UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 18 TAHUN 2004


TENTANG


PERKEBUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

a.

bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan perekonomian nasional termasuk di dalamnya pembangunan perkebunan dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

 

 

b.

bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan, maka perkebunan perlu dijamin keberlanjutannya serta ditingkatkan fungsi dan peranannya;

 

 

c.

bahwa perkebunan scbagai salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam perlu dilakukan secara terencana, terbuka. terpadu, profesional, dan bertanggung jawab;

 

 

d.

bahwa peraturan perundang-undangan yang ada belum sepenuhnya dapat dijadikan landasan untuk penyelenggaraan perkebunan yang sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis;

 

 

e.

bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka perkebunan perlu diatur dalam suatu undang-undang;

Mengingat

:

Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

 

 

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERKEBUNAN.

 

BAB I
KETENTUAN UMUM


Bagian Kesatu
Pengertian


Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

 

 

1.

Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

 

 

2.

Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan/atau tanaman tahunan yang karena jenis dan tujuan pengelolaannya ditetapkan sebagai tanaman perkebunan.

3.

Usaha perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa perkebunan.

 

 

4.

Pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan.

 

 

5.

Pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu.

 

 

6.

Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu.

 

 

7.

Skala tertentu adalah skala usaha perkebunan yang didasarkan pada luasan lahan usaha, jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja, modal, dan/atau kapasitas pabrik yang diwajibkan memiliki izin usaha.

 

 

8.

Industri pengolahan hasil perkebunan adalah kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi.

 

 

9.

Hasil perkebunan adalah semua barang dan jasa yang berasal dari perkebunan yang terdiri dari produk utama, produk turunan, produk sampingan, produk ikutan, dan produk lainnya.

 

 

10.

Agribisnis perkebunan adalah suatu pendekatan usaha yang bersifat kesisteman mulai dari subsistem produksi, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa penunjang.

11.

Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

12.

Provinsi adalah pemerintah provinsi.

13.

Kabupaten/Kota adalah pemerintah kabupaten/kota.

14.

Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan.

 

Bagian Kedua
Asas Tujuan, dan Fungsi
 

Pasal 2

 

 

Perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.

Pasal 3

Perkebunan diselenggarakan dengan tujuan :

a.

meningkatkan pendapatan masyarakat;

b.

meningkatkan penerimaan negara;

c.

meningkatkan penerimaan devisa negara;

d.

menyediakan lapangan kerja;

e.

meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing;

f.

memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan

g.

mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Pasal 4

Perkebunan mempunyai fungsi :

 

 

a.

ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional;

 

 

b.

ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan

c.

sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa.

 

Bagian Ketiga
Ruang Lingkup


Pasal 5

Ruang lingkup pengaturan perkebunan meliputi :

a.

perencanaan;

b.

penggunaan tanah;

c.

pemberdayaan dan pengelolaan usaha;

d.

pengolahan dan pemasaran hasil;

e.

penelitian dan pengembangan;

f.

pengembangan sumber daya manusia;

g.

pembiayaan; dan

h.

pembinaan dan pengawasan.

 

BAB II
PERENCANAAN PERKEBUNAN


Pasal 6

 

 

(1)

Perencanaan perkebunan dimaksudkan untuk memberikan arah, pedoman. dan alat pengendali pcncapaian tujuan penyelenggaraan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

 

 

(2)

Perencanaan perkebunan terdiri dari perencanaan nasional, perencanaan provinsi, dan perencanaan kabupaten/kota.

 

 

(3)

Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.

Pasal 7

(1)

Perenranaan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan berdasarkan :

a.

rencana pembangunan nasional;

b.

rencana tata ruang wilayah;

c.

kesesuaian tanah dan iklim serta ketersediaan tanah untuk usaha perkebunan;

d.

kinerja pembangunan perkebunan;

e.

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

f.

sosial budaya;

g.

lingkungan hidup;

h.

kepentingan masyarakat;

i.

pasar; dan

j.

aspirasi daerah dengan tetap menjunjung tinggi keutuhan bangsa dan negara.

