PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2007


TENTANG


TATA CARA MEMPEROLEH INFORMASI KETENAGAKERJAAN DAN
PENYUSUNAN SERTA PELAKSANAAN PERENCANAAN TENAGA KERJA


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan serta Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH INFORMASI KETENAGAKERJAAN DAN PENYUSUNAN SERTA PELAKSANAAN PERENCANAAN TENAGA KERJA.

 

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

 

 

1.

Informasi Ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.

 

 

2.

Sistem Informasi Ketenagakerjaan adalah kesatuan komponen yang terdiri atas lembaga, sumberdaya manusia, perangkat keras, piranti lunak, substansi data dan informasi, yang terkait satu sama lain dalam satu mekanisme kerja untuk mengelola data dan informasi ketenagakerjaan.

 

 

3.

Perencanaan Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat PTK adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.

 

 

4.

Rencana Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat RTK adalah hasil kegiatan perencanaan tenaga kerja.

 

 

5.

Perencanaan Tenaga Kerja Makro yang selanjutnya disingkat PTK Makro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan produktif guna mendukung pertumbuhan ekonomi atau sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh.

 

 

6.

Perencanaan Tenaga Kerja Mikro yang selanjutnya disingkat PTK Mikro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu instansi/lembaga, baik instansi pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi pada instansi/lembaga atau perusahaan yang bersangkutan.

 

 

7.

Rencana Tenaga Kerja Makro yang selanjutnya disingkat RTK Makro adalah hasil kegiatan perencanaan tenaga kerja makro.

 

 

8.

Rencana Tenaga Kerja Mikro yang selanjutnya disingkat RTK Mikro adalah hasil kegiatan perencanaan tenaga kerja mikro.

9.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

(1)

Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, baik di pusat maupun di daerah melakukan pengelolaan informasi ketenagakerjaan.

(2)

Pengelolaan informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, dan penyebarluasan informasi ketenagakerjaan secara akurat, lengkap dan berkesinambungan.

Pasal 3

(1)

Instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), harus membangun dan mengembangkan sistem informasi ketenagakerjaan.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan dan pengembangan sistem informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB II

JENIS, SUMBER DAN TATA CARA MEMPEROLEH

INFORMASI KETENAGAKERJAAN

 

Bagian Kesatu

Jenis Informasi Ketenagakerjaan

 

Pasal 4

(1)

Jenis informasi ketenagakerjaan terdiri dari :

a.

informasi ketenagakerjaan umum, meliputi :

1.

penduduk;

2.

tenaga kerja;

3.

angkatan kerja;

4.

penduduk yang bekerja; dan

5.

penganggur.

b.

informasi pelatihan dan produktivitas tenaga kerja, meliputi :

1.

standar kompetensi kerja;

2.

lembaga pelatihan;

3.

asosiasi profesi;

4.

tenaga kepelatihan;

5.

lulusan pelatihan;

6.

kebutuhan pelatihan;

7.

sertifikasi tenaga kerja;

8.

jenis pelatihan; dan

9.

tingkat produktivitas.

c.

informasi penempatan tenaga kerja, meliputi :

1.

kesempatan kerja

2.

pencari kerja;

3.

lowongan kerja lembaga penempatan tenaga kerja dalam dan luar negeri; dan

4.

penempatan tenaga kerja dalam dan luar negeri.

d.

informasi pengembangan perluasan kesempatan kerja, meliputi :

1.

usaha mandiri;

2.

tenaga kerja mandiri; 3.

