UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 39 TAHUN 2007

 

TENTANG

 

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995

TENTANG CUKAI

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

a.

bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan;

 

 

b.

bahwa cukai sebagai pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik sesuai dengan undang-undang merupakan penerimaan negara guna mewujudkan kesejahteraan bangsa;

 

 

c.

bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan serta menggali potensi penerimaan cukai, perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai;

 

 

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613);

 

 

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI.

Pasal I

 

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) diubah sebagai berikut:

 

 

1.

Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

 

 

 

1.

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

 

 

 

2.

Pabrik adalah tempat tertentu termasuk bangunan, halaman, dan lapangan yang merupakan bagian daripadanya, yang dipergunakan untuk menghasilkan barang kena cukai dan/atau untuk mengemas barang kena cukai dalam kemasan untuk penjualan eceran.

3.

Orang adalah orang pribadi atau badan hukum.

4.

Pengusaha pabrik adalah orang yang mengusahakan pabrik.

 

 

 

5.

Tempat penyimpanan adalah tempat, bangunan, dan/atau lapangan yang bukan merupakan bagian dari pabrik, yang dipergunakan untuk menyimpan barang kena cukai berupa etil alkohol yang masih terutang cukai dengan tujuan untuk disalurkan, dijual, atau diekspor.

 

 

 

6.

Pengusaha tempat penyimpanan adalah orang yang mengusahakan tempat penyimpanan.

 

 

 

7.

Tempat penjualan eceran adalah tempat untuk menjual secara eceran barang kena cukai kepada konsumen akhir.

 

 

 

8.

Pengusaha tempat penjualan eceran adalah orang yang mengusahakan tempat penjualan eceran.

 

 

 

9.

Penyalur adalah orang yang menyalurkan atau menjual barang kena cukai yang sudah dilunasi cukainya yang sematamata ditujukan bukan kepada konsumen akhir.

 

 

 

10.

Dokumen cukai adalah dokumen yang digunakan dalam rangka pelaksanaan undang-undang ini dalam bentuk formulir atau melalui media elektronik.

11.

Kantor adalah Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

 

 

 

12.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai.

13.

Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

 

 

 

14.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

 

 

 

15.

Pejabat bea dan cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan undang-undang ini.

 

 

 

16.

Tempat penimbunan sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.

 

 

 

17.

Tempat penimbunan berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.

 

 

 

18.

Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang di bidang kepabeanan.

 

 

 

19.

Audit cukai adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai.

 

 

 

20.

Surat tagihan adalah surat berupa ketetapan yang digunakan untuk melakukan tagihan utang cukai, kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga.

 

 

2.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 2

 

 

 

(1)

Barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik:

a.

konsumsinya perlu dikendalikan;

b.

peredarannya perlu diawasi;

 

 

 

 

c.

pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau

 

 

 

 

d.

pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undangundang ini.

 

 

 

(2)

Barang-barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai barang kena cukai.

 

 

3.

Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 3A dan Pasal 3B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3A

 

 

 

(1)

Dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik.

 

 

 

(2)

Dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang ini.

 

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Pasal 3B

 

 

 

 

Terhadap barang kena cukai berlaku seluruh ketentuan sebagaimana diatur dalam  undang-undang ini.

 

 

4.

Pasal 4 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 4 ayat (2) sehingga penjelasan Pasal 4 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal undang-undang ini.

 

 

5.

Ketentuan Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (5) sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 5

 

 

 

(1)

Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:

a.

untuk yang dibuat di Indonesia:

 

 

 

 

 

1.

275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau

 

 

 

 

 

2.

57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

b.

untuk yang diimpor:

 

 

 

 

 

1.

275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau

 

 

 

 

 

2.

57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

 

 

 

(2)

Barang kena cukai lainnya dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:

a.

untuk yang dibuat di Indonesia:

 

 

 

 

 

1.

1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau

 

 

 

 

 

2.

80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

b.

untuk yang diimpor:

 

 

 

 

 

1.

1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau

 

 

 

 

 

2.

80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

 

 

 

(3)

Tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya.

 

 

 

(4)

Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk mendapat persetujuan.

 

 

 

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan menteri.

 

 

6.

