Sistem pengenaan pajak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakn sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 adalah memeberikan kepercayaan
dan tanggung jawab yang lebih besar kepada masyarakat Wajib Pajak untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Pemerintah dalam hal ini aparatur
perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban memberikan penyuluhan dan
pembinaan serta pengawasan, agar masyarakat Wajib Pajak mau dan mampu melaksanakan
kewajibanperpajakannya dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Sehubungan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahn 1994 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan agar
masyarakat Wajib Pajak dapat memenuhi kewajibannya dengan mudah dan aparatur
perpajakan dapat melakukan pembinaan dan pengawasan dengan baik, maka dipandang
perlu mengatur tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan
Pajak Penghasilan dam tahun berjalan dengan Peraturan Pemerintah.
PASAL DEMI PASAL
PASAL 1 |
|
Ayat (1) |
|
|
Pada dasarnya Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567); |
|
4. |
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 51), Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264), Sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor
61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);
|
MEMUTUSKAN :
|
Menetapkan : |
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.
|
|
(1) |
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan Undang-undnag
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1994 boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali :
|
Pasal 2 |
|
Sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994 biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak, Bertitik tolak dari isi ketentuan tersebut, maka pengeluaran
yang dapat dibebankan sebagai biaya harus mempunyai hubungan langsung dengan
usaha untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan
Objek Pajak. |
|
Huruf a |
|
|
Berdasarkan prinsip tersebut diatas, pengeluaran-pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek
Pajak tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang merupakan
Objek Pajak. |
|
Huruf b dan huruf c |
|
|
Selaras dengan prinsip tersebut diatas, biaya-biaya yang berkenan dengan
penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri dan penghasilan yang dikenakan
pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final tidak
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya
dilakukan dengan menggunakan tarif umum. |
|
Huruf d |
|
|
Pada dasarnya Pajak Penghasilan atas Wajib Pajak luar negeri yang dipotong
berdasarkan Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tidak dapat dibebankan
sebagai biaya oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang
bersangkutan. Namun berdasarkan pertimbangan ekonomi masih diperlukan modal,
teknologi, dan jasa dari luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang terutang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali dividen, yang ditanggung
oleh pemberi penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak
tersebut ditambahkan pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.
Contoh :
PT. ABC membayar bunga kepada Bank di luar negeri sebesar Rp. 100.000.000,00
yang Pajak Penghasilannya ditanggung oleh PT. ABC, dengan tarif pemotongan
sebesar 20%.
- |
Jumlah yang dijadikan dasar pengenaan Pajak Penghasilan Paal 26 =
100
---
80
|
x
|
Rp.100.000.000,00 |
= |
Rp.125.000.000,00 |
|
- |
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang =
20 % x Rp.125.000.000,00 = Rp.25.000.000,00 |
- |
Jumlah biaya bungan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT.
ABC. =
Rp.125.000.000,00 ( Rp.100.000.000,00 + Rp.25.000.000,00 ) |
|
Pasal 3 |
|
|
|
Cukup jelas |
Pasal 4 |
|
|
|
Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan
diakui pada saat diterima secara tunai (metode kas) atau pada saat diperoleh
(metode akrual).
Dalam perusahaan-perusahaan kontraktor yang pengakuan penghasilannya dilakukan
berdasarkan metode akrual, dijumpai cara atau metode yang lazim digunakan
untuk menentukan besarnya penghasilan yaitu :
|
|
a. |
penghasilan diakui secara periodik atas dasar persentase dari pekerjaan
yang diselesaikan. Dengan demikian penghasilan diakui secara proporsional
sesuai dengan tahap penyelesaian pekerjaan. Cara ini lazim dijumpai dalam
perusahaan-perusahaan konstruksi atau kontraktor bangunan yang mengerjakan
proyek-proyek yang memakan waktu beberapa tahun. Metode ini dikenal sebagai
metode persentase penyelesaian ("percentage contract method"),
atau |
|
b. |
penghasilan diakui pada saat kontrak telah selesai. Cara ini dikenal
atau lazim disebut metode kontrak selesai ("completed contract method").
