PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 60 TAHUN 2008


TENTANG


SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 

Menimbang

:

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM  PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH.

 

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

 

 

1.

Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

 

 

2.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

 

 

3.

Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.

 

 

4.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang selanjutnya disingkat BPKP, adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

 

 

5.

Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga.

 

 

6.

Inspektorat Provinsi adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada gubernur.

 

 

7.

Inspektorat Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada bupati/walikota.

 

 

8.

Kementerian negara adalah organisasi dalam Pemerintahan Republik Indonesia yang dipimpin oleh menteri untuk melaksanakan tugas dalam bidang tertentu.

 

 

9.

Lembaga adalah organisasi non-kementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.

 

 

10.

Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

 

 

11.

Instansi Pemerintah adalah unsur penyelenggara pemerintahan pusat atau unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2

 

 

(1)

Untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, menteri /pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.

 

 

(2)

Pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan berpedoman pada SPIP sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

 

 

(3)

SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

 

 

BAB II
UNSUR SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH

Bagian Kesatu Umum

Pasal 3

(1)

SPIP terdiri atas unsur:

a.

lingkungan pengendalian;

b.

penilaian risiko;

c.

kegiatan pengendalian;

d.

informasi dan komunikasi; dan

e.

pemantauan pengendalian intern.

 

 

(2)

Penerapan unsur SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan Instansi Pemerintah.

 

 

Bagian Kedua

Lingkungan Pengendalian

Pasal 4

 

 

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya, melalui:

a.

penegakan integritas dan nilai etika;

b.

komitmen terhadap kompetensi;

c.

kepemimpinan yang kondusif;

d.

pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;

e.

pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;

f.

penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia;

g.

perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan

h.

hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.

Pasal 5

 

 

Penegakan integritas dan nilai etika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a sekurang-kurangnya dilakukan dengan:

a.

menyusun dan menerapkan aturan perilaku;

 

 

b.

memberikan keteladanan pelaksanaan aturan perilaku pada setiap tingkat pimpinan Instansi Pemerintah;

 

 

c.

menegakkan tindakan disiplin yang tepat atas penyimpangan terhadap kebijakan dan prosedur, atau pelanggaran terhadap aturan perilaku;

 

 

d.

menjelaskan dan mempertanggungjawabkan adanya intervensi atau pengabaian pengendalian intern; dan

e.

menghapus kebijakan atau penugasan yang dapat mendorong perilaku tidak etis.

Pasal 6

 

 

Komitmen terhadap kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b sekurang-kurangnya dilakukan dengan:

 

 

a.

mengidentifikasi dan menetapkan kegiatan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah;

 

 

b.

menyusun standar kompetensi untuk setiap tugas dan fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah;

 

 

c.

menyelenggarakan pelatihan dan pembimbingan untuk membantu pegawai mempertahankan dan meningkatkan kompetensi pekerjaannya; dan

 

 

d.

memilih pimpinan Instansi Pemerintah yang memiliki kemampuan manajerial dan pengalaman teknis yang luas dalam pengelolaan Instansi Pemerintah.

Pasal 7 

 

 

Kepemimpinan yang kondusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c sekurang-kurangnya ditunjukkan dengan:

a.

mempertimbangkan risiko dalam pengambilan keputusan;

b.

menerapkan manajemen berbasis kinerja;

c.

mendukung fungsi tertentu dalam penerapan SPIP;

d.

melindungi atas aset dan informasi dari akses dan penggunaan yang tidak sah;

e.

melakukan interaksi secara intensif dengan pejabat pada tingkatan yang lebih rendah; dan

 

 

f.

merespon secara positif terhadap pelaporan yang berkaitan dengan keuangan, penganggaran, program, dan kegiatan

Pasal 8 

 

 

(1)

Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d sekurang-kurangnya dilakukan dengan:

a.

menyesuaikan dengan ukuran dan sifat kegiatan Instansi Pemerintah;

b.

memberikan kejelasan wewenang dan tanggung jawab dalam Instansi Pemerintah;

c.

memberikan kejelasan hubungan dan jenjang pelaporan intern dalam Instansi Pemerintah;

 

 

 

d.

melaksanakan evaluasi dan penyesuaian periodik terhadap struktur organisasi sehubungan dengan perubahan lingkungan strategis; dan

e.

menetapkan jumlah pegawai yang sesuai, terutama untuk posisi pimpinan.