Ketentuan Pasal 6 ayat (3) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

 

 

 

(1)

Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas barang kena cukai yang dibuat di Indonesia adalah harga jual pabrik atau harga jual eceran.

 

 

 

(2)

Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas barang kena cukai yang diimpor adalah nilai pabean ditambah bea masuk atau harga jual eceran.

 

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan harga dasar diatur dengan peraturan menteri.

 

 

7.

Judul BAB III diubah sehingga BAB III berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

BAB III

PELUNASAN, PENUNDAAN, DAN FASILITAS

 

 

8.

Ketentuan Bagian Pertama diubah sehingga Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Bagian Pertama

Pelunasan

 

 

9.

Ketentuan Pasal 7 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) diubah, di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (3a) dan ayat (3b), serta ayat (6) dan ayat (7) dihapus sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 7

 

 

 

(1)

Cukai atas barang kena cukai yang dibuat di Indonesia, dilunasi pada saat pengeluaran barang kena cukai dari pabrik atau tempat penyimpanan.

 

 

 

(2)

Cukai atas barang kena cukai yang diimpor dilunasi pada saat barang kena cukai diimpor untuk dipakai.

 

 

 

(3)

Cara pelunasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan:

 

 

 

 

a.

pembayaran;

b.

pelekatan pita cukai; atau

 

 

 

 

c.

pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya.

 

 

 

(3a)

Pencetakan pita cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan pengadaan tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilaksanakan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan atau lembaga yang ditunjuk oleh Menteri dengan syarat-syarat yang ditetapkan.

 

 

 

(3b)

Syarat-syarat yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) paling sedikit memenuhi asas keamanan, kontinuitas, efektivitas, efisiensi, dan memberi kesempatan yang sama.

 

 

 

(4)

Pita cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c disediakan oleh Menteri.

 

 

 

(5)

Dalam hal pelunasan cukai dengan cara pelekatan pita cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang cukai, cukai dianggap tidak dilunasi.

(6)

Dihapus.

(7)

Dihapus.

 

 

 

(8)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan cukai diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

 

 

10.

Di antara Bagian Pertama dan Bagian Kedua disisipkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Pertama A sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Bagian Pertama A

Penundaan

Pasal 7A

 

 

 

(1)

Pelunasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a pembayarannya dapat diberikan secara berkala kepada pengusaha pabrik dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal pengeluaran barang kena cukai tanpa dikenai bunga.

 

 

 

(2)

Penundaan pembayaran cukai dapat diberikan kepada pengusaha pabrik dalam jangka waktu:

 

 

 

 

a.

paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal pemesanan pita cukai bagi yang melaksanakan pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b;

 

 

 

 

b.

paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal pengeluaran barang kena cukai bagi yang melaksanakan pelunasan dengan cara pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf c.

 

 

 

(3)

Penundaan pembayaran cukai dapat diberikan kepada importir barang kena cukai dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pemesanan pita cukai bagi yang melaksanakan pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b.

 

 

 

(4)

Untuk pembayaran secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengusaha pabrik wajib menyerahkan jaminan.

 

 

 

(5)

Untuk mendapat penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai wajib menyerahkan jaminan.

 

 

 

(6)

Jenis dan besaran jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

 

 

 

(7)

Pengusaha pabrik yang pelunasan cukainya dengan cara pembayaran berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak membayar cukai sampai dengan jangka waktu pembayaran secara berkala berakhir, wajib membayar cukai yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai cukai yang terutang.

 

 

 

(8)

Pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai yang mendapat penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang tidak membayar cukai sampai dengan jatuh tempo penundaan, wajib membayar cukai yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai cukai yang terutang.

 

 

 

(9)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

 

 

11.

Ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 8

 

 

 

(1)

Cukai tidak dipungut atas barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terhadap:

 

 

 

 

a.

tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan/atau pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis itu;

 

 

 

 

b.

minuman yang mengandung etil alkohol hasil peragian atau penyulingan yang dibuat oleh rakyat di Indonesia secara sederhana, semata-mata untuk mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan eceran.

