PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR  44  TAHUN  2005

 

TENTANG

 

TATA CARA PENYERTAAN DAN PENATAUSAHAAN MODAL NEGARA

PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA DAN PERSEROAN TERBATAS

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONSIA,

 

Menimbang

:

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 4 ayat (6) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas; 

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);

3.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);

4.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4297);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENYERTAAN DAN PENATAUSAHAAN MODAL NEGARA PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA DAN PERSEROAN TERBATAS.

BAB I

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :

1.

Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

2.

Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

3.

Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

4.

Perseroan Terbatas adalah perseroan terbatas yang tidak termasuk Persero.

5.

Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili Pemerintah selaku rapat umum pemegang saham (RUPS) dalam hal seluruh modal Persero dimiliki negara dan sebagai pemegang saham pada Persero dalam hal sebagian modal Persero dimiliki oleh negara, serta sebagai pemilik modal pada Perum dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan.

6.

Menteri Teknis adalah menteri yang mempunyai kewenangan mengatur kebijakan sektor tempat Persero melakukan kegiatan usaha.

7.

Penyertaan Modal Negara adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi.

8.

Penatausahaan adalah pencatatan dalam rangka pengadministrasian untuk mengetahui besarnya penyertaan negara dalam BUMN dan Perseroan Terbatas.

Pasal 2

(1)

Penyertaan Modal Negara ke dalam BUMN dan Perseroan Terhatas bersumber dari :

a.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b.

kapitalisasi cadangan; dan/atau

c.

sumber lainnya.

(2) Sumber yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah :

a.

dana segar;

b.

proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

c.

piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau

d.

aset-aset negara lainnya.

(3)

Sumber yang berasal dari sumber lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa :

a.

keuntungan revaluasi aset; dan/atau

b.

agio saham.

Pasal 3

(1)

Setiap Penyertaan Modal Negara atau penambahan Penyertaan Modal Negara ke dalam BUMN dan Perseroan Terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

(2)

Setiap penambahan Penyertaan Modal Negara ke dalam BUMN dan Perseroan Terbatas yang berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan huruf c ditetapkan dengan keputusan RUPS untuk Persero dan Perseroan Terbatas, dan keputusan Menteri untuk Perum.

Pasal 4

Setiap Penyertaan dan penambahan Penyertaan Modal Negara yang dananya berasal dari APBN dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.

Pasal 5

Negara dapat melakukan penyertaan modal untuk :

a.

Pendirian BUMN atau Perseroan Terbatas;

b.

Penyertaan Modal Negara pada Perseroan Terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik Negara; atau

c.

Penambahan Penyertaan Modal Negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas yang di dalamnya telah terdapat saham milik Negara.

Pasal 6

Penyertaan modal ke dalam Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, dilakukan dalam keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional.

Pasal 7

Penambahan penyertaan modal Negara ke dalam suatu BUMN dan Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c dilakukan dalam rangka :

a.

memperbaiki struktur permodalan BUMN dan Perseroan terbatas; dan/atau

b.

meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan Perseroan Terbatas.

Pasal 8

Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan b, dan penambahan Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c dilakukan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara.

Pasal 9

(1)

Pengurangan Penyertaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas dilakukan dalam rangka :

a.

penjualan saham milik negara pada Persero dan Perseroan Terbatas;

b.

pengalihan aset BUMN untuk Penyertaan Modal Negara pada BUMN lain atau Perseroan Terbatas, pendirian BUMN baru, atau dijadikan kekayaan negara yang tidak dipisahkan;

c.

pemisahan anak perusahaan BUMN menjadi BUMN; dan/atau

d.

restrukturisasi perusahaan.

(2)

Pengurangan Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan kepentingan BUMN dan Perseroan Terbatas yang bersangkutan.

(3)

Pengurangan Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh merugikan kepentingan kreditor.

BAB II
TATA CARA PENYERTAAN MODAL NEGARA


Pasal 10

(1)

Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan huruf b diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri dan Menteri Teknis.

(2)

Rencana Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas inisiatif Menteri Keuangan, Menteri atau Menteri Teknis.

(3)

Pengkajian bersama atas rencana Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan.

(4)

Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat pula mengikutsertakan menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain yang dianggap perlu atau menggunakan konsultan independen.

Pasal 11

Apabila berdasarkan hasil pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, menyatakan rencana Penyertaan Modal Negara tersebut layak dilakukan, maka Menteri Keuangan menyampaikan usul Penyertaan Modal Negara dimaksud pada Presiden untuk mendapatkan persetujuan.

