PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 18 TAHUN 1997
 

TENTANG


PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
 

UMUM

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan, dalam penjelasan Pasal 23 ayat (2) ditegaskan bahwa penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditempatkan dengan undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, oleh karena itu pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus didasarkan pada undang-undang.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, pajak dan retribusi merupakan sumber pendapatan daerah agar Daerah dapat melaksanakan otonominya, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, di samping penerimaan yang berasal dari Pemerintah berupa subsidi/bantuan dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. Sumber pendapatan daerah tersebut diharapkan menjadi sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.

Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan pembentukan Undang-undang ini, maka Undang-undang ini menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijaksanaan dan arahan bagi Daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan yang cukup rinci untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi.

Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah yang selama ini berlaku telah menyebabkan Daerah berpeluang untuk memungut banyak jenis pajak, beberapa diantaranya mempunyai biaya administrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasilnya dan atau hasilnya tidak memadai. Di samping itu, terdapat beberapa jenis pajak yang tidak memadai untuk dipungut Daerah karena tumpang tindih dengan pajak lain dalam arti terdapat pajak lain untuk jenis objek yang sama, menghambat efisiensi alokasi sumber ekonomi, bersifat tidak adil, atau tidak benar-benar bersifat pajak, tetapi bersifat retribusi;

Pungutan retribusi yang berkembang selama ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah menunjukkan beberapa kelemahan, seperti :

a.

hasilnya kurang memadai jika dibandingkan dengan biaya penyediaan jasa oleh Daerah;

b.

biaya pemungutannya relatif tinggi;

c.

kurang kuatnya prinsip dasar retribusi terutama dalam hal pengenaan, penetapan, struktur, dan besarnya tarif;

d.

adanya beberapa jenis retribusi yang pada hakekatnya bersifat pajak karena pemungutannya tidak dikaitkan secara langsung dengan pelayanan pemerintah daerah kepada pembayar retribusi;

e.

adanya jenis retribusi perizinan yang tidak efektif dalam usaha untuk melindungi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan.

f.

adanya jenis retribusi yang mempunyai dasar pengenaan atau objek yang sama.

Untuk itu, jenis-jenis retribusi perlu diklasifikasikan dengan kriteria tertentu, agar memudahkan penerapan prinsip dasar retribusi sehingga mencerminkan hubungan yang jelas antara tarif retribusi dengan pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah.

Dewasa ini besarnya penerimaan Daerah Tingkat I yang berasal dan pajak dan retribusi cukup memadai, sedangkan penerimaan Daerah Tingkat II dari pajak dan retribusi masih relatif kecil. Keadaan ini kurang mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II. Oleh karena itu, perlu usaha peningkatan penerimaan daerah yang berasal dari sumber pajak dan retribusi yang potensial dan yang mencerminkan kegiatan ekonomi daerah. Sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan penerimaan Daerah Tingkat II tersebut, diperkenalkan adanya jenis pajak baru, yaitu Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang dibagihasilkan dengan Daerah Tingkat I dengan imbangan sebagian besar untuk Daerah Tingkat II. Pajak ini dianggap sangat baik ditinjau dari segi potensinya karena konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor cukup besar dan setiap tahun selalu meningkat. Konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor tersebut mencerminkan kegiatan ekonomi daerah dan erat kaitannya dengan produk domestik regional bruto, pembangunan dan pemeliharaan jalan sehubungan dengan banyaknya kendaraan bermotor pengguna jalan.

Dalam rangka menata kembali beberapa jenis retribusi yang pada hakekatnya bersifat pajak serta untuk lebih memberi perhatian pada pelestarian lingkungan, maka dalam Undang-undang ini Retribusi Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C dan Retribusi Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dinyatakan masing-masing menjadi Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Kedua jenis pajak tersebut merupakan pajak Daerah Tingkat II, dengan pertimbangan untuk lebih memperkuat upaya peningkatan penerimaan Daerah Tingkat II dan mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II.

Dewasa ini pengadministrasian beberapa jenis pajak dan retribusi belum dilakukan dengan baik sehingga realisasi penerimaannya lebih kecil dari yang semestinya. Dalam Undang-undang ini usaha perbaikan administrasi guna peningkatan efektivitas dan efisiensi pemungutan dalam rangka peningkatan penerimaan daerah cukup mendapat perhatian.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Undang-undang ini bertujuan untuk menyederhanakan dan memperbaiki jenis dan struktur perpajakan daerah, meningkatkan pendapatan daerah, memperbaiki sistem administrasi perpajakan daerah dan retribusi sejalan dengan sistem administrasi perpajakan nasional, mengklasifikasikan retribusi, dan menyederhanakan tarif pajak dan retribusi.