(2)

Cukai juga tidak dipungut atas barang kena cukai apabila:

 

 

 

 

a.

diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar daerah pabean;

b.

diekspor;

c.

dimasukkan ke dalam pabrik atau tempat penyimpanan;

 

 

 

 

d.

digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai;

 

 

 

 

e.

telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari pabrik, tempat penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai.

 

 

 

(2a)

Perubahan barang kena cukai yang tidak dipungut cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan tujuan barang kena cukai yang tidak dipungut cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

 

 

 

(3)

Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau setiap orang yang melanggar ketentuan tentang tidak dipungutnya cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

 

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

 

 

12.

Ketentuan Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1)

Pembebasan cukai dapat diberikan atas barang kena cukai:

a.

yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai;

b.

untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

c.

untuk keperluan perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

d.

untuk keperluan tenaga ahli bangsa asing yang bertugas pada badan atau organisasi internasional di Indonesia;

e.

yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas atau kiriman dari luar negeri dalam jumlah yang ditentukan;

f.

yang dipergunakan untuk tujuan sosial;

g.

yang dimasukkan ke dalam tempat penimbunan berikat.

(1a)

Perubahan tujuan barang kena cukai yang diberikan pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

(2)

Pembebasan cukai dapat juga diberikan atas barang kena cukai tertentu yaitu:

a.

etil alkohol yang dirusak sehingga tidak baik untuk diminum;

b.

minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau, yang dikonsumsi oleh penumpang dan awak sarana pengangkut yang berangkat langsung ke luar daerah pabean.

(3)

Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau setiap orang yang melanggar ketentuan tentang pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

13.

Ketentuan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (2c) sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10

(1)

Penagihan dilakukan atas:

a.

utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya;

b.

kekurangan cukai; dan/atau

c.

sanksi administrasi berupa denda.

(2)

Utang cukai, kekurangan cukai, dan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayar paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima surat tagihan.

(2a)

Pembayaran utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari nilai utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang tidak dibayar.

(2b)

Dalam hal tertentu, atas permintaan pengusaha pabrik, Direktur Jenderal dapat memberikan kemudahan untuk mengangsur pembayaran tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dan dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan.

(2c)  

Pembayaran utang cukai, kekurangan cukai, dan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) jumlahnya dibulatkan dalam ribuan rupiah.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penagihan dan pengangsuran diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

14.

Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12

(1)

Pengembalian cukai yang telah dibayar diberikan dalam hal:

a.

terdapat kelebihan pembayaran karena kesalahan penghitungan;

b.

barang kena cukai diekspor;

c.

barang kena cukai diolah kembali di pabrik atau dimusnahkan;

d.

barang kena cukai mendapat pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;

e.

pita cukai dikembalikan karena rusak atau tidak dipakai; atau

f.

terdapat kelebihan pembayaran sebagai akibat putusan Pengadilan Pajak.

(2)

Pengembalian cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya kelebihan pembayaran.

(3)

Apabila pengembalian cukai dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah memberikan bunga 2% (dua persen) perbulan, dihitung setelah jangka waktu tersebut berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian cukai diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

15.

Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) diubah;

di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (1a), ayat (1b), dan ayat (1c); di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3a); di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (5a) dan ayat (5b) sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1)

Setiap orang yang akan menjalankan kegiatan sebagai:

a.

pengusaha pabrik;

b.

pengusaha tempat penyimpanan;

c.

importir barang kena cukai;

d.

penyalur; atau

e.

pengusaha tempat penjualan eceran, wajib memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai dari Menteri.

(1a)

Kewajiban memiliki izin untuk menjalankan kegiatan sebagai penyalur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d atau pengusaha tempat penjualan eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berlaku untuk etil alkohol dan minuman yang mengandung etil alkohol.

(1b)

Kewajiban memiliki izin untuk menjalankan kegiatan sebagai penyalur atau pengusaha tempat penjualan eceran selain etil alkohol dan minuman yang mengandung etil alkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) ditetapkan dengan peraturan menteri.

(1c)

Importir barang kena cukai yang telah memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat melaksanakan impor barang kena cukai.

(2)

Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a.

orang yang berkedudukan di Indonesia; atau

b.

orang yang secara sah mewakili badan hukum atau

c.

orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia.