Pasal 12

Pelaksanaan pendirian BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan penyertaan modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b setelah diterbitkannya peraturan pemerintah, dilakukan oleh Menteri keuangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

Kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 11 dan Pasal 12 dapat dikuasakan kepada Menteri.

BAB III
TATA CARA PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL NEGARA

 

Pasal 14

(1)

Penambahan Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c diusulkun oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan berdasarkan hasil kajian bersama dengan Menteri.

(2)

Penambahan Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas inisiatif Menteri Keuangan, Menteri atau Menteri Teknis

(3)

Pengkajian bersama atas rencana penambahan Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Menteri.

(4)

Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula mengikutsertakan Menteri Teknis dan/atau menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain yang dianggap perlu dan/atau menggunakan konsultan independen.

Pasal 15

Apabila berdasarkan hasil pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 menyatakan bahwa rencana penambahan Penyertaan Negara sebagaimaan dimaksud dalam Pasal 5 huruf c tersebut layak dilakukan, maka Menteri Keuangan menyampaikan usul penambahan Penyertaan Modal Negara dimaksud kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan.

Pasal 16

Pelaksanaan penambahan Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c setelah diterbitkannya peraturan pemerintah, dilakukan oleh Menteri dan Menteri Keuangan secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan lingkup bidang tugas masing-masing dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

Kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 dapat dikuasakan kepada Menteri.

BAB IV
TATA CARA PENGURANGAN PENYERTAAN
MODAL NEGARA

Pasal 18

(1)

Pengurangan Penyertaan Modal Negara diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri.

(2)

Rencana Pengurangan Penyertaan Modal Negara dapat dilakukan atas inisiatif Menteri Keuangan atau Menteri.

(3)

Pengkajian bersama atas rencana pengurangan Penyertaan Modal Negara dikoordinasikan oleh Menteri.

(4

Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengikutsertakan Menteri Teknis dan/atau menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain yang dianggap perlu dan/atau menggunakan konsultan independen.

Pasal 19

Apabila berdasarkan hasil pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 menyatakan bahwa rencana pengurangan Penyertaan Modal Negara layak dilakukan, maka Menteri Keuangan menyampaikan usul pengurangan Penyertaan Modal Negara dimaksud kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan.

Pasal 20

Pelaksanaan pengurangan Penyertaan Modal Negara setelah diterbitkannya peraturan pemerintah tentang pengurangan Penyertaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas dilakukan oleh Menteri Negara dan Menteri Keuangan secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan lingkup bidang tugas masing-masing dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

Kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 dapat dikuasakan kepada Menteri.

Pasal 22

(1)

Setiap pengurangan Penyertaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

(2)

Penetapan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pengurangan Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, didahului dengan keputusan Menteri selaku pemegang saham milik negara pada Persero dan Perseroan Terbatas.

(3)

Penetapan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pengurangan Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf h, huruf c dan huruf d didahului dengan keputusan RUPS untuk Persero dan Perseroan Terbatas dan keputusan Menteri untuk Perum.

Pasal 23

(1)

Pelaksanaan pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Persero sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai privatisasi.

(2)

Pelaksanaan pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Persero dan Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas.

Pasal 24

(1)

Direksi wajib mengumumkan keputusan pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Perum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan huruf c paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).

(2)

Dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kreditor dapat mengajukan keberatan secara tertulis disertai alasannya kepada Perum atas keputusan pengurangan Penyertaan Modal Negara dengan tembusan kepada Menteri.

(3)

Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, Perum wajib memberikan jawaban atas keberatan yang diajukan disertai alasannya.

(4)

Dalam hal Perum menolak keberatan atau tidak memberikan penyelesaian yang disepakati kreditor, maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak jawaban Perum diterima, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perum.

(5)

Pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Perum mulai berlaku sejak tanggal berlakunya Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).

BAB V
TATA CARA PENATAUSAHAAN PENYERTAAN MODAL NEGARA

Pasal 25

Pelaksanaan penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan pengurangan Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilaporkan oleh Menteri kepada Menteri Keuangan untuk dilakukan Penatausahaan.

Pasal 26

Menteri Keuangan menyelenggarakan Penatausahaan setiap Penyertaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas berikut perubahannya.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Oktober 2005

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 25 Oktober 2005

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 116

Penjelasan .....................