PENJELASAN


ATAS

 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INOONESIA

NOMOR 80 TAHUN 2007


TENTANG

 

TATA CARA  PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983

TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007
 

I.

UMUM

 

Sistem perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 bertujuan untuk memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada masyarakat Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

 

Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, berkewajiban memberikan pelayanan, penyuluhan, dan pembinaan serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum,agar masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

Dalam rangka memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat untuk memahami dan memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya, perlu diberikan suatu kepastian hukum dalam melaksanakan ketentuan umum dan tata cara perpajakan dengan mengatur ketentuan umum tersebut dalam suatu Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini mengatur pelaksanaan administrasi perpajakan sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

II.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

 

 

 

Pada dasarnya kewajiban untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak melekat pada setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan persyaratan subjektif pada ayat ini adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

 

 

 

Adapun yang dimaksud dengan persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Ayat (4) 

Pada dasarnya wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak melakukan pemisahan penghasilan dan harta, dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak suaminya. Dalam hal wanita kawin tersebut bermaksud melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya atas namanya sendiri, wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak pisah penghasilan dan harta dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya.

Ayat (5)

Cukup jelas

 Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Untuk memberikan kepastian hukum, yang dimaksud dengan mulainya penyidikan sebagaimana diatur pada ayat ini adalah saat surat pemberitahuan dimulainya penyidikan diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberitahuan dimulainya penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas. 

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Pada prinsipnya Wajib Pajak memiliki hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan. Namun demikian, dalam hal Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, Wajib Pajak tetap diberi kesempatan untuk mengungkapkan dengan kesadaran sendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak. Untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari kemungkinan tidak dipertimbangkannya pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh pemeriksa pajak, maka pengungkapan tersebut harus dilakukan sebelum pemeriksa pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan. Hal ini disebabkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan harus mencerminkan seluruh temuan-temuan yang dihasilkan selama pelaksanaan pemeriksaan.

Dengan demikian pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak yang dilakukan setelah Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan akan menyebabkan pengungkapan tersebut tidak tercermin dalam Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.

Disamping itu, pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang disampaikan setelah Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan tidak mencerminkan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilandasi oleh kesadaran sendiri Wajib Pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Dalam hal Wajib Pajak setelah dilakukan pemeriksaan mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan dalam laporan tersendiri, pemeriksa pajak harus menyelesaikan pemeriksaannya untuk membuktikan kebenaran laporan tersendiri tersebut.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Ayat (1)

Berdasarkan sistem self assessment, kewajiban perpajakan Wajib Pajak ditentukan oleh terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif. Dengan demikian, surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak tersebut diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat diterbitkan apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.

Contoh: 

Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2009. Sampai dengan tanggal 31 Maret 2010 Wajib Pajak hanya menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak 2008. Dalam tahun 2010, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak dalam Tahun Pajak 2007 memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2007.

Ayat (2) 

Penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak dapat juga dilakukan apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Contoh:

Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2009. Pada tanggal 28 Desember 2011, Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut dihapus. Dalam tahun 2013, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa dalam Tahun Pajak 2008, Wajib Pajak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, dalam Tahun Pajak 2010, Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dan dalam Tahun Pajak 2012, Wajib Pajak memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2008, 2010, dan 2012.

Ayat (3)

Cukup jelas. 

Ayat (4)

Cukup jelas. 

Pasal 15

Ayat (1)

Dalam rangka melaksanakan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Banding, yaitu keputusan Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan berdasarkan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak dan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak agar Putusan Banding tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan.

Ayat (2) 

Dalam rangka melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali, yaitu keputusan Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung dan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung agar Putusan Peninjauan Kembali tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) 

Yang dimaksud dengan "hubungan istimewa" adalah hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan Tahun 1984.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Untuk memberikan pedoman dalam membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perlu ditegaskan bahwa pembatalan tersebut tidak membatalkan seluruh kegiatan pemeriksaan yang pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, agar hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan merupakan suatu produk hukum yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka Direktur Jenderal Pajak melanjutkan pemeriksaan yang telah dibatalkan dengan melaksanakan prosedur pemeriksaan yang belum dilakukan berupa penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan/atau Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) 

Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana, tetapi terhadap Wajib Pajak diterbitkan surat ketetapan pajak Kurang Bayar. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak.

Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Ayat (3)

Ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang merupakan ketetapan yang diterbitkan karena kealpaan yang pertama kali dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang. Ketetapan pajak tersebut bukan merupakan ketetapan pajak hasil pemeriksaan berdasarkan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud ketetapan pajak dalam Pasal 13 dan Pasal 15 Undang-Undang. Terhadap ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak diwajibkan untuk melunasinya. Oleh karena itu, ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang - Undang tidak dapat diajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang ataupun diajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang serta pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang.

Pasal 20

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas. 