(3)

 

Dalam hal pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah orang pribadi, apabila yang bersangkutan meninggal dunia, izin dapat dipergunakan selama dua belas bulan sejak tanggal meninggal yang bersangkutan oleh ahli waris atau yang dikuasakan dan setelah lewat jangka waktu tersebut, izin wajib diperbaharui.

(3a)

Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibekukan, dalam hal:

a.

adanya bukti permulaan yang cukup bahwa pemegang izin melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai;

b.

adanya bukti yang cukup sehingga persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi; atau

c.

pemegang izin berada dalam pengawasan kurator sehubungan dengan utangnya.

(4)

Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dicabut dalam hal:

a.

atas permohonan pemegang izin yang bersangkutan;

b.

tidak dilakukan kegiatan selama 1 (satu) tahun;

c.

persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi;

d.

pemegang izin tidak lagi secara sah mewakili badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia;

e.

pemegang izin dinyatakan pailit;

f.

tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);

g.

pemegang izin dipidana berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar ketentuan undang-undang ini;

h.

pemegang izin melanggar ketentuan Pasal 30; atau

i.

Izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai dipindahtangankan, dikuasakan, dan/atau dikerjasamakan dengan orang/pihak lain tanpa persetujuan Menteri.

(5)

Dalam hal izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut, terhadap barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya yang masih berada di dalam pabrik atau tempat penyimpanan harus dilunasi cukainya dan dikeluarkan dari pabrik atau tempat penyimpanan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat keputusan pencabutan izin.

(5a)

Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi, barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dimusnahkan.

(5b)

Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi, barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

(6)

Ketentuan mengenai pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku bagi importir barang kena cukai, penyalur, dan pengusaha tempat penjualan eceran.

(7)

Setiap orang yang menjalankan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa memiliki izin dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(8)

Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

16.

Judul BAB VI diubah sehingga BAB VI berbunyi sebagai berikut:

BAB VI

PEMBUKUAN DAN PENCACAHAN

17.

Judul Bagian Pertama diubah sehingga Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut:

Bagian Pertama

Pembukuan

18.

Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16

(1)

Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau penyalur yang wajib memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d wajib menyelenggarakan pembukuan.

(2)

Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah pengusaha pabrik skala kecil, penyalur skala kecil yang wajib memiliki izin, dan pengusaha tempat penjualan eceran yang wajib memiliki izin.

(3)

Pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat.

(4)

Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau penyalur yang wajib memiliki izin, yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(5)

Pengusaha pabrik skala kecil, penyalur skala kecil yang wajib memiliki izin, dan pengusaha tempat penjualan eceran yang wajib memiliki izin, yang tidak melakukan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(6)

Pengusaha pabrik yang tidak memberitahukan barang kena cukai yang selesai dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali nilai cukai dari barang kena cukai yang tidak diberitahukan.

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemberitahuan mengenai barang kena cukai yang selesai dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

19.

Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16A dan Pasal 16B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16A

(1)

Pembukuan wajib diselenggarakan dengan baik yang mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya dan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, pendapatan, biaya, dan arus keluar masuknya barang kena cukai.

(2)

Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, mata uang rupiah, serta bahasa Indonesia, atau dengan mata uang asing dan bahasa lain yang diizinkan oleh Menteri.

(3)

Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya di Indonesia.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyelenggaraan pembukuan diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Pasal 16B

Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau penyalur yang wajib memiliki izin, yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

20.

Ketentuan Pasal 17 ayat (2) diubah sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1)

Pejabat bea dan cukai wajib menyelenggarakan buku rekening barang kena cukai untuk setiap pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan mengenai barang kena cukai tertentu yang masih terutang cukai dan berada di pabrik atau tempat penyimpanan.

(2)

Pejabat bea dan cukai mencatat barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (1) atau ayat (3) yang masih terutang cukai ke dalam buku rekening barang kena cukai.

(3)

Pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan bertanggung jawab atas utang cukai dari barang kena cukai yang ada menurut buku rekening barang kena cukai.

21.

Ketentuan Pasal 18 ayat (1) diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1)

Buku rekening barang kena cukai ditutup pada setiap akhir tahun kalender.

(2)

Buku rekening barang kena cukai juga ditutup setelah dilakukan pencacahan atau atas permintaan pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan.