 

 

(2)

Penyusunan struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pasal 9 

 

 

Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e sekurang-kurangnya dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

 

 

a.

wewenang diberikan kepada pegawai yang tepat sesuai dengan tingkat tanggung jawabnya dalam rangka pencapaian tujuan Instansi Pemerintah;

 

 

b.

pegawai yang diberi wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf a memahami bahwa wewenang dan tanggung jawab yang diberikan terkait dengan pihak lain dalam Instansi Pemerintah yang bersangkutan; dan

 

 

c.

pegawai yang diberi wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf b memahami bahwa pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab terkait dengan penerapan SPIP.

Pasal 10 

 

 

(1)

Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f dilaksanakan dengan memperhatikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:

a.

penetapan kebijakan dan prosedur sejak rekrutmen sampai dengan pemberhentian pegawai;

b.

penelusuran latar belakang calon pegawai dalam proses rekrutmen; dan

c.

supervisi periodik yang memadai terhadap pegawai.

 

 

(2)

Penyusunan dan penerapan kebijakan pembinaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pasal 11

 

 

Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g sekurang-kurangnya harus:

 

 

a.

memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah;

 

 

b.

memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan

 

 

c.

memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.

Pasal 12

 

 

Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h diwujudkan dengan adanya mekanisme saling uji antar Instansi Pemerintah terkait.

 

 

Bagian Ketiga

Penilaian Risiko

Pasal 13 

(1)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penilaian risiko.

(2)

Penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a.

identifikasi risiko; dan

b.

analisis risiko.

 

 

(3)

Dalam rangka penilaian risiko sebagaimana  dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan:

a.

tujuan Instansi Pemerintah; dan

b.

tujuan pada tingkatan kegiatan,

dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pasal 14 

 

 

(1)

Tujuan Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf a memuat pernyataan dan arahan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu.

 

 

(2)

Tujuan Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikomunikasikan kepada seluruh pegawai.

 

 

(3)

Untuk mencapai tujuan Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan:

a.

strategi operasional yang konsisten; dan

b.

strategi manajemen terintegrasi dan rencana penilaian risiko.

Pasal 15 

 

 

Penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf b sekurang-kurangnya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:

a.

berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah;

b.

saling melengkapi, Saling menunjang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya;

c.

relevan dengan seluruh kegiatan utama Instansi Pemerintah;

d.

mengandung unsur kriteria pengukuran;

e.

didukung sumber daya Instansi Pemerintah yang cukup; dan

f.

melibatkan seluruh tingkat pejabat dalam proses penetapannya.

Pasal 16

 

 

Identifikasi risiko sebagaimana dimaksud dalam   Pasal 13 ayat (2) huruf a sekurang-kurangnya dilaksanakan dengan: 

 

 

a.

menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif;

 

 

b.

menggunakan mekanisme yang memadai untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan faktor internal; dan

c.

menilai faktor lain yang dapat meningkatkan risiko.

Pasal 17

(1)

Analisis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b dilaksanakan untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah.

(2)

Pimpinan Instansi Pemerintah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menentukan tingkat risiko yang dapat diterima.

Bagian Keempat

Kegiatan Pengendalian

Pasal 18

(1)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan.

(2)

Penyelenggaraan kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memiliki karakteristik sebagai berikut:

a.

kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah;

b.

kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko;

c.

kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah;

d.

kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis;

e.

prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai yang ditetapkan secara tertulis; dan

f.

kegiatan pengendalian dievaluasi secara teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan.

(3)

Kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a.

reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan; 

b.

pembinaan sumber daya manusia;

c.

pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;

d.

pengendalian fisik atas aset;

e.

penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;

f.

pemisahan fungsi;

g.

otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;

h.

pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;

i.

pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;

j.

akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan

k.

dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting.

Pasal 19

Reviu atas kinerja Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan membandingkan kinerja dengan tolok ukur kinerja yang ditetapkan.

Pasal 20

(1)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pembinaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf b.

(2)

Dalam melakukan pembinaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah harus sekurang-kurangnya:

a.

mengkomunikasikan visi, misi, tujuan, nilai, dan strategi instansi kepada pegawai; 

b.

membuat strategi perencanaan dan pembinaan sumber daya manusia yang mendukung pencapaian visi dan misi; dan

c.

membuat uraian jabatan, prosedur rekrutmen, program pendidikan dan pelatihan pegawai, sistem kompensasi, program kesejahteraan dan fasilitas pegawai, ketentuan disiplin pegawai, sistem penilaian kinerja, serta rencana pengembangan karir.

Pasal 21

(1)

Kegiatan pengendalian atas pengelolaan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf c dilakukan untuk memastikan akurasi dan kelengkapan informasi. 

(2)

Kegiatan pengendalian atas pengelolaan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

pengendalian umum; dan

b.

pengendalian aplikasi.

