T A M B A H A N
L E M B A R A N - N E G A R A R.I.


No.3687 KEUANGAN.PERPAJAKAN .PENERIMAAN BUKAN PAJAK. Jasa Giro.Royalti(Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 1997
TENTANG
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

UMUM
Dalam upaya pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945, Pemerintah menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, peranan Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam pembiayaan kegiatan dimaksud penting dalam peningkatan kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dalam pembangunan.
Penjelasan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, antara lain, menegaskan bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan Undang-undang yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.Oleh karena itu,penerimaan Negara diluar penerimaan perpajakan, yang menempatkan beban kepada rakyat, juga harus didasarkan pada Undang-undang.
Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional di segala bidang, terdapat banyak bentuk penerimaan Negara diluar perpajakan.Penerimaan perpajakan meliputi penerimaan yang berasal dari Pajak Penghasilan,Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,Bea Masuk,Cukai,Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan lainnya yang diatur dengan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan.Selain itu, penerimaan Negara yang berasal dari minyak dan gas bumi, yang didalamnya terkandung unsur pajak dan royalti, diperlakukan sebagai penerimaan perpajakan,mengingat unsur pajak lebih dominan. Dengan demikian pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dirumuskan dalam Undang-undang ini mencakup segala penerimaan Pemerintah pusat diluar penerimaan perpajakan tersebut.
Ketentuan perundang-undangan sebagai landasan penyelenggaraan dan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku selama ini meliputi berbagai ragam dan tingkatan peraturan sehingga belum sepenuhnya mencerminkan kepastian hukum. Banyak dan beragamnya bentuk pengaturan juga mengakibatkan kekurang tertiban dan kerumitan dalam pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk membentuk undang-undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Sebelum adanya undang-undang perbendaharaan yang baru sebagai pengganti Indische Comptabiliteitswet (Staatblad Nomor 448 tahun 1925) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 masih tetap menjadi bahan pertimbangan.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan perumusan Undang-undang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah :

a. menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan pembiayaan pembangunan melalui optimalisasi sumber-sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak dan ketertiban administrasi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak serta penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak ke Kas Negara;
b. lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
c. menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi di seluruh wilayah Indonesia;
d. menunjang upaya terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban,peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran Negara, serta peningkatan pengawasan.

PASAL DEMI PASAL
Pasal 1

Cukup Jelas

Pasal 2

Ayat (1)
Huruf a
Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah, antara lain, penerimaan jasa giro,Sisa Anggaran Pembangunan, dan Sisa Anggaran Rutin.
Huruf b
Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam, antara lain, royalti dibidang perikanan, royalti dibidang kehutanan dan royalti dibidang pertambangan.Khusus mengenai penarimaan dari minyak dan gas bumi walaupun sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara terdapat unsur royalti,namun karena di dalamnya terkandung banyak unsur-unsur perpajakan, maka penerimaan yang merupakan bagian Pemerintah dari minyak dan gas bumi tidak termasuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Huruf c
Jenis Penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, antara lain,dividen,bagian laba Pemerintah,dana pembangunan semesta,dan hasil penjualan saham Pemerintah.
Huruf d
Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah antara lain,pelayanan pendidikan,pelayanan kesehatan,pelayanan pelatihan,pemberian hak paten,merek,hak cipta,pemberian visa dan paspor,serta pengelolaan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan.
Huruf e
Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan yang berdasarkan putusan pengadilan antara lain,lelang barang perampasan Negara dan denda.
Huruf f
Hibah yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat(1) huruf ini adalah penerimaan Negara berupa bantuan hibah dan atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah yang menjadi hak pemerintah.