(3)

Ketentuan tentang buku rekening barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

22.

Ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

(1)

Pejabat bea dan cukai wajib menyelenggarakan buku rekening kredit untuk setiap pengusaha pabrik yang mendapatkan kemudahan pembayaran berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1).

(1a)

Pejabat bea dan cukai wajib menyelenggarakan buku rekening kredit untuk setiap pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai mengenai cukai yang mendapatkan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2) dan ayat (3).

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai buku rekening kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

23.

Pasal 20 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 20 ayat (2) sehingga penjelasan Pasal 20 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal undang-undang ini.

24.

Ketentuan Pasal 25 ayat (4) dan ayat (5) diubah, dan di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a) sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

(1)

Pemasukan atau pengeluaran barang kena cukai ke atau dari pabrik atau tempat penyimpanan, wajib diberitahukan kepada Kepala Kantor dan dilindungi dengan dokumen cukai.

(2)

Pemasukan atau pengeluaran barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai.

(3)

Dalam hal pemasukan atau pengeluaran barang kena cukai di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai, yang menjadi dasar untuk membukukan dalam buku rekening barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 adalah yang didapati oleh pejabat bea dan cukai yang bersangkutan.

(4)

Pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan yang mengeluarkan barang kena cukai dari pabrik atau tempat penyimpanan, yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali nilai cukai dari barang kena cukai yang dikeluarkan.

(4a)

Pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan, yang memasukkan barang kena cukai ke pabrik atau tempat penyimpanan tanpa mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan atau pengeluaran barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

25.

Ketentuan Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26

(1)

Dalam keadaan darurat, barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya dapat dipindahkan ke luar pabrik atau tempat penyimpanan tanpa dilindungi dokumen cukai.

(2)

Pemindahan barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilaporkan kepada Kepala Kantor dalam jangka waktu yang ditetapkan.

(3)

Pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan yang tidak melaporkan pemindahan barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya karena keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

26.

Ketentuan Pasal 27 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

(1)

Pengangkutan barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya harus dilindungi dengan dokumen cukai.

(2)

Pengangkutan barang kena cukai tertentu, walaupun sudah dilunasi cukainya, harus dilindungi dengan dokumen cukai.

(3)

Setiap orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pengangkutan barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

(4)

Setiap orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pengangkutan barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

27.

Ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 29 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29

(1)

Barang kena cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya hanya boleh ditawarkan, diserahkan, dijual, atau disediakan untuk dijual, setelah dikemas untuk penjualan eceran dan dilekati pita cukai atau dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya yang diwajibkan.

(2)

Barang kena cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya yang berada dalam tempat penjualan eceran atau tempat lain yang kegiatannya adalah untuk menjual dianggap disediakan untuk dijual.

(2a)

Pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai yang melekatkan pita cukai atau membubuhkan tanda pelunasan cukai lainnya pada barang kena cukai yang tidak sesuai dengan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang diwajibkan, yang menyebabkan kekurangan pembayaran cukai, wajib melunasi cukainya dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai dari nilai cukai yang seharusnya dilunasi.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

28.

Ketentuan Pasal 31 ayat (3) diubah sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31

(1)

Di dalam tempat penyimpanan dilarang:

a.

menyimpan barang kena cukai yang telah dilunasi cukainya atau yang mendapatkan pembebasan cukai;

b.

menyimpan barang selain barang kena cukai yang ditetapkan dalam surat izin bersangkutan.

(2)

Barang kena cukai yang telah dilunasi cukainya atau yang mendapatkan pembebasan cukai yang kedapatan berada di dalam tempat penyimpanan dianggap belum dilunasi cukainya atau tidak mendapatkan pembebasan cukai.

(3)

Pengusaha tempat penyimpanan yang melanggar ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

29.

Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

(1)

Di dalam pabrik, tempat usaha importir barang kena cukai, tempat usaha penyalur, dan tempat penjualan eceran, yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya dilarang:

a.

menyimpan atau menyediakan pita cukai dan/atau tanda pelunasan cukai lainnya yang telah dipakai; dan/atau

b.

menyimpan atau menyediakan pengemas barang kena cukai yang telah dipakai dengan pita cukai dan/atau tanda pelunasan cukai lainnya yang masih utuh.