Pasal 22 

Pengendalian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a terdiri atas: 

a.

pengamanan sistem informasi;

b.

pengendalian atas akses;

c.

pengendalian atas pengembangan dan perubahan perangkat lunak aplikasi;

d.

pengendalian atas perangkat lunak sistem;

e.

pemisahan tugas; dan

f.

kontinuitas pelayanan.

Pasal 23

Pengamanan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a sekurang-kurangnya mencakup:

a.

pelaksanaan penilaian risiko secara periodik yang komprehensif;

b.

pengembangan rencana yang secara jelas menggambarkan program pengamanan serta kebijakan dan prosedur yang mendukungnya;

c.

penetapan organisasi untuk mengimplementasikan dan mengelola program pengamanan;

d.

penguraian tanggung jawab pengamanan secara jelas;

e.

implementasi kebijakan yang efektif atas sumber daya manusia terkait dengan program pengamanan; dan

f.

pemantauan efektivitas program pengamanan dan melakukan perubahan program pengamanan jika diperlukan.

Pasal 24 

Pengendalian atas akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b sekurang-kurangnya mencakup:

a.

klasifikasi sumber daya sistem informasi berdasarkan kepentingan dan sensitivitasnya;

b.

identifikasi pengguna yang berhak dan otorisasi akses ke informasi secara formal;

c.

pengendalian fisik dan pengendalian  logik untuk mencegah dan mendeteksi akses yang tidak  diotorisasi; dan

d.

pemantauan atas akses ke sistem informasi, investigasi atas pelanggaran, serta tindakan perbaikan dan penegakan disiplin.

Pasal 25

Pengendalian atas pengembangan dan perubahan perangkat lunak aplikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c sekurang-kurangnya mencakup:

a.

otorisasi atas fitur pemrosesan sistem informasi dan modifikasi program;

b.

pengujian dan persetujuan atas seluruh perangkat lunak yang baru dan yang dimutakhirkan; dan

c.

penetapan prosedur untuk memastikan terselenggaranya pengendalian atas kepustakaan perangkat lunak.

Pasal 26 

Pengendalian atas perangkat lunak sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d sekurang-kurangnya mencakup:

a.

pembatasan akses ke perangkat lunak sistem berdasarkan tanggung jawab pekerjaan dan dokumentasi atas otorisasi akses;

b.

pengendalian dan pemantauan atas akses dan penggunaan perangkat lunak sistem; dan

c.

pengendalian atas perubahan yang dilakukan terhadap perangkat lunak sistem.

Pasal 27

Pemisahan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf e sekurang-kurangnya mencakup:

a.

identifikasi tugas yang tidak dapat digabungkan dan penetapan kebijakan untuk memisahkan tugas tersebut;

b.

penetapan pengendalian akses untuk pelaksanaan pemisahan tugas; dan

c.

pengendalian atas kegiatan pegawai melalui penggunaan prosedur, supervisi, dan reviu.

Pasal 28 

Kontinuitas pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf f sekurang-kurangnya mencakup:

a.

penilaian, pemberian prioritas, dan pengidentifikasian sumber daya pendukung atas kegiatan komputerisasi yang kritis dan sensitif;

b.

langkah-langkah pencegahan dan minimalisasi potensi kerusakan dan terhentinya operasi komputer;

c.

pengembangan dan pendokumentasian rencana komprehensif untuk mengatasi kejadian tidak terduga; dan

d.

pengujian secara berkala atas rencana untuk mengatasi kejadian tidak terduga dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.

Pasal 29 

Pengendalian aplikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b terdiri atas:

a.

pengendalian otorisasi;

b.

pengendalian kelengkapan;

c.

pengendalian akurasi; dan

d.

pengendalian terhadap keandalan pemrosesan dan file data.

Pasal 30 

Pengendalian otorisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a sekurang-kurangnya mencakup:

a.

pengendalian terhadap dokumen sumber;

b.

pengesahan atas dokumen sumber;

c.

pembatasan akses ke terminal entri data; dan

d.

penggunaan file induk dan laporan khusus untuk memastikan bahwa seluruh data yang diproses telah diotorisasi.

Pasal 31

Pengendalian kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b sekurang-kurangnya mencakup:

a.

pengentrian dan pemrosesan seluruh transaksi yang telah diotorisasi ke dalam komputer; dan

b.

pelaksanaan rekonsiliasi data untuk memverifikasi kelengkapan data.

