|
24. |
Ketentuan Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat
(6) diubah dan ditambah dengan ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10),
ayat (11), dan ayat 12, sehingga Pasal 28 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai
berikut : |
|
|
|
|
"Pasal 28
|
|
|
|
|
(1) |
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan
pembukuan. |
|
|
|
(2) |
Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi wajib pajak melakukan pencatatan
adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Neto
dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegitan usaha atau pekerjaan
bebas. |
|
|
|
(3) |
Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan
dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan
usaha yang sebenarnya. |
|
|
|
(4) |
Pembukuan sekurang-kurangya terdiri dari catatan mengenai
harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan
dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. |
|
|
|
(5) |
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia
dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh
Menteri Keuangan. |
|
|
|
(6) |
Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan di Indonesia
selama sepuluh tahun, yaitu untuk : |
|
|
|
|
a. |
Wajib Pajak orang pribadi, ditempat kegiatan atau tempat tinggal; |
|
|
|
b. |
Wajib Pajak badan, di tempat kedudukan. |
|
|
(7) |
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan
dengan stelsel akrual atau stelsel kas. |
|
|
|
(8) |
Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku,
harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. |
|
|
|
(9) |
Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang
selain rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak dalam rangka Penanaman
Modal Asing, Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil, dan kegiatan usaha atau
badan lain, setelah mendapat izin Menteri Keuangan dengan ketentuan bahwa
Surat Pemberitahuan harus diisi dalam bahasa Indonesia dan mata uang rupiah,
yang pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. |
|
|
|
(10) |
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari
data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran bruto dan/atau penerimaan
penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang.
|
|
|
|
(11) |
Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
dan melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. |
|
|
|
(12) |
Pedoman penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak." |
|
|
25. |
Ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah,
sehingga Pasal 29 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut : |
|
|
|
|
"Pasal 29
|
|
|
|
|
(1) |
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
|
|
(2) |
Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus dilengkapi
dengan Surat Perintah Pemeriksaan dan harus memperlihatkannya kepada Wajib
Pajak yang diperiksa. |
|
|
|
(3) |
Wajib Pajak yang diperiksa wajib : |
|
|
|
|
a. |
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang
terutang pajak; |
|
|
|
b. |
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; |
|
|
|
c. |
memberikan keterangan yang diperlukan. |
|
|
(4) |
Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau
dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban
untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh
permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
|
|
|
26. |
Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
berikut : |
|
|
|
|
"Pasal 31
|
|
|
|
|
Tata cara pemeriksaan ditetapkan oleh Menteri Keuangan."
|
|
|
|
27. |
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3) diubah dan ditambah
dengan ayat (4), sehingga Pasal 32 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai
berikut : |
|
|
|
|
"Pasal 32
|
|
|
|
|
(1) |
Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal
: |
|
|
|
|
a. |
badan oleh pengurus; |
|
|
|
b. |
badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang dibebani
untuk melakukan pemberesan; |
|
|
|
c. |
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya,
pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; |
|
|
|
d. |
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh
wali atau pengampunya. |
|
|
(2) |
Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab
secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang,
kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak,
bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani
tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. |
|
|
|
(3) |
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan
surat khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. |
|
|
|
(4) |
Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang
ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan
perusahaan." |
|
|
28. |
Ketentuan Pasal 34 diubah, sehingga seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut : |
|
|
|
|
"Pasal 34
|
|
|
|
|
(1) |
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain
yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya
oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, kecuali sebagai saksi
atau saksi lain dalam sidang pengadilan. |
|
|
|
(2) |
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga
terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu
dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, kecuali
sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan. |
|
|
|
(3) |
Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi
izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga-tenaga
ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan, memperlihatkan
bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya.
|
|
|
|
(4) |
Untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan dalam perkara
pidana atau perdata atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana
dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk
meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib
Pajak yang ada padanya |
|
|
|
(5) |
Permintaan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus
menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang
diminta serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan
dengan keterangan yang diminta tersebut." |
|
|
29. |
Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut : |
|
|
|
|
"Pasal 35
|
|
|
|
|
(1) |
Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan diperlukan keterangan, atau bukti dari bank, akuntan publik,
notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya,
yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa atau disidik,
atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut
wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. |
|
|
|
(2) |
Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan atau penyidikan
pajak, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank kewajiban
merahasiakan ditiadakan atas perintah tertulis dari Menteri Keuangan."