Hibah dalam bentuk natura antara lain,yang secara langsung untuk megatasi keadaan darurat seperti bencana alam atau wabah penyakit tidak dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Huruf g
Cukup Jelas
Ayat (2)
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rencana Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (3)
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rencana Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 3

Ayat (1)
Tarif atas jenis Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak perlu ditetapkan dengan pertimbangan secermat mungkin karena hal ini membebani masyarakat.Pertimbangan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, dan beban biaya yang ditanggung pemerintah atas penyelenggaraan kegiatan pelayanan, dan pengaturan oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan serta aspek keadilan dimaksudkan agar beban yang wajib ditanggung masyarakat adalah wajar,memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat.
Ayat (2)
Tarif atas jenis Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 4

Yang dimaksud dengan Kas Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang Negara yang dibuka dan ditetapkan oleh Menteri untuk menampung seluruh peneriman dan pengeluaran Negara,dibukukan pada setiap saat dalam 1(satu) tahun anggaran serta dipertanggungjawabkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 5

Cukup Jelas

Pasal 6

Ayat (1)
Kata dapat dalam ayat ini dimaksudkan,apabila undang-undang belum menunjuk Instansi Pemerintah untuk menagih dan atau memungut Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, maka Menteri perlu menunjuk Instansi Pemerintah untuk tujuan dimaksud.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Dalam hal ini sanksi dikenakan terhadap pejabat Instansi Pemerintah yang bersangkutan selaku pejabat pelaksana tugas.

Yang dimaksud peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 7

Ayat (1)
Penyampaian rencana dan laporan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak dimaksudkan agar pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak terencana dan tertib. Penyampaian rencana dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam satu tahun anggaran. Laporan realisasi disampaikan sekurang-kurangnya 2(dua) kali dalam 1(satu)tahun anggaran.
Ayat (2)
Hal-hal yang diatur dengan Peraturan Pemerintah mencakup antara lain materi yang dilaporkan, dan waktu penyampaian rencana dan atau laporan realisasi.

Pasal 8

Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian alokasi pembiayaan kegiatan tertentu yang berakitan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dana yang dapat dialokasikan adalah dana dari jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tertentu tersebut. Dana dari pengalokaisan tersebut hanya dapat digunakan oleh instansi atau unit yang menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan.Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut dilakukan secara selektif, dan dengan tetap memenuhi terlebih dahulu ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5.Penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan usulan rencana penggunaan kepada Menteri.
Ayat (2)
Huruf a
Kegiatan dalam hal ini antara lain meliputi penelitian dan pengembangan teknologi di bidang pertanian dan pertambangan

Huruf b

Kegiatan dalam hal ini antara lain meliputi pelayanan rumah sakit dan balai pengobatan.

Huruf c

Kegiatan dalam hala ini antara lain meliputi kegiatan perguruan tinggi dan balai latihan kerja.

Huruf d

Kegiatan dalam hal ini antara lain dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan hukum serta pemberian Hak atas Kekayaan Intelektual.

Huruf e

Kegiatan dalam ini antara lain pemberian jasa konsultasi,jasa analistis,uji mutu dan pemantauan lingkungan,pembuatan hujan buatan, uji pencemaran radiasi pada makanan.

Huruf f

Kegiatan dalam hal ini antara lain meliputi usaha pelestarian sumber daya kehutanan dan perikanan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)
Sistem pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak mempunyai ciri dan corak tersendiri dan dapat dibagi dalam dua kelompok sehubungan dengan penentuan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yaitu ditetapkan oleh Instansi Pemerintah atau dihitung sendiri oleh Wajib Bayar.Untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang menjadi terutang sebelum Wajib Bayar menerima manfaat atas kegiatan Pemerintah, seperti pemberian hak paten,pelayanan pendidikan,maka penentuan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dalam hal ini ditetapkan oleh Instansi Pemerintah.Namun,dalam hal Wajib Bayar menjadi terutang setelah menerima manfaat,seperti pemanfaatan sumber daya alam,maka penentuan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutangnya dapat dipercayakan kepada Wajib Bayar yang bersangkutan untuk menghitung sendiri dalam rangka membayar dan melaporkan sendiri (self assesment).
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)
Terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat(2) dapat dilakukan koreksi dalam bentuk penetapan oleh Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat(1) yang berkaitan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan untuk mendapatkan jumlah yang tepat dan benar.Hak untuk mengeluarkan penetapan ini diberikan kepada Instansi Pemerintah yang bersangkutan dengan batas waktu tertentu guna memberikan kepastian hukum mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang dapat ditagih.
Ayat (2)
Dalam hal terdapat indikasi bahwa Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Instansi Pemerintah tetap dapat menetapkan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang terhadap Wajib Bayar yang bersangkutan dengan tidak mempertimbangkan masa kedaluwarsa.