Dalam rangka penyederhanaan jenis pajak dan retribusi, Undang-undang ini menetapkan jenis-jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut Daerah.

Penyederhanaan tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah dari sumber pajak dan retribusi, mengingat penetapan pajak dan retribusi yang dapat dipungut Daerah berdasarkan Undang-undang ini didasarkan, antara lain, pada potensinya yang cukup besar. Dengan penyederhanaan ini, sekaligus Daerah diharapkan mampu menutup hilangnya penerimaan yang berasal dari pajak dan retribusi yang kurang potensial, tetapi saat ini masih dipungut oleh Daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah diharapkan untuk menitikberatkan perhatiannya pada jenis-jenis pajak dan retribusi yang potensinya besar.

Pajak daerah dan pajak nasional merupakan satu sistem perpajakan Indonesia, yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijaksanaan perpajakan tersebut dapat memberikan beban yang adil. Sejalan dengan perpajakan nasional, maka pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional. Pembinaan ini harus dilakukan secara terus menerus, terutama mengenai objek dan tarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak daerah tersebut saling melengkapi.

Dalam sistem dan struktur perpajakan daerah dan retribusi yang lama, dasar hukum pemungutannya diatur dalam berbagai undang-undang/ordonansi, antara lain :

a.

Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934;

b.

Ordonansi Pajak Potong 1936;

c.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio;

d.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I;

e.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah-Daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri;

f.

Undang-undang Nomor 11 Drt. 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah;

g.

Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah;

h.

Undang-undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;

i.

Undang-undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

j.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Pajak Bangsa Asing, dan Pajak Radio kepada Daerah.

Peraturan perundang-undangan yang lama tersebut didasarkan pada situasi dan kondisi pada waktu itu yang sudah sangat berbeda dengan keadaan sekarang, dengan kemajuan di berbagai bidang dan lebih-lebih lagi peraturan perundang-undangan tersebut tidak mungkin dapat menampung ataupun mengantisipasi perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat pada masa yang akan datang. Penyederhanaan ini juga dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan sehingga pada akhirnya tumbuh kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakan dan retribusi.

Dalam pembentukan Undang-undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini, diperhatikan, diacu, dan dikaitkan dengan undang-undang lainnya, yaitu:

1.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);

2.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);

3.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 28 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684).

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Pasal ini memuat pengertian istilah yang dipergunakan dalam Undang-undang ini. Dengan adanya pengertian tentang istilah tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksanakan pasal-pasal yang bersangkutan sehingga baik Wajib Pajak maupun Wajib Retribusi dan aparatur dalam menjalankan hak kewajibannya dapat berjalan dengan lancar dan akhirnya dapat dicapai tertib administrasi. Pengertian ini diperlukan karena istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang baku dan teknis dalam bidang perpajakan daerah dan retribusi.

Pasal 2

Ayat (1)

Jenis-jenis pajak Daerah Tingkat I ditetapkan sebanyak 3 (tiga) jenis pajak. Walaupun demikian Daerah Tingkat I dapat tidak memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang telah ditetapkan bagi Daerah Tingkat I tersebut, apabila potensi pajak di daerah tersebut dipandang kurang memadai. Khusus untuk daerah yang setingkat dengan Daerah Tingkat I tetapi tidak terbagi dalam Daerah Tingkat II, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka jenis pajak Yang dapat dipungut merupakan gabungan dari pajak untuk Daerah Tingkat I dan pajak untuk Daerah Tingkat II.

Huruf a

Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di jalan umum, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, tidak termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar.

Huruf b

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.

Huruf c

Pajak Bahan Bakar Kendaraan bermotor adalah pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor.

Ayat (2)

Jenis-jenis pajak Daerah Tingkat II ditetapkan sebanyak 6 (enam) jenis pajak. Walaupun demikian Daerah Tingkat II dapat tidak memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang telah ditetapkan bagi Daerah Tingkat II tersebut, apabila potensi pajak di daerah tersebut dipandang kurang memadai.

Huruf a

Pajak Hotel dan Restoran adalah pajak atas pelayanan hotel dan restoran.

Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.

