PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2009
TENTANG
PENGAWASAN PENGANGKUTAN BARANG TERTENTU
DALAM DAERAH PABEAN

I.

UMUM

 

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan menyebutkan bahwa kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah melakukan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar Daerah Pabean. Namun mengingat letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang lautnya berbatasan langsung dengan negara tetangga, sering terjadi penyelundupan terhadap barang-barang yang mendapat subsidi, atau barang-barang yang dibatasi/dilarang ekspornya, yang dilakukan pengangkutan antar pulau.

 

Untuk menghindari hal tersebut maka Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan terhadap pengangkutan Barang Tertentu yang diangkut melalui laut. Kewenangan ini diberikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sepanjang ada permintaan dari instansi teknis terkait untuk melakukan pengawasan terhadap pengangkutan Barang Tertentu oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

II.

PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 2

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Dalam hal kementerian atau lembaga pemerintah non departemen yang berwenang melakukan pengaturan terhadap suatu barang merasa perlu dilakukan Pengawasan Pengangkutan barang tersebut di dalam Daerah Pabean yang dilakukan melalui laut, maka kementerian atau lembaga pemerintah non departemen tersebut menyampaikan rincian jenis barang yang telah ditetapkan untuk diawasi dan ketentuan atau dasar hukum yang melandasi pengawasan barang tersebut kepada menteri yang membidangi perdagangan. Berdasarkan usulan tersebut menteri yang membidangi perdagangan harus menyampaikannya kepada Menteri Keuangan.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Koordinasi antara instansi teknis terkait dengan menteri yang membidangi perdagangan dapat dilakukan melalui pertemuan atau melalui surat-menyurat.

 

 

Ayat (4)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (5)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (6)

 

 

 

Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" antara lain adanya informasi intelijen mengenai adanya dugaan pelanggaran dalam pengangkutan Barang Tertentu.

 

Pasal 3

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Yang dimaksud dengan "orang" adalah orang perseorangan atau badan hukum.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 4

 

 

Pemberitahuan Pabean atas keberangkatan Barang Tertentu harus dibawa dalam pengangkutan dan menjadi dokumen pelindung atas pengangkutan Barang Tertentu tersebut.

 

Pasal 5

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Yang dimaksud dengan "sebelum melakukan pembongkaran" adalah Sarana Pengangkut telah tiba di pelabuhan pembongkaran yang berada di bawah pengawasan Kantor Pabean dan akan dilakukan pembongkaran Barang Tertentu dari Sarana Pengangkut.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Pada dasarnya Barang Tertentu hanya dapat dibongkar di pelabuhan tujuan setelah diajukan Pemberitahuan Pabean Barang Tertentu. Akan tetapi, jika Sarana Pengangkut mengalami keadaan darurat seperti mengalami kebakaran, kerusakan mesin yang tidak dapat diperbaiki, terjebak dalam cuaca buruk, atau hal lain yang terjadi diluar kemampuan manusia, dapat diadakan pengecualian dengan melakukan pembongkaran tanpa menyampaikan Pemberitahuan Pabean Barang Tertentu terlebih dahulu.

 

 

Ayat (4)

 

 

 

Huruf a

 

 

 

 

Yang dimaksud dengan "Kantor Pabean terdekat" adalah Kantor Pabean yang paling mudah dicapai.

 

 

 

 

Melaporkan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan radio panggil, telepon, atau faksimile.

 

 

 

Huruf b

 

 

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 6

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" antara lain terdapat indikasi atau bukti permulaan yang cukup tentang adanya pelanggaran terhadap jumlah, jenis atau persyaratan teknis lainnya.

 

 

Ayat (4)

 

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 7

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 8

 

 

Cukup jelas.

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4971