(2)

Perencanaan perkebunan mencakup :

a.

wilayah;

b.

tanaman perkebunan;

c.

sumber daya manusia;

d.

kelembagaan;

e.

keterkaitan dan keterpaduan hulu-hilir:

f.

sarana dan prasarana; dan

g.

pembiayaan.

Pasal 8

 

 

Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 harus terukur, dapat dilaksanakan, realistis, dan bermanfaat serta dilakukan secara partisipatif, terpadu, terbuka, dan akuntabel.

 

BAB III
PENGGUNAAN TANAH UNTUK USAHA PERKEBUNAN


Pasal 9

 

 

(1)

Dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan, kepada pelaku usaha perkebunan sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

(2)

Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.

Pasal 10

 

 

(1)

Penggunaan tanah untuk usaha perkebunan, luas maksimum dan luas minimumnya ditetapkan oleh Menteri, sedangkan pemberian hak atas tanah ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang pertanahan.

 

 

(2)

Dalam menetapkan luas maksimum dan luas minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berpedoman pada jenis tanaman, ketersediaan tanah yang sesuai secara agroklimat, modal, kapasitas pabrik, tingkat kepadatan penduduk, pola pengembangan usaha, kondisi geografis, dan perkembangan teknologi.

 

 

(3)

Dilarang memindahkan hak atas tanah usaha perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

 

(4)

Pemindahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak sah dan tidak dapat didaftarkan.

Pasal 11

 

 

(1)

Hak guna usaha untuk usaha perkebunan diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.

 

 

(2)

Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas permohonan pemegang hak diberikan perpanjangan waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun oleh instansi yang berwenang di bidang pertanahan, jika pelaku usaha perkebunan yang bersangkutan menurut penilaian Menteri, memenuhi seluruh kewajibannya dan melaksanakan pengelolaan kebun sesuai dengan ketentuan teknis yang ditetapkan.

 

 

(3)

Setelah jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, atas permohonan bekas pemegang hak diberikan hak guna usaha baru, dengan jangka waktu sebagaimana yang ditentukan pada ayat (1) dan persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 12

 

 

Menteri dapat mengusulkan kepada instansi yang berwenang di bidang pertanahan untuk menghapus hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila menurut penilaian Menteri hak guna usaha yang bersangkutan tidak dimanfaatkan sesuai dengan rencana yang dipersyaratkan dan ditelantarkan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak diberikannya hak guna usaha yang bersangkutan.

 

BAB IV
PEMBERDAYAAN DAN PENGELOLAAN
USAHA PERKEBUNAN

Bagian Kesatu
Pelaku Usaha Perkebunan


Pasal 13

 

 

(1)

Usaha perkebunan dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia oleh pelaku usaha perkebunan baik pekebun maupun perusahaan perkebunan.

 

 

(2)

Badan hukum asing atau perorangan warga negara asing yang melakukan usaha perkebunan wajib bekerja sama dengan pelaku usaha perkebunan dengan membentuk badan hukum Indonesia.

 

 

(3)

Badan hukum asing atau perorangan warga negara asing yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi berupa larangan membuka usaha perkebunan.

Pasal 14

 

 

(1)

Pengalihan kepemilikan badan hukum pelaku usaha perkebunan yang belum terbuka dan/atau mengalami kepailitan kepada badan hukum asing, terlebih dahulu harus mendapat saran dan pertimbangan dari Menteri.

 

 

(2)

Saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kepentingan nasional:

 

Bagian Kedua
Jenis dan Perizinan Usaha Perkebunan


Pasal 15

 

 

(1)

Usaha perkebunan terdiri atas usaha budi daya tanaman perkebunan dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan.

 

 

(2)

Usaha budi daya tanaman perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan serangkaian kegiatan pratanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemamenan, dan sortasi.

 

 

(3)

Usaha industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengolahan yang bahan baku utamanya hasil perkebunan untuk memperoleh nilai tambah.