(2)

Pengusaha pabrik, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran, yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya, yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai dari pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang didapati telah dipakai.

30.

Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 33 

(1)

Pejabat bea dan cukai berwenang:

a.

mengambil tindakan yang diperlukan atas barang kena cukai dan/atau barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai berupa penghentian, pemeriksaan, penegahan, dan penyegelan untuk melaksanakan undang-undang ini;

b.

mengambil tindakan yang diperlukan berupa tidak melayani pemesanan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya; dan

c.

menegah barang kena cukai, barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai, dan/atau sarana pengangkut.

(2)

Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pejabat bea dan cukai dapat dilengkapi dengan senjata api yang jenis dan syaratsyarat penggunaannya diatur dengan peraturan pemerintah.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta penegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

31.

Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga Pasal 34 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 34

(1)

Dalam melaksanakan tugas berdasarkan undang-undang ini pejabat bea dan cukai dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan/atau instansi lainnya.

(2)

Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan/atau instansi lainnya wajib untuk memenuhinya.

32.

Judul Bagian Kedua pada Bab X diubah sehingga Bagian Kedua pada BAB X berbunyi sebagai berikut:

Bagian Kedua

Pemeriksaan

33.

Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35

(1)

Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan terhadap:

a.

pabrik, tempat penyimpanan, atau tempat lain yang digunakan untuk menyimpan barang kena cukai dan/atau barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai, yang belum dilunasi cukainya atau memperoleh pembebasan cukai;

b.

bangunan atau tempat lain yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c.

tempat usaha penyalur, tempat penjualan eceran, atau tempat lain yang bukan rumah tinggal, yang di dalamnya terdapat barang kena cukai; dan

d.

barang kena cukai dan/atau barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai yang berada di tempat sebagaimana  dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c.

(2)

Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai berwenang mengambil contoh barang kena cukai.

(3)

Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pejabat bea dan cukai berwenang meminta catatan sediaan barang, dokumen cukai, dan/atau dokumen pelengkap cukai, yang wajib diselenggarakan berdasarkan undangundang ini.

(4)

Setiap orang yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

34.

Ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36

(1)

Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, pengusaha tempat penjualan eceran, pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan, wajib menyediakan tenaga, peralatan, dan menyerahkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang wajib diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini.

(1a)

Dalam hal pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, pengusaha tempat penjualan eceran, pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan, tidak berada di tempat atau berhalangan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada yang mewakilinya.

(2)

Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, pengusaha tempat penjualan eceran, pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan, yang tidak menyediakan tenaga atau peralatan atau tidak menyerahkan buku, catatan, dan/atau dokumen pada waktu dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

35.

Ketentuan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 37 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37

(1)

 

Pejabat bea dan cukai berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut serta barang kena cukai dan/atau barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai yang berada di sarana pengangkut.

(2)

 

Pengangkut wajib menunjukkan dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai yang diwajibkan menurut undang-undang ini.

(3)

Sarana pengangkut yang disegel oleh dinas pos atau penegak hukum lain, dikecualikan dari pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4)

Setiap orang yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengangkut yang tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

36.

Ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (1a), ayat (1b), dan ayat (1c), serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39

(1)

Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit cukai terhadap pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, dan pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

(1a)

Dalam melaksanakan audit cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai berwenang:

a.

meminta laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai;

b.

meminta keterangan lisan dan/atau tertulis kepada pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dan/atau pihak lain yang terkait;

c.

memasuki bangunan atau ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, sediaan barang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat lain yang dianggap penting, serta melakukan pemeriksaan di tempat tersebut; atau

d.

melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap bangunan atau ruangan sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(1b)

Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan audit cukai, wajib memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis, menyediakan tenaga, peralatan, dan menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai.

(1c)

Dalam hal pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan audit cukai, tidak berada di tempat atau berhalangan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) beralih kepada yang mewakilinya.

(2)

Setiap orang yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan kewenangan audit cukai dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai audit cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

37.

Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40

Pejabat bea dan cukai berwenang untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan terhadap bagian-bagian dari pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha importir barang kena cukai, tempat usaha penyalur, tempat penjualan eceran, tempat lain, atau sarana pengangkut yang di dalamnya terdapat barang kena cukai guna pengamanan cukai.

38.

Setelah Bagian Ketiga pada BAB X ditambah 1 (satu) bagian, yakni Bagian Keempat yang berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat

Kewenangan Khusus Direktur Jenderal

Pasal 40A

(1)

Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang bersangkutan dapat:

a.

membetulkan surat tagihan atau surat keputusan keberatan, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan undang-undang ini; atau

b.

mengurangi atau menghapus sanksi administrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan pada orang yang dikenai sanksi karena kekhilafan atau bukan karena kesalahannya.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan, pembetulan, pengurangan, atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

39.

Judul BAB XI diubah sehingga BAB XI berbunyi sebagai berikut:

BAB XI

KEBERATAN, BANDING, DAN GUGATAN

40.

Judul Bagian Pertama diubah sehingga Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut:

Bagian Pertama

Keberatan

41.

Ketentuan Pasal 41 ayat (1) dihapus, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (8) sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41

(1)

Dihapus.

(2)

Orang yang berkeberatan atas penetapan pejabat bea dan cukai dalam penegakan undang-undang ini, yang mengakibatkan kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda, dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan dengan menyerahkan jaminan sebesar kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan.

(3)

Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan.

(4)

Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan.

(5)

Apabila Direktur Jenderal memutuskan mengabulkan keberatan yang diajukan, jaminan wajib dikembalikan.

(6)

Dalam hal jaminan berupa uang tunai, apabila pengembalian jaminan dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Pemerintah memberikan bunga 2% (dua persen) perbulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(7)

Apabila Direktur Jenderal memutuskan menolak keberatan yang diajukan, jaminan dicairkan untuk membayar cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan.

(8)

Ketentuan lebih lanjut mengenai keberatan diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

42.

Pasal 42 dihapus.

43.

Pasal 43 dihapus.

44.

Di antara Bagian Pertama dan Bagian Kedua disisipkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Pertama A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Pertama A

Banding dan Gugatan

Pasal 43A

Orang yang berkeberatan atas keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dapat mengajukan banding dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau keputusan.

Pasal 43B

Orang yang berkeberatan atas pencabutan izin bukan atas permohonan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, atau huruf i dapat mengajukan gugatan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau keputusan.

Pasal 43C

Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A atau gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43B diajukan kepada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur tentang pengadilan pajak.

45.

Pasal 44 dihapus.

46.

Ketentuan Bagian Kedua dihapus.

47.

Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50

Setiap orang yang tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 menjalankan kegiatan pabrik, tempat penyimpanan, atau mengimpor barang kena cukai dengan maksud mengelakkan pembayaran cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

48.

Pasal 51 dihapus.

49.

Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52

Pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan yang mengeluarkan barang kena cukai dari pabrik atau tempat penyimpanan tanpa mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dengan maksud mengelakkan pembayaran cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

50.

Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53

Setiap orang yang dengan sengaja memperlihatkan atau menyerahkan buku, catatan, dan/atau dokumen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) atau laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1b) yang palsu atau dipalsukan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

51.

Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga Pasal 54 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54

Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

52.

Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga Pasal 55 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55

Setiap orang yang:

a.

membuat secara melawan hukum, meniru, atau memalsukan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya;

b.

membeli, menyimpan, mempergunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau mengimpor pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang palsu atau dipalsukan; atau

c.

mempergunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau mengimpor pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang sudah dipakai, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit 10 (sepuluh) kali nilai cukai dan paling banyak 20 (dua puluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

53.

Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga Pasal 56 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56

Setiap orang yang menimbun, menyimpan, memiliki, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang kena cukai yang diketahuinya atau patut harus diduganya berasal dari tindak pidana berdasarkan undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

54.

Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57

Setiap orang yang tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

55.

Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58

Setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kepada yang tidak berhak atau membeli, menerima, atau menggunakan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

56.

Di antara Pasal 58 dan Pasal 59 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 58A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58A

(1)

Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2)

Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

57.

Ketentuan Pasal 62 ayat (3) diubah sehingga Pasal 62 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 62

(1)

Barang kena cukai yang tersangkut tindak pidana berdasarkan ketentuan undang-undang ini dirampas negara.

