11.
Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) diubah, ayat (5) dihapus, serta di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 18

(1)
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2)
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b.
secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
(3a)
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
(4)
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a.
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
b.
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c.
terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
(5)
Dihapus.
12.
Ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta ayat (6) dan ayat (7) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 21

(1)
Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh:
a.
pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b.
bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c.
dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d.
badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e.
penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
(2)
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah badan perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3)
Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4)
Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5)
Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
(6)
Dihapus.
(7)
Dihapus.
(8)
Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
13.
Ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, ayat (2), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 23

(1)
Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a.
sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1)
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2)
bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3)
royalti;
4)
hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b.
sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi;
c.
sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas:
1)
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2)
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2)
Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3)
Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4)
Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan atas:
a.
penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b.
sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c.
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f;
d.
bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j;
e.
bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f.
sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g.
bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya."
14.
Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (7) diubah, ayat (3) dan ayat (5) dihapus, serta ditambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (9), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 25

(1)
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a.
Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b.
Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2)
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
(3)
Dihapus.
(4)
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5)
Dihapus.
(6)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu:
a.
Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b.
Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d.
Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e.
Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f.
terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7)
Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(8)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(9)
Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut Undang-undang ini."
15.
15. Ketentuan Pasal 26 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 26

(1)
Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a.
dividen;
b.
bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c.
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d.
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.
hadiah dan penghargaan;
f.
pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
(2)
Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4)
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5)
Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
a.
pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;
b.
pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap. "
                     
16.
Ketentuan Pasal 31 A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 A berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 31 A

(1)
Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
a.
pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;
b.
penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c.
kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d.
pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
(2)
Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah."
17.
Di antara Pasal 31 A dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal baru yaitu Pasal 31 B dan Pasal 31 C, yang masuk dalam BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN, yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 31 B

(1)
Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan yang terutang atas:
a.
pembebasan utang;
b.
pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang;
c.
perubahan utang menjadi penyertaan modal.
(2)
Fasilitas pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31 C

(1)
Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2)
Pembagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
18.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 32

Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000."

19.
Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 32 A yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 32 A

Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak."

Pasal II

Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Ketiga Undang-undang Pajak Penghasilan 1984".

Pasal III

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DJOHAN EFFENDI

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 127

PENJELASAN.............