Ayat (3) 

Dalam penyelesaian proses keberatan, Wajib Pajak memiliki hak untuk hadir dan memberi keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan, sebelum Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Permintaan Untuk Hadir.

Surat Pemberitahuan Untuk Hadir merupakan surat yang disampaikan kepada Wajib Pajak yang berisi mengenai pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menghadiri pertemuan dengan pegawai pajak dalam waktu yang telah ditetapkan guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai hasil penelitian keberatan.

Ayat (4) 

Ketentuan pada ayat ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang apabila keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dicabut oleh Wajib Pajak.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) 

Untuk memberikan kepastian hukum tentang penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar akibat keputusan keberatan, dalam ayat ini dijelaskan bahwa penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar juga dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) seperti halnya jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Pasal 22

Ayat (1) 

Dalam rangka memberikan kepastian hukum agar Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan atau surat keputusan sehubungan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan serta Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pembetulan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini meliputi juga pembetulan terhadap :

a.

Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT);

b.

Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;

c.

Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;

d.

Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;

e.

Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan;

f.

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar;

g.

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan;

h.

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;

i.

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil;

j.

Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; atau 

k.

Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Ayat (2) 

Pada prinsipnya kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan lain dimaksudkan untuk menjalankan tugas pemerintahan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "surat keputusan lain" antara lain Surat Keputusan Keberatan.

Dalam melaksanakan tugas menghitung dan menetapkan pajak, baik dalam menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan yang berkaitan dengan perpajakan dapat terjadi adanya kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak. Selain itu, kewajiban perpajakan berkesinambungan dan saling mempengaruhi dari Masa Pajak ke Masa Pajak yang lain atau dari Tahun Pajak ke Tahun Pajak yang lain. Dengan demikian, dapat terjadi suatu kesalahan yang ditimbulkan karena penerbitan suatu surat ketetapan pajak atau surat keputusan atas Masa Pajak atau Tahun Pajak, misalnya terdapat koreksi biaya penyusutan, amortisasi, kompensasi kerugian, dan sebagainya.

Contoh: 

PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2008 dengan rugi yang dikompensasikan ke tahun berikutnya Rp200. 000.000,00 dan lebih bayar Rp 50.000.000,00.

PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2009 dengan penghasilan neto sebesar Rp 180.000.000,00. Sisa kerugian yang belum dikompensasikan sampai dengan tahun pajak 2008 sebesar Rp200.000.000,00 dan terdapat kredit pajak sebesar Rp 35.000.000,00. Dengan demikian Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2009 menyatakan lebih bayar sebesar Rp35.000.000,00 dan masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasikan ke tahun berikutnya sebesar Rp20.000.000,00.

Terhadap Wajib Pajak PT A telah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2008 dengan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebesar Rp 15.000.000,00 dan dengan rugi Rp 200.000.000,00, dan Tahun Pajak 2009 dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan dengan rugi Rp20.000.000,00.

Atas surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2008, PT A memperoleh Putusan Banding yang menyatakan bahwa permohonan banding Wajib Pajak diterima sebagian, sehingga mengakibatkan rugi yang dapat dikompensasi menjadi lebih kecil dibanding dengan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang pernah diterbitkan yaitu Rp 150.000.000,00 dan lebih bayar menjadi sebesar Rp 40.000.000,00. Kerugian yang dapat dikompensasikan dalam penghitungan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2009 menjadi semakin kecil yakni dari Rp 200.000.000,00 menjadi Rp 150.000.000,00.
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang, Direktur Jenderal Pajak berwenang membetulkan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2009 yang diakibatkan karena perbedaan kompensasi kerugian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dari rugi sebesar Rp20.000.000,00 menjadi laba sebesar Rp30.000.000,00 (Rugi Rp20.000.000,00 dikurangi dengan pengurangan kompensasi kerugian sebesar Rp50.000.000,00). Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Nihil Tahun 2009 yang pernah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak harus dibetulkan secara jabatan menjadi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Dalam rangka memberi keadilan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk :

a.

mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak.

b.

mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar.

c.

membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa melakukan prosedur pemeriksaan :

1)

penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; dan/atau

2)

Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

Surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf b meliputi suatu surat ketetapan pajak yang diterbitkan tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dapat juga diberikan terhadap surat ketetapan pajak yang sudah diajukan keberatan namun ditolak dengan alasan tidak memenuhi persyaratan formal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang.

Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi suatu Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a ayat ini berlaku juga untuk denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan sanksi administrasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c ayat ini berlaku juga untuk Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3) 

Cukup jelas.

Ayat (4) 

Cukup jelas.

Ayat (5) 

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kemungkinan Wajib Pajak memperoleh imbalan bunga yang seharusnya tidak diterirna sehubungan dengan pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali.

Oleh karena itu, terhadap sebagian jumlah pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak yang tidak disepakati dalam pembahasan akhir pemeriksaan dan dibayar oleh Wajib Pajak" sebelum mengajukan keberatan, namun dalam surat keputusan keberatan, pengajuan keberatan tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Demikian pula, dalam hal kelebihan pembayaran pajak tersebut diakibatkan adanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, kelebihan pembayaran tersebut tidak diberikan imbalan bunga.

Contoh 1: 

Untuk tahun pajak 2008, terhadap PT A diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00, akan tetapi Wajib Pajak telah melunasi seluruh SKPKB tersebut sebesar Rp1.000.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp600.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak memperoleh kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp400.000.000,00 (Rp 1.000.000.000,00 - Rp 600.000.000,00). Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, atas kelebihan pembayaran pajak Rp400. 000.000,00 tidak diberikan imbalan bunga.

Demikian halnya, bagi Wajib Pajak yang menyetujui seluruh temuan pemeriksaan dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang mengakibatkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dan Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar tetapi mengajukan keberatan, dan dalam hal keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Demikian pula, dalam hal kelebihan pembayaran pajak tersebut diakibatkan adanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, kelebihan pembayaran tersebut tidak diberikan imbalan bunga.

Contoh 2 :

Untuk Tahun Pajak 2008, terhadap PT A diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00, dan telah melunasi seluruh SKPKB tersebut sebesar Rp 1.000.000.000,00. Namun Wajib Pajak kemudian mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut.

Atas keberatan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan menolak permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar tetap sebesar Rp1.000.000.000,00. Wajib Pajak kemudian mengajukan banding atas Keputusan Keberatan tersebut. Atas banding Wajib Pajak, Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp700.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak memperoleh kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp300.000.000,00 (Rp 1.000.000.000,00-Rp700.000.000,00). Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, atas kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp300.000.000,00 tidak diberikan imbalan bunga.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 25

Ayat (1)

Dalam pengertian jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan oleh negara kepada Wajib Pajak, atau jumlah sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan bertambah.

Contoh 1.

Terhadap Wajib Pajak diterbitkan suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan nilai Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah). Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut, bagian yang disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan keputusan yang menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menjadi Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah).

Terhadap keputusan keberatan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding. Putusan Banding menyatakan bahwa jumlah yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menjadi Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Banding tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), yakni pembayaran sebelum mengajukan keberatan dikurangi dengan jumlah yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding. Terhadap Putusan Banding tersebut, Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan Kembali menyatakan bahwa Wajib Pajak harus membayar sejumlah sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Keberatan, yakni sebesar Rp70.000.00,00 (tujuh puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali terhadap Wajib Pajak ditagih berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) yang terdiri dari jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dilunasi sebelum mengajukan keberatan (Rp70.000.000,00-Rp50.000.000,00= Rp20.000.000,00) dan ditambah dengan pajak yang seharusnya tidak dikembalikan berdasarkan Putusan Banding (Rp50.000.000,00-Rp40.000.000,00=Rp 10.000.000,00).

Contoh 2.

Terhadap Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar sebesar Rp90.000.000,00 (sembilan puluh juta rupiah). Atas Surat Pemberitahuan tersebut diterbitkan sebuah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dengan nilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut, Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan keputusan yang menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tetap sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, dengan Putusan Banding menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar menjadi Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Banding, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak sejumlah Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan kembali menyatakan bahwa terhadap Wajib Pajak hanya dapat diberikan pengembalian lebih bayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali terhadap Wajib Pajak ditagih berdasarkan jumlah pajak yang seharusnya tidak dikembalikan sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah).

Ayat (2)

Cukup jelas. 

Pasal 26

 Cukup jelas.

Pasal 27

 Cukup jelas.

Pasal 28

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Konsultan pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi surat izin praktek konsultan pajak yang dilengkapi dengan Surat Pernyataan sebagai konsultan pajak.

Sedangkan seorang kuasa yang bukan konsultan pajak dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh perguruan tinggi negeri atau swasta dengan status terakreditasi A, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III.

Seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat ini, dianggap bukan sebagai seorang kuasa dan tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa.

Ayat 4

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Ayat (1) 

Yang dimaksud dengan "pejabat" meliputi petugas pajak dan mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan. Sedangkan yang dimaksud dengan "tenaga ahli" adalah para ahli, antara lain ahli bahasa, akuntan, pengacara dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan Undang-Undang perpajakan.

Ayat (2) 

Yang dimaksud dengan "pihak tertentu yang ditunjuk" adalah pihak-pihak yang membutuhkan data perpajakan untuk kepentingan negara misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi lain.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Pada prinsipnya, administrasi perpajakan hanya dipakai untuk tujuan pemungutan/pengumpulan pajak, bukan untuk tujuan lain. Oleh karena itu, pemberian data dan informasi perpajakan oleh pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak kepada para pihak dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang perpajakan misalnya penagihan pajak, gugatan, banding, penyidikan dan penuntutan, dan proses peradilan tindak pidana di bidang perpajakan yang proses penyidikannya dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, tidak memerlukan izin tertulis dari Menteri Keuangan.

Ayat (6)

Cukup jelas. 

Pasal 33 

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4797