|
Pasal 96
|
|
|
|
|
|
| (1) |
Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 ayat (2) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada lembaga
banding yang putusannya bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara. |
|
|
|
|
| (2) |
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas, dalam
jangka waktu enam puluh hari sejak penetapan atau keputusan diterima, dilampiri
salinan dari penetapan atau keputusan tersebut. |
|
|
|
|
| (3) |
Putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir dan
bersifat tetap. |
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Lembaga Banding
Pasal 97
|
|
|
|
|
|
| (1) |
Untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1), dibentuk lembaga banding dengan nama
Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai. |
|
|
|
|
| (2) |
Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai berkedudukan di Jakarta |
|
|
|
|
| (3) |
Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang
ketua dan beranggotakan unsur Pemerintah, pengusaha swasta, dan pakar. |
|
|
|
|
|
Pasal 98
|
|
|
|
|
|
| (1) |
Ketua Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai menunjuk majelis
untuk memutuskan permohonan banding yang diajukan. |
|
|
|
|
| (2) |
Setiap majelis terdiri dari tiga anggota dengan memperhatikan
perimbangan keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3). |
|
|
|
|
|
Pasal 99
|
|
|
|
|
|
| (1) |
Persidangan majelis untuk memutuskan suatu permohonan banding
bersifat tertutup |
|
|
|
|
| (2) |
Putusan majelis diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. |
|
|
|
|
| (3) |
Dalam hal tidak dicapai permufakatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), putusan didasarkan pada suara terbanyak |
|
|
|
|
| (4) |
Putusan majelis diberitahukan kepada pemohon banding dan
Direktur Jenderal selambat-lambatnya empat belas hari sejak tanggal putusan. |
|
|
|
|
|
Pasal 100
Anggota majelis yang mempunyai kepentingan pribadi dengan permasalahan
yang diperiksa harus mengundurkan diri dari majelis.
Pasal 101
Susunan organisasi dan tata kerja serta urusan mengenai administrasi,
tunjangan, pengeluaran, dan tata tertib Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
|
|
|
|
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 102
Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau
mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang ini dipidana
karena melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 103
Barangsiapa yang:
|
|
|
|
|
|
| a. |
menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap
pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau
dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean |
|
|
|
|
| b. |
mengeluarkan barang impor dari Kawasan Pabean atau dari
Tempat Penimbunan Berikat, tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan
maksud untuk mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan/atau pungutan negara
lainnya dalam rangka impor; |
|
|
|
|
| c. |
membuat, menyetujui, atau turut serta dalam penambahan
data palsu ke dalam buku atau catatan; atau |
|
|
|
|
| d. |
menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar,
memperoleh, atau memberikan barang impor yang berasal dari tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, dipidana dengan pidana penjara paling
lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah). |
|
|
|
|
|
Pasal 104
Barangsiapa yang:
|
|
|
|
|
|
| a. |
mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102; |
|
|
|
|
| b. |
memusnahkan, mengubah, memotong, menyembunyikan, atau membuang
buku atau catatan yang menurut undang-undang ini harus disimpan; |
|
|
|
|
| c. |
menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan
keterangan dari Pemberitahuan Pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan;
ata |
|
|
|
|
| d. |
menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang dari
perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan
sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut undang-undang ini, dipidana
dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 ( seratus juta rupiah). |
|
|
|
|
|
Pasal 105
Barangsiapa yang:
|
|
|
|
|
|
| a. |
membongkar barang impor di tempat lain dari tempat yang
ditentukan menurut undang-undang ini; |
|
|
|
|
| b. |
tanpa izin membuka, melepas atau merusak kunci, segel,
atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh Pejabat Bea dan Cukai, dipidana
dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). |
|
|
|
|
|
Pasal 106
Importir, eksportir, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha
Tempat Penimbunan Berikat, pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, atau pengusaha
pengangkutan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49, Pasal 50, atau Pasal 51 dan perbuatan tersebut menyebabkan kerugian
keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau
denda paling banyak Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 107
Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang melakukan pengurusan Pemberitahuan
Pabean atas kuasa yang diterimanya dari importir atau eksportir, apabila
melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang
ini, ancaman pidana tersebut berlaku juga terhadapnya.
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 108
|
|
|
|
|
|
| (1) |
Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut
undang-undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan
atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tuntutan pidana ditujukan
dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: |
|
|
|
|
|
a. |
badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi
tersebut; dan/atau |
|
|
|
|
b. |
mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak
pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan
pencegahannya. |
|
|
|
| (2) |
Tindak pidana menurut undang-undang ini dilakukan juga
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan,
yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang
yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak
dalam lingkungan badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan
atau koperasi tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing
telah melakukan tindakan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. |
|
|
|
|
| (3) |
Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap badan
hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada
waktu penuntutan diwakili oleh seorang pengurus dan wakil tersebut dapat
diwakili oleh kuasanya. |
|
|
|
|
| (4) |
Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan,
yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa
pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) jika
atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak
menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan
pidana penjara dan pidana denda. |
|
|
|
|
|
Pasal 109
|
|
|
|
|
|
| (1) |
Barang impor atau ekspor yang berasal dari tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, 103 huruf b atau huruf d, Pasal 104
huruf a, atau Pasal 105 huruf a dirampas untuk negara. |
|
|
|
|
| (2) |
Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dapat dirampas untuk negara.
