Pasal 19

(1) Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata, kata-kata, atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya.
(2) Dalam polis atau dokumen yang merupakan kesatuan dengannya, harus dimuat rincian mengenai bagian premi yang diteruskan kepada Perusahaan Asuransi dan bagian premi yang dibayarkan kepada Perusahaan Pialang Asuransi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 20

(1) Premi harus ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif.
(2) Tingkat premi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinilai tidak mencukupi, apabila :
a. sedemikian rendah sehingga sangat tidak sebanding dengan manfaat yang diperjanjikan dalam polis asuransi yang bersangkutan;
b. penerapan tingkat premi secara berkelanjutan akan membahayakan tingkat solvabilitas perusahaan;
c. penerapan tingkat premi secara berkelanjutan akan dapat merusak iklim kompetisi yang sehat.
(3) Tingkat premi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinilai berlebihan apabila sedemikian tinggi sehingga sangat tidak sebanding dengan manfaat yang diperjanjikan dalam polis asuransi yang bersangkutan.
(4) Penerapan tingkat premi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinilai bersifat diskriminatif apabila tertanggung dengan luas penutupan yang sama serta dengan jenis dan tingkat risiko yang sama dikenakan tingkat premi yang berbeda.

Pasal 21

(1) Penetapan tingkat premi asuransi harus didasarkan pada perhitungan analisis risiko yang sehat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 22

(1) Premi asuransi dapat dibayarkan langsung oleh tertanggung kepada Perusahaan Asuransi,atau melalui Perusahaan Pialang Asuransi untuk kepentingan tertanggung.
(2) Dalam hal premi asuransi dibayarkan melalui Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Asuransi wajib menyerahkan premi tersebut kepada Perusahaan Asuransi sebelum berakhirnya tenggang waktu pembayaran premi yang ditetapkan dalam polis asuransi yang bersangkutan.
(3) Dalam hal penyerahan premi oleh Perusahaan Pialang Asuransi dilakukan setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Perusahaan Pialang Asuransi yang bersangkutan wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul dari kerugian yang terjadi dalam jangka waktu antara habisnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan diserahkannya premi kepada Perusahaan Asuransi.

Pasal 23

(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.
(2) Tertanggung dalam melakukan pengurusan penyelesaian klaim dapat menunjuk pihak lain, termasuk Perusahaan Pialang Asuransi yang dipergunakan jasanya oleh tertanggung dalam penutupan asuransi yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 24

(1) Perusahaan pialang Asuransi wajib memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya kepada penanggung tentang obyek asuransi yang dipertanggungkan, dan wajib menjelaskan secara benar kepada tertanggung tentang ketentuan isi polis, termasuk mengenai hak dan kewajiban tertanggung.
(2) Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menerbitkan dokumen penutupan sementara dan atau polis asuransi.
(3) Perusahaan Pialang Asuransi harus menjaga perimbangan yang sehat antara jumlah premi yang belum disetor kepada Perusahaan Asuransi dan jumlah modal sendiri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 25

(1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memberikan keterangan yang sejelas- jelasnya kepada penanggung ulang tentang obyek asuransi yang diasuransikan, serta kepada penanggung tentang hak dan kewajibannya.
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi yang menerima pembayaran premi dari penanggung wajib menyetorkannya kepada penanggung ulang sesuai dengan tenggang waktu pembayaran premi sebagaimana yang tertera dalam perjanjian reasuransi.

Pasal 26

(1) Setiap penilai kerugian asuransi dalam menjalankan usahanya harus mempergunakan keahlian berdasarkan norma profesi yang berlaku.
(2) Setiap konsultan aktuaria dalam menjalankan kegiatan usahanya harus mempergunakan keahlian berdasarkan norma profesi yang berlaku.
(3) Menteri dapat memberikan arahan bagi penilai kerugian asuransi dan konsultan aktuaria dalam menyusun norma profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 27

(1) Setiap Agen Asuransi hanya dapat menjadi agen dari 1 (satu) Perusahaan Asuransi.
(2) Agen Asuransi wajib memiliki perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni.
(3) Semua tindakan Agen Asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab Perusahaan Asuransi yang diageni.
(4) Agen Asuransi dalam menjalankan kegiatannya harus memberikan keterangan yang benar dan jelas kepada calon tertanggung tentang program asuransi yang dipasarkan dan ketentuan isi polis, termasuk mengenai hak dan kewajiban calon tertanggung.