Restoran atau rumah makan adalah tempat menyantap makanan dan atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering.

Huruf b

Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.

Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga.

Huruf c

Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah.

Huruf d

Pajak Penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa di daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah.

Huruf e

Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C adalah pajak atas kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Huruf f

Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan air bawah tanah dan atau air permukaan untuk digunakan bagi orang pribadi atau badan, kecuali untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian rakyat.

Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan bumi, tidak termasuk air laut.

Oleh karena sumber daya air bawah tanah dan air permukaan dikelola berdasarkan atas wilayah yang biasanya meliputi beberapa Daerah Tingkat II, maka baik Pemerintah Daerah Tingkat I maupun Pemerintah Pusat tetap berwenang mengatur koordinasi pengelolaannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (3)

Undang-undang ini menetapkan jenis-jenis pajak sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2) dan menetapkan kriteria-kriteria untuk jenis pajak selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2). Ayat (3) ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah di masa mendatang yang mengakibatkan pergeseran potensi pajak dengan tetap memperhatikan kesederhanaan jenis pajak dan aspirasi daerah jenis pajak baru yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Jalan rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Huruf a

Yang dimaksud dengan kriteria bersifat pajak dan bukan retribusi adalah bahwa pajak yang ditetapkan harus sesuai dengan pengertian pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6.

Huruf b 

Yang dimaksud dengan kriteria objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum berarti pajak tersebut dimaksudkan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketenteraman, dan kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.

Huruf c

Yang dimaksud dengan kriteria potensinya memadai berarti bahwa hasil pajak cukup besar sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah.

Huruf d

Yang dimaksud dengan kriteria tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif berarti pajak tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan ekspor-impor.

Huruf e 

Yang dimaksud dengan kriteria aspek keadilan antara lain adalah Objek dan Subjek Pajak harus jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, dan tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan Wajib Pajak.

Yang dimaksud dengan kriteria kemampuan masyarakat adalah kemampuan Subjek Pajak untuk memikul tambahan beban pajak.

Huruf f

Yang dimaksud dengan kriteria menjaga kelestarian lingkungan adalah bahwa harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberikan peluang kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk merusak lingkungan yang akan menjadi beban bagi Pemerintah dan masyarakat.

Ayat (4)

Cukup jelas 

Ayat (5) 

Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar 10% (sepuluh persen) merupakan penerimaan Daerah Tingkat I dan 90% (sembilan puluh persen) merupakan penerimaan Daerah Tingkat II yang dipergunakan untuk pemerataan dan merangsang pembangunan Daerah Tingkat II.

Ayat (6) 

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Pasal ini mengatur tentang tarif pajak yang paling tinggi yang dapat dipungut oleh Daerah untuk setiap jenis pajak. Penetapan tarif paling tinggi tersebut bertujuan memberi perlindungan kepada masyarakat dari penetapan tarif yang terlalu membebani, sedangkan tarif paling rendah tidak ditetapkan untuk memberi peluang kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur sendiri besarnya tarif yang sesuai dengan kondisi masyarakat di daerahnya, termasuk membebaskan pajak bagi masyarakat yang tidak mampu.

Huruf a

Tarif Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual kendaraan bermotor serta faktor-faktor penyesuaian yang mencerminkan biaya ekonomis yang diakibatkan oleh penggunaan kendaraan bermotor, misalnya kerusakan jalan.

Huruf b

Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual kendaraan bermotor.

Huruf c

Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor.

Huruf d

Tarif Pajak Hotel dan Restoran dikenakan atas jumlah pembayaran yang dilakukan kepada Hotel dan atau Restoran.

Huruf e

Tarif Pajak Hiburan dikenakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan.

Huruf f

Tarif Pajak Reklame dikenakan atas nilai sewa reklame, yang didasarkan atas nilai jual objek pajak reklame dan nilai strategis pemasangan reklame.

Huruf g

Tarif Pajak Penerangan Jalan dikenakan atas nilai jual tenaga listrik yang terpakai.

Huruf h

Tarif Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C dikenakan atas nilai jual hasil eksploitasi bahan galian golongan C.

Huruf i

Tarif Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dikenakan atas nilai perolehan air yang dimanfaatkan, antara lain berdasarkan jenis, volume, kualitas, dan lokasi sumber air.

Ayat (2)

Penetapan tarif yang seragam untuk jenis-jenis pajak sebagaimana diatur pada ayat ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya bersifat netral terhadap Wajib Pajak, sehingga dapat dihindarkan praktek pemanfaatan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah pada suatu daerah tertentu.