|
|
|
30. |
Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
berikut : |
|
|
|
|
"Pasal 38
|
|
|
|
|
Barang siapa karena kealpaannya : |
|
|
|
|
a. |
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau |
|
|
|
b. |
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar;
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan
pidana kurungan selama-lamanya satu tahun dan denda setinggi-tingginya
dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar." |
|
|
31. |
Ketentuan Pasal 39 ayat (1) diubah dan ditambah dengan
ayat (3), sehingga Pasal 39 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut
: |
|
|
|
|
Pasal 39 "
|
|
|
|
|
(1) |
Barang siapa dengan sengaja : |
|
|
|
|
a. |
tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa
hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau |
|
|
|
b. |
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau |
|
|
|
c. |
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap; atau |
|
|
|
d. |
memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar; atau |
|
|
|
e. |
tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan
atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau |
|
|
|
f. |
tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana
penjara selama-lamanya enam tahun dan dengan setinggi-tingginya empat kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. |
|
|
(2) |
Ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilipatkan
dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan
sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara
yang dijatuhkan. |
|
|
|
(3) |
Barang siapa melakukan percobaan untuk melakukan tindak
pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf a, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang
isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi
pajak, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun dan denda
setinggi-tingginya empat kali jumlah restitusi yang dimohon dan/atau kompensasi
yang dilakukan oleh Wajib Pajak." |
|
|
32. |
Ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga
Pasal 41 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut : |
|
|
|
|
"Pasal 41
|
|
|
|
|
(1) |
Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban
merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diancam dengan pidana
kurungan selama-lamanya satu tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,00
(dua juta rupiah). |
|
|
|
(2) |
Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya
atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya dua
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
|
|
|
|
(3) |
Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya
dilanggar." |
|
|
33. |
Menambah dua ketentuan baru di antara Pasal 41 dan Pasal
42 yang dijadikan Pasal 41A dan Pasal 41B, yang masing-masing berbunyi
sebagai berikut : |
|
|
|
|
"Pasal 41A
|
|
|
|
|
Barang siapa yang menurut Pasal 35 Undang-undang ini wajib
memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak
memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang
tidak benar diancam dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). |
|
|
|
|
Pasal 41B
|
|
|
|
|
Barang siapa dengan sengaja menghalangi atau mempersulit
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, diancam dengan pidana penjara
selama-lamanya tiga tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah)." |
|
|
|
34. |
Ketentuan Pasal 42 dihapus. 35. Ketentuan Pasal 43 diubah,
sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut : |
|
|
|
|
"Pasal 43
|
|
|
|
|
(1) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal
39, berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang
menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau
yang membantu melakukan tidak pidana di bidang perpajakan. |
|
|
|
(2) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal
41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau
yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan." |
|
|
36. |
Ketentuan Pasal 44 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 44 seluruhnya
menjadi berbunyi sebagai berikut : "Pasal 44 |
|
|
|
|
(1) |
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. |
|
|
|
(2) |
Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
: |
|
|
|
|
a. |
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; |
|
|
|
b. |
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan; |
|
|
|
c. |
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan; |
|
|
|
d. |
memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan; |
|
|
|
e. |
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,
dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut; |
|
|
|
f. |
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan; |
|
|
|
g. |
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan
atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e; |
|
|
|
h. |
memotret seseorang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; |
|
|
|
i. |
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi; |
|
|
|
j. |
menghentikan penyidikan; |
|
|
|
k. |
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaraan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
|
|
|
(3) |
Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memeberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut
Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana." |
|
|
37. |
Menambah dua ketentuan baru di antara Pasal 44 dan Pasal
45 yang dijadikan Pasal 44A dan Pasal 44B, yang masing-masing berbunyi
sebagai berikut : |
|
|
|
|
"Pasal 44A
|
|
|
|
|
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j dalam hal
tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya
telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia. |
|
|
|
|
Pasal 44B
|
|
|
|
|
(1) |
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri
Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan. |
|
|
|
(2) |
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan setelah Wajib Pajak
melunasi pajak yang tidak atau kurang bayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar
empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang bayar, atau yang tidak seharusnya
dikembalikan." |
|