(4)

Industri pengolahan hasil perkebunan merupakan pengolahan hasil perkebunan yang bahan bakunya karena menurut sifat dan karakteristiknya tidak dapat dipisahkan dengan usaha budi daya tanaman perkebunan terdiri dari gula pasir dari tebu, teh hitam dan teh hijau serta ekstraksi kelapa sawit.

(5)

Penambahan atau pengurangan jenis usaha industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

Jenis tanaman perkebunan pada usaha budi daya tanaman perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 17

(1)

Setiap pelaku usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memiliki izin usaha perkebunan.

(2)

Kewajiban memperoleh izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi pekebun.

(3)

Luasan tanah tertentu untuk usaha budi daya tanaman perkebunan dan kapasitas pabrik tertentu untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja, dan modal.

(4)

Usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus dapat menjamin ketersediaan bahan bakunya dengan mengusahakan budi daya tanaman perkebunan sendiri, melakukan kemitraan dengan pekebun, perusahaan perkebunan, dan/atau bahan baku dari sumber lainnya.

(5)

Izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Gubernur untuk wilayah lintas kabupaten/kota dan Bupati/Walikota untuk wilayah kabupaten/kota.

(6)

Pelaku usaha perkebunan yang telah mendapat izin usaha perkebunan wajib menyampaikan laporan perkembangan usahanya secara berkala sekurang-kurangnya 1 tahun sekali kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta laporan perkembangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Pemberdayaan Usaha Perkebunan

 

Pasal 18

(1)

Pemberdayaan usaha perkebunan dilaksanakan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota bersama pelaku usaha perkebunan serta lembaga terkait lainnya.

(2)

Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a.

memfasilitasi sumber pembiayaan/permodalan;

b.

menghindari pengenaan biaya yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c.

memfasilitasi pelaksanaan ekspor hasil perkebunan;

d.

mengutamakan hasil perkebunan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri:

e.

mengatur pemasukan dan pengeluaran hasil perkebunan; dan/atau

f.

memfasilitasi aksesibilitas ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi.

Pasal 19

(1)

Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan pekebun, kelompok pekebun, koperasi pekebun, serta asosiasi pekebun berdasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan untuk pengembangan usaha agribisnis perkebunan.

(2)

Untuk mcmbangun sinergi antarpelaku usaha agribisnis perkebunan, Pemerintah mendorong dan memfasilitasi terbentuknya dewan komoditas yang berfungsi sebagai wadah untuk pengembangan komoditas strategis perkebunan bagi seluruh pemangku kepentingan perkebunan.

Pasal 20

Pelaku usaha perkebunan melakukan pengamanan usaha perkebunan dikoordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat di sekitarnya.

Pasal 21

Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Baguan Keempat

Kemitraan Usaha Perkebunan

 

Pasal 22

(1)

Perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan.

(2)

Kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama produksi, pengolahan dan pemasaran, transportasi. kerja sama operasional, kepemilikan saham. dan jasa pendukung lainnya.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kelima
Kawasan Pengembangan Perkebunan


Pasal 23

(1)

Usaha perkebunan dilakukan secara terpadu dan terkait dalam agribisnis perkebunan dengan pendekatan kawasan pengembangan perkebunan.

(2)

Dalam kawasan pengembangan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku usaha perkebunan dapat melakukan diversifikasi usaha.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan pengembangan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Perlindungan Wilayah Geografis
Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi

Pasal 24

(1)

Wilayah geografis yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik lokasi dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis.

(2)

Wilayah geografis yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan.

(3)

Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi berupa wajib membatal-alihkan fungsi yang bersangkutan dan wajib mengembalikan wilayah geografis kepada fungsi semula.

(4)

 Ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah geografis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi jenis tanarnan perkebunan dan hubungannya dengan cita rasa spesifik hasil tanaman tersebut serta tata cara penetapan batas wilayah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh
Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup


Pasal 25

(1)

Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.

(2)

Untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan perkebunan wajib :

a.

membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup;

b.

memiliki analisis dan manajemen risiko bagi yang menggunakan hasil rekayasa genetik;

c.

membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan dan/atau pengolahan lahan.

