UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 25 TAHUN 2007

TENTANG

PENANAMAN MODAL


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

a.

bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan dengan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk mencapai tujuan bernegara;

 

 

b.

bahwa sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi;

 

 

c.

bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;

 

 

d.

bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional;

 

 

e.

bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri perlu diganti karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang penanaman modal;

 

 

f.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanaman Modal.

Mengingat

:

Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), Pasal 20, serta Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

Dengan Persetujuan Bersama

 

 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

 

 

dan

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

 

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

:

UNDANG-UNDANG TENTANG PENANAMAN MODAL.

 

 

BAB I
KETENTUAN UMUM

 

 

Pasal 1

 

 

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

 

 

1.

Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

 

 

2.

Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.

 

 

3.

Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

 

 

4.

Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.

 

 

5.

Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.

 

 

6.

Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.

 

 

7.

Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis.

 

 

8.

Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.

 

 

9.

Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.

 

 

10.

Pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.

 

 

11.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

12.

Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

 

13.

Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

 

 

Pasal 2

 

 

Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia.

 

 

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

 

 

Pasal 3

 

 

(1)

Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas:

 

 

 

a.

kepastian hukum;

 

 

 

b.

keterbukaan;

 

 

 

c.

akuntabilitas;

 

 

 

d.

perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;

 

 

 

e.

kebersamaan;

 

 

 

f

efisiensi berkeadilan;

 

 

 

g.

berkelanjutan;

 

 

 

h.

berwawasan lingkungan;

 

 

 

i.

kemandirian; dan

 

 

 

j.

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

 

 

(2)

Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk:

 

 

 

a.

meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;

 

 

 

b.

menciptakan lapangan kerja;

 

 

 

c.

meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

 

 

 

d.

meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;

 

 

 

e.

meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;

 

 

 

f.

mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;

 

 

 

g.

mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan

 

 

 

h.

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 

 

BAB III
KEBIJAKAN DASAR PENANAMAN MODAL

 

 

Pasal 4

 

 

(1)

Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk:

 

 

 

a.

mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan

 

 

 

b.

mempercepat peningkatan penanaman modal.

 

 

(2)

Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah:

 

 

 

a.

memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;

 

 

 

b.

menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

 

 

 

c.

membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.

 

 

(3)

Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.

 

 

BAB IV
BENTUK BADAN USAHA DAN KEDUDUKAN

 

 

Pasal 5

 

 

(1)

Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(2)

Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-uridang.

 

 

(3)

Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan:

 

 

 

a.

mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;

 

 

 

b.

membeli saham; dan

 

 

 

c.

melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

BAB V
PERLAKUAN TERHADAP PENANAMAN MODAL

 

 

Pasal 6

 

 

(1)

Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(2)

Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.

 

 

Pasal 7

 

 

(1)

Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.

 

 

(2)

Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.

 

 

(3)

Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.

 

 

Pasal 8

 

 

(1)

Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(2)

Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara.

 

 

(3)

Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap:

 

 

 

a.

modal;

 

 

 

b.

keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain;

 

 

 

c.

dana yang diperlukan untuk:

 

 

 

 

1.

pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau

 

 

 

 

2.

penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal;

 

 

 

d.

tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal;

 

 

 

e.

dana untuk pembayaran kembali pinjaman;

 

 

 

f.

royalti atau biaya yang harus dibayar;

 

 

 

g.

pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal;

 

 

 

h.

hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal;

 

 

 

i.

kompensasi atas kerugian;

 

 

 

j.

kompensasi atas pengambilalihan;

 

 

 

k.

pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan

 

 

 

l.

hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

 

(4)

Hak untuk melakukan transfer dan repatriasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(5)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi:

 

 

 

a.

kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana;

 

 

 

b.

hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak dan/atau royalti dan/atau pendapatan Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

 

 

 

c.

pelaksanaan, hukum yang melindungi hak kreditor; dan

 

 

 

d.

pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian negara.

 

 

Pasal 9

 

 

(1)

Dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh penanam modal:

 

 

 

a.

penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi; dan

 

 

 

b.

pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan.

 

 

(2)

Bank atau lembaga lain melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hingga selesainya seluruh tanggung jawab penanam modal.

 

 

BAB VI
KETENAGAKERJAAN

 

 

Pasal 10

 

 

(1)

Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia.

 

 

(2)

Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(3)

Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(4)

Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 11

 

 

(1)

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah antara perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja.

 

 

(2)

Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai hasil, penyelesaiannya dilakukan melalui upaya mekanisme tripartit.

 

 

(3)

Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai hasil, perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial.

