PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 17 TAHUN 2000

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

 

UMUM

1.
Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
2.
Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dan setelah mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undang-undang perpajakan selama lima tahun terakhir, khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.
3.
Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan negara dan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut :
a.
Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b.
Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
c.
Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
4.
Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut :
a.
Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya. Struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan untuk Wajib Pajak Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan tingkat daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
b.
Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan tatacara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas perlu didorong untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib dan taat asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dengan syarat wajib menyelenggarakan pencatatan.
c.

Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan.

PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap.
Hruruf a.
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.
Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
1)
dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2)
dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;
3)
penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan
4)
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya.
Ayat (2)
Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a.
Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
b.
Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
c.
Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri.

Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.

Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Angka 2
Pasal 3
Huruf a dan huruf b
Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya.

Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.

Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.

Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
-
penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
-
penghasilan dari usaha dan kegiatan;
-
penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
-
penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.

Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.

Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.

Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan.

Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.

Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.

Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek Pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1)
pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2)
pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3)
pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4)
pembagian laba dalam bentuk saham;
5)
pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6)
jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7)
pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8)
pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9)
bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10)
bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11)
pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12)
pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.

Huruf h....................