Pasal 32

Pengendalian akurasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c sekurang-kurangnya mencakup:

a.

penggunaan desain entri data untuk mendukung akurasi data;

b.

pelaksanaan validasi data untuk mengidentifikasi data yang salah;

c.

pencatatan, pelaporan, investigasi, dan perbaikan data yang salah dengan segera; dan

d.

reviu atas laporan keluaran untuk mempertahankan akurasi dan validitas data.

Pasal 33 

Pengendalian terhadap keandalan pemrosesan dan file data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf d sekurang-kurangnya mencakup:

a.

penggunaan prosedur yang memastikan bahwa hanya program dan file data versi terkini digunakan selama pemrosesan;

b.

penggunaan program yang memiliki prosedur untuk memverifikasi bahwa versi file komputer yang sesuai digunakan selama pemrosesan;

c.

penggunaan program yang memiliki prosedur untuk mengecek internal file header labels sebelum pemrosesan; dan

d.

penggunaan aplikasi yang mencegah perubahan file secara bersamaan.

Pasal 34 

 

 

(1)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melaksanakan pengendalian fisik atas aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf d.

(2)

Dalam melaksanakan pengendalian fisik atas aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah wajib menetapkan, mengimplementasikan, dan mengkomunikasikan kepada seluruh pegawai:

a.

rencana identifikasi, kebijakan, dan prosedur pengamanan fisik; dan

b.

rencana pemulihan setelah bencana.

Pasal 35 

(1)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menetapkan dan mereviu indikator dan ukuran kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf e.

(2)

Dalam melaksanakan penetapan dan reviu indikator dan pengukuran kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah harus:

a.

menetapkan ukuran dan indikator kinerja;

b.

mereviu dan melakukan validasi secara periodik atas ketetapan dan keandalan ukuran dan indikator kinerja;

c.

mengevaluasi faktor penilaian pengukuran kinerja; dan

d.

membandingkan secara terus-menerus data capaian kinerja dengan sasaran yang ditetapkan dan selisihnya dianalisis lebih lanjut.

Pasal 36

(1)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pemisahan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf f.

(2)

Dalam melaksanakan pemisahan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah harus menjamin bahwa seluruh aspek utama transaksi atau kejadian tidak dikendalikan oleh 1 (satu] orang.

Pasal 37 

(1)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf g.

(2)

Dalam melakukan otorisasi atas transaksi dan kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah wajib menetapkan dan mengkomunikasikan syarat dan ketentuan otorisasi kepada seluruh pegawai.

Pasal 38 

(1)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf h.

(2)

Dalam melakukan pencatatan yang akurat dan tepat waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah perlu mempertimbangkan:

a.

transaksi dan kejadian diklasifikasikan dengan tepat dan dicatat segera; dan

b.

klasifikasi dan pencatatan yang tepat dilaksanakan dalam seluruh siklus transaksi atau kejadian.

Pasal 39 

(1)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib membatasi akses atas sumber daya dan pencatatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf i dan menetapkan akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf j.

(2)

Dalam melaksanakan pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah wajib memberikan akses hanya kepada pegawai yang berwenang dan melakukan reviu atas pembatasan tersebut secara berkala.

(3)

Dalam menetapkan akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah wajib menugaskan pegawai yang bertanggung jawab terhadap penyimpanan sumber daya dan pencatatannya serta melakukan reviu atas penugasan tersebut secara berkala.

Pasal 40 

(1)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf k.

(2)

Dalam menyelenggarakan dokumentasi yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pimpinan Instansi Pemerintah wajib memiliki, mengelola, memelihara, dan secara berkala memutakhirkan dokumentasi yang mencakup seluruh Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting.

Bagian Kelima

Informasi dan Komunikasi

Pasal 41

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat.

Pasal 42

(1)

Komunikasi atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 wajib diselenggarakan secara efektif.

(2)

Untuk menyelenggarakan komunikasi yang efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah harus sekurang-kurangnya:

a.

menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan

b.

mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus.

Bagian Keenam

Pemantauan

Pasal 43

(1)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pemantauan Sistem Pengendalian Intern.

(2)

Pemantauan Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya.

Pasal 44 

Pemantauan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas.

Pasal 45

(1)

Evaluasi terpisah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas Sistem Pengendalian Intern.

(2)

Evaluasi terpisah dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal pemerintah.

(3)

Evaluasi terpisah dapat dilakukan dengan menggunakan daftar uji pengendalian intern sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 46 

Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) harus segera diselesaikan dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang ditetapkan.

BAB III
PENGUATAN EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN SPIP

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 47

(1)

Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern di lingkungan masing-masing.

(2)

Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

a.

pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara; dan

b.

pembinaan penyelenggaraan SPIP. 

