PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 78 TAHUN 2007


TENTANG


TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN
PENGGABUNGAN DAERAH

 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

Menimbang

:

a.

bahwa tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti;

   

b.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

   

2.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

   

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH.

 

BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1

   

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

   

1.

Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

   

2.

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

   

3.

Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

   

4.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

   

5.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

   

6.

Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

   

7.

Pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.

   

8.

Penghapusan daerah adalah pencabutan status sebagai daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.

   

9.

Penggabungan daerah adalah penyatuan daerah yang dihapus ke dalam daerah lain yang bersandingan.

   

10.

Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih.

   

11.

Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah yang selanjutnya disingkat DPOD adalah dewan yang memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden terhadap kebijakan otonomi daerah.

   

12.

Kajian daerah adalah kajian provinsi dan kabupaten/kota disusun oleh Tim yang dibentuk oleh kepala daerah untuk menilai kelayakan pembentukan daerah secara obyektif yang memuat penilaian kuantitatif terhadap faktor-faktor teknis yang dilengkapi dengan penilaian kualitatif terhadap faktor lainnya yang memiliki karakteristik tersendiri.

   

13.

Menteri adalah Menteri Dalam Negeri.

   

14.

Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disingkat BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

 

BAB II
PEMBENTUKAN DAERAH


Pasal 2

   

(1)

Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.

   

(2)

Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa pembentukan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.

   

(3)

Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:

     

a.

pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau lebih;

     

b.

penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda; dan

     

c.

penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.

   

(4)

Pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :

     

a.

pemekaran dari 1 (satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih;

     

b.

penggabungan beberapa kecamatan yang bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda; dan

     

c.

penggabungan beberapa kabupaten/kota menjadi 1 (satu) kabupaten/kota.

 

Pasal 3

   

Daerah yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a dapat dimekarkan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan 10 (sepuluh) tahun bagi provinsi dan 7 (tujuh) tahun bagi kabupaten dan kota.

 

Pasal 4

   

(1)

Pembentukan daerah provinsi berupa pemekaran provinsi dan penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

   

(2)

Pembentukan daerah kabupaten/kota berupa pemekaran kabupaten/kota dan penggabungan beberapa kecamatan yang bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

 

Pasal 5

   

(1)

Syarat administratif pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi :

     

a.

Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripuma;

     

b.

Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupatil walikota wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi;

     

c.

Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;

     

d.

Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan

     

e.

Rekomendasi Menteri.

   

(2)

Syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), meliputi :

     

a.

Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;

     

b.

Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;

     

c.

Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;

     

d.

Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota; dan

     

e.

Rekomendasi Menteri.

   

(3)

Keputusan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat(1) huruf a dan ayat (2) huruf a diproses berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat.

   

(4)

Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang dituangkan dalam keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). 

 

Pasal 6

   

(1)

Syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.

   

(2)

Faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

   

(3)

Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya mempunyai total nilai seluruh indikator dan perolehan nilai indikator faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan keuangan dengan kategori sangat mampu atau mampu.

 

Pasal 7

   

Syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.

 

Pasal 8

   

Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk :

   

a.

pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota;

   

b.

pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan; dan

   

c.

pembentukan kota paling sedikit 4 (empat) kecamatan.

 

Pasal 9

   

(1)

Cakupan wilayah pembentukan provinsi digambarkan dalam peta wilayah calon provinsi.

   

(2)

Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi.

   

(3)

Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri.

 

Pasal 10

   

(1)

Cakupan wilayah pembentukan kabupaten/kota digambarkan dalam peta wilayah calon kabupaten/kota.

   

(2)

Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar nama kecamatan dan desa/kelurahan atau nama lain yang menjadi cakupan calon kabupaten/kota serta garis batas wilayah calon kabupaten/kota, nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah kecamatan dikabupaten/kota di provinsi yang sama, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga, yang berbatasan langsung dengan calon kabupaten/kota.

   

(3)

Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh gubernur.

