|
Ayat (1) |
|
|
|
|
|
|
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen
yang dinyatakan mempunyai hak mendahului atas barang-barang milik Penanggung
Pajak yang akan dilelang di muka umum. Setelah utang pajak dilunasi baru
diselesaikan pembayaran kepada kreditur lainnya. Maksud dari ayat ini adalah
untuk memberi kesempatan kepada Pemerintah untuk mendapatkan bagian lebih
dahulu dari kreditur lain atas hasil pelelangan barang-barang milik Penanggung
Pajak di muka umum guna menutupi atau melunasi utang pajaknya. |
|
|
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
|
Ayat (4) |
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
|
Ayat (5) |
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
|
Pasal 22 |
|
|
|
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
|
|
|
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk
memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih
lagi. |
|
|
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
|
|
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui sepuluh tahun
apabila : |
|
|
|
|
|
a. |
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Teguran dan menyampaikan
Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang
pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal ini seperti
itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa
tersebut. |
|
|
|
|
b. |
Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara
: |
|
|
|
|
|
|
Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran
utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu
daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau
penundaan pembayaran utang pajak diterima Direktur Jenderal Pajak. |
|
|
|
|
|
Wajib Pajak mengajukan permohonan keberatan. Dalam hal
seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat keberatan
Wajib Pajak diterima Direktur Jenderal Pajak. |
|
|
|
|
|
Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya.
Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pembayaran
sebagian utang pajak tersebut. |
|
|
|
c. |
Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak
karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti
itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penerbitan ketetapan pajak
tersebut. |
|
|
|
Angka 20 |
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
|
|
|
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
|
|
Dalam hal jumlah tagihan pajak tersebut tidak dibayar sampai
dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, penagihannya dapat dilakukan dengan
Surat Paksa. Pengertian kata "dapat" pada ayat ini adalah bahwa
penagihan pajak dengan Surat Paksa baru dilaksanakan apabila Penanggung
Pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran
atau tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak. |
|
|
|
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
|
|
Sebelum badan peradilan pajak dibentuk, sanggahan dan/atau
gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, sita atau lelang
diajukan kepada Pengadilan Negeri setempat. |
|
|
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Angka 21 |
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
|
|
|
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
|
|
Apabila Wajib pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah
pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya,
maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal
Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari ketetapan
pajak yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan,
jumlah besarnya pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak.
Perkataan "suatu" pada ayat ini dimaksudkan bahwa satu keberatan
harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak, misalnya
: Pajak Penghasilan Tahun Pajak 1995 dan Tahun Pajak 1996 keberatannya
harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri.
Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan.
|
|
|
|
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
|
|
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam
waktu tiga bulan sejak diterbitkannya surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dengan maksud agar supaya Wajib Pajak mempunyai
waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya.
Apabila ternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut tidak dapat dipenuhi
oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force mayeur),
maka waktu selama tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk
diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak. |
|
|
|
|
|
Ayat (4) |
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
|
Tanda bukti atu resi penerima surat keberatan sangat diperlukan
untuk memenuhi ketentuan formal. Diterima atau tidaknya hak mengajukan
surat keberatan dimaksud, tergantung dipenuhinya ketentuan batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yang dihitung mulai diterbitkannya
surat ketetapan pajak sampai saat diterima surat keberatan tersebut. Tanda
bukti atau resi penerima tersebut oleh Wajib Pajak dapat juga digunakan
sebagai alat kontrol baginya, untuk mengetahui sampai kapan batas waktu
dua belas bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) berakhir.
Tanda bukti resi penerimaan itu diperlukan untuk memastikan bahwa keberatannya
dikabulkan, apabila dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak tidak menerima
surat balasan dari Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan.
Inilah yang dimaksud dengan kata "kepentingan" dalam ayat ini.
|
|
|
|
|
|
Ayat (6) |
|
|
|
|
|
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan-alasan
yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar-dasar pengenaan,
pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan, sebaliknya Direktur
Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut di atas.
|
|
|
|
|
|
Ayat (7) |
|
|
|
|
|
Untuk mencegah usaha penghindaran atau penundaan pembayaran
pajak melalui pengajuan surat keberatan, maka pengajuan keberatan tidak
menghalangi tindakan penagihan sampai dengan pelaksanaan lelang. Ketentuan
ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak dengan dalih mengajukan
keberatan, untuk tidak melakukan kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan,
sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan negara. |
|
|
|
|
Angka 22 |
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
|
|
|
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
|
Ayat(2) |
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
|
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
|
|
|
|
|
Angka 23 |
|
|
|
|
|
|
Pasal 27A
|
|
|
|
|
Angka 24 |
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
|
|
|
|
|
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
|
|
|
|
|
|
Ayat (4) |
|
|
|
|
|
Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 huruf v.
Pengaturan pada ayat ini dimaksudkan agar dari pembukuan tersebut dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang.
