MENTERI KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 129/PMK.07/2008

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN SANKSI PEMOTONGAN DANA ALOKASI UMUM
DAN/ ATAU DANA BAGI HASIL DALAM KAITANNYA DENGAN
PINJAMAN DAERAH DARI PEMERINTAH PUSAT

MENTERI KEUANGAN,

 

Menimbang

:

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil Dalam Kaitannya dengan Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat;

Mengingat

:

1.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

 

 

3.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

 

 

4.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

 

 

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4574);

 

 

6.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);

 

 

7.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);

 

 

8.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4597);

 

 

9.

Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

 

 

10.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.02/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme Pemantauan Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Pinjaman Daerah;

 

 

11.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.02/2006 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

 

 

12.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 04/PMK.010/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;

 

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN SANKSI PEMOTONGAN DANA ALOKASI UMUM DAN/ATAU DANA BAGI HASIL DALAM KAITANNYA DENGAN PINJAMAN DAERAH DARI PEMERINTAH PUSAT.

 

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

 

 

Pasal 1

 

 

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:

 

 

1.

Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

 

2.

Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 

3.

Pemerintah Daerah, yang selanjutnya disingkat Pemda, adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

 

 

4.

Kepala Daerah adalah Gubernur bagi daerah provinsi atau Bupati bagi daerah kabupaten atau Walikota bagi daerah kota.

 

 

5.

Pinjaman Daerah Yang Bersumber Dari Pemerintah, yang selanjutnya disebut Pinjaman, adalah semua transaksi yang mengakibatkan Pemda menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari Pemerintah sehingga Pemda tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali berdasarkan naskah perjanjian pinjaman antara Pemda dengan Pemerintah.

 

 

6.

Dana Alokasi Umum, yang selanjutnya disingkat DAU, adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

 

 

7.

Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

 

 

8.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APED, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

 

 

9.

Tunggakan adalah jumlah kewajiban Pinjaman yang terdiri dari kewajiban pokok, bunga, denda, dan/atau biaya lainnya, yang belum dibayar oleh Pemda dan telah melewati tanggal jatuh tempo, sesuai ketentuan naskah perjanjian Pinjaman.

 

 

10.

Kapasitas Fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan Daerah yang dicerminkan melalui pendapatan Daerah, tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dan Penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu, dikurangi dengan belanja pegawai, Berta dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin.

 

 

11.

Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Tinggi adalah Daerah yang indeks Kapasitas Fiskalnya lebih besar dari 1 (satu).

 

 

12.

Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Sedang adalah Daerah yang indeks Kapasitas Fiskalnya 0,5 (nol koma lima) sampai dengan 1 (satu).

 

 

13.

Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Rendah adalah Daerah yang indeks kapasitas fiskahiya lebih kecil dari 0,5 (nol koma lima).

 

 

14.

Kuasa Pengguna Anggaran Transfer ke Daerah, yang selanjutnya disebut KPA Transfer ke Daerah, adalah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas kuasa dari Menteri Keuangan yang bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran Transfer ke Daerah.

 

 

15.

Surat Permintaan Membayar, yang selanjutnya disingkat SPM, adalah dokumen yang diterbitkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan alokasi dana yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau dokumen lain yang dipersamakan.

 

 

16.

Surat Perintah Pencairan Dana, yang selanjutnya disingkat SP2D, adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan SPM.

 

 

BAB II

LINGKUP PEMOTONGAN DANA ALOKASI UMUM

DAN/ATAU DANA BAGI HASIL

 

 

Pasal 2

 

 

(1)

Terhadap Pemda yang memiliki Tunggakan Pinjaman dapat dikenakan pemotongan DAU dan/atau DBH.

 

 

(2)

Pinjaman yang dapat dikenakan pemotongan DAU dan/atau DBH adalah:

 

 

 

a.

Pinjaman yang dalam naskah perjanjian Pinjaman telah mencantumkan ketentuan mengenai sanksi pemotongan DAU dan/ atau DBH; atau

 

 

 

b.

Pinjaman yang dalam naskah perubahan perjanjian Pinjaman mencantumkan ketentuan mengenai sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH.

 

 

(3)

Pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperhitungkan sebagai pembayaran Tunggakan.

 

 

BAB III

PERSYARATAN PEMOTONGAN DANA ALOKASI UMUM

DAN/ATAU DANA BAGI HASIL

 

 

Pasal 3

 

 

Dalam hal terjadi Tunggakan atas Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), pemotongan DAU dan/atau DBH dilakukan setelah terpenuhinya persyaratan adanya dokumen sebagai berikut:

 

 

a.

surat pernyataan Pemda bersedia dipotong DAU dan/atau DBH secara langsung;

 

 

b.

surat kuasa Pemda kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku KPA Transfer ke Daerah untuk memotong DAU dan/atau DBH; dan

 

 

c.

surat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengenai kesediaan dipotong DAU dan/atau DBH secara langsung.

BAB IV

BESARAN PEMOTONGAN DANA ALOKASI UMUM

DAN/ATAU DANA BALI HASIL

Pasal 4

(1)

Besaran pemotongan DAU dan/atau DBH dihitung sebesar jumlah Tunggakan.