 

Pasal 11

   

(1)

Dalam hal cakupan wilayah calon provinsi dan kabupaten/kota berupa kepulauan atau gugusan pulau, peta wilayah harus dilengkapi dengan daftar nama pulau.

   

(2)

Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) harus merupakan satu kesatuan wilayah administrasi.

 

Pasal 12

   

(1)

Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditetapkan dengan keputusan gubernur dan keputusan DPRD provinsi untuk ibukota provinsi, dengan keputusan bupati dan keputusan DPRD kabupaten untuk ibukota kabupaten.

   

(2)

Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk satu lokasi ibukota.

   

(3)

Penetapan lokasi ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.

   

(4)

Pembentukan kota yang cakupan wilayahnya merupakan ibukota kabupaten, maka ibukota kabupaten tersebut harus dipindahkan ke lokasi lain secara bertahap paling lama 5 (lima) tahun sejak dibentuknya kota.

 

Pasal 13

   

(1)

Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 meliputi bangunan dan lahan untuk kantor kepala daerah, kantor DPRD, dan kantor perangkat daerah yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

   

(2)

Bangunan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam wilayah calon daerah.

   

(3)

Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki pemerintah daerah dengan bukti kepemilikan yang sah.

 

BAB III
TATA CARA PEMBENTUKAN DAERAH


Pasal 14

   

Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut :

   

a.

Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD  untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.

   

b.

Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat;

   

c.

Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota berdasarkan hasil kajian daerah.

   

d.

Keputusan masing-masing bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada huruf c disampaikan kepada gubernur dengan melampirkan :

     

1.

Dokumen aspirasi masyarakat; dan

     

2.

Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.

   

e.

Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi;

   

f.

Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan :

     

1.

Hasil kajian daerah;

     

2.

Peta wilayah calon provinsi;

     

3.

Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan

     

4.

Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.

 

Pasal 15

   

Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut :

   

a.

Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.

   

b.

Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat;

   

c.

Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota;

   

d.

Keputusan masing-masing bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam huruf c disampaikan kepada masing-masing gubernur yang bersangkutan dengan melampirkan:

     

1.

Dokumen aspirasi masyarakat; dan

     

2.

Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.

   

e.

Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi yang bersangkutan;

   

f.

Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, masing-masing gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:

     

1.

Hasil kajian daerah;

     

2.

Peta wilayah calon provinsi;

     

3.

Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalamPasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan

     

4.

Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.

 

Pasal 16

   

Tata cara pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dilaksanakan sebagai berikut :

   

a.

Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah kabupaten/kota yang akan dimekarkan.

   

b.

DPRD kabupaten/kota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk Keputusan DPRD berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang diwakili oleh BPD untuk desa atau nama Iain dan Forum Komunikasi Kelurahan untuk kelurahan atau nama lain;

   

c.

Bupati/walikota memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan bupati/ walikota berdasarkan hasil kajian daerah;

   

d.

Bupati/walikota mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada gubernur untuk mendapatkan persetujuan dengan melampirkan :

     

1.

dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota;

     

2.

hasil kajian daerah;

     

3.

peta wilayah calon kabupaten/kota; dan

     

4.

Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan huruf b.

   

e.

Gubernur memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi terhadap kajian daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf c;

   

f.

Gubernur menyampaikan usulan pembentukan calon kabupaten/kota kepada DPRD provinsi;

   

g.

DPRD provinsi memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota; dan

   

h.

Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan kabupaten/kota, gubernur mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan :

     

1.

Dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota;

     

2.

Hasil kajian daerah;

     

3.

Peta wilayah calon kabupaten/kota;

     

4.

Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan huruf b; dan

     

5.

Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)huruf d.

 

Pasal 17

   

Tata cara pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dilaksanakan sebagai berikut:

   

a.

Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah kabupaten/kota yang akan dimekarkan.

   

b.

DPRD kabupaten/kota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk Keputusan DPRD berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang diwakili oleh BPD untuk Desa atau nama lain dan Forum Komunikasi Kelurahan untuk kelurahan atau nama lain;

   

c.

