UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 31 TAHUN 2014


TENTANG


PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006
TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang : a. bahwa jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana;
    b. bahwa untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan ahli;
    c. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat;
    d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
       
Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
    3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635);
 
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
                 
MEMUTUSKAN:
                 
Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

                 
Pasal I
    Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635) diubah sebagai berikut:
                 
    1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 1
      Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
      1. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
      2. Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.
      3. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
      4. Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi.
      5. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disingkat LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
      6. Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung sehingga Saksi dan/atau Korban merasa takut atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana.
      7. Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, orang yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban.
      8. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
      9. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
      10. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada Korban atau Keluarganya.
      11. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
                 
    2.

Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                 
Pasal 5
      (1) Saksi dan Korban berhak:
        a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
        b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
        c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
        d. mendapat penerjemah;
        e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
        f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
        g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
        h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
        i. dirahasiakan identitasnya;
        j. mendapat identitas baru;
        k. mendapat tempat kediaman sementara;
        l. mendapat tempat kediaman baru;
        m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
        n. mendapat nasihat hukum;
        o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
        p. mendapat pendampingan.
      (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.
      (3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
                 
    3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 6
      (1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:
        a. bantuan medis; dan
        b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis
      (2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Keputusan LPSK.
                 
    4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 7
      (1) Setiap Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan Korban tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, juga berhak atas Kompensasi.
      (2) Kompensasi bagi Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia melalui LPSK.
      (3) Pelaksanaan pembayaran Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh LPSK berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
      (4) Pemberian Kompensasi bagi Korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.
                 
    5. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 7A dan Pasal 7B yang berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 7A
      (1) Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa:
        a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
        b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
        c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
      (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK.
      (3) Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK
      (4) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya.
      (5) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.
      (6) Dalam hal Korban tindak pidana meninggal dunia, Restitusi diberikan kepada Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban.
                 
Pasal 7B
      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan pemberian Kompensasi dan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 7A diatur dengan Peraturan Pemerintah.
                 
    6. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 8
      (1) Perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
      (2) Dalam keadaan tertentu, Perlindungan dapat diberikan sesaat setelah permohonan diajukan kepada LPSK.
                 
    7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 10
      (1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
      (2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
                 
    8. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A yang berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 10A
      (1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
      (2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
        a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
        b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau
        c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
      (3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
        a. keringanan penjatuhan pidana; atau
        b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
      (4) Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.
      (5) Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
                 
    9. Ketentuan Pasal 11 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 11
      (1) LPSK merupakan lembaga yang mandiri.
      (2) LPSK berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
      (3) LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan.
      (4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja perwakilan LPSK di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden
                 
    10. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A yang berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 12A
      (1) Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, LPSK berwenang:
        a. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang terkait dengan permohonan;
        b. menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan;
        c. meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
        d. meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;
        e. mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
        f. mengelola rumah aman;
        g. memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman;
        h. melakukan pengamanan dan pengawalan;
        i. melakukan pendampingan Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan; dan
        j. melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi.
      (2) Dalam hal kewenangan LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi oleh instansi yang bersangkutan atau pihak lain maka pejabat dari instansi atau pihak lain tersebut dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
                 
    11. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 16
      (1) Pimpinan LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang Anggota LPSK.
      (2) Pimpinan LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
        a. 1 (satu) orang Ketua merangkap Anggota LPSK; dan
        b. 6 (enam) orang Wakil Ketua masing-masing merangkap sebagai Anggota LPSK.
      (3) Pimpinan LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja secara kolektif.
                 
    12. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 16C, dan Pasal 16D yang berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 16A
      (1) Ketua LPSK dipilih dari dan oleh Anggota LPSK.
      (2) Ketua LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penanggung jawab tertinggi LPSK.
      (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan LPSK.
                 
Pasal 16B
      (1) Pimpinan LPSK berhak atas penghasilan, hak lainnya, dan perlindungan keamanan.
      (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghasilan, hak lainnya, dan perlindungan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
                 
Pasal 16C
      (1) LPSK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan organisasi LPSK.
      (2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh pejabat pembina kepegawaian dengan persetujuan Ketua LPSK.
      (3) Tenaga ahli berhak atas penghasilan dan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
      (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tugas, dan tanggung jawab tenaga ahli diatur dengan Peraturan LPSK.
                 
Pasal 16D
      (1) Untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Anggota LPSK dibentuk dewan penasihat.
      (2) Dewan penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih melalui panitia seleksi.
      (3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk oleh LPSK yang terdiri atas unsur LPSK, pemerintah, dan masyarakat.
      (4) Jumlah anggota dewan penasihat paling banyak 5 (lima) orang dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan.
      (5) Masa jabatan anggota dewan penasihat selama 5 (lima) tahun.
      (6) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian dewan penasihat diatur dalam Peraturan Presiden.
                 
    13. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 18
      (1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, LPSK dibantu oleh sekretariat jenderal yang dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal.
      (2) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sekretaris jenderal bertanggung jawab kepada Pimpinan LPSK.
      (3) Sekretaris jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
      (4) Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian sekretaris jenderal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
      (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan organisasi, tugas, fungsi, dan wewenang sekretaris jenderal diatur dalam Peraturan Presiden.
                 