Bagian Kedua
Pengawasan Intern atas Penyelenggaraan Tugas dan

 Fungsi Instansi Pemerintah

Pasal 48

(1)

Pengawasan intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.

(2)

Aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pengawasan intern melalui:

a.

audit;

b.

reviu;

c.

evaluasi;

d.

pemantauan; dan

e.

kegiatan pengawasan lainnya.

Pasal 49 

(1)

Aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) terdiri atas:

a.

BPKP;

b.

Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern;

c.

Inspektorat Provinsi; dan

d.

Inspektorat Kabupaten/Kota.

(2)

BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan  tertentu yang meliputi:

a.

kegiatan yang bersifat lintas sektoral;

b.

kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan

c.

kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.

(3)

Dalam rangka pelaksanaan pengawasan intern untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Menteri Keuangan melakukan koordinasi kegiatan yang terkait dengan Instansi Pemerintah lainnya.

(4)

Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(5)

Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah provinsi yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi.

(6)

Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.

Pasal 50 

(1)

Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) terdiri atas: 

a.

audit kinerja; dan

b.

audit dengan tujuan tertentu.

(2)

Audit kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan audit atas pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang terdiri atas aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas.

(3)

Audit dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup audit yang tidak termasuk dalam audit kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 51

(1)

Pelaksanaan audit intern di lingkungan Instansi Pemerintah dilakukan oleh pejabat yang mempunyai tugas melaksanakan pengawasan dan yang telah memenuhi syarat kompetensi keahlian sebagai auditor.

(2)

Syarat kompetensi keahlian sebagai auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi melalui keikutsertaan dan kelulusan program sertifikasi.

(3)

Kebijakan yang berkaitan dengan program sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh instansi pembina jabatan fungsional sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 52

(1)

Untuk menjaga perilaku pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) disusun kode etik aparat pengawasan intern pemerintah.

(2)

Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib menaati kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh organisasi profesi auditor dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan pemerintah.

Pasal 53 

(1)

Untuk menjaga mutu hasil audit yang dilaksanakan aparat pengawasan intern pemerintah, disusun standar audit.

(2)

Setiap pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib melaksanakan audit sesuai dengan standar audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Standar audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh organisasi profesi auditor dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pasal 54 

(1)

Setelah melaksanakan tugas pengawasan, aparat pengawasan intern pemerintah wajib membuat laporan hasil pengawasan dan menyampaikannya kepada pimpinan Instansi Pemerintah yang diawasi.

(2)

Dalam hal BPKP melaksanakan pengawasan atas kegiatan kebendaharaan umum negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, laporan hasil pengawasan disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan kepada pimpinan Instansi Pemerintah yang diawasi.

(3)

Secara berkala, berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), BPKP menyusun dan menyampaikan ikhtisar laporan hasil pengawasan kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

(4)

Secara berkala, berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota menyusun dan menyampaikan ikhtisar laporan hasil pengawasan kepada menteri/pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya dengan tembusan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

Pasal 55 

(1)

Untuk menjaga mutu hasil audit aparat pengawasan intern pemerintah, secara berkala dilaksanakan telaahan sejawat.

(2)

Pedoman telaahan sejawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh organisasi profesi auditor.

Pasal 56

Aparat pengawasan intern pemerintah dalam melaksanakan tugasnya harus independen dan obyektif.

Pasal 57 

(1)

Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern melakukan reviu atas laporan keuangan kementerian negara/lembaga sebelum disampaikan menteri/pimpinan lembaga kepada Menteri Keuangan.

(2)

Inspektorat Provinsi melakukan keuangan pemerintah daerah disampaikan gubernur kepada Keuangan.

(3)

Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan reviu atas laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota sebelum disampaikan bupati/walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

(4)

BPKP melakukan reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebelum disampaikan Menteri Keuangan kepada Presiden.

(5)

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menetapkan standar reviu atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) untuk digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan reviu atas laporan keuangan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.

Pasal 58

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Ketiga
Pembinaan Penyelenggaraan Sistem Pengendalian

 Intern Pemerintah

Pasal 59

(1)

Pembinaan penyelenggaraan SPIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b meliputi:

a.

penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP;

b.

sosialisasi SPIP;

c.

pendidikan dan pelatihan SPIP;

d.

pembimbingan dan konsultansi SPIP; dan

e.

peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah.

(2)

Pembinaan penyelenggaraan SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh BPKP.

BAB IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 60

Ketentuan mengenai SPIP di lingkungan pemerintah daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 61 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 28 Agustus 2008 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 28 Agustus 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 127

Penjelasan ............................                                                                                                                                        Lampiran...................