UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 48 TAHUN 2009


TENTANG


KEKUASAAN KEHAKIMAN


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

a.

bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

 

 

b.

bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu;

 

 

c.

bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman;

Mengingat

:

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

Dengan Persetujuan Bersama

 

 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

 

 

dan

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

UNDANG-UNDANG TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN.

 

 

BAB I
KETENTUAN UMUM

 

 

Pasal 1

   

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

   

1.

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

   

2.

Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

   

3.

Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

 

4.

Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

 

5.

Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

 

 

6.

Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung.

 

 

7.

Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.

 

 

8.

Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.

 

 

9.

Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.

 

 

BAB II
ASAS PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

 

 

Pasal 2

 

 

(1)

Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

 

 

(2)

Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

 

 

(3)

Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang.

 

 

(4)

Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

 

 

Pasal 3

 

 

(1)

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

 

 

(2)

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

 

(3)

Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 4

 

 

(1)

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

 

 

(2)

Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

 

 

Pasal 5

 

 

(1)

Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

 

 

(2)

Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

 

 

(3)

Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

 

 

Pasal 6

 

 

(1)

Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.

 

 

(2)

Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

 

 

Pasal 7

 

 

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

 

 

Pasal 8

 

 

(1)

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

 

(2)

Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

 

 

Pasal 9

 

 

(1)

Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

 

 

(2)

Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(3)

Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.

 

 

Pasal 10

 

 

(1)

Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

 

 

(2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

 

 

Pasal 11

 

 

(1)

Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.

 

 

(2)

Susunan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.

 

 

(3)

Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera.

 

 

(4)

Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

 

 

Pasal 12

 

 

(1)

Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain.

 

 

(2)

Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.

 

 

Pasal 13

 

 

(1)

Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

 

 

(2)

Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

 

 

(3)

Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

 

 

Pasal 14

 

 

(1)

Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.

 

 

(2)

Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

 

 

(3)

Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.

 

 

Pasal 15

 

 

Pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan.

 

 

Pasal 16

 

 

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

 

 

Pasal 17

 

 

(1)

Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.

 

 

(2)

Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

 

 

(3)

Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

 

 

(4)

Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

 

 

(5)

Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

 

 

(6)

Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(7)

Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.

 

 

BAB III
PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN

 

 

Bagian Kesatu
Umum

 

 

Pasal 18

 

 

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

 

 

Pasal 19

 

 

Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

 

 

Bagian Kedua
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya

 

 

Pasal 20

 

 

(1)

Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

 

 

(2)

Mahkamah Agung berwenang:

 

 

 

a.

mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;

 

 

 

b.

menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan

 

 

 

c.

kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

 

 

(3)

Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.

 

 

Pasal 21

 

 

(1)

Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.

 

 

Pasal 22

 

 

(1)

Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan diatur dalam undang-undang.

 

 

Pasal 23

 

 

Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

 

 

Pasal 24

 

 

(1)

Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

 

 

(2)

Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

 

 

Pasal 25

 

 

(1)

Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

 

 

(2)

Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(3)

Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(4)

Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(5)

Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 26

 

 

(1)

Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

 

 

(2)

Putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

 

 

Pasal 27

 

 

(1)

Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.

 

 

Pasal 28

 

 

Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur dalam undang-undang.

 

 

Bagian Ketiga
Mahkamah Konstitusi

   

Pasal 29

   

(1)

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

     

a.

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

     

b.

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

     

c.

memutus pembubaran partai politik;

 

 

 

d.

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan

 

 

 

e.

kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

 

 

(2)

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

 

 

(3)

Susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.

 

 

(4)

Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

 

 

BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM DAN HAKIM KONSTITUSI

 

 

Bagian Kesatu
Pengangkatan Hakim dan Hakim Konstitusi

 

 

Pasal 30

 

 

(1)

Pengangkatan hakim agung berasal dari hakim karier dan nonkarier.

 

 

(2)

Pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.

 

 

(3)

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam undang-undang.

 

 

Pasal 31

 

 

(1)

Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

 

 

(2)

Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat merangkap jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.

 

 

Pasal 32

 

 

(1)

Hakim ad hoc dapat diangkat pada pengadilan khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang tertentu dalam jangka waktu tertentu.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.

 

 

Pasal 33

 

 

Untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:

 

 

a.

memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;

 

 

b.

adil; dan

 

 

c.

negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

 

 

Pasal 34

 

 

(1)

Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.

 

 

(2)

Pencalonan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.

 

 

(3)

Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.

