DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

P E N J E L A S A N

A T A S

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 47 TAHUN 1994

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN


UMUM

Sistem pengenaan pajak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakn sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 adalah memeberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Pemerintah dalam hal ini aparatur perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban memberikan penyuluhan dan pembinaan serta pengawasan, agar masyarakat Wajib Pajak mau dan mampu melaksanakan kewajibanperpajakannya dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sehubungan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahn 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan agar masyarakat Wajib Pajak dapat memenuhi kewajibannya dengan mudah dan aparatur perpajakan dapat melakukan pembinaan dan pengawasan dengan baik, maka dipandang perlu mengatur tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dam tahun berjalan dengan Peraturan Pemerintah.


PASAL DEMI PASAL

PASAL 1
Ayat (1)
Pada dasarnya Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51), Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264), Sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.



          BAB I

    BIAYA DAN PENGHITUNGAN PENGHASILAN


          Pasal 1

(1) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan Undang-undnag Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali :

Pasal 2
Sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak, Bertitik tolak dari isi ketentuan tersebut, maka pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Huruf a
Berdasarkan prinsip tersebut diatas, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang merupakan Objek Pajak.
Huruf b dan huruf c
Selaras dengan prinsip tersebut diatas, biaya-biaya yang berkenan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri dan penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan dengan menggunakan tarif umum.
Huruf d
Pada dasarnya Pajak Penghasilan atas Wajib Pajak luar negeri yang dipotong berdasarkan Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tidak dapat dibebankan sebagai biaya oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang bersangkutan. Namun berdasarkan pertimbangan ekonomi masih diperlukan modal, teknologi, dan jasa dari luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali dividen, yang ditanggung oleh pemberi penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.

Contoh :

PT. ABC membayar bunga kepada Bank di luar negeri sebesar Rp. 100.000.000,00 yang Pajak Penghasilannya ditanggung oleh PT. ABC, dengan tarif pemotongan sebesar 20%.

- Jumlah yang dijadikan dasar pengenaan Pajak Penghasilan Paal 26 =

100
---
80


x

Rp.100.000.000,00

=

Rp.125.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang =

20 % x Rp.125.000.000,00 = Rp.25.000.000,00
- Jumlah biaya bungan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT. ABC. =

Rp.125.000.000,00 ( Rp.100.000.000,00 + Rp.25.000.000,00 )



Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan diakui pada saat diterima secara tunai (metode kas) atau pada saat diperoleh (metode akrual).

Dalam perusahaan-perusahaan kontraktor yang pengakuan penghasilannya dilakukan berdasarkan metode akrual, dijumpai cara atau metode yang lazim digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan yaitu :
a. penghasilan diakui secara periodik atas dasar persentase dari pekerjaan yang diselesaikan. Dengan demikian penghasilan diakui secara proporsional sesuai dengan tahap penyelesaian pekerjaan. Cara ini lazim dijumpai dalam perusahaan-perusahaan konstruksi atau kontraktor bangunan yang mengerjakan proyek-proyek yang memakan waktu beberapa tahun. Metode ini dikenal sebagai metode persentase penyelesaian ("percentage contract method"), atau
b. penghasilan diakui pada saat kontrak telah selesai. Cara ini dikenal atau lazim disebut metode kontrak selesai ("completed contract method").

Penggunaan salah satu di antara kedua metode pengakuan penghasilan tersebut di atas, akan menghasilkan jumlah penghasilan yang berbeda dari tahun ketahun dan perbedaan dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tiap tahun pajak sebagai berikut :
a. dalam hal pengakuan penghasilan dilakukan berdasarkan "metode persentase penyelesaian", maka penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang dilakukan setiap tahun pajak atas dasar penghasilan yang diperoleh secara periiodik (proporsional) selama tahap penyelesaian pekerjaan.
b. dalam hal pengakuan penghasilan dilakukan berdasarkan "metode kontrak selesai", penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang dilakukan pada saat atau pada tahun pajak selesainya pelaksanaan pekerjaan, karena penghasilan baru diakui pada akhir tahun selesainya pekerjaan. Selama tahap penyelesaian pekerjaan tidak dilakukan penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang.
Mengingat akan hal tersebut di atas, maka ketentuan tentang pengakuan penghasilan dilakukan berdasarkan persentase tinghkat penyelesaian pekerjaan yang dimaksudkan untuk :
a. meratakan pembebanan pajak dalam setiap tahun pajak selama jangka waktu penyelesaian pekerjaan yang dapat meringankan beban Wajib Pajak, karena pembayaran pajak pada suatu tahun pajak sesuai dengan penghasilan yang diperoleh secara proporsional selama tahap penyelesaian pekerjaan, dan beban pajak tersebut tidak menumpuk pada akhir tahun penyelesaian pekerjaan;
b. memperoleh keseragaman dalam pengakuan penghasilan bagi semua Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang kontraktor konstruksi atau kontraktor bangunan;
c. memberikan perlakuan yang sama bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam usaha yang sama.

Ayat (1)
Ketentuan ini mewajibkan bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang konstruksi dan kontrakstor bangunan untuk mempergunakan metode persentase tingkat penyelesaian ("percentage of completion method") dalam menentukan besarnya laba bruto usaha dalam suatu tahun pajak.
Ayat (2)
Untuk menghitung penghasilan neto, maka laba bruto usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi dengan biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomo r7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, misalnya biaya umum dan administrasi.