Contoh :

Tarif Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta sama dengan tarif Pajak Kendaraan Bermotor di Jawa Barat dan seluruh daerah lainnya. Dalam hal demikian Wajib Pajak tidak mendapat keuntungan apakah akan mendaftarkan kendaraan bermotor di DKI Jakarta, Jawa Barat atau daerah lainnya.

Ayat (3)

Dengan memperhatikan kondisi masing-masing Daerah Tingkat II, tarif untuk jenis-jenis pajak sebagaimana diatur dalam ayat ini dapat ditetapkan tidak seragam. Hal ini, antara lain, dengan mempertimbangkan bahwa tarif yang berbeda untuk jenis-jenis pajak yang diatur dalam ayat ini, tidak akan mempengaruhi pilihan lokasi Wajib Pajak untuk melakukan kegiatan yang dikenakan pajak.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

 Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Huruf a

Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak dapat diberikan dengan mempertimbangkan, antara lain, kemampuan membayar Wajib Pajak.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Sesuai kelaziman internasional, Peraturan Daerah dapat memberikan pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak, misalnya bagi korps diplomatik.

Pasal 5

Ayat (1)

Pertimbangan Menteri Keuangan diperlukan mengingat bahwa Pajak Daerah merupakan bagian dari sistem perpajakan nasional yang memerlukan pembinaan secara terpadu.

Ayat (2)

 Cukup jelas

Ayat (3)

 Cukup jelas

Ayat (4)

Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Pemerintah Daerah untuk menjalankan Peraturan Daerah yang belum mendapat pengesahan Menteri Dalam Negeri dalam batas waktu yang ditetapkan.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Peraturan Pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk pengesahan, permintaan untuk penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah juga perlu memperhatikan dan mengatur prosedur yang diperlukan, khususnya demi kepentingan nasional yang dihadapi.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka proses pemungutan pajak, antara lain, pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak, atau penghimpunan data Objek dan Subjek Pajak.

Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.

Pasal 7

Ayat (1)

Ayat ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.

Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.

Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.

Ayat (2)

Bagi Wajib Pajak yang jumlah pajaknya ditetapkan oleh Kepala Daerah, pembayarannya menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah, atau dokumen lain yang dipersamakan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.

Yang dimaksud dokumen lain yang dipersamakan antara lain berupa karcis, nota perhitungan.

Ayat (3)

Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.

Apabila Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dan/atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang menjadi sarana penagihan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Pasal ini mengatur tentang penerbitan surat pajak atas pajak yang dibayar sendiri.

Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

Ayat (1)

Ketentuan ayat ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil hanya terhadap kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material.

Contoh :

1.

Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah pada tahun pajak 1998. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, maka dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar atas pajak yang terutang.

2.

Seorang Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah pada tahun pajak 1998. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang disampaikan tidak benar. Atas pajak yang terutang yang kurang bayar tersebut. Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi.

3.

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Contoh 2 yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, maka Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambaban.

4.

Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kepala Daerah ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, maka Kepala daerah dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil.

Huruf a

Angka 1)

Cukup jelas

Angka 2)

Cukup jelas

Angka 3)

Yang dimaksud dengan penetapan pajak secara jabatan adalah penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (2)

Ayat ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar.

Ayat (3)

Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi administrasi ini tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang seharusnya dilakukannya, maka dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang. Dalam kasus ini, maka Kepala Daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar. Selain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar.

Pasal 10

Ayat (1)

Surat Tagihan Pajak Daerah diterbitkan baik terhadap Wajib Pajak melakukan kewajiban pajak yang dibayar sendiri maupun terhadap Wajib Pajak yang melaksanakan kewajiban pajak yang dipungut. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak atau kurang membayar pajak yang terutang, sedangkan sanksi administrasi berupa denda dikenakan karena tidak dipenuhinya ketentuan formal, misalnya, tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar.

Pasal 11

Ayat (1)

Kepala Daerah menentukan jatuh tempo pembayaran atas jenis-jenis pajak, namun tidak melebihi 30 (tiga puluh) hari setelah saat terutangnya pajak. Keterlambatan dalam pembayaran masa tersebut berakibat dikenakannya sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Contoh :

Kepala Daerah dapat menentukan jatuh tempo pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor satu hari setelah tanggal berakhirnya Pajak Kendaraan Bermotor atas suatu kendaraan bermotor.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas 

Ayat (2)

Dasar hukum pelaksanaan Surat Paksa didasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan pajak.