(2)

Besaran pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) per tahun tidak melebihi besaran maksimum pemotongan DAU dan/ atau DBH per tahun yang dihitung dengan mempertimbangkan. Kapasitas Fiskal Daerah bersangkutan.

(3)

Besaran maksimum pernotongan DAU dan/atau DBH per tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Tinggi adalah sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah DAU dan DBH yang dialokasikan untuk Pemda bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan.

(4)

Besaran maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Sedang adalah sebesar 15% (lima belas per seratus) dari jumlah DAU dan DBH yang dialokasikan untuk Pemda bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan.

(5)

Besaran maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Rendah adalah sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah DAU dan DBH yang dialokasikan untuk Pemda bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan.

Pasal 5

(1)

Dalam hal besaran maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun yang dihitung berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 lebih kecil dari jumlah Tunggakan, pernotongan DAU dan/ atau DBH akan dilakukan secara bertahap untuk beberapa tahun sampai dengan seluruh pembayaran Tunggakan selesai dibayarkan.

(2)

Dalam hal pernotongan DAU dan/atau DBH dilakukan lebih dari satu tahun, besaran maksimum pernotongan  DAU dan/atau DBH per tahun akan dihitung kembali dengan menggunakan data kapasitas fiskal dan jumlah DAU dan DBH yang dialokasikan untuk Pemda bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan.

BAB V

PROSEDUR PEMOTONGAN DANA ALOKASI UMUM

DAN/ ATAU DANA BALI HASIL

Pasal 6

(1)

Terhadap Pemda yang memiliki Tunggakan dan memenuhi persyaratan pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana diatur dalam Pasal 3, Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan surat permintaan data kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan mengenai batas maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun dan jenis dana yang dapat dipotong untuk Pemda bersangkutan.

(2)

Berdasarkan surat permintaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan data mengenai batas maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun dan jenis dana yang dapat dipotong untuk Pemda bersangkutan.

Pasal 7

(1)

Setelah mendapatkan data batas maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun dan jenis dana yang dapat dipotong untuk Pemda bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan rekonsiliasi Pinjaman dengan Pemda bersangkutan yang dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi.

(2)

Berita acara rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Pemda bersangkutan, sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:

a.

nama Pemda;

b.

nomor dan tanggal perjanjian Pinjaman bersangkutan beserta perubahan/ amandemennya;

c.

jumlah Tunggakan;

d.

besaran pemotongan DAU dan/atau DBH;

e.

jenis dana yang dipotong sebagai pembayaran Tunggakan;

f.

periode pemotongan DAU dan/atau DBH sebagai pembayaran Tunggakan; dan

g.

rincian peruntukan pembayaran Tunggakan yang dibayar dengan pemotongan DAU dan/atau DBH;

Pasal 8

(1)

Berdasarkan data batas maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan berita acara rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan surat permintaan pemotongan DAU dan/atau DBH sebagai pembayaran Tunggakan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan disampaikan kepada Pemda bersangkutan.

(2)

Penyampaian surat permintaan pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri pula dengan dokumen berita acara rekonsiliasi Pinjaman sebagairnana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).

(3)

Surat permintaan pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:

a.

nama Pemda yang dikenakan sanksi;

b.

nomor dan tanggal perjanjian Pinjaman bersangkutan beserta perubahan/ amandemennya;

c.

jumlah Tunggakan;

d.

jenis dana yang dipotong sebagai pembayaran Tunggakan;

e.

besaran pemotongan DAU dan/atau DBH;

f.

periode pemotongan DAU dan/ atau DBH sebagai pembayaran Tunggakan; dan

g.

rincian peruntukan pembayaran Tunggakan yang dibayar dengan pemotongan DAU dan/atau DBH.

Pasal 9

(1)

Berdasarkan surat permintaan pemotongan DAU dan/atau DBH dari Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagairnana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan melakukan pemotongan DAU dan/atau DBH Pemda bersangkutan sebagai pembayaran Tunggakan.

(2)

Pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencantumkan besaran pemotongan DAU dan/atau DBH dalam SPM Transfer ke Daerah.

(3)

SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.

(4)

Berdasarkan SPM sebagahnana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Perbendaharaan menerbitkan SM.

(5)

Tata cara penyaluran DAU dan/atau DBH dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI

ADMINISTRASI DAN AKUNTANSI

Pasal 10

Potongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dibukukan dalam Rekening Kas Umum Negara.

Pasal 11

(1)

Berdasarkan SPM dan SM, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penatausahaan dan akuntansi Transfer ke Daerah.

(2)

Berdasarkan SPM dan SM, Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penatausahaan dan akuntansi Pinjaman.

(3)

Tata cara penatausahaan dan akuntansi Transfer ke Daerah dan Pinjaman dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 12

Tata cara pemotongan DAU dan/atau DBH untuk Tunggakan yang naskah perjanjian Pinjaman bersangkutan mencantumkan sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH yang ditandatangani sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, mertgikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.

BAB VIII

PENUTUP

Pasal 13

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada   tanggal  4   September  2008

MENTERI  KEUANGAN

SRI  MULYANI  INDRAWATI