PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2002
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 143 TAHUN 2000
TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA
TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2000
UMUM |
|||||
Berdasarkan hasil evaluasi penerapan Undang-undang
Perpajakan selama ini, perlu dilakukan pengaturan kembali terhadap ketentuan
perpajakan yang berlaku bagi perusahaan yang melakukan perubahan bentuk
usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha atau pengalihan seluruh aktiva
perusahaan dan Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran, mengingat: |
|||||
a. |
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, sejak tanggal 1 Januari 2001 atas
penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
dalam rangka perubahan bentuk usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha
atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan
pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai. |
||||
b. |
Kemudahan administrasi perpajakan seyogyanya hanya
diberikan kepada Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi yang pada umumnya belum
mampu untuk menyelenggarakan pembukuan dengan baik. |
||||
Untuk mencapai maksud-maksud tersebut, perlu
ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. |
|||||
PASAL DEMI PASAL |
|||||
Pasal I |
|||||
|
Angka 1 |
||||
|
|
Pasal 1 |
|||
|
|
|
Cukup jelas |
||
|
Angka 2 |
||||
|
|
Pasal 4 |
|||
|
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Contoh 1: |
||
Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada
Pengusaha Kena Pajak A sebagai berikut: |
|||||
Harga Jual = Rp 100.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai = Rp 10.000.000,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (misalnya dengan tarif 20%) = Rp 20.000.000,00 ---------------------- + Jumlah yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A = Rp 130.000.000,00 Kemudian Pengusaha Kena Pajak A tersebut menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada Pengusaha Kena Pajak B sebagai berikut: Harga Beli Pengusaha Kena Pajak A = Rp 100.000.000,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah Dibayar = Rp 20.000.000,00 Keuntungan yang diharapkan = Rp 15.000.000,00 ---------------------- + Dasar Pengenaan Pajak = Rp 135.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai 10% x Rp 135.000.000,00 = Rp 13.500.000,00 ---------------------- + Jumlah yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B = Rp 148.500.000,00 Contoh 2: |
|||||
Angka 3 |
|||||
Pasal 9 |
|||||
Ayat (1) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (2) |
|||||
|
|
|
Menteri Keuangan dapat menetapkan besarnya Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak bagi Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha tertentu, yang mengalami kesulitan dalam menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dengan menggunakan mekanisme Pengkreditan Pajak Keluaran-Pajak Masukan (PK-PM). |
||
Angka 4 |
|||||
Pasal 12 |
|||||
Ayat (1) |
|||||
|
Tempat pengkreditan Pajak Masukan adalah di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Faktur Pajak yang menjadi dasar pengkreditan harus memenuhi ketentuan yang berlaku antara lain alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak harus sama dengan alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Surat Keputusan Pengukuhan. Dalam hal pengusaha melakukan impor Barang Kena Pajak dan tempat melakukan impor berbeda dengan tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, maka tempat pengkreditan Pajak Masukan atas impor Barang Kena Pajak adalah di tempat pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan demikian Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak tersebut tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di tempat Barang Kena Pajak tersebut diimpor. |
||||
Ayat (2) |
|||||
|
Contoh: Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Solo dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen impor tersebut. |
||||
Ayat (3) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Angka 5 | |||||
Pasal 13 | |||||
Ayat (1) |
|||||
Saat penyerahan barang bergerak tidak selalu dikaitkan dengan berbagai syarat penyerahan yang lazim terjadi dalam dunia perdagangan. Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan barang bergerak telah terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (Penjual) dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Karena itu pajak terutang pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha angkutan, perusahaan angkutan atau pihak ketiga lainnya untuk atau atas nama pihak kedua atau pembeli. |
|||||
Ayat (2) |
|||||
Dalam penentuan atau penyerahan barang tidak
bergerak, Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan hanya
dapat dilakukan bila barang tersebut secara fisik telah ada. Oleh karena itu
pajak terutang pada saat penyerahan barang tidak bergerak itu dilakukan,
yaitu pada saat surat atau akte perjanjian yang mengakibatkan perpindahan
hak atas barang tersebut ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan. Contoh 1: Perjanjian jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 Mei 2001. Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 September 2001. Saat pajak terutang adalah tanggal 1 September 2001. Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka pajak terutang pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang. Contoh 2: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001. Saat pajak terutang adalah tanggal 1 Agustus 2001. Bila Sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka pajak terutang pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang. Contoh 3: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 September 2001. Saat pajak terutang adalah tanggal 1 Agustus 2001. Penyerahan barang tidak bergerak yang dilakukan dengan suatu perjanjian akan menyerahkan barang tersebut dalam masa tertentu tidak dapat digunakan untuk menentukan saat pajak terutang. |
|||||
Ayat (3) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (4) |
|||||
Atas
penyerahan jasa pemborong bangunan atau barang tidak bergerak: Contoh: |
|||||
1. |
Tanggal 1 April 2001, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20%. |
||||
2. |
Tanggal 1 Mei 2001, pekerjaan selesai 20%, diterima pembayaran tahap ke-1. |
||||
3. |
Tanggal 1 Juni 2001, pekerjaan selesai 50%, diterima pembayaran |
||||
4. |
Tanggal 20 Juni 2001, pekerjaan selesai 80%, diterima pembayaran |
||||
5. |
Tanggal 25 Agustus 2001, pekerjaan selesai 100%, bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan. |
||||
6. |
Tanggal 1 September 2001, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% dari harga borongan. |
||||
7. |
Tanggal 1 Maret 2002, diterima pembayaran
pelunasan seluruh jasa pemborongan. |
||||
Pada
angka 1 sampai dengan angka 4 pajak terutang pada tanggal diterimanya
pembayaran (tahap), sedang angka 5 sampai dengan angka 7 pajak terutang pada
tanggal 25 Agustus 2001 atau saat jasa pemborongan (bangunan atau barang tak
bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya. |
|||||
|
|
|
a. |
tersedianya barang atau fasilitas untuk dipakai, baik sebagian atau seluruhnya; |
|
b. |
dilakukan penagihan pembangunan atau penggantian; atau |
||||
|
|
|
c. |
pembayaran, apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan. |
|
Ayat (5) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (6) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (7) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Ayat (8) |
|||||
Cukup jelas |
|||||
Pasal II | |||||
Cukup jelas |
|||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4199 |