Pasal  20
Ayat (1)
Pada dasarnya apabila obyek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud harus meminta bantuan kepada Pejabat lain untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan terhadap obyek sita dimaksud. Namun, apabila di suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja Pejabat, Menteri atau Kepala Daerah berwenang menetapkan bahwa Pejabat dimaksud dapat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan memerintahkan Jurusita Pajak untuk melaksanakan penyitaan terhadap obyek sita yang berada di luar wilayah kerjanya tanpa harus meminta bantuan Pejabat setempat.

Contoh :

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Kebayoran Baru akan melaksanakan penyitaan terhadap obyek sita yang berada di Tanjung Priok yang hukan merupakan wilayah kerjanya. Dalam hal ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Kebayoran Baru dapat langsung melaksanakan penyitaan terhadap obyek sita dimaksud tanpa meminta bantuan dari Kepala Kantor Pelayan Pajak Jakarta Tanjung Priok.

Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat meminta bantuan kepada Pejabat lain untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan memerintahkan Jurusita Pajak untuk melaksanakan penyitaan terhadap barang yang berada jauh dari tempat kedudukan Pejabat dimaksud sekalipun masih berada dalam wilayah kerjanya, Misalnya, apabila Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah di Jakarta yang wilayah kerjanya meliputi seluruh Indonesia akan melakukan penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di Kupang, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah dapat meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Kupang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal  21
Apabila hasil lelang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, Jurusita Pajak dapat melaksanakan penyitaan tambahan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang belum disita. dengan demikian, penyitaan dapat dilaksanakan lebih dari atau satu kali sampai dengan jumlah yang cukum untuk melunasi utang pajak.
Pasal  22
Ayat (1)
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri atau Kepala Daerah untuk melakukan pencabutan sita karena adanya sebab-sebab di luar kekuasaan Pejabat yang bersangkutan, misalnya, objek sita terbakar, hilang, atau musnah.

Yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah putusan hakim dari peradilan umum. Putusan Peradilan Umum, misalnya, putusan atas gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita, sedangkan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, misalnya, putusan atau gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan sita.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal  23
Ayat (1)
Huruf a dan Huruf  b
Karena penguasaan barang yang disita telah beralih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, maka Penanggung Pajak dilarang untuk memindahtangan- kan atau memindahkan hak atas barang yang disita, misalnya, dengan cara menjual, menghibahkan, memariskan, mewakafkan, atau menyumbangkan kepada pihak lain. Selain itu, Penanggung Pajak juga dilarang membebani barang yang telah disita dengan hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu atau menyewakan. Larangan dismaksud berlaku baik untuk seluruh maupun untuk sebagian barang yang disita.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal  24
Cukup jelas.
Pasal  25
Ayat (1)
Sekalipun Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak, tetapi belum melunasi biaya penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap dapat dilaksanakan.
Ayat  (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemindahbukuan objek sita yang disimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan mengenai rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pigak-pihak pada ayat (3) :
huruf b, adalah bank termasuk lembaga keuangan lainnya;
huruf c, adalah bursa efek;
huruf d, adalah Pejabat;
huruf e, adalah Notaris, dibetur;
huruf f, adalah Notaris.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal  26
Ayat (1)
Ketentuan dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Penanggung Pajak melunasi utang pajaknya sebelum pelelangan terhadap barang yang disita dilaksanakan. Sesuai dengan ketentuan dalam peraturan lelang setiap penjualan secara lelang harus didahului dengan pengumuman lelang. Pengumuman lelang dilaksanakan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah penyitaan, sedangkan lelang dilaksanakan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hasi sejak pengumuman lelang. Apabila Penanggung Pajak belum juga melunasi utang pajaknya, sedangkan lelang harus dilaksanakan, kepada Penanggung Pajak masih diberi kesempatan untuk menentukan urutan barang yang akan dilelang. Dalam hal Penanggung Pajak tidak menggunakan kesempatan dimaksud atau apabila pelaksanaan lelang berdasarkan urutan yang ditentukan Penanggung Pajak menjadi terhambat, Pejabat menentukan kembali urutan barang yang dilelang dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kehadiran Pejabat atau yang mewakilinya dalam pelaksanaan lelang diperlakukan untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang apabila harga penawaran yang diajukan oleh calon pembeli lelang lebih rendah dari harga limit yang ditentukan.
Selain itu, kehadiran Pejabat atau yang mewakilinya juga diperlukan untuk mengentikan lelang apabila hasil lelang sudah cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal  27
Ayat (1)
Mengingat bahwa lelang merupakan tindak lanjut eksekusi dari Surat Paksa yang kedudukannya sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka sekalipun wajib Pajak mengajukan keberatan dan belum memperoleh keputusan, lelang tetap dapat dilaksanakan.
Ayat (2)
Karena penguasaan barang yang disita telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, maka Pejabat yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk menjual barang yang disita dimaksud. Mengingat Penanggung Pajak yang memiliki barang yang disita telah diberitahukan bahwa barang yang disita akan dijual secara lelang pada waktu yang telah ditentukan, lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.
Ayat (3)
Pada dasarnya lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. namun, dalam hal terdapat putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak ketiga atas kepemilikan barang yang disita, atau barang sitaan yang akan dilelang musnah karena terbakar atau bencana alam, lelang tetap tidak dilaksanakan walaupun utang pajak dan biaya penagihan pajak belum dilunasi.
Pasal  28
Ayat (1) sampai dengan ayat (4)
Tujuan utama lelang adalah untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan tetap memberi perlindungan kepada Penanggung Pajak agar lelang tidak dilaksanakan secara berlebihan. Selain itu, ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi Penanggung Pajak agar Pejabat tidak berbuat sewenang-wenang dalam melakukan penjualan secara lelang termasuk, misalnya, dalam penentuan harga limit. Sisa barang sitaan beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah dibuatnya Risalah Lelang sebagai tanda bahwa lelang telah selesai dilaksanakan. Risalah Lelang antara lain, memuat keterangan tentang barang sitaan telah terjual.
Ayat (5)
Sebagai syarat pengalihan hak dari Penanggung Pajak kepada pembeli lelang dan juga sebagai perlindungan hukum terhadap hak pembeli lelang, kepadanya harus diberikan Risalah Lelang yang berfungsi sebagai akte jual beli yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.
Pasal  29
Pencegahan diperlukan sebagai salah satu upaya penagihan pajak. Namun, agar pelaksanaan pencegahan tidak sewenang-wenang, maka pelaksanaan pencegahan sebagai upaya penagihan pajak diberikan syarat-syarat, baik yang bersifat kuantitatif, yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikat baiknya dalam melunai utang pajak sehingga pencegahan hanya dilaksanakan secara sangat selektif dan hati-hati.
Pasal  30
Ayat (1)
Pelaksanaan pencegahan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan Menteri sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang, antara lain, menentukan bahwa yang berwenang dan bertanggung jawab atas pencegahan adalah Menteri sepanjang menyangkut urusan oiutang negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal  32
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Pasal  33
Ayat (1)
Penyanderaan merupakan salah satu upaya penagihan pajak yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya pada tempat tertentu.

Agar penyanderaan tidak dilaksanakan sewenang-wenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama, maka diberikan syarat-syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif, yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikat baiknya Penanggung Pajak dalam melunai utang pajak, serta telah dilaksanakan penagihan pajak sampai dengan Surat Paksa. Dengan demikian, Pejabat mendapat data atau informasi yang akurat yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk mengajukan permohonan izin penyanderaan. Penyanderaan hanya dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati, dan merupakan upaya terakhir.

Ayat (2)
Persyaratan izin penyanderaan dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dimaksudkan agar penyanderaan dilakukan secara sangan selektif dan hati-hati. Oleh karena itu, Pejabat tidak boleh menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan sebelim mendapat izin tertulis dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35 .........................