PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR   63  TAHUN  1999


TENTANG


PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73
TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA
PERASURANSIAN


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

a.

bahwa peraturan pelaksanaan di bidang usaha perasuransian perlu disesuaikan dengan perkemhangan kegiatan industri asuransi pada
khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya;

 

 

b.

bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

 

 

2.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467);

 

 

3.

Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3506);

 

 

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN.

 

 

Pasal I

 

 

Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian  sebagai  berikut :

 

 

1.

Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga 6 seluruhnya berbunyi sebagai berikut :

 

"Pasal 6

 

 

 

(1)

Persyaratan modal disetor bagi pendirian baru Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, sekurang-kurangnya sebagai berikut :

 

 

 

 

a.

Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi;

 

 

 

 

b.

Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi.

 

 

 

(2)

Pada saat pendirian perusahaan, kepemilikan saham pihak asing melalui penyertaan langsungdalam Perusahaan Perasuransian paling banyak 80% (delapan puluh perseratus).

 

 

 

(3)

Setiap perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian harus dilaporkan kepada Menteri."

 

 

2.

Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga Pasal 9 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

 

"Pasal 9

 

 

 

(1)

Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut :

 

 

 

 

a.

Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenanv;

 

 

 

 

b.

Susunan Organisasi dan Kepengurusan perusahaan yang menggambarkan pemisahan fungsi dan uraian tugas;

 

 

 

 

c.

Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya;

 

 

 

 

d.

Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing:

 

 

 

 

e.

Spesifikasi program asuransi yang akan dipasarkan beserta program reasuransinya, bagi Perusahaan Asuransi; dan

 

 

 

 

f.

Program retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi.

 

 

 

(2)

Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut :

 

 

 

 

a.

Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;

 

 

 

 

b.

Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya;

 

 

 

 

c.

Polis Asuransi Indemnitas Profesi; dan

 

 

 

 

d.

Perjanjian kerjasama dengan pihak asing dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing.

 

 

 

(3)

Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Penilai Kerugian, Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Agen Asuransi yang berbentuk badan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut :

 

 

 

 

a.

Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;

 

 

 

 

b.

Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya;

 

 

 

 

c.

Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing; dan

 

 

 

 

d.

Perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni, bagi Perusahaan Agen Asuransi.

 

 

 

(4)

Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Agen Asuransi perorangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, sekurang-kurangnya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

 

 

 

 

a.

Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya; dan

 

 

 

 

b.

Perjanian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni, bagi Perusahaan Agen Asuransi.

 

 

 

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha diatur dengan Keputusan Menteri."

 

 

3.

Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 9 dan Pasal 10 yaitu Pasal 9A, yang berbunyi sebagai berikut :

 

"Pasal 9A

 

 

 

(1)

Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha bagi Perasuransian diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.

 

 

 

(2)

Setiap penolakan terhadap permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis disertai alasan penolakannya."

 

 

4.

Menambah satu BAB dan pasal baru diantara Pasal 10 dan Pasal 11 yaitu BAB IIIA Pasal 10A, yang berbunyi sebagai berikut :

 

"BAB IIIA
KEPEMILIKAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal l0A

 

 

 

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dimungkinkan untuk melakukan perubahan kepemilikan melampaui batas kepemilikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) dengan ketentuan jumlah modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia harus tetap dipertahankan."

 

 

5.

Ketentuan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) diubah serta menambah ayat baru yaitu ayat (4), sehingga Pasal 11 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

 

"Pasal 11

 

 

 

(1)

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib menjaga tingkat solvabilitas.

 

 

 

(2)

Tingkat solvabilitas merupakan selisih antara jumlah kekayaan yang diperkenankan dan kewajiban.

 

 

 

(3)

Selisih antara jumlah kekayaan yang diperkenankan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya harus sebesar dana yang yang cukup untuk menutup risiko kerugian yang mugkin timbul sebagai akibat dari terjadinya deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban.

 

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai kekayaan yang diperkenankan, kewajiban, dan risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Menteri."

 

 

6.

Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga Pasal 15 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

 

"Pasal 15

 

 

 

(1)

Setiap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Wajib menetapkan batas retensi sendiri sesuai dengan kemampuan keuangan perusahaan.

