PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 27 TAHUN 1983

TENTANG

PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa pelu diadakan peraturan pelaksanaan ketentuan Kitab Undang-undang Huklum Acara Pidana;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTAN PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. KUHP adalah singkatan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagaimana tercam dal;am Pasal 285 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
2. Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut RUTAN adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan;
3. Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara selanjutnya disebut RUPBASAN adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan;
4. Benda Sitaan adalah benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan;
5. Menteri adalah Menteri Kehakiman.

BAB II

SYARAT KEPANGKATAN DAN PENGANGKATAN PENYIDIK

Pasal 2

(1) Penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tk.I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu;
(2) Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatanya adalah penyidik.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut. Menteri sebelim melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
(6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 3

(1) Penyidik pembantu adalah :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesiaang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tk.I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu;
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usulan komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
(3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB III

PAKAIAN ATRIBUT DAN PERANGKAT
KELENGKAPAN PERSIDANGAN
Pasal 4
(1) Selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim, penuntut umum, panitera dan penasehat hukum, menggunakan pakaianan sebagaimana diatuir dalam pasal ini.
(2) Pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum adalah toga berwarna hitam, dengan lengan lebar, simare dan bef dengan atau tanpa peci hitam.
(3) Perbedaan toga bagi hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum adalah dalam ukuran dan warna dari simare dan bef.
(4) Pakaian bagi panitera dalam persidangan adalah jas berwarna hitam, kemeja putih dan dasi hitam.
(5) Hal yang berhubungan dengan ukuran dan warna dari siamare dan bef sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) serta kelengkapan pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(6) Selain memekai pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hakim dan penuntut umum memakai atribut.
(7) Atribut sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 5

Ketentuan mengenai pakaian dan atribut dalam sidang bagi hakim agung dan panitera pada Mahkamah Agung, diatur tersendiri oleh Mahkamah Agung.

Pasal 6

Ketentuan mengenai pakaian dalam sidang pengadialan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak berlaku bagi pemeriksaan peradilan anak.

BAB IV

GANTI RUGI

Pasal 7

(1) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemebritahuan penetapan praperadilan.

Pasal 8

(1) Ganti kerugian dapat diberikan atas dasar pertimbangan hakim.
(2) Dalam hal hakim mengabulkan atau menolak tuntutan ganti kerugian, maka alasan pemebrian atau penolakan tuntutan ganti kerugian dicantumkan dalam penetapan.

Pasal 9

(1) Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah).
(2) Apabila penagkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp.3000.000,- (tiga juta rupiah).

Pasal 10

(1) Petikan Penetapan mengenai ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah penetapan diucapkan.
(2) Salinan Penetapan ganti kerugian sebagaimana diamksud dalam ayat (1) diberikan kepada penuntut umum, penyidik dan Direktorat Jenderal Anggaran dalam hal ini Kantor Perbendaharaan Negara setempat.

Pasal 11

(1) Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
(2) tata cara pembayaran ganti kerugian diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

BAB V

REHABILITASI

Pasal 12

Permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.

Pasal 13

(1) Petikan penetapan prapeladilan mengenai rehabilitasi disampaikan oleh panitera kepada pemohon.
(2) Salinan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada penyidik dan penuntut umum yang menangani perkara tersebut
(3) Salinan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada instansi tempat bekerja yang bersangkutan dan kepada Ketua Rukun Warga di tempat tinggal yang bersangkutan.

Pasal 14

(1) Amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut :

"Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya".

(2) Amar penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut :

"Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya".

Pasal 15

Isi putusan atau penetapan rehabilitasi diumumkan oleh panitera dengan menempatkannya pada papan pengumuman pengadilan.

BAB VII
PRAPERADILAN PADA KONEKSITAS

Pasal 16

Praperadilan dalam tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 KUHAP didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang beralku bagi masing-masing peradilan.