|
|
Penggunaan salah satu di antara kedua metode pengakuan
penghasilan tersebut di atas, akan menghasilkan jumlah penghasilan yang
berbeda dari tahun ketahun dan perbedaan dalam penghitungan Pajak Penghasilan
yang terutang untuk tiap tahun pajak sebagai berikut :
|
|
a. |
dalam hal pengakuan penghasilan dilakukan berdasarkan "metode
persentase penyelesaian", maka penghitungan Pajak Penghasilan yang
terutang dilakukan setiap tahun pajak atas dasar penghasilan yang diperoleh
secara periiodik (proporsional) selama tahap penyelesaian pekerjaan. |
|
b. |
dalam hal pengakuan penghasilan dilakukan berdasarkan "metode
kontrak selesai", penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang dilakukan
pada saat atau pada tahun pajak selesainya pelaksanaan pekerjaan, karena
penghasilan baru diakui pada akhir tahun selesainya pekerjaan. Selama tahap
penyelesaian pekerjaan tidak dilakukan penghitungan Pajak Penghasilan yang
terutang.
|
|
Mengingat akan hal tersebut di atas, maka ketentuan tentang
pengakuan penghasilan dilakukan berdasarkan persentase tinghkat penyelesaian
pekerjaan yang dimaksudkan untuk :
|
|
a. |
meratakan pembebanan pajak dalam setiap tahun pajak selama jangka waktu
penyelesaian pekerjaan yang dapat meringankan beban Wajib Pajak, karena
pembayaran pajak pada suatu tahun pajak sesuai dengan penghasilan yang
diperoleh secara proporsional selama tahap penyelesaian pekerjaan, dan
beban pajak tersebut tidak menumpuk pada akhir tahun penyelesaian pekerjaan; |
|
b. |
memperoleh keseragaman dalam pengakuan penghasilan bagi semua Wajib
Pajak yang bergerak dalam bidang kontraktor konstruksi atau kontraktor
bangunan; |
|
c. |
memberikan perlakuan yang sama bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam
usaha yang sama.
|
|
Ayat (1) |
|
|
Ketentuan ini mewajibkan bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang
konstruksi dan kontrakstor bangunan untuk mempergunakan metode persentase
tingkat penyelesaian ("percentage of completion method") dalam
menentukan besarnya laba bruto usaha dalam suatu tahun pajak. |
|
Ayat (2) |
|
|
Untuk menghitung penghasilan neto, maka laba bruto usaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dikurangi dengan biaya-biaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomo r7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994,
misalnya biaya umum dan administrasi.
|
Pasal 5 |
|
|
|
Dalam praktek dunia usaha daapt ditemui belum adanya keseragaman
mengenai saat pengakuan penghasilan dan biaya untuk bidang-bidang usaha
tertentu, sehingga menimbulkan perbedaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan
oleh Wajib Pajak. Dapat pula terjadi kemungkinan penggeseran penghasilan
dan biaya yang dapat mengakibatkan penghitungan penghasilan dalam suatu
tahun pajak secara tidak wajar.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Direktur Jenderal Pajak diberi
wewenang untuk menentukan saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi bidang
usaha tertentu seperti perusahaan yang bergerak dalam bidang properti dan
pengusahaan lapangan golf.
|
Pasal 6 |
|
|
|
Ketentuan ini mengatur tentang saat terutangnya dan pemungutan
pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal
26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Saat terutyangnya pemotongan dan pemungutan
pajak berkaitan dengan tanggal jatuh tempo pembayaran pajak yaitu batas
terakhir penyetoran pajak yang telah dipotong atau dipungut ke bank persepsi
atau kantor Pos dan Giro.
Dalam ketentuan ini diatur mengenai saat terutangnya pemotongan dan
pemungutan pajak, yaitu dikaitkan dengan saat pembayaran atau saat terutangnya
penghasilan.
Yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan adalah saat pembebanan
sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang dianutnya.
|
|
Ayat (1) |
|
|
Cukup jelas |
|
Ayat (2) |
|
|
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberi wewenang untuk
menetapkan saat lain mengenai terutangnya pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 selain saat pembayaran. |
|
Ayat (3) |
|
|
Pada dasarnya terutangnya pemotongan pajak sebagaimana diatur dalam
Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah akhir bulan dilakukannya
pembayaran atau terutangnya penghasilan. Untuk penghasilan berupa deviden,
terutangnya penghasilan adalah pada saat dividen ditetapkan dalam Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) atau diumumkan siapa yang berhak atas pembagian
dividen, atau pada saat dibayarkan kepada pemegang saham, dengan memperhatikan
saat mana yang terjadi lebih dahulu. |
|
Ayat (4) |
|
|
Cukup jelas |
|
Ayat (5) |
|
|
Cukup jelas |
|
Ayat (6) |
|
|
Cukup jelas |
Pasal 7 |
|
|
|
Ayat (1) |
|
|
Cukup jelas |
|
Ayat (2) |
|
|
Cukup jelas |
|
Ayat (3) |
|
|
Cukup jelas |
|
Ayat (4) |
|
|
Cukup jelas |
|
Ayat (5) |
|
|
Cukup jelas |