 

 

 

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

 

 

7.

Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 15 dan Pasal 16 yaitu Pasal 15A, yang berbunyi sebagai berikut :

 

"Pasal 15A

 

 

 

(1)

Setiap Perusahaan Asuransi wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk perjanjian reasuransi otomatis.

 

 

 

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri."

 

 

8.

Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

 

"Pasal 16

 

 

 

(1)

Dalam hal dukungan reasuransi diperoleh dari perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi luar negeri, maka perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi luar negeri tersebut harus memiliki peringkat yang baik dari lembaga pemeringkat independen yang diakui secara internasional.

 

 

 

(2)

Setiap perjanjian reasuransi harus dibuat secara tertulis dan tidak merupakan perjanjian yang menjanjikan keuntungan pasti bagi penanggung ulangnya.

 

 

 

(3)

Dalam perjanjian reasuransi harus dinyatakan bahwa dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilikuidasi, hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang timbul dalam transaksi reasuransi tetap mengikat sampai dengan saat salah satu atau kedua perusahaan tersebut dilikuidasi.

 

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri."

 

 

9.

Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 16 dan Pasal 17 yaitu Pasal 18A, yang berbunyi sebagai berikut :

 

"Pasal 16A

 

 

 

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat melakukan upaya bersama untuk menutup suatu jenis risiko khusus."

 

 

10.

Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 seluruhnya berbunyi sebagai berikut :

 

"Pasal 18

 

 

 

(1)

Perusahaan Asuransi yang akan memasarkan program asuransi baru harus terlebih dahulu memberitahukan rencana tersebut kepada Menteri.

 

 

 

(2)

Pemberitahuan mengenai rencana memasarkan program asuran, baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilengkapi dengan spesifikasi program asuransi yang akan dipasarkan berikut program reasuransinya serta bukti-bukti pendukunanya.

 

 

 

(3)

Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak pemberitahuan diterima secara lengkap Menteri tidak memberikan tanggapan Perusahaan Asuransi dapat memasarkan program asuransi dimaksud.

 

 

 

(4)

Program asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992.

 

 

 

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitahuan rencana memasarkan program asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri."

 

 

11.

Ketentuan Pasal 38 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 38 ayat (1) seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

 

"Pasal 38

 

 

 

(1)

Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan dan atau laporan operasional tahunan, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untul setiap hari keterlambatan."

 

 

12.

Ketentuan Pasal 41 diubah, sehingga Pasal 41 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

 

"Pasal 41

 

 

 

(1)

Pengenaan sanksi peringatan dilakukan oleh Menteri segera setelah diketahui adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.

 

 

 

(2)

Pengenaan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk setiap jenis pelanggaran dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 1 (satu) bulan.

 

 

 

(3)

Dalam hal Menteri menilai bahwa jenis pelanggaran yang dilakukan tidak mungkin dapat diatasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat menetapkan berlakunya jangka waktu yang lebih lama dari 1 (satu) bulan dengan ketentuan jangka waktu dimaksud paling lama 6 (enam) bulan.

 

 

 

(4)

Dalam hal perusahaan telah dikenakan sanksi peringatan terakhir, dan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) setelah peringatan diberikan, perusahaan tetap tidak memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan, perusahaan yang bersangkutan dikenakan sanksi pembatalan kegiatan usaha."

 

 

13.

Ketentuan Pasal 42 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 42 ayat (1) seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

 

Pasal 42

 

 

 

(1)

Sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4) berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan."

 

Pasal II

 

 

Bagi permohonan izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah diajukan dan yang telah memperoleh izin prinsip sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, persyaratan permodalan tetap diberlakukan berdasarkan persyaratan yang berlaku pada saat izin prinsip ditetapkan.

 

Pasal II

 

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta

 

 

 

 

 

 

pada tanggal 2 Juli 1999

 

 

 

 

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

             
             
            BACHARUDDIN JUSUF HABIBI
             

 

 

Diundangkan di Jakarta

 

 

 

pada tanggal 2 Juli 1999

 

 

 

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

 

   

REPUBLIK INDONESIA

 
       
       
   

M U L A D I

 
       
  LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 118


Penjelasan..................