PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 1494
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73
TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA
PERASURANSIAN
UMUM |
|||||
Dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat dan dalam menghadapi era globalisasi, perlu ditingkatkan peran industri asuransi yang semakin kompetitif dengan cara mewujudkan terciptanya industri asuransi yang kuat baik dari segi permodalan maupun kondisi kesehatan keuangannya. |
|||||
Dengan menetapkan jumlah modal disetor yang cukup besar dalam Peraturan Pemerintah ini, diharapkan agar pendirian Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat mewujudkan industri asuransi yang memiliki permodalan dan kondisi keuangan yang kuat sehingga mampu melakukan usaha yang kompetitif. |
|||||
Dalam Peraturan Pemerintah ini Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah mendapat izin usaha sebelum Peraturan Pemerintah ini tidak diwajibkan menyesuaikan jumlah modal setor, akan tetapi didorong untuk memperkuat permodalannya melalui ketentuan kesehatan keuangan. |
|||||
PASAL DEMI PASAL |
|||||
Pasal I |
|||||
Angka 1 |
|||||
Pasal 6 |
|||||
Ayat (1) |
|||||
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan modal disetor dalam Peraturan Pemerintah ini adalah modal disetor perseroan terbatas, atau simpanan pokok dan simpanan wajib koperasi, atau dana awal usaha bersama. |
|
Ketentuan permodalan tidak dikenakan pada Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Perusahaan Agen Asuransi, karena dalam kegiatan usaha perusahaan tersebut lebih datuntut unsur profesionalisme. Dengan demikian, unsur permodalan dapat dipenuhi sendiri sesuai dengan kebutuhan perusahaan yang bersangkutan. |
|||||
Ayat (2) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (3) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Angka 2 |
|||||
Pasal 9 |
|||||
Ayat (1) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (2) |
|||||
Polis Asuransi Indemnitas Profesi yang dimaksudkan dalam ayat (2) huruf c adalah polis asuransi tanggungjawab hukum yang lazim disebut dengan polis Profesional Indemnity. |
|||||
Ayat (3) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (4) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (5) |
|||||
Ketentuan yang diatur dengan Keputusan Menteri meliputi antara lain alamat perusahaan, NPWP, riwayat hidup pengurus dan atau direksi, dan besarnya uang pertanggungan untuk polis asuransi indemnitas profesi. |
|||||
Angka 3 |
|||||
Pasal 9A |
|||||
Ayat (1) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (2) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Angka 4 |
|||||
Pasal 10A |
|||||
Pada prinsipnya modal yan-g telah disetor oleh pihak Indonesia pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang di dalamnya terdapat penycrtaan pihak asina tidakboleh herkurang jumlahnya. |
|||||
Namun demikian prosentase kepemilikan pihak Indonesia dapat berkurang dalam hal perusahaan dimaksud membutuhkan penambahan modal, namun penambahan modal tersebut menyebabkan pihak Indonesia tidak mampu mempertahankan prosentase kepemilikannya. |
|||||
Ketentuan yang memungkinkan prosentase kepemilikan pihak asing melampaui batas 80% ini hanya berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang didalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing yang prosentase kepemilikan pihak asing sudah mencapai 80%. |
|||||
Angka 5 |
|||||
Pasal 11 |
|||||
Ayat (1) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (2) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (3) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (4) |
|||||
Dalam Keputusan Menteri diatur antara lain meliputi batas tingkat solvabilitas, jenis dan penilaian serta pembatasan kekayaan yang diperkenankan, dan perhitungan kewajiban yang meliputi kewajiban kepada tertanggung dan kewajiban kepada pihak lain. |
|||||
Angka 6 |
|||||
Pasal 15 |
|||||
Ayat (1) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (2) |
|||||
Dalam Keputusan Menteri diatur batas minimum dan batas maksimum retensi sendiri. |
|||||
Angka 7 |
|||||
Pasal 15A |
|||||
Ayat (1) |
|||||
Perjanjian reasuransi otomatis (treaty reinsurance) merupakan salah satu bentuk perjanjian reasuransi yang lazim dilakukan dalam usaha asuransi. Dalam perjanjian tersebut perusahaan asuransi wajib mereasuransikaa setiap penutupan yang nilai dan lingkup penutupannya sesuai dengan yang telah diperjanjikan kepada penanggung ulang (Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi) dan penanggung ulang dimaksud wajib menerima penempatan reasuransi tersebut. |
|||||
Dukungan reasuransi otomatis tersebut sedapat mungkin diperoleh dari Perusahaan Asuransi dan perusahsm reasuransi di dalam negeri. |
|||||
Ayat (2) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Angka 8 |
|||||
Pasal 16 |
|||||
Ayat (1) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (2) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (3) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (4) |
|||||
Dalam Keputusan Menteri diatur mengenai kriteria penanggung ulang luar negeri yang baik. |
|||||
Angka 9 |
|||||
Pasal 16A |
|||||
Salah satu prinsip usaha asuransi adalah adanya kerjasama dalam penyebaran risiko yang dapat dilakukan melalui mekanisme reasuransi dan koasuransi. Disamping kedua mekanisme tersebut, untuk memenuhi permintaan pasar terhadap suatu risiko khusus yang apabila penutupannya dilakukan oleh perusahaan asuransi secra sendiri-sendiri tidak layak usaha (feasible) namun penutupan atas risiko tersebut menjadi layak usaha jika dilakukan secara bersama, maka atas kesepakatan sebagian besar Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi penutupan risiko khusus tersebut dilakukan oleh satu perusahaan asuransi. |
|||||
Angka 10 |
|||||
Pasal 18 |
|||||
Ayat (1) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (2) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (3) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (4) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (5) |
|||||
Dalam Keputusan Menteri diatur mengenai kriteria program asuransi baru serta tata cara pemberitahuan rencana memasarkan program asuransi baru |
|||||
Angka 11 |
|||||
Pasal 38 |
|||||
Ayat (1) |
|||||
Pengenaan denda untuk setiap hari keterlambatan dalam ketentuan ini dihitung berdasarkan hari kerja pada kantor pusat Departemen Keuangan. |
|||||
Dalam hal tanggal batas waktu penyampaian laporan jatuh tempo pada hari libur, maka batas waktu yang berlaku adalah hari kerja pertama setelah libur dimaksud. |
|||||
Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dikenakan terhadap keterlambatan penyampaian laporan keuangan dan atau laporan operasional. |
|||||
Contoh : |
|||||
a. |
Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan operasional tetapi telah menyampaikan laporan keuangan, atau sebaliknya, dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari. |
||||
b. |
Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan keuangan dan laporan operasional dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000.00 (satu juta rupiah) per hari. |
||||
Angka 12 |
|||||
Pasal 41 |
|||||
Ayat (1) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (2) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (3) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (4) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Angka 13 |
|||||
Pasal 42 |
|||||
Ayat (1) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Pasal II |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Pasal III |
|||||
Cukup jelas |
|||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3861 |