PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2006

TENTANG

TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN DAN/ATAU PENERIMAAN

HIBAH SERTA PENERUSAN PINJAMAN DAN/ATAU

HIBAH LUAR NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

 

 

3.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

 

 

4.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

 

 

5.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN DAN/ATAU PENERIMAAN HIBAH SERTA PENERUSAN PINJAMAN DAN/ATAU HIBAH LUAR NEGERI.

   

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

 

 

1.

Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

 

2.

Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

 

 

3.

Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.

 

 

4.

Pinjaman Luar Negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

 

 

5.

Badan Usaha Milik Negara, selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

 

 

6.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

 

 

7.

Hibah Luar Negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali.

 

 

8.

Pemberi Pinjaman Luar Negeri, yang selanjutnya disingkat PPLN, adalah pemerintah suatu negara asing, lembaga multilateral, lembaga keuangan dan lembaga non keuangan asing, serta lembaga keuangan non asing, yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah negara Republik Indonesia, yang memberikan pinjaman kepada Pemerintah.

 

 

9.

Pemberi Hibah Luar Negeri, yang selanjutnya disingkat PHLN, adalah pemerintah suatu negara asing, lembaga multilateral, lembaga keuangan dan lembaga non keuangan asing, serta lembaga keuangan non asing, yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah negara Republik Indonesia, yang memberikan hibah kepada Pemerintah.

 

 

10.

Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri, yang selanjutnya disingkat NPPLN, adalah naskah perjanjian atau naskah lain yang disamakan yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman Luar Negeri antara Pemerintah dengan Pemberi Pinjaman Luar Negeri.

 

 

11.

Naskah Perjanjian Hibah Luar Negeri, yang selanjutnya disingkat NPHLN, adalah naskah perjanjian atau naskah lain yang disamakan yang memuat kesepakatan mengenai Hibah Luar Negeri antara Pemerintah dengan Pemberi Hibah Luar Negeri.

 

 

12.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang selanjutnya disingkat RPJM, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun.

 

 

13.

Daftar Rencana Prioritas Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, yang selanjutnya disingkat DRPPHLN, adalah daftar rencana kegiatan pembangunan prioritas yang layak dibiayai dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

 

 

14.

Pinjaman Bilateral adalah pinjaman luar negeri yang berasal dari pemerintah suatu negara melalui suatu lembaga keuangan dan/atau lembaga non keuangan yang ditunjuk oleh pemerintah negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemberian pinjaman.

 

 

15.

Pinjaman Multilateral adalah pinjaman luar negeri yang berasal dari lembaga multilateral.

 

 

16.

Pinjaman Lunak adalah pinjaman yang masuk dalam kategori Official Development Assistance (ODA) Loan atau Concessional Loan, yang berasal dari suatu negara atau lembaga multilateral, yang ditujukan untuk pembangunan ekonomi atau untuk peningkatan kesejahteraan sosial bagi negara penerima dan memiliki komponen hibah (grant element) sekurang-kurangnya 35% (tigapuluh lima per seratus).

 

 

17.

Fasilitas Kredit Ekspor, yang selanjutnya disingkat FKE, adalah pinjaman komersial yang diberikan oleh lembaga keuangan atau lembaga non keuangan di negara pengekspor yang dijamin oleh lembaga penjamin kredit ekspor.

 

 

18.

Pinjaman Komersial adalah pinjaman luar negeri Pemerintah yang diperoleh dengan persyaratan yang berlaku di pasar dan tanpa adanya penjaminan dari lembaga penjamin kredit ekspor.

 

 

19.

Pinjaman Campuran adalah kombinasi antara dua unsur atau lebih yang terdiri dari hibah, pinjaman lunak, fasilitas kredit ekspor, dan pinjaman komersial.

 

 

20.

Pinjaman program (program loan) adalah pinjaman luar negeri dalam valuta asing yang dapat dirupiahkan dan digunakan untuk pembiayaan APBN;

 

 

21.

Pinjaman proyek (project loan) adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan tertentu;

 

 

22.

Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman yang selanjutnya disingkat NPPP adalah naskah perjanjian untuk penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri antara Pemerintah dengan Penerima Penerusan Pinjaman.

 

 

23.

Penerima Penerusan Pinjaman yang selanjutnya disebut PPP adalah Pemerintah Daerah atau BUMN.

 

 

24.

Naskah Perjanjian Hibah, selanjutnya disingkat NPH adalah naskah perjanjian penerushibahan pinjaman dan/atau hibah luar negeri antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah.

 

 

25.

Kerangka Acuan Kerja adalah uraian tentang latar belakang, tujuan, ruang lingkup, masukan yang dibutuhkan dan hasil yang diharapkan dari suatu kegiatan.

 

 

26.

Dokumen studi kelayakan kegiatan adalah hasil penelitian yang dibuat oleh tenaga ahli Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/BUMN, maupun tenaga ahli yang dikontrak oleh Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/BUMN yang bersangkutan, yang memberi gambaran secara lengkap tentang layak tidaknya suatu kegiatan berdasarkan aspek-aspek yang dianggap perlu, sebagai dasar untuk pengambilan keputusan dilaksanakannya suatu kegiatan yang bersangkutan.

 

 

27.

Peta kapasitas fiskal adalah gambaran kemampuan fiskal Daerah yang dicerminkan melalui Penerimaan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) dikurangi belanja pegawai.

 

 

28.

Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri atas sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya, berupa personal (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.

 

 

29.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, yang selanjutnya disebut Menteri Perencanaan, adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan nasional.

 

 

30.

Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan keuangan negara.

 

 

BAB II

KEWENANGAN

Pasal 2

(1)

Pemerintah berwenang melakukan pinjaman luar negeri.

(2)

Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

 

 

Pasal 3

 

 

Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah dilarang melakukan perikatan dalam bentuk apapun yang dapat menimbulkan kewajiban untuk melakukan pinjaman luar negeri.

 

 

BAB III

SUMBER, JENIS DAN PERSYARATAN PINJAMAN

DAN/ATAU HIBAH LUAR NEGERI

Pasal 4

 

 

Pemerintah dapat menerima pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang bersumber dari:

1.

Negara asing;

2.

Lembaga Multilateral;

3.

Lembaga keuangan dan lembaga non keuangan asing; dan

 

 

4.

Lembaga keuangan non asing yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah negara Republik Indonesia.

 

 

Pasal 5

 

 

Pinjaman luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terdiri atas:

1.

Pinjaman Lunak;

2.

Fasilitas Kredit Ekspor;

3.

Pinjaman Komersial; dan

4.

Pinjaman Campuran.

 

 

BAB IV

PERENCANAAN DAN PENGADAAN PINJAMAN

DAN/ATAU HIBAH LUAR NEGERI

Pasal 6

 

 

(1)

Dalam rangka perencanaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri Presiden menetapkan Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri selama 5 (lima) tahun, berdasarkan usulan Menteri dan Menteri Perencanaan yang disusun sesuai dengan prioritas bidang pembangunan yang dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri.

 

 

(2)

Penyusunan Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri dan prioritas bidang pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan RPJM.

 

 

(3)

Dalam menyusun Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden dapat meminta pertimbangan Gubernur Bank Indonesia.

 

 

Pasal 7

 

 

(1)

 Kementerian Negara/Lembaga mengajukan usulan kegiatan prioritas yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri kepada Menteri Perencanaan.

 

 

(2)

Usulan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk kegiatan yang pembiayaannya akan diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah atau sebagai penyertaan modal negara kepada BUMN.

 

 

(3)

Pemerintah Daerah mengajukan usulan kegiatan investasi untuk mendapatkan penerusan pinjaman luar negeri dari Pemerintah kepada Menteri Perencanaan.

 

 

(4)

BUMN mengajukan usulan kegiatan investasi, untuk mendapatkan penerusan pinjaman luar negeri dari Pemerintah, kepada Menteri Perencanaan dengan persetujuan menteri yang bertanggung jawab dibidang pembinaan BUMN.