BAB VII

PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA TERTENTU

Pasal 17

Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksnakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII

RUMAH TAHANAN NEGARA

Pasal 18

(1) Di tiap Ibukota Kabupaten atau Kotamadya dibentuk RUTAN oleh Menteri.
(2) Apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk atau menunjuk RUTAN di luar tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang merupakan cabang dari RUTAN.
(3) Kepala Cabang RUTAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Pasal 19

(1) Di dalam RUTAN ditempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan negeri, pengadialan tinggi dan Mahkamah Agung.
(2) Tempat tahanan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, umur, tingkat pemeriksaan.
(3) Untuk keperluan administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat daftar tahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penggolongan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Kepala RUTAN tidak boleh menerima tahanan dalam RUTAN, jika tidak disertai surat penahanan yang sah dikeluarkan pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(5) Kepala RUTAN tiap bulan membuat daftyar mengenai tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan disampaikan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pemassyarakatan dengan tembusan kepada pebajat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan.
(6) Kepala RUTAN memeberitahukan kepada pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan mngenai tahanan yang hampir habis masa tahanan atau perpanjangan penahanan.
(7) Kepala RUTAN demi hukum mengeluarkan tahanan yang telah habis masa tanan atau perpanjangan penahanannya.
(8) Dalam hal tertentu tahanan dapat diberi izin meninggalkan RUTAN untuk sementara dan untuk keperkluan ini harus ada izin dari pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu.
(9) Pada RUTAN ditugaskan dokter yang ditunjuk oleh Menteri, guna memelihara dan merawat kesehatan tahanan.
(10) Tahan sebagaimana dimaksud dalam ayat(8) selama berada di luar RUTAN dikawal dan dijaga oleh petugas Kepolisian.

Pasal 20

(1) Izin kunjungan bagi penasehat hukum, keluarga dan lain-lain diberikan oleh pejabat yang bertanggung jawab yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu.
(2) Pengaturan mengenai hari,waktu kunjungan, dan persyaratan lainnya, ditetapkan oleh Kepala RUTAN.
(3) Dalam hal Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hakim pngadilan tinggi dan hakim agung, wewenang pemberian izin kunjungan dilimpahkan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya terdapat RUTAN tempat tersangka atau terdakwa ditahan.

Pasal 21

(1) RUTAN dikelola oleh departemen Kehaikman.
(2) Tanggung jawab juridis atas tahanan ada pada pejabat yang mnenahan sesuai dengan yingkat pemeriksaan.
(3) Tanggung jawab secara fisik atas tahanan ada pada Kepala RUTAN.
(4) Tanggung jawab atas perawatan kesehatan ada pada dokter yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 22

(1) RUTAN dipimpin oleh Kepala RUTAN yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(2) Dalam melakukan tugasnya Kepala RUTAN dibantu oleh Wakil Kepala.

Pasal 23

(1) Kepala RUTAN mengatur tata tertib RUTAN berdasarkan pedoman yang ditentukan oleh Menteri.
(2) Kepala RUTAN tiap tahun membuat laporan kepada Menteri mengenai tahanan yang dibawah pengawasannya.
(3) Tembusan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 24

Struktur organisasi, tugas dan wewenang RUTAN diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 25

(1) Pejabat dan pegawai RUTAN dalam melakukan tugasnya memakai pakaian dinas seragam.
(2) Bentuk dan warna pakaian dinas seragam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta kelengkapannya diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(3) Pejabat atau pegawai tertentu RUTAN dalam melakukan tugasnya dapat dipersenjatai dengan senjata api laras panjang atau senjata api genggam atas izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

BAB IX

RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA

Pasal 26

(1) Di tiap Ibukota Kabupaten/Kotamadya dibentuk RUPBASAN oleh Menteri.
(2) Apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk RUPBASAN di luar tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang merupakan cabang RUPBASAN.
(3) Kepala Cabang RUPBASAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Pasal 27

(1) Di dalam RUPBASAN ditempatkan benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim.
(2) Dalam hal benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mungkin dapat disimpan dalam RUPBASAN, maka cara penyimpanaan benda sitaan tersebut diserahkan kepada Kepala RUPBASAN.
(3) Benda sitaan disimpan di tempat RUPBASAN untuk menjamin keselamatan dan keamanannya.
(4) Kepala RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut.

Pasal 28.................