3.

tenaga kerja sukarela;

4.

teknologi padat karya; dan

5.

teknologi tepat guna.

e.

informasi hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja, meliputi :

1.

pengupahan;

2.

perusahaan;

3.

kondisi dan lingkungan kerja;

4.

serikat pekerja/serikat buruh;

5.

asosiasi pengusaha;

6.

perselisihan hubungan industrial;

7.

pemogokan;

8.

penutupan perusahaan;

9.

pemutusan hubungan kerja;

10.

jaminan sosial dan asuransi tenaga kerja;

11.

kecelakaan kerja;

12.

keselamatan dan kesehatan kerja;

13.

penindakan pelanggaran;

14.

pengawasan ketenagakerjaan; dan

15.

fasilitas kesejahteraan.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi dan karakteristik data dari jenis informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kedua
Sumber Informasi Ketenagakerjaan


Pasal 5

(1)

Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat diperoleh dari sumber antara lain :

a.

kementerian negara, departemen dan lembaga pemerintah non departemen di tingkat pusat;

b.

instansi vertikal di provinsi dan kabupaten/kota;

c.

instansi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota;

d.

badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah;

e.

perguruan tinggi;

f.

lembaga swadaya masyarakat;

g.

perusahaan swasta;

h.

asosiasi pengusaha; dan

i.

serikat pekerja/serikat buruh.

(2)

Selain sumber informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi ketenagakerjaan dapat diperoleh melalui kegiatan survei, media cetak dan elektronik.

Bagian Ketiga
Tata Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan


Pasal 6

(1)

Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), pengumpulannya dilakukan secara langsung dan tidak langsung, baik konvensional maupun elektronik, secara berkala dan insidental.

(2)

Cara penyampaian informasi ketenagakerjaan dari perusahaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 7

(1)

Informasi ketenagakerjaan yang telah dikumpulkan, diolah dengan menggunakan metoda statistika atau metoda lainnya, baik secara manual maupun komputasi sesuai dengan peruntukannya.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penggunaan metoda statistika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 8

Informasi ketenagakerjaan yang dikumpulkan dan diolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 disimpan dalam sistem database.

Pasal 9

(1)

Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) disajikan dalam bentuk tabel, grafik, peta, dan narasi.

(2)

Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipublikasikan dalam bentuk cetakan dan/atau media elektronik.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyajian informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 10

(1)

Pengguna dapat memperoleh informasi ketenagakerjaan pada instansi pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

(2)

Pengguna dapat memperoleh informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebutuhannya, kecuali informasi yang bersifat rahasia.

(3)

Pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), berwenang untuk menolak permintaan informasi ketenagakerjaan dari pengguna, yang tidak sesuai dengan kebutuhannya, dan/atau informasi ketenagakerjaan yang bersifat rahasia.

(4)

Untuk memperoleh informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengguna tidak dipungut biaya.

BAB III
JENIS DAN TATA CARA PENYUSUNAN PTK

Bagian Kesatu
Jenis PTK

Pasal 11

(1)

PTK terdiri atas PTK Makro dan PTK Mikro.

(2)

PTK Makro terdiri atas lingkup kewilayahan dan lingkup sektoral.

(3)

PTK Makro lingkup kewilayahan meliputi :

a.

PTK nasional;

b.

PTK provinsi; dan

c.

PTK kabupaten/kota.

(4)

PTK Makro lingkup sektoral meliputi :

a.

PTK sektor dan sub sektor nasional;

b.

PTK sektor dan sub sektor provinsi; dan

c.

PTK sektor dan sub sektor kabupaten/kota.

(5)

PTK Mikro terdiri atas lingkup badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta serta lembaga swasta lainnya.

Bagian Kedua
Tata Cara Penyusunan PTK Makro

Pasal 12

(1)

Penyusunan PTK Makro di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), dilakukan oleh instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(2)

Penyusunan PTK Makro lingkup sektoral/sub sektoral nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf a, dilakukan oleh instansi Pemerintah pembina sektor atau lapangan usaha yang bersangkutan di pusat.

(3)

Penyusunan PTK Makro lingkup sektoral/sub sektoral di provinsi atau kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf b dan huruf c, dilakukan oleh instansi pemerintah yang membidangi sektor atau lapangan usaha yang bersangkutan di provinsi atau kabupaten/kota.

(4)

Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam menyusun PTK Makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membentuk Tim.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pedoman Pembentukan Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 13

Untuk menyusun PTK Makro diperlukan informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan informasi terkait lainnya.

