposito sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(5) Permohonan izin usaha Perusahaan Perasuransian disampaikan kepada Menteri dengan melampirkan :
a. Anggaran dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;
b. Susunan organisasi perusahaan;
c. Bukti pemenuhan penyetoran modal disetor;
d. Surat pengangkatan tenaga ahli yang dipekerjakan oleh perusahaan;
e. Program kerja perusahaan serta rincian persiapan yang telah dilakukan;
f. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing;
g. Contoh polis, perhitungan premi, dan perjanjian reasuransi dari program asuransi yang akan dipasarkan, bagi Perusahaan Asuransi;
h. Perjanjian retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi;
i. Perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni, bagi Perusahaan Agen Asuransi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (3) dan ayat (5) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 10

Izin usaha Perusahaan Perasuransian dapat dicabut apabila, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan, Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan tidak menjalankan kegiatan usahanya.


B A B IV
KESEHATAN KEUANGAN

Pasal 11

(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib menjaga tingkat solvabilitas.
(2) Tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah selisih antara kekayaan yang diperkenankan dengan jumlah kewajiban dan modal disetor yang dipersyaratkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tingkat solvabilitas dan kekayaan yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 12

(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki dan menerapkan Retensi Sendiri, yang besarnya didasarkan pada kemampuan keuangan dan tingkat risiko yang dihadapi.
(2) Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi harus menjaga perimbangan yang sehat antara jumlah premi neto dengan jumlah premi bruto, dan perimbangan antara jumlah premi neto dengan modal sendiri.
(3) Perusahaan Asuransi Jiwa yang menyelenggarakan program asuransi kecelakaan diri dan program asuransi kesehatan harus menjaga perimbangan yang sehat antara jumlah premi neto dengan jumlah premi bruto yang berasal dari program termaksud,, dan perimbangan antara jumlah premi neto yang berasal dari program termaksud dengan modal sendiri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 13

(1) Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki tingkat likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi.
(2) Menteri menetapkan jenis-jenis investasi yang tidak boleh dilakukan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

Pasal 14

(1) Setiap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus membentuk cadangan teknis asuransi sesuai dengan jenis asuransi yang diselenggarakan, yaitu :
a. Candangan teknis asuransi kerugian, terdiri dari cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan, dan cadangan klaim.
b. Cadangan teknis asuransi jiwa, terdiri dari cadangan premi, cadangan premi anuitas, cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan dan cadangan klaim.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 15

(1) Setiap penutupan asuransi yang jumlah uang pertanggungannya melebihi Retensi Sendiri harus memperoleh dukungan reasuransi.
(2) Penempatan reasuransi ke luar negeri, baik yang dilakukan langsung oleh Perusahaan Asuransi maupun yang dilakukan Perusahaan Pialang Reasuransi, hanya dapat dilakukan pada penanggung ulang yang oleh Perusahaan Asuransi yang bersangkutan dapat dibuktikan telah memenuhi persyaratan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) berlaku pula dalam hal penempatan retrosesi ke luar negeri oleh Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi.
(4) Jumlah premi penutupan langsung Perusahaan Asuransi harus lebih besar dari jumlah premi penutupan tidak langsung.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 16

(1) Setiap perjanjian Reasuransi harus dibuat secara tertulis dan tidak merupakan perjanjian yang menjanjikan keuntungan pasti bagi penanggung ulangnya.
(2) Dalam perjanjian reasuransi harus dinyatakan bahwa hal Perusahaan Asuransi dilikuidasi, hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi yang timbul dalam transaksi reasuransi sampai dengan saat Perusahaan Asuransi dilikuidasi diselesaikan oleh likuidator.


BAB V
PENYELENGGARAAN USAHA

Pasal 17

Dalam setiap pemasaran program asuransi harus diungkapkan informasi yang relevan, tidak ada yang bertentangan dengan persyaratan yang dicantumkan dalam polis, dan tidak menyesatkan.


Pasal 18

(1) Perusahan Asuransi harus terlebih dahulu melaporkan kepada menteri setiap program asuransi baru yang dipasarkan.
(2) Perusahaan Asuransi dilarang memasarkan program asuransi baru yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.


Halaman berikutnya