 

 

Pasal 8

 

 

(1)

Usulan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) sekurangkurangnya dilampiri:

 

 

 

a.

kerangka acuan kerja; dan

 

 

 

b.

dokumen studi kelayakan kegiatan.

 

 

(2)

Usulan kegiatan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) sekurang-kurangnya dilampiri:

 

 

 

a.

kerangka acuan kerja;

 

 

 

b.

dokumen studi kelayakan kegiatan; dan

 

 

 

c.

surat persetujuan dari DPRD.

 

 

(3)

Usulan kegiatan BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) sekurang-kurangnya dilampiri:

 

 

 

a.

kerangka acuan kerja; dan

b.

dokumen studi kelayakan kegiatan.

 

 

Pasal 9

 

 

(1)

Menteri Perencanaan melakukan penilaian atas usulan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4).

 

 

(2)

Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Perencanaan memperhatikan Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri dan prioritas bidang pembangunan yang dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

(3)

Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam DRPPHLN.

 

 

(4)

Atas dasar DRPPHLN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan rencana pinjaman calon PPLN/PHLN, Menteri Perencanaan menyampaikan Daftar Kegiatan yang dapat dibiayai pinjaman/hibah luar negeri kepada Menteri.

 

 

Pasal 10

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara perencanaan dan pengajuan usulan kegiatan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Menteri Perencanaan.

 

 

Pasal 11

 

 

(1)

Dengan mempertimbangkan kebutuhan riil pembiayaan luar negeri, kemampuan membayar kembali, batas maksimum kumulatif pinjaman, dan kemampuan penyerapan pinjaman, serta resiko pinjaman bersangkutan, Menteri menetapkan alokasi pinjaman Pemerintah menurut sumber dan persyaratannya.

 

 

(2)

Menteri Keuangan mengajukan usulan pinjaman/hibah kepada calon PPLN/PHLN dengan mengacu pada DRPPHLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan alokasi pinjaman Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

 

(3)

Berdasarkan komitmen pemberian pinjaman dan/atau hibah luar negeri dari calon PPLN/PHLN, Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/BUMN mempersiapkan pelaksanaan kegiatan yang akan dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri untuk memenuhi kriteria kesiapan kegiatan.

 

 

Pasal 12

 

 

(1)

Pengadaan Pinjaman Pemerintah melalui fasilitas kredit ekspor atau pinjaman komersial dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9.

 

 

(2)

Pengadaan barang/jasa yang dibiayai melalui fasilitas kredit ekspor atau pinjaman komersial dilaksanakan setelah alokasi pinjaman pemerintah ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).

 

 

(3)

Dalam hal pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibiayai dengan pinjaman komersial yang tidak dijamin oleh lembaga penjamin kredit ekspor, maka pengadaan tersebut dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

 

 

 

a.

Penyedia barang harus mengajukan bank komersial terkemuka bertaraf internasional sebagai calon PPLN; dan

 

 

 

b.

Pengadaan barang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 13

 

 

Untuk pinjaman program, Menteri dapat mengajukan usulan pinjaman luar negeri kepada calon PPLN selain yang tercantum dalam DRPPHLN.

 

 

Pasal 14

 

 

(1)

Perundingan dengan calon PPLN/PHLN baru dapat dilakukan setelah kriteria kesiapan kegiatan dipenuhi.

 

 

(2)

Perundingan NPPLN/NPHLN dengan calon PPLN/PHLN dilaksanakan oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa dengan melibatkan unsur-unsur Departemen Keuangan, Kementerian Perencanaan, Departemen Luar Negeri dan instansi terkait lainnya dengan didampingi oleh ahli hukum.

 

 

(3)

Perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup aspek keuangan dan hukum.

 

 

(4)

Hasil perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaporkan kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan dan dituangkan dalam NPPHLN.

 

 

Pasal 15

 

 

(1)

NPPLN/NPHLN ditandatangani oleh Menteri atau pejabat yang diberi kuasa oleh Menteri.