(2)

Barang-barang lain yang tersangkut tindak pidana berdasarkan ketentuan undang-undang ini dapat dirampas untuk negara.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian atas barang yang dirampas untuk negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri.

58.

Di antara BAB XIII dan BAB XIV disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XIIIA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB XIII A

PEMBINAAN PEGAWAI

Pasal 64A

(1)

Sikap dan perilaku pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terikat pada kode etik yang menjadi pedoman pelaksanaan tugas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

(2)

Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diselesaikan oleh komisi kode etik.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik diatur dengan peraturan menteri.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja komisi kode etik diatur dengan peraturan menteri.

Pasal 64B

Apabila pejabat bea dan cukai dalam menghitung atau menetapkan cukai tidak sesuai dengan undang-undang ini sehingga menyebabkan belum terpenuhinya pungutan negara, pejabat bea dan cukai dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 64C

(1)

Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang cukai yang menyangkut pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Menteri dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan pegawai guna menemukan bukti permulaan.

(2)

Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri.

Pasal 64D

(1)

Orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau unit kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran di bidang cukai berhak memperoleh premi.

(2)

Jumlah premi diberikan paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari sanksi administrasi berupa denda dan/atau dari hasil lelang barang hasil pelanggaran di bidang cukai.

(3)

Dalam hal barang hasil tangkapan merupakan barang yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh dilelang, besarnya nilai barang sebagai dasar perhitungan premi ditetapkan oleh Menteri.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri.

Pasal 64E

(1)

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberikan insentif atas dasar pencapaian kinerja di bidang cukai.

(2)

Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri.

59

Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga Pasal 65 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65

Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, pengusaha tempat penjualan eceran, atau pengguna barang kena cukai yang mendapat fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, bertanggung jawab atas perbuatan orang yang dipekerjakan atau yang ditunjuk sebagai wakil atau sebagai kuasa yang berhubungan dengan pekerjaan mereka dalam rangka pelaksanaan undang-undang ini.

60.

Ketentuan Pasal 66 ayat (3) diubah sehingga Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66

(1)

Barang kena cukai dan barang lain yang berasal dari pelanggar tidak dikenal dikuasai negara dan berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan apabila dalam jangka waktu empat belas hari sejak dikuasai negara pelanggarnya tetap tidak diketahui, barang kena cukai dan barang lain tersebut menjadi milik negara.

(2)

Barang kena cukai yang pemiliknya tidak diketahui, dikuasai negara dan berada di bawah pengawasan serta wajib diumumkan secara resmi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk diselesaikan oleh yang bersangkutan dalam waktu tiga puluh hari terhitung sejak dikuasai negara, dan apabila dalam jangka waktu dimaksud yang bersangkutan tidak menyelesaikan kewajibannya, barang kena cukai tersebut menjadi milik negara.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri.

61.

Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 66A, Pasal 66B, Pasal 66C, dan Pasal 66D sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66A

(1)

Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.

(2)

Alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun berjalan.

 

 

 

(3)

Gubernur mengelola dan menggunakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan mengatur pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masingmasing berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya.

(4)

 Pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan persetujuan Menteri, dengan komposisi 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya.

Pasal 66B

Penyaluran dana bagi hasil cukai hasil tembakau dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah provinsi dan rekening kas umum daerah kabupaten/kota.

Pasal 66C

(1)

Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan anggaran peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal yang berasal dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia.

(2)

Apabila hasil pemantauan dan evaluasi atas penggunaan anggaran peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal yang berasal dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau mengindikasikan adanya penyimpangan pelaksanaan akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 66D

(1)

Atas penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau dapat diberikan sanksi berupa penangguhan sampai dengan penghentian penyaluran dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi atas penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri.

Pasal II

1.

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku:

a.

peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang cukai tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan undang-undang ini;

b.

terhadap urusan cukai yang pada saat berlakunya undang-undang ini belum dapat diselesaikan, penyelesaiaannya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai yang meringankan setiap orang.

2.

Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan undang-undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

3.

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 15 Agustus 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 15 Agustus 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

 

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 105

 

Penjelasan.................