Bupati/walikota memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan bupati/ walikota berdasarkan hasil kajian daerah;

   

d.

Masing-masing bupati/walikota menyampaikan usulan pembentukan kabupaten/kota kepada gubernur untuk mendapatkan persetujuan dengan melampirkan:

     

1.

Dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota;

     

2.

Hasil kajian daerah;

     

3.

Peta wilayah calon kabupaten/kota; dan

     

4.

Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupatil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.

   

e.

Gubernur memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi terhadap kajian daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf c;

   

f.

Gubernur menyampaikan usulan pembentukan calon kabupaten/kota kepada DPRD provinsi;

   

g.

DPRD provinsi memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota; dan

   

h.

Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan kabupaten/kota, gubernur mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan :

     

1.

dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota;

     

2.

hasil kajian daerah;

     

3.

peta wilayah calon kabupaten/kota;

     

4.

Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota; dan

     

5.

Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e.

 

Pasal 18

   

(1)

Menteri melakukan penelitian terhadap usulan pembentukan provinsi atau kabupaten/kota.

   

(2)

Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tim yang dibentuk Menteri.

   

(3)

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri menyampaikan rekomendasi usulan pembentukan daerah kepada DPOD.

 

Pasal 19

   

(1)

Berdasarkan rekomendasi usulan pembentukan daerah, Menteri meminta tanggapan tertulis para Anggota DPOD pada sidang DPOD.

   

(2)

Dalam hal DPOD memandang perlu dilakukan klarifikasi dan penelitian kembali terhadap usulan pembentukan daerah, DPOD menugaskan Tim Teknis DPOD untuk melakukan klarifikasi dan penelitian.

   

(3)

Berdasarkan hasil klarifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPOD bersidang untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai usulan pembentukan daerah.

 

Pasal 20

   

(1)

Menteri menyampaikan usulan pembentukan suatu daerah kepada Presiden berdasarkan saran dan pertimbangan DPOD.

   

(2)

Dalam hal Presiden menyetujui usulan pembentukan daerah, Menteri menyiapkan rancangan undang-undang tentang pembentukan daerah.

 

Pasal 21

   

(1)

Setelah Undang-undang pembentukan daerah diundangkan, Pemerintah melaksanakan peresmian daerah dan melantik penjabat kepala daerah.

   

(2)

Peresmian daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya undang-undang tentang pembentukan daerah,

 

BAB IV
PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH


Pasal 22

   

(1)

Daerah otonom dapat dihapus, apabila daerah yang bersangkutan dinyatakan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.

   

(2)

Penghapusan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dan evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah dengan mempertimbangkan aspek kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

(3)

Daerah yang dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digabungkan dengan daerah lain yang bersandingan berdasarkan hasil kajian.

 

BAB V
TATA CARA PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH


Pasal 23

   

(1)

Berdasarkan proses evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), Menteri menyampaikan hasil evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah kepada DPOD.

   

(2)

DPOD bersidang untuk membahas hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

   

(3)

Dalam hal sidang DPOD menilai daerah tertentu tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, DPOD merekomendasikan agar daerah tersebut dihapus dan digabungkan ke daerah lain.

   

(4)

Menteri meneruskan rekomendasi DPOD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden.

   

(5)

Apabila Presiden menyetujui usulan penghapusan dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menyiapkan rancangan undang-undang tentang penghapusan dan penggabungan daerah.

 

BAB Vl
PEMBINAAN


Pasal 24

   

(1)

Pemerintah melakukan pembinaan melalui fasilitasi terhadap daerah otonom baru sejak peresmian daerah dan pelantikan pejabat kepala daerah.