|
|
|
|
|
| (3) |
Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan
berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73. |
|
|
|
|
|
Pasal 110
|
|
|
|
|
|
| (1) |
Dalam hal pidana denda tidak dibayar oleh terpidana, sebagai
gantinya diambil dari kekayaan dan/atau pendapatan terpidana. |
|
|
|
|
| (2) |
Dalam hal penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat dipenuhi, pidana denda diganti dengan pidana kurungan paling
lama enam bulan. |
|
|
|
|
|
Pasal 111
Tindak pidana di bidang Kepabeanan tidak dapat dituntut setelah lampau
waktu sepuluh tahun sejak diserahkan Pemberitahuan Pabean atau sejak terjadinya
tindak pidana.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 112
|
|
|
|
|
|
| (1) |
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan. |
|
|
|
|
| (2) |
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kewajibannya
berwenang: |
|
|
|
|
|
a. |
menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan; |
|
|
|
|
b. |
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi; |
|
|
|
|
c. |
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan; |
|
|
|
|
d. |
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang
disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan; |
|
|
|
|
e. |
meminta keterangan dan bukti dari orang yang disangka melakukan
tindak pidana di bidang Kepabeanan; |
|
|
|
|
f. |
memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap
orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti
adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan; |
|
|
|
|
g. |
memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut
undang-undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait; |
|
|
|
|
h. |
mengambil sidik jari orang; |
|
|
|
|
i. |
menggeledah rumah tinggal, pakaian, atau badan; |
|
|
|
|
j. |
menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa
barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana
di bidang Kepabeanan; |
|
|
|
|
k. |
menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Kepabeanan |
|
|
|
|
l. |
memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang
dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang
Kepabeanan; |
|
|
|
|
m. |
mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang Kepabeanan; |
|
|
|
|
n. |
menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak
pidana di bidang Kepabeanan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka; |
|
|
|
|
o. |
menghentikan penyidikan; |
|
|
|
|
p. |
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang Kepabeanan menurut hukum yang bertanggung jawab. |
|
|
|
| (3) |
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut
Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana. |
|
|
|
|
|
Pasal 113
|
|
|
|
|
|
| (1) |
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri,
Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan. |
|
|
|
|
| (2) |
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah yang bersangkutan
melunasi Bea Masuk yang tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan sanksi
administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah Bea Masuk yang tidak
atau kurang dibayar. |
|
|
|
|
|
BAB XVI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 114
|
|
|
|
|
|
| (1) |
Semua pelanggaran yang oleh undang-undang ini diancam dengan
sanksi administrasi berupa denda yang dihitung berdasarkan persentase dari
Bea Masuk, jika tarif atau tarif akhir Bea Masuk atas barang yang berkaitan
dengan pelanggaran tersebut nol persen, maka atas pelanggaran tersebut,
si pelanggar dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah). |
|
|
|
|
| (2) |
Ketentuan tentang pengenaan sanksi administrasi dan penyesuaian
besarnya sanksi administrasi serta penyesuaian besarnya bunga menurut undang-undang
ini ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. |
|
|
|
|
|
Pasal 115
Persyaratan dan tata cara:
|
|
|
|
|
|
| a. |
barang yang diimpor dari suatu kawasan yang telah ditunjuk
sebagai daerah perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas; |
|
|
|
|
| b. |
Pemberitahuan Pabean di instalasi dan alat-alat yang berada
di Landas Kontinen Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, diatur
dengan Peraturan Pemerintah. |
|
|
|
|
|
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116
Dengan mulai berlakunya undang-undang ini:
|
|
|
|
|
|
| a. |
semua urusan Kepabeanan yang belum dapat diselesaikan,
untuk penyelesaiannya tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan
Kepabeanan yang lama sampai dengan tanggal 1 April 1997; |
|
|
|
|
| b. |
semua barang yang disimpan di dalam Tempat Penimbunan Pabean,
penyelesaiannya berdasarkan ketentuan undang-undang ini. |
|
|
|
|
|
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 117
Dengan berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi:
|
|
|
|
|
|
| 1. |
Indische Tarief Wet Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana
telah diubah dan ditambah; |
|
|
|
|
| 2. |
Rechten Ordonnantie Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana
telah diubah dan ditambah; |
|
|
|
|
| 3. |
Tarief Ordonnantie Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana
telah diubah dan ditambah. |
|
|
|
|
| Pasal 118
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1996.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|
|
|
|
|
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995
Menteri Negara Sekretaris
Negara Republik Indonesia,
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1995 NOMOR 75
PENJELASAN