Pasal 28

(1) Perusahaan Perasuransian dapat menggunakan tenaga asing sebagai tenaga ahli, penasihat atau konsultan yang penggunaannya :
a. hanya untuk melaksanakan proyek atau program tertentu yang berkaitan dengan kegiatan operasional dibidang perasuransian; dan
b. jangka waktu untuk proyek atau program sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Perusahaan Perasuransian yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat menggunakan tenaga asing sebagai tenaga eksekutif di luar Pengurus dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. tenaga asing tersebut menduduki jabatan yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja warga negara Indonesia;
b. mempunyai program Indonesianisasi yang jelas melalui pendidikan dan latihan.
(3) Disamping persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penggunaan tenaga kerja asing serta tata cara penggunaannya mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 29

(1) Setiap pembukaan kantor cabang Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yang dalam kegiatannya memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak penutupan asuransi dan atau menandatangani polis dan atau menetapkan untuk membayar atau menolak klaim, harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Menteri.
(2) Untuk memperoleh izin pembukaan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas.
(3) Kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memiliki tenaga ahli, sistem administrasi dan sistem pengolahan data yang memadai.
(4) Setiap pembukaan kantor Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi selain kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus terlebih dahulu dilaporkan kepada Menteri.
(5) Setiap pembukaan kantor cabang Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dalam bentuk atau dengan nama apapun harus terlebih dahulu dilaporkan kepada Menteri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 30

(1) Izin pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dapat dicabut, apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal izin pembukaan kantor cabang yang bersangkutan tidak menjalankan kegiatan usahanya.
(2) Setiap penutupan kantor cabang Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib dilaporkan kepada Menteri.

Pasal 31

(1) Setiap perubahan terhadap ketentuan persyaratan yang telah dipenuhi dalam rangka pemberian izin usaha, harus terlebih dahulu dilaporkan kepada Menteri.
(2) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memenuhi ketentuan Peraturan pelaksanaannya, Menteri memerintahkan dilakukannya perbaikan terhadap perubahan dimaksud agar tetap memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

BAB VI
PENYELENGGARAAN PROGRAM ASURANSI SOSIAL

Pasal 32

(1) Program Asuransi Sosial merupakan program asuransi yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu Undang-undang.
(2) Program Asuransi Sosial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk khusus untuk itu.

Pasal 33

Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial dilarang menyelenggarakan program asuransi lain selain Program Asuransi Sosial.

Pasal 34

Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial dalam menyelenggarakan usahanya wajib memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah ini beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 35

(1) Perusahaan Asuransi yang telah menyelenggarakan Program Asuransi Sosial pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, diwajibkan untuk menyesuaikan kegiatannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta jangka waktunya ditetapkan oleh Menteri.

BAB VII
MERGER DAN KONSOLIDASI

Pasal 36

(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang akan melakukan merger atau konsolidasi harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Menteri.
(2) Merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan antara :
a. Perusahaan Asuransi Kerugian dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau dengan Perusahaan Reasuransi, untuk membentuk Perusahaan Asuransi Kerugian;
b. Perusahaan Reasuransi dengan Perusahaan Reasuransi atau dengan Perusahaan Asuransi Kerugian, untuk membentuk Perusahaan Reasuransi; atau
c. Perusahaan Asuransi Jiwa dengan Perusahaan Asuransi Jiwa, untuk membentuk Perusahaan Asuransi Jiwa.
(3) Untuk memperoleh persetujuan merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dipenuhi ketentuan :
a. Merger atau konsolidasi tersebut tidak mengurangi hak tertanggung;
b. Kondisi keuangan perusahaan hasil merger atau konsolidasi harus tetap memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas.
(4) Tatacara permohonan persetujuan untuk melakukan merger atau konsolidasi ditetapkan oleh Menteri.

BAB VIII
S A N K S I

Pasal 37

Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaannya tentang perizinan usaha, kesehatan keuangan, penyelenggaraan usaha, penyampaian laporan, pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi, atau tentang pemeriksaan langsung, dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha, dan sanksi pencabutan izin usaha.