   

(2)

Pemberian fasilitasi terhadap daerah otonom baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :

     

a.

penyusunan perangkat daerah;

     

b.

pengisian personil;

     

c.

pengisian keanggotaan DPRD;

     

d.

penyusunan APBD;

     

e.

pemberian hibah dari daerah induk dan pemberian bantuan dari provinsi;

     

f.

pemindahan personil, pengalihan aset, pembiayaan dan dokumen;

     

g.

penyusunan rencana umum tata ruang daerah; dan

     

h.

dukungan bantuan teknis infrastruktur penguatan investasi daerah.

   

(3)

Pemberian fasilitasi terhadap daerah otonom baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dilaksanakan 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak peresmian, untuk provinsi dilaksanakan oleh Menteri bersama gubernur provinsi induk dan untuk kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur bersama bupati kabupaten induk.

   

(4)

Pemberian fasilitasi terhadap daerah otonom baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g dan huruf h dilaksanakan oleh menteri/ pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen secara bertahap dan terpadu.

 

Pasal 25

   

(1)

Pemerintah dapat melakukan pembinaan melalui fasilitasi terhadap daerah otonom dalam rangka penghapusan dan penggabungan daerah.

   

(2)

Fasilitasi dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah terhadap beberapa daerah otonom bersandingan yang bersedia bergabung membentuk satu daerah otonom baru dalam bentuk dukungan insentif fiskal dan non-fiskal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

   

(3)

Penghapusan dan penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk meningkatkan efisien dan efektifitas pelayanan publik.

 

BAB Vll
PENDANAAN


Pasal 26

   

(1)

Dana yang diperlukan dalam rangka pembentukan provinsi dibebankan pada APBD provinsi induk dan APBD kabupaten/kota yang menjadi cakupan calon provinsi.

   

(2)

Dana yang diperlukan dalam rangka pembentukan kabupaten/kota dibebankan pada APBD kabupaten/kota induk dan APBD provinsi.

   

(3)

Dana yang diperlukan daIam rangka penghapusan dan penggabungan daerah dibebankan pada APBN.

 

Pasal 27

   

(1)

Dana perimbangan bagi daerah otonom baru diperhitungkan seteIah undang-undang pembentukannya ditetapkan.

   

(2)

Perhitungan dana perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diIakukan seteIah data kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah otonom baru tersedia secara lengkap sesuai dengan peraruran perundang-undangan.

   

(3)

Apabila data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia, besaran dana perimbangan diperhitungkan secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk, luas wiIayah, dan belanja pegawai dari daerah induk.

 

Pasal 28

   

(1)

Bagi provinsi baru yang undang-undang pembentukannya ditetapkan seteIah APBN disahkan, dana yang diperlukan daIam rangka penyeIenggaraan pemerintahan dan dana yang diperlukan daIam penyeIenggaraan pemilihan kepaIa daerah untuk pertama kaIi bersumber dari hibah provinsi induk dan dukungan dana dari kabupaten/kota yang menjadi cakupan provinsi baru.

   

(2)

Besaran hibah provinsi induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicantumkan dalam APBD provinsi induk, sesuai kemampuan keuangan provinsi induk.

   

(3)

Besaran hibah provinsi induk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan daIam undang-undang pembentukan provinsi baru.

   

(4)

Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh provinsi induk sampai provinsi baru mempunyai APBD sendiri.

   

(5)

APBD provinsi induk tetap dilaksanakan, termasuk untuk cakupan wilayah provinsi baru sebelum provinsi baru mempunyai APBD sendiri.

   

(6)

Dukungan dana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari APBD kabupaten/kota yang besarnya ditetapkan secara proporsional berdasarkan besaran APBD kabupaten/kota masing-masing.

   

(7)

Besaran dukungan dana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan daIam undang-undang pembentukan provinsi baru.

 

Pasal 29

   

(1)

Bagi kabupaten/kota baru yang undang-undang pembentukannya ditetapkan seteIah APBN disahkan, dana yang diperlukan dalam rangka penyeIenggaraan pemerintahan dan pemilihan kepala daerah untuk pertama kali bersumber dari hibah kabupaten/kota induk dan bantuan provinsi.