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak-pajak lainnya
juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar
maka pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor,
jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang
tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem
yang lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Prinsip Akuntansi
Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
|
|
|
|
|
|
Ayat (5)
|
|
|
|
|
|
Ayat (6) |
|
|
|
|
|
Buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen termasuk
hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
harus disimpan selama sepuluh tahun di Indonesia, dengan maksud agar apabila
Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan
pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera
disediakan. Kurun waktu sepuluh tahun penyimpanan buku-buku, catatan-catatan,
dan dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah
sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penetapan
pajak. |
|
|
|
|
|
Ayat (7) |
|
|
|
|
|
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam
metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk mencegah penggeseran
laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya penggunaan
: |
|
|
|
|
|
a. |
Stelsel pengakuan penghasilan ; |
|
|
|
|
b. |
Tahun Buku ; |
|
|
|
|
c. |
Metode penilaian persediaan ; |
|
|
|
|
d. |
Metode penyusutan. |
|
|
|
|
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan
dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya
diakui pada waktu terutang. Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu
diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan
berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya
dipakai di bidang kontruksi dan metode lainnya yang dipakai di bidang usaha
tertentu seperti Build Operate and Transfers (BOT), Real Estate, dan lain-lain.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas
penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut
stelsel ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar
telah diterima tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap
sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai dalam suatu periode
tertentu. Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi
atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang tenggang
waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung
lama. Dalam Stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau
jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari langganan, dan biaya-biaya
ditetapkan pada saat dibayarnya barang, jasa, dan biaya operasi lainnya.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan
yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari
tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran
kas. Oleh karena itu untuk penghitungan Pajak Penghasilan, dalam memakai
stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut :
|
|
|
|
|
|
1) |
Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus
meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung
harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
|
|
|
|
|
2) |
Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak
yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan
hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi. |
|
|
|
|
3) |
Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas
(konsisten). Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan
dapat juga dinamakan stelsel campuran. |
|
|
|
|
Ayat (8) |
|
|
|
|
|
Pada dasarnya metode-metode pembukuan yang dianut harus
taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam
hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau
akrual), metode penyusutan aktiva tetap, metode penilaian persediaan dan
sebagainya. Namun demikian, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan
dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak
sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan-alasan
yang logis dan dapat diterima serta akibat-akibat yang mungkin timbul dari
perubahan tersebut. Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan
dalam prinsip taas asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke
akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan
atau pengakuan biaya itu sendiri. Misalnya dalam metode pengakuan biaya
yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode
penyusutan tertentu.
Contoh :
Wajib Pajak dalam tahun 1995 menggunakan metode penyusutan garis lurus
atau straight line method. Dalam tahun 1996 Wajib Pajak bermaksud mengubah
metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun
atau declinin-balanced method. Untuk keperluan tersebut, Wajib Pajak harus
minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang diajukan
sebelum dimulainya tahun buku 1996 dengan menyebutkan alasan-alasan dilakukanya
perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut. Selain
itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan
atau kerugian Wajib Pajak, oleh karena itu perubahan tersebut juga harus
mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak. Tahun pajak adalah sama dengan
tahun takwim (tahun kalender) kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku
yang tidak sama dengan tahun takwim.
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
takwim, maka penyebutan tahun pajak yang bersangkutan menggunakan tahun
yang di dalamnya termasuk enam bulan pertama atau lebih.
Contoh :
|
|
|
|
|
|
a. |
Pembukuan 1 Juli 1995 sampai dengan 30 Juni 1996, tahun
pajaknya adalah tahun pajak 1995. |
|
|
|
|
b. |
Pembukuan 1 Oktober 1995 sampai dengan 30 September 1996,
tahun pajaknya adalah tahun pajak 1996. |
|
|
|
|
Ayat (9)
|
|
|
|
|
|
Ayat (10) |
|
|
|
|
|
Pencatatan oleh Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha
dan pekerjaan bebas meliputi peredaran bruto dan penerimaan penghasilan
lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari
luar usaha dan pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penerimaan
penghasilan. |
|
|
|
|
|
Ayat (11)
Ayat (12)
|
|
|
|
|
Angka 25 |
|
|
|
|
|
|
Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang melakukan
pemeririksaan untuk :
|
|
|
|
|
|
a. |
Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; |
|
|
|
|
b. |
Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. |
|
|
|
|
Pemeriksaan dapat dilakukan di Kantor (Pemeriksaan Kantor)
atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya
dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap
instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong
pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan
atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya, dibandingkan
dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak, yang dilakukan
dengan :
|
|
|
|
|
|
a. |
menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan
dalam pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan Pemeriksaan Lengkap; |
|
|
|
|
b. |
Menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman
yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan baik dilakukan di
kantor maupun di lapangan, yang dinamakan Pemeriksaan Sederhana. |
|
|
|
|
Selain itu, Pemeriksaan Sederhana dapat juga dilakukan
untuk tujuan lain, diantaranya : |
|
|
|
|
|
- |
menetapkan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan
Nilai dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 21; |
|
|
|
|
- |
mengukuhkan atau mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
|
|
|
|
|
- |
memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Nomor Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. |
|
|
|
|
Ayat (2)
|
|
|
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
|
|
Wajib Pajak yang diperiksa dalam rangka pengujian tingkat
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memperlihatkan dan meminjamkan buku-buku,
catatan-catatan, dokumen-dokumen dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan
yang berkaitan dengan perolehan penghasilan atau kegiatan usaha.
Bilamana buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang diperlukan
tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak dengan dalih untuk menghindarkan
diri, berdasarkan ayat ini petugas pemeriksa dibolehkan untuk memasuki
tempat atau ruangan yang menurut dugaan petugas digunakan sebagai tempat
penyimpanan buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen tersebut.
|
|
|
|
|
|
Ayat (4) |
|
|
|
|
|
Untuk mencegah adanya dalih terikat pada kerahasiaan, sehingga
pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan
tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak, maka ayat ini menegaskan bahwa
kewajiban merahasiakan itu ditiadakan. |
|
|
|
|
Angka 26 |
|
|
|
|
|
|
Pasal 31
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|