Pasal 13

Ayat (1)

Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah pajak dalam surat ketetapan pajak dan pemungutan tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah yang menerbitkan surat ketetapan pajak.

Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari ketetapan dengan membuat perhitungan jumlah yang seharusnya dibayar menurut perhitungan Wajib Pajak.

Satu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak.

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah orang pribadi/badan yang ditunjuk oleh Kepala Daerah sebagai pemotong/pemungut pajak.

Ayat (2)

Alasan-alasan yang jelas di sini adalah mengemukakan dengan data atau bukti bahwa jumlah pajak yang terutang atau pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar.

Ayat (3)

Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak, dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan. Surat Ketetapan Pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah meskipun telah ditegur secara tertulis. Apabila Wajib Pajak tidak membuktikan ketidakbenaran Surat Ketetapan Pajak secara jabatan itu, maka keberatannya ditolak.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan keadaan di luar kekuasaannya adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak/kekuasaan Wajib Pajak, misalnya karena Wajib Pajak sakit atau terkena musibah bencana alam.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak tidak menghindarkan kewajiban untuk membayar pajak yang telah ditetapkan dengan dalih mengajukan keberatan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan daerah.

Pasal 14

Ayat (1)

Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam rangka tertib administrasi, oleh karena itu keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Surat Keberatan diterima.

Ayat (2)

Cukup jelas 

Ayat (3)

Cukup jelas 

Pasal 15

Cukup jelas 

Pasal 16

Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar.

Pasal 17

Ayat (1) 

Cukup jelas  

Ayat (2) 

Huruf a  

Cukup jelas  

Huruf b

Kepala Daerah karena jabatannya, dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan Surat Keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dapat dipungut retribusinya, namun hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut penimbangan sosial-ekonomi layak untuk dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu Jasa Umum, Jasa Usaha, dan Perizinan Tertentu.

Huruf a

Jasa Umum, antara lain, pelayanan kesehatan dan pelayanan persampahan.
Yang tidak termasuk Jasa Umum adalah jasa utusan umum pemerintahan.

Huruf b

Jasa Usaha, antara lain, penyewaan aset yang dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah Daerah, penyediaan tempat penginapan, usaha bengkel kendaraan, tempat pencucian mobil, dan penjualan bibit.

Huruf c

Mengingat fungsi perizinan dimaksudkan untuk mengadakan pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan, maka pada dasarnya pemberian izin oleh Pemerintah Daerah tidak harus dipungut retribusi. Akan tetapi untuk melaksanakan fungsi tersebut, Pemerintah Daerah mungkin masih kekurangan biaya yang tidak selalu dapat dicukupi dari sumber-sumber penerimaan daerah sehingga terhadap perizinan tertentu masih dipungut retribusi. Perizinan tertentu yang dapat dipungut retribusi, antara lain, Izin tertentu Izin Mendirikan Bangunan, Izin Peruntukan Penggunaan Tanah, Pengajuan izin tertentu oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah tetap dikenakan retribusi, karena badan-badan tersebut merupakan kekayaan negara atau kekayaan daerah yang telah dipisahkan. Pengajuan izin oleh Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tidak dikenakan retribusi Perizinan Tertentu.

Ayat (2)

Penggolongan jenis retrihusi ini dimaksudkan guna menetapkan kebijaksanaan umum tentang prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi yang ditentukan dalam Pasal 21.

Ayat (3)

Penetapan jenis-jenis Retribusi jasa Umum dan Jasa Usaha dengan Peraturan Pemerintah dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam penerapannya, sehingga dapat memberikan kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata daerah yang bersangkutan. Penetapan jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu dengan Peraturan Pemerintah karena perizinan tersebut walaupun merupakan kewenangan Pemerintah Daerah, tetap memerlukan koordinasi dengan instansi-instansi teknis terkait. Sebagai contoh, Izin Mendirikan Bangunan memerlukan koordinasi dengan Departemen Pekerjaan Umum dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Dalam menetapkan jenis retribusi ke dalam golongan Retribusi Jasa Umum digunakan kriteria sebagai berikut :

a.

jasa tersebut termasuk dalam kelompok urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi;

b.