 

 

(2)

NPPLN/NPHLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :

a.

jumlah;

b.

peruntukan; dan

c.

persyaratan pinjaman dan/atau hibah.

 

 

(3)

Salinan NPPLN/NPHLN disampaikan oleh Departemen Keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan instansi terkait lainnya.

 

 

Pasal 16

 

 

NPPLN/NPHLN/perjanjian internasional di bidang keuangan lainnya yang dibuat oleh Menteri berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan.

 

 

BAB V

PELAKSANAAN DAN PENATAUSAHAAN

PINJAMAN DAN/ATAU HIBAH LUAR NEGERI

Pasal 17

(1)

Menteri melaksanakan penatausahaan atas pinjaman dan/atau hibah luar negeri;

(2)

Penatausahaan pinjaman dan/atau hibah luar negeri mencakup kegiatan:

a.

Administrasi pengelolaan pinjaman dan/atau hibah luar negeri; dan

b.

Akuntansi pengelolaan pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

 

 

(3)

Jumlah atau bagian dari jumlah pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang dimuat dalam NPPLN dituangkan dalam dokumen satuan anggaran, untuk selanjutnya dituangkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran.

 

 

(4)

Dalam hal APBN telah ditetapkan, jumlah atau bagian dari jumlah pinjaman dan/atau hibah luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditampung dalam APBN-Perubahan.

(5)

Penarikan pinjaman dan/atau hibah luar negeri harus tercatat dalam realisasi APBN.

 

 

Pasal 18

 

 

(1)

Kementerian Negara/Lembaga wajib memprioritaskan penyediaan dana pendamping/porsi rupiah lainnya yang dipersyaratkan dalam NPPLN/NPHLN dalam dokumen satuan anggaran dan dokumen pelaksanaan anggaraan dalam tahun anggaran berkenaan.

 

 

(2)

Dana pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang belum selesai digunakan ditampung dalam dokumen anggaran tahun berikutnya.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penganggaran dan tata cara penarikan pinjaman dan/atau hibah luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Pasal 19

 

 

(1)

Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan BUMN pelaksana kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri dapat mengajukan usulan perubahan NPPLN/NPHLN kepada Menteri.

 

 

(2)

Menteri Keuangan mengajukan usulan perubahan NPPLN/NPHLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPHLN setelah melakukan koordinasi dengan Menteri Perencanaan.

 

 

BAB VI

TATA CARA PENERUSAN PINJAMAN

DAN/ATAU HIBAH LUAR NEGERI

Pasal 20

 

 

(1)

Menteri menetapkan pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang akan diteruspinjamkan atau diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah dan diteruspinjamkan atau dijadikan penyertaan modal kepada BUMN.

 

 

(2)

Penetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sebelum dilakukan negosiasi dengan PPLN/PHLN.

 

 

(3)

Dalam menentukan penerusan pinjaman kepada Daerah dalam bentuk pinjaman atau hibah, Menteri memperhatikan kemampuan membayar kembali daerah dan kapasitas fiskal daerah serta pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri.

 

 

(4)

Menteri   menetapkan  peta  kapasitas  fiskal daerah   sebagaimana dimaksud  pada  ayat (3).

 

 

(5)

Menteri menetapkan persyaratan penerusan pinjaman dan/atau penerusan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

 

Pasal 21

 

 

(1)

Pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang diteruspinjamkan dituangkan dalam NPPP.

 

 

(2)

Pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah dituangkan dalam NPH.

 

 

(3)

NPPP dan NPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sekurang-kurangnya memuat :

a.

jumlah;

b.

peruntukan; dan

c.

persyaratan pinjaman dan/atau hibah.

 

 

(4)

NPPP dan NPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh Menteri atau pejabat yang diberi kuasa oleh Menteri dengan Kepala Daerah/Pimpinan BUMN.

 

 

(5)

NPPP dan NPH ditandatangani selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah NPPLN/NPHLN ditandatangani.

 

 

(6)

Salinan NPPP dan NPH sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Departemen Keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan instansi terkait lainnya.