(3)

Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah dan menanugulangi kerusakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). setelah memperoleh izin usaha perkebunan, perusahaan perkebunan wajib menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup dan/atau analisis dan manajemen risiko lingkungan hidup serta memantau penerapannya.

(4)

Setiap perusahaan perkebunan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak permohonan izin usahanya.

(5)

Setiap perusahaan perkebunan yang telah memperoleh izin usaha perkebunan tetapi tidak menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicabut izin usahanya.

Pasal 26

Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungun hidup.

BAB V
PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERKEBUNAN


Bagian Kesatu
Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan


Pasal 27

(1)

Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dilakukan untuk memperoleh nilai tambah melalui penerapan sistem dan usaha agribisnis perkebunan.

(2)

Pemerintah, provinsi kabupaten/kota melakukan pembinaan dalam rangka pengembangan usaha industri pengolahan hasil perkebunan untuk memberikan nilai tambah yang maksimal.

(3)

Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dapat dilakukan di dalam atau di luar kawasan pengembangan perkebunan, dan dilakukan secara terpadu dengan usaha budi daya tanaman perkebunan.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan keterpaduan usaha industri pe:ngolahan hasil perkebunan dengan usaha budi daya tanaman perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28

(1)

Untuk mencapai hasil usaha industri pengolahan perkebunan yang berdaya saing, Pemerintah menetapkan sistem mutu produk olahan hasil perkebunan dan pedoman industri pengolahan hasil perkebunan yang baik dan benar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknolooi.

(2)

Ketentuan tentang penerapan, pembinaan, dan pengawasan sistem mutu produk olahan hasil perkebunan serta pedoman industri pengolahan hasil perkebunan ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 29

Industri pengolahan hasil perkebunan dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian, kecuali untuk hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini.

Bagian Kedua
Pemasaran Hasil Perkebunan

Pasal 30

(1)

Pelaku usaha perkebunan, asosiasi pemasaran, asosiasi komoditas, kelembagaan lainnya, dan/ atau masyarakat bekerja sama menyelenggarakan informasi pasar, promosi dan menumbuhkembangkan pusat pemasaran baik di dalam maupun di luar negeri.

(2)

Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota memfasilitasi kerja sama antara pelaku usaha perkebunan, asosiasi pemasaran, asosiasi komoditas, kelembagaan lainnya, dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Pasal 31

Setiap pelaku usaha perkebunan dalam melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran hasil perkebunan dilarang :

a.

memalsukan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan;

b.

menggunakan bahan penolong untuk pengolahan; dan/atau

c.

mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain;

yang dapat memhahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 32

Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen.

Pasal 33

Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian.

Pasal 34

Pemasaran hasil industri perkebunan dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan.

BAB VI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN

 

Pasal 35

Penelitian dan pengembangan perkebunan dimaksudkan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perkebunan agar berdaya saing tinggi dan ramah lingkungan dengan menghargai kearifan tradisional dan budaya lokal.

Pasal 36

(1)

Penelitian dan pengembangan perkebunan dapat dilaksanakan oleh perorangan, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah dan/atau swasta, serta lembaga penelitian dan pengembangan lainnya.

(2)

Perorangan, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah dan/atau swasta, serta lembaga penelitian dan pengembangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan :

a.

sesama pelaksana penelitian dan pengembangan;

b.

pelaku usaha perkebunan;

c.

asosiasi komoditas perkebunan;

d.

organisasi profesi terkait; dan/atau

e.

lembaga penelitian dan pengembangan perkebunan asing.

(3)

Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota dan/atau pelaku usaha perkebunan dalam hal tertentu menyediakan fasilitas untuk mendukung peningkatan kemampuan pelaksana penelitian dan pengembangan untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi perkebunan.

(4)

Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota mendorong agar pelaku usaha perkebunan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama membentuk unit penelitian dan pengembangan perkebunan atau melakukan kemitraan antara pelaku usaha, pelaksana penelitian dan pcngembangan, dan perguruan tinggi.