Pasal 14

RTK Makro sebagai hasil dari PTK Makro paling sedikit memuat informasi tentang :

a.

persediaan tenaga kerja;

b.

kebutuhan tenaga kerja;

c.

neraca tenaga kerja; dan

d.

arah kebijakan, strategi, dan program pembangunan ketenagakerjaan.

Pasal 15

(1)

Persediaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a penghitungannya dilakukan dengan pendekatan tingkat partisipasi angkatan kebutuhan tenaga kerja atau luaran pendidikan.

(2)

Kebutuhan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b, penghitungannya dilakukan dengan pendekatan kebutuhan tenaga kerja dan pendekatan pendayagunaan tenaga kerja, dengan mempertimbangkan kebutuhan tenaga kerja di pasar kerja internasional.  

(3)

Neraca tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c, disusun dengan membandingkan antara persediaan tenaga kerja dengan kebutuhan tenaga kerja, untuk mengetahui kesenjangan tenaga kerja.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai metoda penghitungan persediaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghitungan kebutuhan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 16

(1)

Arah kebijakan, strategi, dan program pembangunan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d, disusun berdasarkan RTK.

(2)

Arah kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat pokok-pokok pikiran pemecahan masalah ketenagakerjaan.

(3)

Strategi pembangunan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat cara pemecahan masalah ketenagakerjaan sesuai dengan arah kebijakan pembangunan ketenagakerjaan.

(4)

Program pembangunan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat kegiatan untuk memecahkan masalah ketenagakerjaan sesuai dengan strategi pembangunan ketenagakerjaan.

Pasal 17

(1)

RTK Makro disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

(2)

RTK Makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan evaluasi untuk disesuaikan dengan kondisi lingkungan strategis yang mempengaruhi.

(3)

Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh instansi pemerintah pembina sektor lapangan usaha yang bersangkutan di tingkat pusat.

Pasal 18

(1)

PTK nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf a, diselenggarakan oleh instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dengan melibatkan instansi pemerintah lain dan lembaga-lembaga terkait.

(2)

PTK provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf b dan PTK sektoral/sub sektoral provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf b, diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dengan melibatkan instansi vertikal dan lembaga-lembaga terkait.

(3)

PTK kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf c dan PTK sektoral/sub sektoral kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf c, diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan melibatkan instansi vertikal dan lembaga-lembaga terkait.

(4)

PTK sektoral/sub sektoral nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf a, diselenggarakan oleh instansi pemerintah pembina sektor lapangan usaha dengan melibatkan instansi pemerintah lain dan lembaga-lembaga terkait.

Pasal 19

(1)

PTK nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), menghasilkan RTK nasional.

(2)

PTK provinsi dan PTK sektoral/sub sektoral provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), menghasilkan RTK provinsi dan RTK sektoral/sub sektoral provinsi.

(3)

PTK kabupaten/kota dan PTK sektoral/sub sektoral kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), menghasilkan RTK kabupaten/kota dan RTK sektoral/sub sektoral kabupaten/kota.

(4)

PTK sektoral/sub sektoral nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), menghasilkan RTK sektoral/sub sektoral nasional.

Bagian Ketiga
Tata Cara Penyusunan PTK Mikro

Pasal 20

(1)

Penyusunan PTK Mikro diarahkan untuk menciptakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya.

(2)

PTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyusunannya dilakukan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta serta lembaga swasta lainnya.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan PTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 21

RTK Mikro sebagai hasil dari PTK Mikro paling sedikit memuat informasi tentang :

a.

persediaan pegawai;

b.

kebutuhan pegawai;

c.

neraca pegawai; dan

d.

program kepegawaian.

Pasal 22

Informasi persediaan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, disusun berdasarkan kekuatan pegawai yang dirinci menurut jabatan, status kepegawaian, jenjang dan bidang pendidikan akhir, usia, jenis kelamin, pelatihan dan pengalaman kerja.