    14. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 23
      (1) Anggota LPSK adalah penyelenggara negara yang diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
      (2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota LPSK harus memenuhi syarat:
        a.  warga negara Indonesia;
        b. sehat jasmani dan rohani;
        c. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun;
        d. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan;
        e. berpendidikan paling rendah S1 (strata 1);
        f. berpengalaman di bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat 10 (sepuluh) tahun;
        g. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; dan
        h. memiliki nomor pokok wajib pajak.
                 
    15. Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 23A yang berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 23A
      (1) Sebelum menduduki jabatannya, Anggota LPSK harus mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia.
      (2) Bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
        “Demi Allah/Tuhan Yang Maha Esa saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam melaksanakan jabatan ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun”.
        “Demi Allah/Tuhan Yang Maha Esa saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Anggota LPSK dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya”.
        “Demi Allah/Tuhan Yang Maha Esa saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun suatu janji atau pemberian”.
        “Demi Allah/Tuhan Yang Maha Esa saya bersumpah/berjanji akan memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan”.
        “Demi Allah/Tuhan Yang Maha Esa Saya bersumpah/berjanji akan memelihara kerahasiaan mengenai hal-hal yang diketahui sewaktu memenuhi kewajiban saya”.
                 
    16. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 24A dan Pasal 24B yang berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 24A
      (1) Dalam hal Anggota LPSK melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e, dewan penasihat membentuk dewan etik yang bersifat ad hoc.
      (2) Ketentuan mengenai syarat, tata cara, dan jumlah anggota dewan etik diatur dalam Peraturan LPSK.
                 
Pasal 24B
      (1) Dalam hal terdapat kekosongan Anggota LPSK, Presiden mengangkat Anggota LPSK pengganti antarwaktu dari calon Anggota LPSK urutan peringkat berikutnya hasil pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat.
      (2) Masa jabatan Anggota LPSK pengganti antarwaktu adalah sisa masa jabatan Anggota LPSK yang digantikannya.
      (3) Penggantian Anggota LPSK antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan Anggota LPSK yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun.
                 
    17. Ketentuan Pasal 28 diubah dan ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (2) dan ayat (3) sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 28
      (1) Perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban diberikan dengan syarat sebagai berikut:
        a. sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
        b. tingkat Ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
        c. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; dan
        d.. rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban
      (2) Perlindungan LPSK terhadap Saksi Pelaku diberikan dengan syarat sebagai berikut:
        a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
        b. sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku dalam mengungkap suatu tindak pidana;
        c. bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya;
        d.. kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan
        e. adanya Ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya Ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku atau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
      (3) Perlindungan LPSK terhadap Pelapor dan ahli diberikan dengan syarat sebagai berikut:
        a. sifat pentingnya keterangan Pelapor dan ahli; dan
        b. tingkat Ancaman yang membahayakan Pelapor dan ahli.
                 
    18. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 29
      (1) Tata cara memperoleh Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, yakni sebagai berikut:
        a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;
        b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
        c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan Perlindungan diajukan.
      (2) Dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan Perlindungan tanpa diajukan permohonan.
                 
    19. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 29A yang berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 29A
      (1) Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban dapat diberikan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali.
      (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan dalam hal:
        a. orang tua atau wali diduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap anak yang bersangkutan;
        b. orang tua atau wali patut diduga menghalang-halangi anak yang bersangkutan dalam memberikan kesaksian;
        c. orang tua atau wali tidak cakap menjalankan kewajiban sebagai orang tua atau wali;
        d. anak tidak memiliki orang tua atau wali; atau
        e. orang tua atau wali anak yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya.
      (3) Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban yang tidak memerlukan izin orang tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permintaan LPSK.
                 
    20. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32A yang berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 32A
      (1) Hak yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dihentikan jika diketahui bahwa kesaksian, laporan, atau informasi lain diberikan tidak dengan iktikad baik.
      (2) Dalam hal tindak pidana yang dilaporkan atau diungkap oleh Saksi Pelaku dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak terbukti, tidak menyebabkan batalnya Perlindungan bagi Saksi Pelaku tersebut.
                 
    21. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 37
      (1) Setiap Orang yang memaksakan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan atau cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf j, huruf k, atau huruf l sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
      (2) Setiap Orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
      (3) Setiap Orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
                 
    22. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 38
      Setiap Orang yang menghalang-halangi Saksi dan/atau Korban secara melawan hukum sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh Perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, huruf p, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), atau Pasal 7A ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
                 
    23. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 39
      Setiap Orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau Keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
                 
    24. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 40
      Setiap Orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), atau Pasal 7A ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
                 
    25. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 41
      Setiap Orang yang secara melawan hukum memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang sedang dilindungi dalam suatu tempat kediaman sementara atau tempat kediaman baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf k dan huruf l dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
                 
    26. Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 42A yang berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 42A
      (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 41 dilakukan oleh korporasi maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
      (2) Selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 41.
      (3) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
        a. pencabutan izin usaha;
        b. pencabutan status badan hukum; dan/atau
        c. pemecatan pengurus.
                 
    27. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
                 
Pasal 43
      (1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 42, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
      (2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim.
                 
Pasal II
                 
    Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
                 
                 
                 
                 
                 
               

Disahkan di Jakarta

               

pada tanggal 17 Oktober 2014

               

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

               
               

 

                                ttd.

               
               

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

 

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 17 Oktober 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
                REPUBLIK INDONESIA,

 

                            ttd.

 

                AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 293


Penjelasan...............................