PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9 TAHUN 1994

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983

TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

U M U M

1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Undang-undang ini sebagian besar memuat ketentuan umum dan tata cara yang berlaku untuk Pajak Penghasilan, sedangkan ketentuan umum dan tata cara untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, banyak diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
2. Dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, disadari bahwa banyak masalah dihadapi yang ternyata belum diatur dalam Undang-undang ini sehingga menuntut perlunya penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan nasional serta kebijaksanaan Pemerintah dalam Pembangunan. Jangka Panjang Tahap II yang antara lain berbunyi "Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih ". Harapan masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih, dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam Undang-undang ini.
3. Falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar Undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan mekanisme tersebut menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia, karena kedudukan Undang-undang ini yang akan menjadi "ketentuan umum" bagi perundang-undangan perpajakan yang lain.
Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah :
a. Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional ;
b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
c. Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.
Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkannya secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pula pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis akan dapat dihindari. Sejalan dengan harapan tersebut, wewenang Direktur Jenderal Pajak yang bersifat teknis administratif dapat dilimpahkan kepada aparat bawahannya.
Menurut ketentuan Undang-undang ini, administrasi perpajakan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi perpajakan. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat melakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media massa maupun penerangan langsung kepada masyarakat.
4. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang perpajakan ini adalah dalam memenuhi amanat Garis-garis Besar Haluan Negara 1993 yang mengacu pada kebijaksanaan pokok sebagai berikut :
a. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;
b. Menunjang usaha pembangunan secara merata, mendorong investasi secara merata di seluruh wilayah Republik Indonesia, terutama untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil yang selama ini dirasakan terbelakang atau terlambat perkembangannya, baik dalam rangka pemerataan pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam maupun dalam rangka peningkatan penerimaan pajak dalam jangka panjang;
c. Menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang hasil olahan, dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa;
d. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil untuk mengoptimalkan pengembangan potensinya, dan dalam rangka pengentasan sebagian masyarakat dari kemiskinan;
e. Menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi;
f. Menunjang usaha pelestarian ekosistem, sumber daya alam, dan lingkungan hidup;
g. Menunjang usaha meningkatkan keadilan dalam partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya; dan
h. Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan makin bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, serta peningkatan penegakan pelaksanaan hukum yang berlaku.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Dalam pasal ini memuat perumusan mengenai pengertian istilah perpajakan yang dipergunakan dalam undang-undang ini. Dengan adanya pengertian tentang istilah-istilah tersebut dapat dicegah adanya salah pengertian atau salah penafsiran dalam melaksanakan pasal-pasal yang bersangkutan sehingga dapat mencapai kelancaran dan kemudahan baik bagi Wajib Pajak maupun bagi aparatur dalam melaksanakan kewajibannya dan pada akhirnya dicapai tertib administrasi perpajakan. Pengertian ini diperlukan, karena mengandung hal yang bersifat teknis dan baku, khususnya dalam bidang perpajakan.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 2
Ayat (1)
Semua Wajib Pajak berdasarkan sistem "self assessment" wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau indentitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain daripada itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenakan sanksi perpajakan.
Ayat (2)
Setiap Pengusaha yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Sedangkan bagi Pengusaha badan, kewajiban melaporkan usahanya tersebut adalah pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Dengan demikian Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan . Fungsi Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga berguna dalam pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan. Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dikenakan sanksi perpajakan.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat (2), sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (4)
Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya, dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (5)
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Angka 4
Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
- pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak ;
- pembayaran dari pemotongan atau pemungutan tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Bagi Pengusaha Kena Pajak fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
- pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran ;
- pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
- bagi pemotongan atau Pemungutan Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pengisian Surat Pemberitahuan yang tidak benar yang mengakibatkan pajak yang terutang kurang dibayar, akan dikenakan sanksi perpajakan.
Ayat (2)
Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pos dan Giro, Kantor Pos Pembantu, dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak maupun penyelesaian pembukuannya.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi atau badan ternyata tidak dapat menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan tahunan atau neraca perusahaan beserta daftar rugi laba dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3) huruf b karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan neraca atau laporan keuangan, sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5)
Untuk mencegah usaha penghindaran diri dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang terutang dalam satu Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu pemasukan Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Persyaratan tersebut berupa keharusan memberikan pernyataan tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara dalam satu Tahun Pajak, sebagai lampiran surat permohonan penundaan kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang terutang dan pembayarannya, maka dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah penghasilan kena pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan keterangan dan dokumen yang dapat berupa antara lain surat kuasa, surat keterangan tentang perkawinan dengan pisah harta dan penghasilan, dokumen yang berkenaan dengan impor atau ekspor dan Surat Setoran Pajak.
Ayat (7)
Surat Pemberitahuan beserta lampirannya merupakan satu kesatuan, oleh karena itu apabila Surat Pemberitahuan disampaikan tidak atau tidak sepenuhnya dilampiri dengan keterangan dan dokumen yang diharuskan, maka Surat Pemberitahuan tersebut dianggap tidak disampaikan.
Ayat (8)
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efesiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan hanya dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, maka perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuannya selain melalui Kantor Pos dan Giro secara tercatat. Oleh karena itu, cara lain perlu ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 7
Untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan untuk menjaga disiplin Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak yang tidak mematuhi kewajiban formal menyampaikan Surat Pemberitahuan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda untuk Surat Pemberitahuan Masa sebesar Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) dan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
Angka 7
Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Drektur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Penetapan batas waktu pembetulan tersebut, di satu pihak dipandang cukup waktu bagi Wajib Pajak untuk meneliti dan membetulkan Surat Pemberitahuannya apabila terdapat kesalahan, di lain pihak masih tersedia cukup waktu bagi Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan pelayanan dan melakukan pengawasan terhadap pembetulan yangt dilakukan Wajib Pajak sebelum batas waktu daluwarsa terlampaui.
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan atas kemauan sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula. Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) perbulan. Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan sampai dengan tanggal pembayaran karena adanya pembetulan Surat Pemberitahuan tersebut.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan terhadapnya dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar dua kali dari jumlah pajak yang kurang dibayar, maka terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan. Namun bilamana telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, maka kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Ayat (4)
Walaupun jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun-tahun atau masa-masa sebelumnya. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut terbatas pada hal-hal sebagai berikut :
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau
c. jumlah harta menjadi lebih besar; atau
d. jumlah modal menjadi lebih besar.
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 8
Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak boleh melebihi lima belas hari sejak saat terutangnya atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran masa tersebut berakibat dikenakannya sanksi administrasi sesuai ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b Wajib Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak. Jika pada waktu pengisian Surat Pemberitahuan tersebut ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terutang, maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas selambat-lambatnya tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan itu disampaikan. Misalnya Surat Pemberitahuan harus disampaikan pada tanggal 31 Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terutang atau setoran akhir harus sudah dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 Maret, sebelum Surat Pemberitahuan disampaikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak dapat memperkenankan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak yang terutang, meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran telah ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas. Untuk mendapatkan kelonggaran tersebut, Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Angka 9
Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang), Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.

Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang belum dilunasi, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan bilamana masih terdapat sisa lebih, baru dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan utang pajak adalah utang pajak untuk semua jenis pajak yang terutang oleh Wajib Pajak baik pusat maupun cabang-cabangnya. Untuk memperoleh kembali kelebihan pembayaran tersebut, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuknya.

Ayat (2)
Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan menjamin ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian oleh Direktur Jenderal Pajak ditetapkan dalam waktu selama-lamanya satu bulan :
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Ayat (3)
Untuk terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak dengan kecepatan pelayanan oleh Direktorat Jenderal Pajak, ayat ini menentukan bahwa atas setiap kelambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu seperti tersebut pada ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan oleh Pemerintah berupa bunga 2 % (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu satu bulan sampai dengan saat dilakukan pembayaran. Yang dimaksud dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan pembayaran pajak adalah saat Surat Pemberitahuan Membayar Kelebihan Pajak diterbitkan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 10
Pasal 13
Ketentuan ayat ini memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakekatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban materiil. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu sepuluh tahun. Menurut ketentuan ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan baru diterbitkan bilamana Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya mmenurut peraturan perundang-undangan perpajakan.

Diketahuinya bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak, adalah karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah yang seharusnya terutang. Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya.. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan. Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya, walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, menurut ketentuan ayat (1) huruf b membawa akibat, bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana diatur pada ayat (3). Teguran antara lain dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang beritikad baik, untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapatnya Surat Pemberitahuan disampaikan karena sesuatu hal di luar kemampuannya (force mayeur).

Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yamg mengakibatkan pajak terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf c, dikenakan sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah kenaikan sebesar 100% (seratus persen). Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan menurut ketentuan Pasal 29, sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf d, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja.

Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak diletakkan pada Wajib Pajak.

Sebagai contoh diberikan antara lain :

Sebagai.......