Pasal 23

Informasi kebutuhan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b termasuk kebutuhan pegawai berstatus tenaga asing, dihitung berdasarkan beban kerja yang dirinci menurut jabatan, status kepegawaian, jenjang dan bidang pendidikan akhir, usia, jenis kelamin, pelatihan, dan pengalaman kerja.

Pasal 24

Neraca pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c, disusun dengan membandingkan antara persediaan pegawai dengan kebutuhan pegawai baik jumlah maupun kualifikasi.

Pasal 25

Program kepegawaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d, paling sedikit memuat :

a.

pola pembinaan karier;

b.

program perekrutan, seleksi, penempatan serta pemensiunan pegawai;

c.

pelatihan dan pengembangan pegawai;

d.

perlindungan, pengupahan serta jaminan sosial; dan

e.

produktivitas kerja.

Pasal 26

(1)

RTK Mikro disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

(2)

Setiap tahun RTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penilaian untuk disesuaikan dengan perkembangan lembaga atau perusahaan.

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai metoda yang digunakan untuk menyusun RTK Mikro diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IV
TATA CARA PELAKSANAAN PTK

Bagian Kesatu
Tata Cara Pelaksanaan PTK Makro


Pasal 28

Pelaksanaan PTK Makro meliputi kegiatan sosialisasi, pencapaian sasaran, pemantauan, evaluasi, penyesuaian sasaran, dan pelaporan hasil pelaksanaan RTK Makro.

Pasal 29

(1)

RTK nasional dan RTK sektoral/sub sektoral nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (4), dilaksanakan oleh Pemerintah dengan mengarusutamakan ketenagakerjaan dalam setiap kebijakan, strategi dan program pembangunan tingkat nasional.

(2)

RTK provinsi dan RTK sektoral/sub sektoral provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), dilaksanakan oleh pemerintah provinsi, dengan mengarusutamakan ketenagakerjaan dalam setiap kebijakan, strategi dan program pembangunan tingkat provinsi.

(3)

RTK kabupaten/kota dan RTK sektoral/sub sektoral kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan mengarusutamakan ketenagakerjaan dalam setiap kebijakan, strategi dan program pembangunan tingkat kabupaten/kota.

Pasal 30

RTK nasional, RTK provinsi, RTK kabupaten/kota, RTK sektoral/sub sektor nasional, RTK sektoral/sub sektor provinsi, RTK sektoral/sub sektor kabupaten/kota dilaksanakan untuk:

a.

memperluas kesempatan kerja;

b..

meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja;

c.

meningkatkan kualitas tenaga kerja;

d.

meningkatkan produktivitas tenaga kerja; dan

e.

meningkatkan perlindungan serta kesejahteraan pekerja.

Pasal 31

(1)

RTK nasional, RTK provinsi, RTK kabupaten/kota disosialisasikan oleh instansi Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(2)

RTK sektoral/sub sektoral nasional, RTK sektoral/sub sektoral provinsi dan RTK sektoral/sub sektoral kabupaten/kota disosialisasikan oleh instansi pemerintah pembina sektoral/sub sektoral tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.

Pasal 32

Instansi pemerintah yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 harus menyusun dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan RTK secara berkala.

Pasal 33

(1)

Laporan hasil pelaksanaan RTK untuk tingkat nasional disampaikan oleh Menteri kepada Presiden sebagai bahan penyusunan kebijakan, strategi, dan program pembangunan nasional.

(2)

Laporan hasil pelaksanaan RTK untuk tingkat provinsi disampaikan oleh instansi yang membidangi ketenagakerjaan kepada gubernur sebagai bahan penyusunan kebijakan, strategi, dan program pembangunan provinsi.

(3)

Laporan hasil pelaksanaan RTK untuk tingkat kabupaten/kota disampaikan oleh instansi yang membidangi ketenagakerjaan kepada bupati/walikota sebagai bahan penyusunan kebijakan, strategi, dan program pembangunan kabupaten /kota.