(5)

Perorangan warga negara asing dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan asing yang akan melakukan penelitian dan pengembangan perkebunan wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari instansi Pemerintah yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(6)

Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota melalui instrumen kebijakannya memotivasi pelaku usaha perkebunan asing untuk melakukan alih teknologi.

Pasal 37

(1)

Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota memfasilitasi pelaksana penelitian dan pengembangan, pelaku usaha perkebunan dan masyarakat dalam memublikasikan dan mengembangkan sistem pelayanan informasi hasil penelitian dan pengembangan perkebunan dengan memperhatikan hak kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)

Pemcrintah memberikan perlindungan hak kekayaan intelektual atas hasil invensi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang perkebunan.

(3)

Pelaksana penelitian dan pengembangan melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan hasil penelitian perkebunan.

BAB VII
PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA PERKEBUNAN

Paul 38

(1)

Pengembangan sumber daya manusia perkebunan dilaksanakan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, dan/atau metode pengembangan lainnya untuk meningkatkan keterampilan, profesionalisme, kemandirian, dan meningkatkan dedikasi

(2)

Sumber daya manusia perkebunan meliputi aparatur dan seluruh pelaku usaha perkebunan baik perorangan maupun kelompok.

Pasal 39

Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota serta pelaku usaha perkebunan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta membina sumber daya manusia perkebunan baik sendiri-sendiri maupun bekerjasama.

Pasal 40

Penyuluhan perkebunan dilaksanakan oleh kabupaten/kota dan pelaku usaha perkebunan baik sendiri-sendiri maupun bekerjasama.

Pasal 41

Pedoman dan standar pembinaan pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, dan metode pengembangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VIII
PEMBIAYAAN USAHA PERKEBUNAN


Pasal 42

(1)

Pembiayaan usaha perkebunan bersumber dari pelaku usaha perkebunan, masyarakat, lembaga pendanaan dalam dan luar negeri, Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota.

(2)

Pemerintah mendorong dan memfasilitasi terbentuknya lembaga keuangan perkebunan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik usaha perkebunan.

(3)

Pembiayaan yang bersumber dari Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk pekebun.

Pasal 43

(1)

Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota, dan pelaku usaha perkebunan menghimpun dana untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, serta promosi perkebunan.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
USAHA PERKEBUNAN

Pasal 44

(1)

Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perkebunan dilakukan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

BAB X
PENYIDIKAN


Pasal 45

(1)

Selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukurn Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perkebunan.

(2)

Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk :

a.

melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;

b.

melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang perkebunan;

c.

melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perkebunan;

d.

memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan pengembangan perkebunan;

e.

melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang perkebunan;

f.

meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;

g.

membuat dan menandatangani berita acara: dan

h.

menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang perkebunan.

(3)

Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA


Pasal 46

(1)

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2)

Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 47

(1)

Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, pcnggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2)

Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 48

(1)

Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2)

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 49

(1)

Setiap orang yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2)

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 50

(1)

Setiap orang yang melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran hasil perkebunan dengan sengaja melanggar larangan :

a.

memalsukan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan;

b.

menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan; dan atau

c.

mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain;

yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2)

Setiap orang yang melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran hasil perkebunan karena kelalaiannya melanggar larangan :

a.

memalsukan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan;

b.

menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan; dan/atau

c.

mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain;

yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 51

(1)

Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2)

Setiap orang yang karena kelalaiannya melanggar larangan mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling hanyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 52

Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 53

Semua benda sebagai hasil tindak pidana dan/atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52 dapat dirampas dan/atau dimusnahkan oleh negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 54

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang perkebunan yang telah ada, pada tanggal berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 55

Kecuali terhadap hak atas tanah yang telah diberikan, perusahaan perkebunan yang telah melakukan pengelolaan perkebunan yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, diberi waktu 3 (tiga) tahun untuk melaksanakan penyesuaian sejak Undang-undang ini diberlakukan.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 56

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 11 Agustus 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 11 Agustus 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA.

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 85


Penjelasan ............................