selain melayani kepentingan dan kemanfaatan umum, jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, misalnya pelayanan pemungutan dan pembuangan sampah memenuhi kriteria dimaksud, sedangkan pelayanan kebersihan jalan umum  tidak  memenuhi kriteria tersebut;

c.

dianggap layak apabila jasa tersebut hanya disediakan atau diberikan kepada orang pribadi atau badan yang membayar retribusi, contoh : pelayanan kesehatan untuk perseorangan adalah layak untuk dikenai retribusi dengan syarat orang yang tidak mampu membayar retribusi diberikan keringanan, sedangkan pelayanan pendidikan dasar tidak layak untuk di kenai retribusi;

d.

retribusi atas jasa tersebut tidak bertentangan dengan kebijaksanaan nasional mengenai penyelenggaraan jasa tersebut;

e.

retribusi tersebut dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial;

f.

memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan atau kualitas pelayanan yang memadai.

Dalam menetapkan jenis-jenis retribusi ke dalam golongan Retribusi Jasa Usaha digunakan kriteria sebagai berikut :

a.

jasa tersebut adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai, misalnya sarana pasar dan apotik; atau

b.

terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah, misalnya tanah, bangunan, dan alat-alat berat.

Dalam menetapkan, jenis-jenis retribusi ke dalam golongan Retribusi Perizinan Tertentu digunakan kriteria sebagai berikut:

a.

perizinan tersebut termasuk urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi;

b.

perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum;

c.

perizinan tidak bertentangan atau tumpang tindih dengan perizinan yang diselenggarakan oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi;

d.

biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan perizinan tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai sebagian atau seluruhnya dari retribusi perizinan.

Pasal 19

Jasa yang telah dikelola secara khusus oleh suatu Badan Usaha Milik Daerah tidak merupakan objek retribusi, tetapi sebagai penerimaan Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila Badan Usaha Milik Daerah memanfaatkan jasa atau perizinan tertentu yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, maka Badan Usaha Milik Daerah wajib membayar retribusi.

Pasal 20

Besarnya retribusi yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa yang bersangkutan dihitung dari perkalian antara tingkat penggunaan jasa dan tarif retribusi.

Huruf a

Tingkat penggunaan jasa dapat dinyatakan sebagai kuantitas penggunaan jasa sebagai dasar alokasi beban biaya yang dipikul daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan, misalnya berapa kali masuk tempat rekreasi, berapa kali/berapa jam parkir kendaraan.

Akan tetapi ada pula penggunaan jasa yang tidak dapat dengan mudah diukur. Dalam hal ini tingkat penggunaan jasa mungkin perlu ditaksir berdasarkan rumus. Misalnya mengenai izin bangunan, tingkat Penggunaan jasa dapat ditaksir dengan rumus yang didasarkan atas luas tanah, luas lantai bangunan, jumtah tingkat bangunan, dan rencana penggunaan bangunan.

Huruf b

Tarif retribusi adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi yang terutang.

Tarif dapat ditentukan seragam atau dapat diadakan pembedaan mengenai golongan tarif sesuai dengan prinsip dan sasaran tarif tertentu, misalnya pembedaan retribusi tempat rekreasi antara anak dan dewasa, retribusi parkir antara sepeda motor dan mobil, retribusi pasar antara kios dan los, retribusi sampah antara rumah tangga dan industri. Besarnya tarif dapat dinyatakan dalam rupiah per unit tingkat penggunaan jasa.

Pasal 21

  Huruf a

Penetapan tarif Retribusi Jasa Umum pada dasarnya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jenis-jenis retribusi yang berhubungan dengan kepentingan nasional.

Disamping itu tetap memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.

Huruf b

Tarif Retribusi Jasa Usaha ditetapkan oleh Daerah sehingga dapat tercapai keuntungan yang layak, yaitu keuntungan yang dapat dianggap memadai jika jasa yang bersangkutan diselenggarakan oleh swasta.

Huruf c

Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditetapkan sedemikian rupa sehingga hasil retribusi dapat menutup sebagian atau sama dengan perkiraan biaya yang diperlukan untuk menyediakan jasa yang bersangkutan. Untuk pemberian izin bangunan, misalnya, dapat diperhitungkan biaya pengecekan dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan, dan biaya pengawasan.

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Kewenangan Daerah untuk meninjau kembali tarif secara berkala dan jangka waktunya, dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah dari objek retribusi yang bersangkutan.