(4)

Laporan hasil pelaksanaan RTK sektoral/sub sektoral untuk tingkat nasional disampaikan oleh instansi sektoral/sub sektoral kepada Menteri sebagai bahan penyusunan kebijakan, strategi, dan program pembangunan nasional.

(5)

Laporan hasil pelaksanaan RTK sektoral/sub sektoral untuk tingkat provinsi disampaikan oleh instansi sektoral/sub sektoral kepada gubernur sebagai bahan penyusunan kebijakan, strategi, dan program pembangunan provinsi.

(6)

Laporan hasil pelaksanaan RTK sektoral/sub sektoral untuk tingkat kabupaten/kota disampaikan oleh instansi sektoral/sub sektoral kepada bupati/walikota sebagai bahan penyusunan kebijakan, strategi, dan program pembangunan kabupaten/kota.

Pasal 34

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan hasil pelaksanaan RTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Tata Cara Pelaksanaan RTK Mikro

 

Pasal 35

RTK Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta serta lembaga swasta lainnya.

Pasal 36

(1)

Sasaran pelaksanaan RTK Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 adalah pelaksanaan program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.

(2)

Pelaksanaan RTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipantau secara berkala untuk mengetahui tingkat pencapaiannya.

(3)

Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi secara berkala untuk memperbaiki kinerja pelaksanaan RTK Mikro.

Pasal 37

(1)

RTK Mikro disosialisasikan oleh pimpinan lembaga/perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 pada unit kerja di lingkungannya.

(2)

Sosialisasi RTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk mendapatkan komitmen dan sebagai pedoman dalam pelaksanaan program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.

Pasal 38

(1)

Instansi/lembaga yang bertanggung jawab atas pelaksanaan RTK Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 menyusun laporan hasil pelaksanaannya.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

BAB V
PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PEMBINAAN

Pasal 39

(1)

Pemantauan terhadap pengelolaan informasi ketenagakerjaan dilakukan secara berjenjang oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

(2)

Pemantauan terhadap penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro lingkup kewilayahan dilakukan secara berjenjang oleh instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

(3)

Pemantauan terhadap penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro lingkup sektoral dilakukan oleh instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

(4)

Pemantauan terhadap penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro dilakukan oleh instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 40

(1)

Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, ditujukan untuk mengetahui keberhasilan dan masalah yang dihadapi.

(2)

Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara berkala baik langsung maupun tidak langsung paling singkat 6 (enam) bulan sekali.

Pasal 41

(1)

Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(2)

Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk merumuskan langkah-langkah perbaikan.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan evaluasi terhadap hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 42

(1)

Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melaksanakan pembinaan terhadap pengelolaan informasi ketenagakerjaan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(2)

Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi antara lain konsultasi, bimbingan, pelatihan dan sosialisasi.

Pasal 43

(1)

Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melaksanakan pembinaan terhadap penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro dan RTK Mikro sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(2)

Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain konsultasi, bimbingan, pelatihan dan sosialisasi.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan terhadap penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro dan RTK Mikro sebagaimanan dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VI
PEMBIAYAAN


Pasal 44

(1)

Segala biaya yang diperlukan bagi pengembangan sistem informasi dalam rangka pengelolaan informasi ketenagakerjaan di instansi pemerintah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kegiatan yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi atau APBD kabupaten/kota untuk kegiatan yang dilaksanakan pada tingkat daerah.

(2)

Segala biaya yang diperlukan bagi penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pembinaan PTK Makro di instansi pemerintah dibebankan pada APBN, APBD provinsi atau APBD kabupaten/kota.

(3)

Segala biaya yang diperlukan bagi penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pembinaan PTK Mikro di badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dibebankan kepada lembaga yang bersangkutan.

(4)

Segala biaya yang diperlukan bagi penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi PTK Mikro pada lembaga/perusahaan swasta dibebankan kepada lembaga/perusahaan swasta yang bersangkutan.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 45

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 5 Februari 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 5 Februari 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,
HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 34