Pasal 11

Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Instansi Pemerintah memberikan persetujuan untuk menangsur atau menunda pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang setelah mendapat persetujuan tertulisMenteri.

Pasal 12

Hal-hal yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ini antara lain penetapan saat terutang,waktu pembayaran kegiatan Instansi Pemerintah dalam menagih,dan atau memungut dan menyetor.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Ayat (1)
Pemeriksaan dalamm hal ini menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan perudang-undangan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan dalam rangka melaksanakan peraturan perudang-undangan tersebut. Yang dimaksud dengan instansi yang berwewenang adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan Badan Pemeriksa Keuangan tetap dapat melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan peraturan perudang-udangan yang berlaku.
Ayat(2)
Pemeriksaan dalam hal ini dalam rangka melaksanakan pengawasan intern dan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan Penerimaan Negara Bukan Pajak serta dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut. Yang dimaksud instansi yang berwewenang adalah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan Badan Pemeriksa Keuangan tetap dapat melaksanakan Pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Catatan, dokumen dan keterangan-keterangan tambahan sangat dibutuhkan untuk mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang benar dan tepat sehingga tidak terjadi kerugian pada Wajib Bayar maupun Pemerintah.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri.

Ayat(6)

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)
Yang dimaksud pihak lain pada ayat ini antara lain bank,akuntan publik,dan notaris.

Ayat(2)

Cukup jelas

Pasal 16

Ayat(1)
Cukup jelas

Ayat(2)

Dalam hal ini Instansi Pemerintah menetapkan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan.

Pasal 17

Ayat (1)
Denda dikenakan mulai saat Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang jatuh tempo, dan bagian dari bulan dihitung 1(satu) bulan. Jatuh tempo dimaksud adalah pada saat Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang harus dibayar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Denda dihitung sejak jatuh tempo sampai dengan Wajib Bayar melunasi Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang,tetapi tidak lebih lama dari 24 (dua puluh empat) bulan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)
Apabila ternyata terdapat perbedaan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang antara yang dihitung oleh Wajib Bayar dan penetapan Instansi Pemerintah berdasarkan hasil pemerikasaan mengenai jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, maka terhadap penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang tersebut dapat diajukan keberatan oleh wajib bayar.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Penetapan atas keberatan yang bersifat final artinya penetapan tersebut merupakan keputusan administratif yang terakhir dengan Pejabat Tata Usaha Negara. Dengan demikian,apabila Wajib Bayar merasa kepentingannya dirugikan atas penetapan tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Ayat (6)

Cukup Jelas

Ayat (7)

Cukup Jelas

Ayat (8)

Cukup Jelas

Ayat (9)

Cukup Jelas

Ayat (10)

Cukup Jelas

Ayat (11)

Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain tata cara pengajuan keberatan, seperti waktu pengajuan keberatan atau alasan-alasan pengajuan keberatan.

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana kejahatan dibidang Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka bagi pelaku pengulangan tindak pidana kejahatan tersebut dikenakan pidana yang lebih berat.

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ini mulai dilaksanakan sesegera mungkin dan harus sudah selesai secara keseluruhan selambat-lambatnya 5(lima) tahun sejak Undang -undang ini berlaku.

Pasal 24

Cukup jelas