 

 

Pasal 22

 

 

(1)

Pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan.

 

 

(2)

Jumlah atau bagian dari jumlah pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang dimuat dalam NPPP dan NPH dituangkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran Pemerintah Daerah atau BUMN.

 

 

(3)

Pemerintah Daerah atau BUMN wajib melakukan pembayaran kembali atas penerusan pinjaman sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam NPPP.

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

BAB VII

PELAPORAN, MONITORING, EVALUASI,

DAN PENGAWASAN

Pasal 23

 

 

Kementerian Negara/Lembaga pelaksana kegiatan menyampaikan laporan kepada Menteri dan Menteri Perencanaan secara triwulanan mengenai proses pengadaan barang/jasa, realisasi penyerapan pinjaman, dan kemajuan fisik kegiatan.

 

 

Pasal 24

 

 

(1)

Menteri, Menteri Perencanaan dan Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga pelaksana kegiatan melakukan monitoring dan evaluasi triwulanan.

 

 

(2)

Menteri Perencanaan mengeluarkan Laporan Kinerja Pelaksanaan Kegiatan yang dibiayai pinjaman dan/atau hibah luar negeri secara triwulanan yang memuat perkembangan pelaksanaan kegiatan dan langkah tindak lanjut yang diperlukan untuk penyelesaian masalah yang dihadapi.

 

 

(3)

Menteri setelah berkoordinasi dengan Gubernur Bank Indonesia mengeluarkan Laporan Realisasi Penyerapan pinjaman dan/atau hibah luar negeri secara triwulanan atas pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman/hibah luar negeri.

 

 

Pasal 25

 

 

(1)

Menteri dan Menteri Perencanaan mengambil langkah penyelesaian pelaksanaan kegiatan yang lambat atau penyerapan pinjaman yang rendah, termasuk melakukan pembatalan pinjaman.

 

 

(2)

Instansi pengawas internal dan eksternal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan/penggunaan pinjaman dan/atau hibah luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

(3)

Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan kepada instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

BAB VIII

PEMBAYARAN PINJAMAN

Pasal 26

 

 

(1)

Menteri melaksanakan pembayaran pokok, bunga, dan biaya lainnya pada saat jatuh tempo sesuai dengan ketentuan dalam NPPLN.

 

 

(2)

Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Bank Indonesia berdasarkan permintaan Menteri.

 

 

(3)

Dana yang dipergunakan untuk membayar pokok, bunga, dan biaya lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dalam APBN setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban pembayaran kepada PPLN.

 

 

(4)

Dalam hal pembayaran pokok, bunga, dan biaya lainnya melebihi perkiraan dana yang disediakan dalam APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Departemen Keuangan melakukan pembayaran dan  menyampaikan realisasi pembayaran dimaksud kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan perubahan APBN tahun yang bersangkutan.

 

 

BAB IX

TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS

Pasal 27

 

 

(1)

Menteri menyelenggarakan publikasi informasi mengenai pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

 

 

(2)

Publikasi informasi mengenai pinjaman dan/atau hibah luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi :

a.

kebijakan pinjaman dan/atau hibah luar negeri;

 

 

 

b.

jumlah hibah luar negeri, posisi pinjaman luar negeri, termasuk jenis valuta, struktur jatuh tempo, dan komposisi suku bunga;

c.

sumber pinjaman dan/atau hibah luar negeri; da

d.

jenis pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

 

 

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 28

 

 

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini :

 

 

a.

Semua peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengadaan pinjaman dan/atau penerimaan hibah serta penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan dan/atau belum diganti dengan Peraturan Pemerintah ini.

 

 

b.

Pelaksanaan pengadaan pinjaman dan/atau penerimaan hibah luar negeri serta penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri, yang berasal dari:

1.

Pinjaman Bilateral yang telah diusulkan kepada PPLN;

2.

Pinjaman Multilateral yang telah dilakukan penilaian pendahuluan; atau

 

 

 

3.