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Ketentuan dalam huruf d ini ditujukan agar Pemerintah Daerah menyatakan kebijaksanaan yang dianut dalam menetapkan tarif sehingga kebijaksanaan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat. Mengenai jenis- jenis retribusi yang prinsip tarifnya telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, maka Peraturan Daerah yang bersangkutan mencantumkan prinsip tersebut.

Terhadap jenis-jenis retribusi lainnya. Peraturan Daerah menyatakan prinsip dan sasaran tarif sesuai dengan kebijaksanaan daerah.

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Ketentuan dalam huruf g ini termasuk mengatur tentang penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran.

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Cukup jelas

Huruf j

Cukup jelas

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas

 Huruf b

Dasar pemberian pengurangan dan keringanan dikaitkan dengan kemampuan Wajib Retribusi, sedangkan pembebasan retribusi dikaitkan dengan fungsi objek retribusi. Misalnya, retribusi tempat rekreasi diberikan keringanan untuk orang jompo, cacat, dan anak sekolah. Untuk pembebasan retribusi, misalnya, pelayanan kesehatan bagi korban bencana alam.

Huruf c

Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)

Pertimbangan Menteri Keuangan diperlukan mengingat bahwa retribusi merupakan bagian dari sistem fiskal dan moneter yang memerlukan pembinaan secara terpadu.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Pemerintah Daerah untuk menjalankan Peraturan Daerah yang belum mendapat pengesahan Menteri Dalam Negeri dalam batas waktu yang ditetapkan.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Peraturan Pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk pengesahan, permintaan untuk penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah juga perlu memperhatikan dan mengatur prosedur yang diperlukan, khususnya demi kepentingan nasional yang dihadapi.

Pasal 26

Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan retribusi tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dalam pengertian ini bukan berarti bahwa Pemerintah Daerah tidak boleh bekerja sama dengan pihak ketiga. Dengan sangat selektif dalam proses pemungutan retribusi, Pemerintah Daerah dapat mengajak bekerja sama badan-badan tertentu yang karena profesionalismenya layak dipercaya untuk ikut melaksanakan sebagian tugas pemungutan jenis retribusi secara lebih efisien. Kegiatan pemungutan retribusi yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya retribusi terutang, pengawasan penyetoran retribusi, dan penagihan retribusi.

Pasal 27

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan dokumen lain yang dipersamakan, antara lain, berupa karcis masuk, kupon, kartu langganan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan keadaan di luar kekuasaannya adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak/kekuasaan Wajib Retribusi, misalnya, karena Wajib Retribusi sakit atau terkena musibah bencana alam.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1)

Ayat ini mencerminkan adanya kepastian hukum bagi Wajib Retribusi, bahwa keberatan yang diajukan harus diberi keputusan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Surat Keberatan diterima.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Ayat ini memberi suatu kepastian hukum kepada Wajib Retribusi bahwa dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Surat Keberatan diterima harus sudah ada keputusan.

Di sisi lain bahwa kepada Kepala Daerah diberi semacam "hukuman" apabila tidak menyelesaikan tugasnya dalam batas waktu yang ditentukan.

Pasal 30

 Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Kepala Daerah sebelum memberikan keputusan dalam hal kelebihan pembayaran pajak harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.

Ayat (3)

Kepala Daerah sebelum memberikan keputusan dalam hal kelebihan pembayaran retribusi harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas 

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Besarnya imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi dihitung dari batas waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar sampai dengan saat dilakukannya pembayaran kelebihan.

Ayat (8)

Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)

Saat kedaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.

Ayat (2) 

Huruf a

Dalam hal diterbitkannya Surat Teguran dan Surat Paksa, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.

Huruf b

Yang dimaksud dengan pengakuan utang pajak secara langsung adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.

Yang dimaksud dengan pengakuan utang secara tidak langsung adalah Wajib Pajak tidak secara nyata-nyata langsung menyatakan bahwa ia mengakui mempunyai utang pajak kepada Pemerintah Daerah.

Contoh :

-

Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran/penundaan pembayaran;

-

Wajib Pajak mengajukan permohonan keberatan.

Pasal 32 

Ayat (1)

Saat kedaluwarsa penagihan retribusi ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang retribusi tersebut tidak dapat ditagih lagi.

Ayat (2)

Huruf a

Dalam hal diterbitkan Surat Teguran, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran tersebut.

Huruf b

Yang dimaksud dengan pengakuan utang retribusi secara langsung adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.