 

 

BAB VII
BIDANG USAHA

 

 

Pasal 12

 

 

(1)

Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.

 

 

(2)

Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:

 

 

 

a.

produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan

 

 

 

b.

bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.

 

 

(3)

Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.

 

 

(4)

Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.

 

 

(5)

Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.

 

 

BAB VIII
PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL
BAGI USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH,
DAN KOPERASI

 

 

Pasal 13

 

 

(1)

Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.

 

 

(2)

Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya.

 

 

BAB IX
HAK, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB
PENANAM MODAL

 

 

Pasal 14

 

 

Setiap penanam modal berhak mendapat:

 

 

a.

kepastian hak, hukum, dan perlindungan;

 

 

b.

informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;

 

 

c.

hak pelayanan; dan

 

 

d.

berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 15

 

 

Setiap penanam modal berkewajiban:

 

 

a.

menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;

 

 

b.

melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;

 

 

c.

membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;

 

 

d.

menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan

 

 

e.

mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 16

 

 

Setiap penanam modal bertanggung jawab:

 

 

a.

menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

 

 

b.

menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

 

 

c.

menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara;

 

 

d.

menjaga kelestarian lingkungan hidup;

 

 

e.

menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan

 

 

f.

mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 17

 

 

Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

BAB X
FASILITAS PENANAMAN MODAL

 

 

Pasal 18

 

 

(1)

Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal.

 

 

(2)

Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang:

 

 

 

a.

melakukan peluasan usaha; atau

 

 

 

b.

melakukan penanaman modal baru.

 

 

(3)

Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria berikut ini:

 

 

 

a.

menyerap banyak tenaga kerja;

 

 

 

b.

termasuk skala prioritas tinggi;

 

 

 

c.

termasuk pembangunan infrastruktur;

 

 

 

d.

melakukan alih teknologi;

 

 

 

e.

melakukan industri pionir;

 

 

 

f.

berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu;

 

 

 

g.

menjaga kelestarian lingkungan hidup;

 

 

 

h.

melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;

 

 

 

i.

bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau

 

 

 

j.

industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.

 

 

(4)

Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa:

 

 

 

a.

pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;

 

 

 

b.

pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;

 

 

 

c.

pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;

 

 

 

d.

pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;

 

 

 

e.

penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan

 

 

 

f.

keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.

 

 

(5)

Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

 

 

(6)

Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan fasilitas berupa keringanan atau pembebasan bea masuk.

 

 

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 19

 

 

Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) diberikan berdasarkan kebijakan industri nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

 

 

Pasal 20

 

 

Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas.

 

 

Pasal 21

 

 

Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh:

 

 

a.

hak atas tanah;

 

 

b.

fasilitas pelayanan keimigrasian; dan

 

 

c.

fasilitas perizinan impor.

 

 

Pasal 22

 

 

(1)

Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa:

 

 

 

a.

Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;

 

 

 

b.

Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan

 

 

 

c.

Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujtih puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.

 

 

(2)

Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain:

 

 

 

a.

penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing;

 

 

 

b.

penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;

 

 

 

c.

penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;

 

 

 

d.

penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan

 

 

 

e.

penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.

 

 

(3)

Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.

 

 

(4)

Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

 

 

Pasal 23

 

 

(1)

Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b dapat diberikan untuk:

 

 

 

a.

penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing dalam merealisasikan penanaman modal;

 

 

 

b.

penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing yang bersifat sementara dalam rangka perbaikan mesin, alat bantu produksi lainnya, dan pelayanan purnajual; dan

 

 

 

c.

calon penanam modal yang akan melakukan penjajakan penanaman modal.

 

 

(2)

Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan setelah penanam modal mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

 

 

(3)

Untuk penanam modal asing diberikan fasilitas, yaitu:

 

 

 

a.

pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun;

 

 

 

b.

pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun berturut-turut;

 

 

 

c.

pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan;

 

 

 

d.

pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; dan

 

 

 

e.

pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan.

 

 

(4)

Pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas dasar rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

 

 

Pasal 24

 

 

Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c dapat diberikan untuk impor:

 

 

a.

barang yang selama tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perdagangan barang;

 

 

b.

barang yang tidak memberikan dampak negatif terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, dan moral bangsa;

 

 

c.

barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia; dan

 

 

d.

barang modal atau bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri.

 

 

BAB XI
PENGESAHAN DAN PERIZINAN PERUSAHAAN

 

 

Pasal 25

 

 

(1)

Penanam modal yang melakukan penanaman modal di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang ini.