Pasal 5
Dalam praktek dunia usaha daapt ditemui belum adanya keseragaman mengenai saat pengakuan penghasilan dan biaya untuk bidang-bidang usaha tertentu, sehingga menimbulkan perbedaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak. Dapat pula terjadi kemungkinan penggeseran penghasilan dan biaya yang dapat mengakibatkan penghitungan penghasilan dalam suatu tahun pajak secara tidak wajar.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menentukan saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi bidang usaha tertentu seperti perusahaan yang bergerak dalam bidang properti dan pengusahaan lapangan golf.

Pasal 6
Ketentuan ini mengatur tentang saat terutangnya dan pemungutan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Saat terutyangnya pemotongan dan pemungutan pajak berkaitan dengan tanggal jatuh tempo pembayaran pajak yaitu batas terakhir penyetoran pajak yang telah dipotong atau dipungut ke bank persepsi atau kantor Pos dan Giro.

Dalam ketentuan ini diatur mengenai saat terutangnya pemotongan dan pemungutan pajak, yaitu dikaitkan dengan saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan.

Yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang dianutnya.

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan saat lain mengenai terutangnya pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 selain saat pembayaran.
Ayat (3)
Pada dasarnya terutangnya pemotongan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau terutangnya penghasilan. Untuk penghasilan berupa deviden, terutangnya penghasilan adalah pada saat dividen ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau diumumkan siapa yang berhak atas pembagian dividen, atau pada saat dibayarkan kepada pemegang saham, dengan memperhatikan saat mana yang terjadi lebih dahulu.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 8

      Dengan dikecualikannya badan perwakilan negara asing dan organisasi internasional dari kewajiban melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, maka Wajib Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari badan-badan tersebut berkewajiban menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah Pajak Penghasilan yang terutang.

Pasal 9

      Misalnya pembayaran pajak Penghasilan atas komisi impor ("handling fee") oleh importir yang mengimpor barang atas dasar index. Pembayaran tersebut merupakan pembayaran sendiri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Pasal 10

      Ayat (1)

        Wajib pajak dapat memilih untuk menggunakan tahun pajak berdasarkan tahun takwim atau tahun buku, tapi harus dilaksanakan secara taat asaa (konsisten). Perubahan tahun buku dapat dilakukan, setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

      Ayat (2)

        Cukup jelas

Pasal 11

      Ayat (1)

        Berdasarkan ketentuan ini, sisa pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud kecuali harta berupa bangunan dan harta tidak berwujud sebelum tahun pajak 1995 yang boleh disusutkan atau diamortisasi adalah apabila harta tersebut masih dimiliki pada awal tahun pajak 1995 dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.

        Untuk menghitung besarnya penyusutan atau amortisasi untuk tahun pajak 1995 atas sisa pengeluaran tersebut, maka sisa masa manfaat harta tersebut tanpa memperhatikan jenisnya merupakan titik tolak untuk menentukan harta tersebut ke dalam kelompok harta sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (6) atau Pasal 1A ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

        Contoh:
        Mesin yang digunakan dalam usaha industri yang menurut peraturan termasuk dalam Golongan I telah digunakan selama 2 (dua) tahun, sisa manfaat mesin tersebut adalah 2 (dua) tahun. Apabilaberdasarkan ketentuan baru mesin tersebut termasuk dalam Kelompok I yang masa manfaatnya 4 tahun, maka untuk perhitungan penyusutan dimaksud dalam kelompok harta yang mempunyai masa manfaat sesuai sisa manfaat harta tersebut, yaitu masuk dalam Kelompok I. Apabila tidak termasuk dalam masa manfaat yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (6) atau Pasal 11A ayat (2), maka dimasukkan dalam kelompok harta yang masa manfaatnya terdekat dengan sisa masa manfaat harta tersebut

        Dalam hal sisa masa manfaat harta berada di tengah-tengah antara kelompok harta yang satu dengan yang lain, maka Wajib pajak boleh memilih untuk menentukan kelompok harta tersebut, misalnya apabila sisa manfaat harta 6 (enam) tahun, maka Wajib Pajak boleh memilih Kelompok 1 atau Kelompok 2.

      Ayat (2)

        Cukup jelas

      Ayat (3)

        Cukup jelas

      Ayat (4)

        Penyusutan ats harta berupa bangunan baik eprmanen maupun tidak permanen dilakukan dengan cara meneruskan penyusutan yang telah dilkukan dalam tahun-tahun sebelum tahun pajak 1995 dengan memperhatikan harga (nilai) perolehan dan sisa manfaat harta tersebut.

        Contoh :

        Harga perolehan bagunan = Rp.2.000.000.000,00
        Telah disusutkan s/d tahun pajak 1994
        selama 10 tahun:
        10 x 5% x Rp.2.000.000.000,00


        =


        Rp.1.000.000.000,00
        Nilai sisa buku pada 1 Januari 1995 = Rp.1.000.000.000,00


        Penyusutan dalam tahun pajak 1995 dan tahun-tahun pajak selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama dengan tahun-tahun pajak sebelum tahun pajak 1995 yaitu sebesar 5% x Rp.2.000.000.000,00 = Rp.100.000.000,00

Pasal 12

      Cukup jelas

Pasal 13

      Dengan penurunan tarif Pajak Penghasilan yang mulai berlaku sejak tahun pajak 1995 Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri dalam tahun pajak berjalan 1995. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 14

      Cukup jelas

Pasal 15

      Cukup jelas

Pasal 16

      Cukup jelas

Pasal 17

      Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3579