UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24 TAHUN 2000

TENTANG

PERJANJIAN INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

a.

bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang  berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional, melakukan hubungan dan kerjasama internasional yang diwujudkan dalam perjanjian internasional;

 

 

b.

bahwa ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sangat ringkas, sehingga perlu dijabarkan lebih lanjut dalam suatu peraturan perundang-undangan;

 

 

c.

bahwa Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang "Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain" yang selama ini digunakan sebagai Pedoman untuk membuat dan mengesahkan Perjanjian internasional sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi;

 

 

d.

bahwa pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat   negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar­dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas pula;

 

 

e.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Huruf a, b, c dan d perlu dibentuk Undang-undang tentang Perjanjian Internasional;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang­Undang Dasar 1945 dan Perubahannya (1999);

 

 

2.

Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara  Nomor  3882);

DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

ANTARA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

 

 

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

 

 

1.

Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

 

 

2.

Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).

 

 

3.

Surat Kuasa ( Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan Persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.

 

 

4.

Surat Kepercayaan (Credentials) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional.

 

 

5.

Pensyaratan (Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani,   menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral.

    6. Pernyataan (Declaration) adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional.

 

 

7.

Organisasi Internasional adalah organisasi antar pemerintah yang diakui sebagai subjek  hukum internasional dan mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional.

 

 

8.

Suksesi Negara adalah peralihan hak dan kewajiban dari satu negara kepada negara lain, sebagai akibat pergantian negara, untuk melanjutkan tanggung jawab pelaksanaan hubungan luar negeri dan pelaksanaan kewajiban sebagai pihak suatu perjanjian internasional, sesuai dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

 

 

9.

Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri.

Pasal 2

 

 

Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik.

Pasal 3

 

 

Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut :

 

 

a.

penandatanganan;

 

 

b.

pengesahan;

 

 

c.

pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;

 

 

d.

cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.

BAB II

PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 4

 

 

(1)

Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.

 

 

(2)

Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.

Pasal 5

 

 

(1)

Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri.

 

 

(2)

Pemerintah Republik Indonesia dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian internasional, terlebih dahulu harus menetapkan posisi Pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam suatu pedoman delegasi Republik Indonesia.

 

 

(3)

Pedoman delegasi Republik Indonesia, yang perlu mendapat persetujuan Menteri, memuat hal-hal sebagai berikut :

 

 

 

a.

latar belakang permasalahan;

 

 

 

b.

analisis permasalahan ditinjau dari segi aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia;

 

 

 

c.

posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan.

 

 

(4)

Perundingan rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan oleh Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing.

Pasal 6

 

 

(1)

Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.   

 

 

(2)

Penandatanganan suatu perjanjian internasional merupakan persetujuan atas naskah perjanjian internasional tersebut yang telah dihasilkan dan/atau merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri secara definitif sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Pasal 7

 

 

(1)

Seseorang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa.

 

 

(2)

Pejabat yang tidak memerlukan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 3 adalah :

 

 

 

a.

Presiden; dan

 

 

 

b.

Menteri.

 

 

(3)

Satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional, memerlukan Surat Kepercayaan.

 

 

(4)

Surat Kuasa dapat diberikan secara terpisah atau disatukan dengan Surat Kepercayaan, sepanjang dimungkinkan, menurut ketentuan dalam suatu perjanjian internasional atau pertemuan  internasional.

 

 

(5)

Penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, dilakukan tanpa memerlukan Surat Kuasa. 

Pasal 8

 

 

(1)

Pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan pensyaratan dan/atau pernyataan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian internasional tersebut.

 

 

(2)

Pensyaratan dan pernyataan yang dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian internasional harus ditegaskan kembali pada saat pengesahan perjanjian tersebut.

 

 

(3)

Pensyaratan dan pernyataan yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia dapat ditarik kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis atau menurut tata cara yang ditetapkan dalam perjanjian internasional.

BAB III
PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 9

 

 

(1)

Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.

 

 

(2)

Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.

Pasal 10

 

 

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-undang apabila berkenan dengan :

 

 

a.

masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

 

 

b.

perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;

 

 

c.

kedaulatan atau hak berdaulat negara;

 

 

d.

hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

 

 

e.

pembentukan kaidah hukum baru;

 

 

f.

pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Pasal 11

 

 

(1)

Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.

 

 

(2)

Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.

Pasal 12

 

 

(1)

Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undang-undang, atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan.

 

 

(2)

Lembaga pemrakarsa, yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, mengkoordinasikan pembahasan rancangan dan/atau materi permasalahan dimaksud dalam ayat (1) yang pelaksanaannya dilakukan bersama dengan pihak-pihak terkait.

 

 

(3)

Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden.

Pasal 13

 

 

Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Pasal 14

 

 

Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan Pemerintah Republik Indonesia pada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara pihak atau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpan pada organisasi internasional.

BAB IV

PEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 15

 

 

(1)

Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak  pada  perjanjian tersebut.

 

 

(2)

Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

Pasal 16

 

 

(1)

Pemerintah Republik Indonesia melakukan perubahan atas ketentuan suatu perjanjian internasional berdasarkan kesepakatan antara para pihak dalam perjanjian tersebut.

 

 

(2)

Perubahan perjanjian internasional mengikat para pihak melalui tata cara sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

 

 

(3)

Perubahan atas suatu perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan dengan peraturan perundang­undangan yang setingkat.

 

 

(4)

Dalam hal perubahan perjanjian internasional yang hanya bersifat teknis administrasif, pengesahan atas perubahan tersebut dilakukan melalui prosedur sederhana.

BAB V

PENYIMPANAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 17

 

 

(1)

Menteri bertanggung jawab menyimpan dan memelihara naskah asli perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia serta menyusun daftar naskah resmi dan menerbitkannya dalam himpunan perjanjian internasional.

 

 

(2)

Salinan naskah resmi setiap perjanjian internasional disampaikan kepada lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen pemrakarsa.

 

 

(3)

Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan naskah resmi suatu perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada sekretariat organisasi internasional yang di dalamnya Pemerintah Republik Indonesia menjadi anggota.

 

 

(4)

Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan piagam pengesahan perjanjian internasional kepada instansi-instansi terkait.

 

 

(5)

Dalam hal Pemerintah Republik Indonesia ditunjuk sebagai penyimpan piagam pengesahan perjanjian internasional, Menteri menerima dan menjadi penyimpan piagam pengesahan perjanjian internasional yang disampaikan negara-negara pihak.

BAB VI

PENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 18

 

 

Perjanjian internasional berakhir apabila :

 

 

a.

terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;

 

 

b.

tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;

 

 

c.

terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;

 

 

d.

salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;

 

 

e.

dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;

 

 

f.

muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;

 

 

g.

objek perjanjian hilang;

 

 

h.

terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Pasal 19

 

 

Perjanjian internasional yang berakhir sebelum waktunya, berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian perjanjian dan belum dilaksanakan secara penuh pada saat berakhirnya perjanjian tersebut.

Pasal 20

 

 

Perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi negara, tetapi tetap berlaku selama negara pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21

 

 

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku pembuatan atau pengesahan perjanjian internasional yang masih dalam proses, diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22

 

 

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

 

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang­undang ini melalui Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

Disahkan di Jakarta

 

 

 

 

 

 

pada tanggal 23 Oktober 2000

 

 

 

 

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

 

 

 

 

ABDURRAHMAN WAHID

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 185

 

 

PENJELASAN ..............................