Fasilitas Kredit Ekspor/Pinjaman Komersial yang telah diterbitkan alokasi kredit ekspornya; tetap mengikuti ketentuan yang berlaku sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini.

 

 

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 29

 

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 Januari 2006

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 30 Januari 2006

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA

AD INTERIM,

ttd

YUSRIL IHZA MAHENDRA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 3

 

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2006

TENTANG

TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN DAN/ATAU PENERIMAAN HIBAH

SERTA PENERUSAN PINJAMAN DAN/ATAU HIBAH LUAR NEGERI

I.

UMUM

 

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menetapkan bahwa dalam rangka membiayai dan mendukung kegiatan prioritas dalam rangka mencapai sasaran pembangunan, Pemerintah dapat mengadakan pinjaman dan/atau menerima hibah baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Pinjaman dan/atau hibah dimaksud dapat diterus-pinjamkan kepada Daerah atau BUMN.

Dengan merujuk ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah Daerah/BUMN, dan Pemerintah dapat melakukan penyertaan modal pada BUMN, pinjaman dan/atau hibah yang diterima oleh Pemerintah dapat pula diteruskan kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk hibah, atau dijadikan sebagai penyertaan modal Pemerintah pada BUMN.

Peraturan Pemerintah ini hanya mengatur tentang pengadaan pinjaman dan/atau hibah yang berasal dari luar negeri dan penerusannya kepada Daerah atau BUMN dalam bentuk pinjaman dan/atau hibah.

Sedangkan pengadaan pinjaman yang berasal dari dalam negeri diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Pengelolaan PHLN menganut prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan juga mengikuti Standar Akuntansi  Pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PHLN dilakukan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, monitoring, evaluasi, dan pengawasan. Selain itu, agar PHLN dapat dikelola secara baik perlu dilakukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas PHLN melalui penyelenggaraan publikasi informasi.

Pinjaman dan/atau hibah yang berasal dari luar negeri tersebut dapat diteruspinjamkan atau diterus-hibahkan kepada Pemerintah Daerah, dan diterus-pinjamkan atau dijadikan penyertaan modal kepada BUMN.

Pinjaman luar negeri perlu disesuaikan dengan kemampuan perekonomian nasional, karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah tahun-tahun berikutnya yang cukup berat, sehingga diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam pengelolaan pinjaman luar negeri. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengatur pengadaan pinjaman dan/atau penerimaan hibah serta penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri, dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbangkan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan kesinambungan perekononomian nasional.

II.

PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 2

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 3

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 4

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 5

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 6

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Dalam menyusun Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri selama lima tahun, Menteri memperhatikan pokok-pokok manajemen pinjaman yang baik, seperti penargetan pinjaman (debt targeting), kemampuan membayar kembali (repayment capacity), pengurangan resiko (risk mitigation), dan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability), serta memperhatikan ketentuan mengenai pembatasan jumlah kumulatif pinjaman dan jumlah kumulatif defisit APBN;

Mengingat hanya sebagian dari prioritas pembangunan yang tercantum dalam RPJM yang akan dibiayai dari pinjaman luar negeri, maka diperlukan suatu ukuran untuk dapat menentukan skala prioritas program dan bidang terkait dengan prioritas pembangunan yang akan dibiayai dari pinjaman luar negeri.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Gubernur Bank Indonesia dapat memberikan pertimbangan mengenai konsekuensi moneter dan neraca pembayaran dari pinjaman luar negeri.

 

Pasal 7

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Kegiatan yang dapat diusulkan untuk dapat dibiayai dengan pinjaman/hibah luar negeri adalah kegiatan prioritas untuk mencapai sasaran RPJM dan sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga.

Pemerintah Daerah dan BUMN hanya dapat mengajukan usulan penerusan pinjaman luar negeri dan tidak dapat mengajukan usulan penerushibahan atau penyertaan modal. Penerusan pinjaman luar negeri kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk penerushibahan dan kepada BUMN dalam bentuk penerushibahan atau penyertaan modal adalah merupakan kebijakan dan diskresi Pemerintah dalam rangka mencapai sasaran-sasaran RPJM.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Yang dimaksud dengan kegiatan investasi adalah kegiatan prasarana dan/atau sarana yang menghasilkan pendapatan bagi APBN/APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan atau sarana tersebut.