   

(2)

Besaran hibah kabupaten/kota induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicantumkan daIam APBD kabupaten/kota induk, sesuai kemampuan keuangan kabupaten/kota induk.

   

(3)

Besaran hibah kabupaten/kota induk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dicantumkan dalamAPBD kabupaten/kota induk dan ditetapkan daIam undang-undang pembentukan kabupaten/kota baru.

   

(4)

Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh kabupaten/kota induk sampai terbentuknya APBD kabupaten/kota baru.

   

(5)

APBD kabupaten/kota induk tetap dilaksanakan, termasuk untuk cakupan wilayah kabupaten/kota baru sebelum kabupaten/kota baru mempunyai APBD sendiri.

   

(6)

Bantuan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari APBD provinsi yang besarnya ditetapkan dalam undang-undang pembentukan kabupaten/kota baru,

 

BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 30

   

Bagi provinsi yang memiliki status istimewa dan/atau diberikan otonomi khusus, dalam pembentukan daerah selain ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang memberikan status istimewa dan/atau otonomi khusus.

 

Pasal 31

   

(1)

Pembentukan perangkat provinsi baru, dilaksanakan oleh penjabat gubernur dan difasilitasi oleh Menteri bersama gubernur provinsi induk.

   

(2)

Pembentukan perangkat kabupaten/kota baru, dilaksanakan oleh penjabat bupati/walikota dan difasilitasi oleh gubernur bersama dengan bupati induk.

 

Pasal 32

   

Pengisian personil pada perangkat daerah baru diprioritaskan dari pegawai negeri sipil daerah induk yang mempunyai kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 33

   

(1)

Aset provinsi dan kabupaten/kota induk yang bergerak dan tidak bergerak serta utang piutang yang akan diserahkan kepada provinsi baru dan kabupaten/kota baru, dibuat dalam bentuk daftar aset.

   

(2)

Aset provinsi dan kabupaten induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diserahkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak peresmian provinsi baru dan kabupaten/kota baru.

   

(3)

Dalam hal aset daerah kabupaten induk yang bergerak dan tidak bergerak serta utang piutang yang akan diserahkan kepada kota yang baru dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dapat diserahkan secara bertahap dan paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak ditetapkannya ibukota kabupaten induk yang baru.

 

Pasal 34

   

(1)

Pelaksanaan penyerahan aset provinsi induk kepada provinsi baru difasiiitasi oleh Menteri.

   

(2)

Pelaksanaan penyerahan aset daerah induk kepada kabupaten/kota baru difasilitasi oleh gubernur dan bupati/walikota kabupaten/kota induk.

   

(3)

Tata cara pelaksanaan penyerahan aset daerah induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 35

   

(1)

Penegasan batas wilayah provinsi baru dilakukan bersama-sama oleh provinsi baru, provinsi induk dan provinsi yang bersandingan lainnya.

   

(2)

Penegasan batas wilayah kabupaten/kota baru dilakukan bersama-sama oleh kabupaten/kota, kabupaten induk dan kabupaten/kota yang bersandingan lainnya.

   

(3)

Penegasan batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselesaikan paling lama 5 (lima) tahun sejak dibentuknya provinsi dan kabupaten/kota yang bersangkutan.

   

(4)

Penegasan batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) secara pasti di lapangan, ditetapkan oleh Menteri.

   

(5)

Dalam hal batas waktu penyelesaian paling lama 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak terpenuhi penegasan batas wilayah ditetapkan oleh Menteri.

 

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 36

   

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 

 

Pasal 37

   

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

   

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

           
         

Ditetapkan di Jakarta

         

pada tanggal 10 Desember 2007

         

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

           
          ttd.
           
          SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
           

Diundangkan di Jakarta

 

pada tanggal 10 Desember 2007

 

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

 
REPUBLIK INDONESIA,  
   
ttd.  
   
ANDI MATTALATTA  
   
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 162

 
Penjelasan..................