 

 

Pasal 35

 

 

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Hakim Konstitusi diatur dengan undang-undang.

 

 

Bagian Kedua
Pemberhentian Hakim dan Hakim Konstitusi

 

 

Pasal 36

 

 

Hakim dan hakim konsitusi dapat diberhentikan apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.

 

 

Pasal 37

 

 

Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian hakim dan hakim konsitusi diatur dalam undang-undang.

 

 

BAB V
BADAN-BADAN LAIN YANG FUNGSINYA BERKAITAN DENGAN
KEKUASAAN KEHAKIMAN

 

 

Pasal 38

 

 

(1)

Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

 

 

(2)

Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

 

 

 

a.

penyelidikan dan penyidikan;

 

 

 

b.

penuntutan;

 

 

 

c.

pelaksanaan putusan;

 

 

 

d.

pemberian jasa hukum; dan

 

 

 

e.

penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

 

 

(3)

Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

 

 

BAB VI
PENGAWASAN HAKIM DAN HAKIM KONSTITUSI

 

 

Pasal 39

 

 

(1)

Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung.

 

 

(2)

Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan.

 

 

(3)

Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.

 

 

(4)

Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

 

 

Pasal 40

 

 

(1)

Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.

 

 

(2)

Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

 

 

Pasal 41

 

 

(1)

Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib:

 

 

 

a.

menaati norma dan peraturan perundang-undangan;

 

 

 

b.

berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; dan

 

 

 

c.

menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.

 

 

(2)

Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

 

 

(3)

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

 

 

(4)

Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 diatur dalam undang-undang.

 

 

Pasal 42

 

 

Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.

 

 

Pasal 43

 

 

Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diperiksa oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.

 

 

Pasal 44

 

 

(1)

Pengawasan hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.

 

 

(2)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.

 

 

BAB VII
PEJABAT PERADILAN

 

 

Pasal 45

 

 

Selain hakim, pada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dapat diangkat panitera, sekretaris, dan/atau juru sita.

 

 

Pasal 46

 

 

Panitera tidak boleh merangkap menjadi:

 

 

a.

hakim;

 

 

b.

wali;

 

 

c.

pengampu;

 

 

d.

advokat; dan/atau

 

 

e.

pejabat peradilan yang lain.

 

 

Pasal 47

 

 

Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian panitera, sekretaris, dan juru sita serta tugas dan fungsinya diatur dalam undang-undang.

 

 

BAB VIII
JAMINAN KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN HAKIM

 

 

Pasal 48

 

 

(1)

Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.

 

 

(2)

Jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 49

 

 

(1)

Hakim ad hoc dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diberikan tunjangan khusus.

 

 

(2)

Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

BAB IX
PUTUSAN PENGADILAN

 

 

Pasal 50

 

 

(1)

Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

 

 

(2)

Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.

 

 

Pasal 51

 

 

Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.

 

 

Pasal 52

 

 

(1)

Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan.

 

 

(2)

Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

 

 

(3)

Dalam perkara pidana, putusan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada instansi yang terkait dengan pelaksanaan putusan.

 

 

Pasal 53

 

 

(1)

Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.

 

 

(2)

Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

 

 

BAB X
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

 

 

Pasal 54

 

 

(1)

Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

 

 

(2)

Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

 

 

(3)

Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.

 

 

Pasal 55

 

 

(1)

Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

 

(2)

Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

BAB XI
BANTUAN HUKUM

 

 

Pasal 56

 

 

(1)

Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

 

 

(2)

Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.

 

 

Pasal 57

 

 

(1)

Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.

 

 

(2)

Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

 

(3)

Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.

 

 

BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN

 

 

Pasal 58

 

 

Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

   

Pasal 59

 

 

(1)

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh Para pihak yang bersengketa.

 

 

(2)

Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat Para pihak.

 

 

(3)

Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.

 

 

Pasal 60

 

 

(1)

Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

 

 

(2)

Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis.

 

 

(3)

Kesepakatan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik.

 

 

Pasal 61

 

 

Ketentuan mengenai arbitrase dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 diatur dalam undang-undang.

   

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

   

Pasal 62

   

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

   

Pasal 63

   

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan yang merupakan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

   

Pasal 64

 

 

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

   

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

               
             

Disahkan di Jakarta

             

pada tanggal 29 Oktober 2009

             

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

             

                          ttd.

             

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

               

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 29 Oktober 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
                  REPUBLIK INDONESIA,

                                  ttd.

                      PATRIALIS AKBAR

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 157