 

 

Ayat (4)

 

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 8

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 9

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 10

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 11

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 12

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 13

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 14

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Yang termasuk kriteria kesiapan kegiatan yang harus dipenuhi sebelum dilaksanakannya perundingan dengan calon PPLN mencakup:

 

 

 

a.

Indikator kinerja monitoring dan evaluasi, seperti data dasar, harus telah siap;

 

 

 

b.

Dana pendamping untuk tahun pertama pelaksanaan kegiatan telah dialokasikan;

 

 

 

c.

Rencana pengadaan tanah dan/atau resettlement telah ada, termasuk ketersediaan dana yang diperlukan;

 

 

 

d.

Unit Manajemen Proyek (Project Management Unit/PMU) dan Unit Pelaksana Proyek (Project Implementation Unit/PIU) telah dibentuk dan telah ada personalianya;

 

 

 

e.

Draft final pengelolaan proyek/petunjuk pengelolaan/administrasi proyek/memorandum (yang berisi cakupan organisasi dan kerangka acuan kerjanya, dan pengaturan tentang pengadaan, anggaran, disbursement, laporan, dan auditing) telah siap; dan

 

 

 

f.

Pernyataan dari Pemerintah Daerah (bila diperlukan) yang menyatakan komitmen mereka untuk berpartisipasi dalam penyediaan dana pendamping.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Yang dimaksud dengan instansi terkait lainnya antara lain Kementerian Negara/Lembaga/BUMD/Pemerintah Daerah pelaksana kegiatan. Yang dimaksud ahli hukum adalah ahli hukum dibidang perjanjian (contract) yang memahami sistem hukum Indonesia.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Aspek substansial mencakup aspek-aspek yang terkait dengan kegiatan yang akan dibiayai dengan pinjaman luar negeri dimaksud.

Aspek keuangan mencakup persyaratan pinjaman, antara lain:

pengefektifan pinjaman, tingkat suku bunga, periode pembayaran  bunga, cara penghitungan bunga, denda bunga, biaya-biaya lain, pembayaran sebelum jatuh tempo, metode penarikan pinjaman, lama pinjaman, tenggang waktu, dan periode pembayaran pokok pinjaman.

Aspek hukum mencakup antara lain: kesepakatan, janji dan jaminan, kepatuhan terhadap hukum, penyampaian dokumen peradilan, pelepasan hak kekebalan, hukum yang mengatur.

 

 

Ayat (4)

 

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 15

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Yang dimaksud dengan instansi terkait adalah Kementerian Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Lembaga yang bersangkutan, Bank Indonesia, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

 

Pasal 16

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 17

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Rencana penarikan pinjaman/hibah luar negeri dalam tahun anggaran yang bersangkutan dituangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran, dokumen satuan anggaran, dan dokumen pelaksanaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

 

 

Ayat (4)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (5)

 

 

 

Pencatatan penarikan pinjaman/hibah luar negeri dalam realisasi APBN mengikuti Standar Akuntansi Pemerintahan.

 

Pasal 18

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 19

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 20

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Ukuran kemampuan membayar Daerah, antara lain Debt Service Coverage Ration (DSCR), posisi outstanding pinjaman, dan tunggakan pembayaran kewajiban pinjaman.

 

 

Ayat (4)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (5)

 

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 21

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (4)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (5)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (6)

 

 

 

Yang dimaksud dengan instansi terkait adalah Kementerian Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Daerah/BUMN yang bersangkutan, Bank Indonesia, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

 

Pasal 22

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 23

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 24

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 25

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Hasil pengawasan digunakan sebagai bahan perbaikan kinerja pengelolaan pinjaman/hibah luar negeri lebih lanjut.

 

Pasal 26

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 27

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 28

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 29

 

 

Cukup jelas.

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4597