 

 

(2)

Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(3)

Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(4)

Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.

 

 

(5)

Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu.

 

 

Pasal 26

 

 

(1)

Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal.

 

 

(2)

Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan nonperizinan di provinsi atau kabupaten/kota.

 

 

(3)

Ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

 

 

BAB XII
KOORDINASI DAN PELAKSANAAN
KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL

 

 

Pasal 27

 

 

(1)

Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antarinstansi Pemerintah, antara instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antara instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antarpemerintah daerah.

 

 

(2)

Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.

 

 

(3)

Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

 

 

(4)

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

 

 

Pasal 28

 

 

(1)

Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan penanaman modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :

 

 

 

a.

melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman modal;

 

 

 

b.

mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal;

 

 

 

c.

menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal;

 

 

 

d.

mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha;

 

 

 

e.

membuat peta penanaman modal Indonesia; 

 

 

 

f.

mempromosikan penanaman modal;

 

 

 

g.

mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;

 

 

 

h.

membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;

 

 

 

i.

mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia; dan

 

 

 

j.

mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu.

 

 

(2)

Selain tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Badan Koordinasi Penanaman Modal bertugas melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 29

 

 

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta pelayanan terpadu satu pintu, Badan Koordinasi Penanaman Modal harus melibatkan perwakilan secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.

 

 

BAB XIII
PENYELENGGARAAN URUSAN
PENANAMAN MODAL

 

 

Pasal 30

 

 

(1)

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.

 

 

(2)

Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan Pemerintah.

 

 

(3)

Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal.

 

 

(4)

Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi urusan Pemerintah.

 

 

(5)

Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi.

 

 

(6)

Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.

 

 

(7)

Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang menjadi kewenangan Pemerintah adalah : 

 

 

 

a.

penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi;

 

 

 

b.

penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;

 

 

 

c.

penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;

 

 

 

d.

penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;

 

 

 

e.

penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan

 

 

 

f.

bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang.

 

 

(8)

Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau menugasi pemerintah kabupaten/kota.

 

 

(9)

Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang penanaman modal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

BAB XIV
KAWASAN EKONOMI KHUSUS

 

 

Pasal 31

 

 

(1)

Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah, dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus.

 

 

(2)

Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan penanaman modal tersendiri di kawasan ekonomi khusus.

 

 

(3)

Ketentuan mengenai kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.

 

 

BAB XV
PENYELESAIAN SENGKETA

 

 

Pasal 32

 

 

(1)

Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.

 

 

(2)

Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(3)

Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.

 

 

(4)

Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.

 

 

BAB XVI
SANKSI

 

 

Pasal 33

 

 

(1)

Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.

 

 

(2)

Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.

 

 

(3)

Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan.

 

 

Pasal 34

 

 

(1)

Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:

 

 

 

a.

peringatan tertulis;

 

 

 

b.

pembatasan kegiatan usaha;

 

 

 

c.

pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau

 

 

 

d.

pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

 

 

(2)

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(3)

Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

 

 

Pasal 35

 

 

Perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.

 

 

Pasal 36

 

 

Rancangan perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang belum disetujui oleh Pemerintah Indonesia pada saat Undang-Undang ini berlaku wajib disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini.

 

 

Pasal 37

 

 

(1)

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

 

 

(2)

Persetujuan penanaman modal dan izin pelaksanaan yang telah diberikan oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya persetujuan penanaman modal dan izin pelaksanaan tersebut.

 

 

(3)

Permohonan penanaman modal dan permohonan lainnya yang berkaitan dengan penanaman modal yang telah disampaikan kepada instansi yang berwenang dan pada tanggal disahkannya Undang-Undang ini belum memperoleh persetujuan Pemerintah wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

 

 

(4)

Perusahaan penanaman modal yang telah diberi izin usaha oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dan, apabila izin usaha tetapnya telah berakhir, dapat diperpanjang berdasarkan Undang-Undang ini.

 

 

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

 

 

Pasal 38

 

 

Dengan berlakunya Undang-Undang ini:

 

 

a.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2943); dan

 

 

b.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2944);

 

 

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

 

Pasal 39

 

 

Semua Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan penanaman modal wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini.

 

 

Pasal 40

 

 

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disahkan di Jakarta

 

 

 

 

 

 

 

 

pada tanggal 26 April 2007

 

 

 

 

 

 

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

 

 

 

pada tanggal 26 April 2007

 

 

 

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
                       REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

 

HAMID AWALUDIN

 

 

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 67

 

Penjelasan......................