Yang dimaksud dengan pengakuan utang secara tidak langsung adalah Wajib Retribusi tidak secara nyata-nyata langsung menyatakan bahwa ia mengakui mempunyai utang retribusi kepada Pemerintah Daerah.

Contoh :

-

Wajib Retribusi mengajukan permohonan angsuran/penundaan pembayaran;

-

Wajib Retribusi mengajukan permohonan keberatan.

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kriteria tertentu adalah Wajib Pajak melakukan usaha yang berupa, antara lain, jasa, dagang dengan omzet di atas Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1)

Kepala Daerah dalam rangka pengawasan berwenang melakukan pemeriksaan untuk :

a.

menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah atau retribusi;

b.

tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi.

Pemeriksaan dapat dilakukan di Kantor atau di tempat Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan.

Ayat (2)

Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak dapat memenuhi kewajibannya yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak atau retribusi, maka dikenakan penerapan secara jabatan.

Ayat (3) 

Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1)

Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan daerah dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan daerah. Masalah kerahasiaan tersebut perlu mendapat perlindungan untuk mencegah disalahgunakannya bahan keterangan Wajib Pajak dalam usaha persaingan dagang atau mengungkapkan keadaan asal usul kekayaan dari Wajib Pajak yang dapat dikategorikan sebagai rahasia pribadi berdasarkan asas hukum pajak.

Ayat (2)

Para ahli dalam ayat ini adalah seperti akuntan, pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan daerah.

Ayat (3)

Untuk kepentingan daerah, misalnya dalam rangka kerja sama dengan instansi lain, keterangan atau bukti tertulis tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

Dalam surat izin yang diterbitkan Kepala Daerah harus dicantumkan nama Wajib Pajak, pihak yang ditunjuk, pejabat, ahli atau tenaga ahli.

Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Kepala Daerah.

Ayat (4)

Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam rangka pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan daerah, demi kepentingan peradilan Kepala Daerah memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak, termasuk pejabat pajak yang ditugaskan dalam Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan para ahli, atas permintaan tertulis Hakim Ketua Sidang.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 37

Ayat (1)

Dengan adanya sanksi pidana, diharapkan timbulnya kesadaran Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya.

Yang dimaksud kealpaan berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian keuangan daerah.

Ayat (2)

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja, dikenakan sanksi yang lebih berat daripada alpa, mengingat pentingnya penerimaan pajak bagi Daerah.

Pasal 38

Ketentuan ini dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum, dan Hakim.

Pasal 39

Pengajuan tuntutan ke pengadilan pidana terhadap Wajib Retribusi dilakukan dengan penuh kearifan serta memperhatikan kemampuan Wajib Retribusi dan besarnya retribusi yang terutang yang mengakibatkan kerugian keuangan daerah.

Pasal 40

Ayat (1)

Ketentuan ini untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan daerah tidak akan diberitahukan kepada pihak lain, juga agar supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan kepada pejabat mengenai perpajakan daerah tidak ragu-ragu.

Ayat (2)

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja, dikenakan sanksi yang lebih berat.

Ayat (3)

Tuntutan pidana pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Ayat (1)

Penyidik di bidang perpajakan daerah dan retribusi adalah pejabat pegawai negeri sipil  tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Menteri Kehakiman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1)

Untuk mencegah kevakuman penerimaan daerah akibat diberlakukannya Undang-undang ini karena Peraturan Daerah yang mengatur pajak atau retribusi berdasarkan Undang-undang ini belum diberlakukan, maka Peraturan Daerah yang lama masih tetap berlaku sampai Peraturan Daerah yang baru diberlakukan.

Ayat (2) dan Ayat (3)

Pemberlakuan Peraturan Daerah yang lama tentang Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang yang terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Retribusi Perizinan Tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) hanya berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang ini diberlakukan. Peraturan Daerah yang lama tentang Retribusi sepanjang yang terkait dengan Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) hanya berlaku paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini diberlakukan walaupun Peraturan Daerah yang baru belum juga diterbitkan dalam jangka waktu tersebut. Hal ini dimaksudkan agar Pemerintah Daerah segera menerbitkan Peraturan daerah yang baru sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini.

Ayat (4)

Ayat ini memberikan kepastian kepada daerah untuk dapat memungut jenis pajak dan retribusi yang dinyatakan tidak berlaku lagi menurut Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini.

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas 

Pasal 46

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3679