Pasal 38

(1) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, maka terhadap :
a. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratip Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
b. Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratip Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 39

(1) Pengenaan denda administratip berakhir pada saat pembayaran denda ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara yang diikuti dengan penyampaian laporan keuangan tahunan dan atau laporan operasional tahunan dan atau pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selambat-lambatnya dalam 2 (dua) hari kerja.
(2) Dalam hal laporan keuangan tahunan dan atau laporan operasional tahunan telah disampaikan dan atau neraca dan perhitungan laba rugi telah diumumkan tetapi perusahaan yang bersangkutan belum membayar denda administratip, denda tersebut dinyatakan sebagai hutang kepada negara yang harus dicantumkan dalam neraca perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 40

Perusahaan Perasuransian yang telah dikenakan denda selama 90 (sembilan puluh) hari keterlambatan tetapi belum juga menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dengan tidak membebaskan kewajiban membayar denda yang telah dikenakan untuk jangka 90 (sembilan puluh) hari termaksud, dikenakan sanksi pembatasan usaha.

Pasal 41

(1) Pengenaan sanksi peringatan dilakukan oleh Menteri segera setelah diketahui adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
(2) Penggunaan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal perusahaan telah dikenakan sanksi peringatan terahkir, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah peringatan dimaksud perusahaan tetap tidak memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan, perusahaan yang bersangkutan dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha.

Pasal 42

(1) Sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2) Dalam hal Menteri menilai diperlukan adanya suatu rencana kerja dalam rangka mengatasi penyebab dari sanksi pembatasan kegiatan usaha, pada saat penetapan pembatasan kegiatan usaha Menteri dapat memerintahkan penyusunan rencana kerja yang harus disampaikan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
(3) Dalam hal Perusahaan Perasuransian dapat mengatasi penyebab dari sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mencabut sanksi pembatasan kegiatan usaha.
(4) Dalam hal Perusahaan Perasuransian tidak dapat mengatasi penyebab dari sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau dari pelaksanaan rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam jangka waktu sampai berakhirnya sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpulkan bahwa perusahaan tidak mampu atau tidak bersedia mengatasi penyebab dari sanksi termaksud, Menteri mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 43

(1) Menteri dapat mencabut izin usaha Perusahaan Pialang Asuransi yang diwajibkan membayar klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
(2) Tanpa mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42, pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut :
a. Pengenaan sanksi peringatan dilakukan oleh Menteri segera setelah diketahui adanya kewajiban pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
b. Pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha dilakukan oleh Menteri apabila Perusahaan Pialang Asuransi tidak memenuhi kewajiban pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah ditetapkannya sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
c. Pengenaan sanksi pencabutan izin usaha dilakukan oleh Menteri apabila Perusahaan Pialang Asuransi tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah ditetapkannya sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
d. Dalam hal Perusahaan Pialang Asuransi dapat memenuhi kewajiban membayar klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) sebelum ditetapkannya sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Menteri mencabut sanksi pembatasan kegiatan usaha.
(3) Dalam hal terdapat Perusahaan Pialang Asuransi yang diwajibkan membayar klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) untuk kedua kalinya, maka pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Pialang Asuransi yang bersangkutan dianggap sebagai kelanjutan dari pelanggaran sebelumnya dan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mengikuti kelanjutan tahapan pelaksanaan pengenaan sanksi yang pernah dilakukan tanpa harus mengulangi dari tahap pemberian peringatan.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44

(1) Bagi Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin usaha pada saat Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, izin usahanya dinyatakan tetap berlaku, dan diwajibkan menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Perusahaan Pialang Asuransi yang telah mendapat izin usaha pada saat Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, wajib memperbarui izin usahanya sebagai Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi.
(3) Penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 45

Peraturan pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1988 tentang Usaha Di Bidang Asuransi Kerugian serta ketentuan lainnya masih berlaku sampai dengan diberlakukannya peraturan perundang-undangan yang menggantikannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 46

Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1988 tentang Usaha Di Bidang Asuransi Kerugian dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 47

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 Oktober 1992

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

S O E H A R T O

Diundangkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 Oktober 1992

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

M O E R D I O N O


Halaman berikutnya: