MENTERI KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 24/PMK.03/2008
 

TENTANG


TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA
DAN PELAKSANAAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS
 

MENTERI KEUANGAN,

 

Menimbang

:

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (9), Pasal 10A dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 dan ketentuan Pasal 27 ayat (10) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus;

Mengingat

:

1.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);

 

 

3.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);

 

 

4.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988);

 

 

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797);

6.

Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA DAN PELAKSANAAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:

 

 

1.

Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.

 

 

2.

Pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, serta menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk Penagihan Pajak, sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

 

3.

Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.

 

 

4.

Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.

 

 

5.

Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya Penagihan Pajak.

 

 

6.

Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.

Pasal 2

 

 

Dalam rangka pelaksanaan Penagihan Pajak, Menteri Keuangan menunjuk:

 

 

a.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus sebagai Pejabat untuk Penagihan Pajak yang meliputi Pajak Penghasilan serta Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

 

 

b.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagai Pejabat untuk Penagihan Pajak yang meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

 

 

c.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak selain Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b sebagai Pejabat untuk Penagihan Pajak yang meliputi Pajak Penghasilan serta Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

 

 

d.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pejabat untuk Penagihan Pajak yang meliputi Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pasal 3

 

 

Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 4

 

 

(1)

Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a melaksanakan Penagihan Pajak dalam hal utang pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dilunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo.

 

 

(2)

Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b melaksanakan Penagihan Pajak dalam hal utang pajak sebagaimana tercantum dalam:

 

 

 

a.

Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, untuk Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

 

 

 

b.

Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB), untuk Pajak Bumi dan Bangunan;

 

 

 

c.

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), serta Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan,

tidak dilunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo.

 

 

(3)

Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c melaksanakan Penagihan Pajak dalam hal utang pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dilunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo.

 

 

(4)

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d melaksanakan Penagihan Pajak dalam hal utang pajak sebagaimana yang tercantum dalam:

 

 

 

a.

Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB), untuk Pajak Bumi dan Bangunan;

 

 

 

b.

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), serta Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan,

tidak dilunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo.

Pasal 5

 

 

(1)

Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

 

 

(2)

Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan.

Pasal 6

 

 

(1)

Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB) harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.

 

 

(2)

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), serta Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.

Pasal 7

 

 

(1)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 untuk jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan sebesar pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, tertangguh sampai dengan 1(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

 

 

(2)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau pada ayat (1), tertangguh sampai dengan 1(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Pasal 8

 

 

(1)

Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran oleh Pejabat.

 

 

(2)

Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan terhadap Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

Pasal 9

 

 

(1)

Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan.

 

 

(2)

Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding.

 

 

(3)

Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding.

 

 

(4)

Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

 

 

(5)

Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh Wajib Pajak, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut.

Pasal 10

 

 

Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam rangka Penagihan Pajak atas utang Pajak Bumi dan Bangunan dan/atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana tercantum dalam: a. b.

a.

Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB);

 

 

b.

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB);

 

 

c.

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT);

 

 

d.

Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB); atau

 

 

e.

Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,

 

 

disampaikan kepada Wajib Pajak setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

Pasal 11

Penyampaian Surat Teguran  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 dapat dilakukan:

a.

secara langsung;

b.

melalui pos; atau

c.

melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

Pasal 12

Apabila jumlah utang pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal disampaikan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat dan diberitahukan secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.

Pasal 13

(1)

Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat apabila:

a.

Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama - lamanya atau berniat untuk itu;

b.

Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;

c.

terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha, atau menggabungkan usaha, atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;

d.

badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau

e.

terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

(2)

Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat:

a.

nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;

b.

besarnya utang pajak;

c.

perintah untuk membayar; dan

d.

saat pelunasan pajak.

 Pasal 14

Penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus oleh Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

diterbitkan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;

b.

diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran;

c.

diterbitkan sebelum jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran diterbitkan; atau

d.

diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.

Pasal 15

Selain kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Surat Paksa juga dapat diterbitkan dalam hal:

a.

terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; atau

b.

Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Pasal 16

(1)

Surat Paksa yang diterbitkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 15 diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.

(2)

Pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak dan dituangkan dalam Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.

(3)

Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya berisi hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama Jurusita Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa serta ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan Penanggung Pajak.

Pasal 17

Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:

a.

Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan;

b.

orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;

c.

salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau

d.

ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.

Pasal 18

Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:

a.

pengurus meliputi Direksi, Komisaris, pemegang saham pengendali atau mayoritas untuk perseroan terbuka, pemegang saham untuk perseroan tertutup, dan orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perseroan, untuk perseroan terbatas;

b.

kepala perwakilan, kepala cabang, atau penanggung jawab, untuk Bentuk Usaha Tetap;

c.

direktur, pemilik modal, atau orang yang ditunjuk untuk melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas perusahaan, untuk badan usaha lainnya seperti kontrak investasi kolektif, persekutuan, firma, dan perseroan komanditer;

d.

ketua atau orang yang melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas yayasan, untuk yayasan;

e.

pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.

Pasal 19

(1)

Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas, atau Balai Harta Peninggalan.

(2)

Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator.

(3)

Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa.

Pasal 20

(1)

Dalam hal Penanggung Pajak atau pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.

(2)

Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat.

(3)

Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan menempelkan salinan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkannya, dengan mengumumkan melalui media massa, atau dengan cara lain.

Pasal 21

(1)

Dalam hal pelaksanaan Surat Paksa harus dilakukan di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.

(2)

Dalam hal di 1(satu) kota terdapat lebih dari 1(satu) wilayah kerja dari beberapa Pejabat, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk melaksanakan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota tersebut.

(3)

Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberitahukan pelaksanaan Surat Paksa yang telah dilakukan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.

(4)

Dalam hal pelaksanaan Surat Paksa harus dilakukan di luar kota tempat kedudukan kantor Pejabat namun masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa:

a.

meminta bantuan untuk melaksanakan Surat Paksa kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa; atau

b.

memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk melaksanakan Surat Paksa secara langsung tanpa meminta bantuan kepada Pejabat setempat disertai dengan pemberitahuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.

(5)

Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) huruf a wajib membantu dan memberitahukan tindakan yang telah dilaksanakannya kepada Pejabat yang meminta bantuan.

Pasal 22

(1)

Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat atau sebab lain, Surat Paksa pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan.

(2)

Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa.

Pasal 23

(1)

Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada Pejabat terhadap Surat Teguran dan/atau Surat Paksa yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.

(2)

Pejabat dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.

(3)

Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pejabat tidak memberikan keputusan, permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan Penagihan Pajak ditunda untuk sementara waktu.

(4)

Pejabat karena jabatan dapat membetulkan Surat Teguran, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, dan Surat Paksa yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.

(5)

Tindakan pelaksanaan Penagihan Pajak dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan dibetulkan oleh Pejabat.

Pasal 24

(1)

Apabila setelah lewat waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan utang pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.

(2)

Berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak.

Pasal 25

(1)

Dalam hal objek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, Pejabat dimaksud meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.

(2)

Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1(satu) wilayah kerja dari beberapa Pejabat, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk melaksanakan penyitaan terhadap objek sita yang berada di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota bersangkutan.

(3)

Pejabat yang memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberitahukan pelaksanaan Penyitaan yang telah dilakukan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita berada.

(4)

Dalam hal objek sita terletak berjauhan atau di luar kota tempat kedudukan kantor Pejabat namun masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat dimaksud:

a.

meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya juga meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; atau

b.

memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk melaksanakan penyitaan secara langsung tanpa meminta bantuan Pejabat setempat, disertai dengan pemberitahuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.

(5)

Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) huruf a wajib membantu dan memberitahukan pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dimaksud kepada Pejabat yang meminta bantuan.

Pasal 26

Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan pengumuman lelang.

Pasal 27

Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 untuk barang bergerak dilakukan 1(satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali.

Pasal 28

Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan barang sitaan Penanggung Pajak melalui kantor lelang negara.

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur penagihan dengan Surat Paksa yang diperlukan dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 30

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku:

1.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa dinyatakan tidak berlaku, kecuali untuk hak dan kewajiban perpajakan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya.

2.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 31

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 6 Februari 2008

MENTERI KEUANGAN,

SRI MULYANI INDRAWATI