Pasal I
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Angka 1
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 2
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (1)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap.
|
|
|
|
|
|
Hruruf a.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada
di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai
satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang
berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai
Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan
yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
|
|
|
|
|
Huruf b
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis,
lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan
sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu,
walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan,
untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya
sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.Badan Usaha Milik Negara
dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya,
sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga,
badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh
penghasilan merupakan Subjek Pajak.
Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut
tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
|
|
|
|
|
|
1)
|
dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
|
|
|
|
|
|
2)
|
dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;
|
|
|
|
|
|
|
|
3)
|
penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat
atau Daerah; dan
|
|
|
|
|
|
|
|
4)
|
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
|
|
|
|
|
|
|
|
Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan
terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan,
atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
|
|
|
|
|
Huruf c
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya.
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (2)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek
Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila
telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan
Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi
Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan
di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan
perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi
kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib
Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak
luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
|
|
|
|
|
|
a.
|
Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan
Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal
dari sumber penghasilan di Indonesia.
|
|
|
|
|
b.
|
Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto
dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan
penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
|
|
|
|
|
c.
|
Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak,
sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang
bersifat final.
|
|
|
|
|
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya
dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
|
|
|
|
|
Ayat (3)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf a
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri
adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk
dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah
mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah
seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang
menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh
jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
|
|
|
|
|
Huruf b
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf c
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian
Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan
kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris
yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya
beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai
Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek
Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
|
|
|
|
Ayat (4)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf a dan huruf b
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan
yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui
ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka
orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap,
maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui
bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap
sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut
menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar negeri
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.
Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui
bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek
Pajak luar negeri tersebut.
|
|
|
|
Ayat (5)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu
tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa
tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas
nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak
dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang
pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas,
asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya
dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar
Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan
asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau
menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya
di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa
yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
|
|
|
|
|
Ayat (6)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai
yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat
tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan
yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa
hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan
tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain
domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan
usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan
pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
|
|
Angka 2
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf a dan huruf b
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan
negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan
pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka
mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak
berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau
mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh
penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut,
maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan
lain tersebut.
|
|
|
|
Huruf c
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf d
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas
|
|
|
|
|
|
Angka 3
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (1)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan
dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun
asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib
Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya
penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan
ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut
untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk
kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,
penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
|
|
|
|
|
-
|
penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas
seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris,
akuntan, pengacara, dan sebagainya;
|
|
|
|
|
-
|
penghasilan dari usaha dan kegiatan;
|
|
|
|
|
|
|
|
-
|
penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau
hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
|
|
|
|
|
-
|
penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.
|
|
|
|
|
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk
konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka
semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun
pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian,
apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian,
maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi
horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian,
apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat
final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak
boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan
untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas
pada contoh-contoh dimaksud.
|
|
|
|
|
|
Huruf a
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti
upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh
pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk
natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.
|
|
|
|
|
Huruf b
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan
kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga
dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan
dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan
penemuan benda-benda purbakala.
|
|
|
|
|
Huruf c
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf d
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih
tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan,
maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta
tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga
jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan
tersebut adalah harga pasar.
Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya
dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah).
Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut
adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut
dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung
berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan
bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih
sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu
selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku
harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara
harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang
diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan
atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan dianggap sebagai penghasilan
bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan
atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha
kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
|
|
|
|
|
Huruf e
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengembalian pajak yang
telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak,
merupakan Objek Pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan
yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab
dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
|
|
|
|
|
Huruf f
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dalam pengertian bunga
termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat
obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila
surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan
penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan
bagi yang membeli obligasi.
|
|
|
|
|
Huruf g
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dividen merupakan bagian laba yang
diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa
hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian
dividen adalah:
|
|
|
|
|
|
1)
|
pembagian laba baik secara langsung
ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
|
|
|
|
|
|
2)
|
pembayaran kembali karena likuidasi
yang melebihi jumlah modal yang disetor;
|
|
|
|
|
|
3)
|
pemberian saham bonus yang dilakukan
tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio
saham;
|
|
|
|
|
|
4)
|
pembagian laba dalam bentuk saham;
|
|
|
|
|
|
|
|
5)
|
pencatatan tambahan modal yang dilakukan
tanpa penyetoran;
|
|
|
|
|
|
|
|
6)
|
jumlah yang melebihi jumlah setoran
sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali
saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
|
|
|
|
|
|
7)
|
pembayaran kembali seluruhnya atau
sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau
diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat
dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
|
|
|
|
|
|
8)
|
pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda
laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
|
|
|
|
|
|
9)
|
bagian laba sehubungan dengan pemilikan
obligasi;
|
|
|
|
|
|
|
|
10)
|
bagian laba yang diterima oleh pemegang
polis;
|
|
|
|
|
|
|
|
11)
|
pembagian berupa sisa hasil usaha kepada
anggota koperasi;
|
|
|
|
|
|
|
|
12)
|
pengeluaran perusahaan untuk keperluan
pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
|
|
|
|
|
|
Dalam praktek sering dijumpai pembagian
atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang
saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada
perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi
hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan
tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian
bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
|
|