DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


L E M B A R A N - N E G A R A
R E P U B L I K I N D O N E S I A


No.76,1981 KEHAKIMAN.TINDAK.PIDANA. Warganegara.Hukum Acara Pidana. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3209).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG
HUKUM ACARA PIDANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
b. bahwa demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978) perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan Nusantara;
c. bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
d. bahwa hukum acara pidana sebagai yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional;
e. bahwa oleh karena itu perlu mengadakan undang-undang tentang hukum acara pidana untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana, sehingga dengan demikian dasar utama negara hukum dapat ditegakkan.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978;
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2951).

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


M E M U T U S K A N :

Dengan mencabut :

1. Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) beserta semua peraturan pelaksanaannya;
2. Ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain; dengan ketentuan bahwa yang tersebut dalam angka 1 dan angka 2, sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana.

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA PIDANA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan :

1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.
2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.
3. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang
karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur
dalam undang-undang ini.
4. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
6. a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
7. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim
di sidang pengadilan.
8. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili.
9. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan
memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di
sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.
10. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan.
11. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
12. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak
terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
13. Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh
atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
14. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
15. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di
sidang pengadilan.
16. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak dan atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan.
17. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat
tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan
atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
18. Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan
badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada
pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.
19. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan
tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu
dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang
yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang
diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang
menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu
melakukan tindak pidana itu.
20. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
21. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
22. Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya
yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
23. Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada
tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.
24. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena atau
kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang
telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
25. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum
seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
26. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
27. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.
28. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
29. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.
30. Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu
atau hubungBan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses
pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
31. Satu hari adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah waktu tiga puluh
hari.
32. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap.

BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

Pasal 2

Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan
peradilan umum pada semua tingkat peradilan.

BAB III
DASAR PERADILAN

Pasal 3

Peradilan dilakuan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM

Bagian Kesatu
Penyelidik dan Penyidik

Pasal 4

Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.

Pasal 5

(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 :
a. karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
sebagimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Pasal 6

(1) Penyidik adalah :
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur
lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Pasal 7

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-
masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan
pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Pasal 8

(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam
undang-undang ini.
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan :
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Pasal 9

Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya di seluruh wilayah
Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia diangkat sesuai
dengan ketentuan undang-undang.

Bagian Kedua
Penyidik Pembantu

Pasal 10

(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian Republik Indonesia yang diangkat
oleh Kepala Kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat
kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
(2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.

Pasal 11

Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1),
kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari
penyidik.

Pasal 12

Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada
penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung
diserahkan kepada penuntut umum.

Bagian Ketiga
Penuntut Umum

Pasal 13

Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 14

Penuntut umum mempunyai wewenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 15

Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya
menurut ketentuan undang-undang.

BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN,
PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT

Bagian Kesatu
Penangkapan

Pasal 16

(1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang
melakukan penangkapan.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang
melakukan penangkapan.

Pasal 17

Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan
tBindak pidan berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Pasal 18

(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara
Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan
kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas
tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah,
dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta
barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Pasal 19

(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk
paling lama satu hari.
(2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali
dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak
memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.

Bagian Kedua
Penahanan

Pasal 20

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan.
(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya
berwenang melakukan penahanan.

Pasal 21

(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak berdasarkan bukti
yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum
terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan
atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan
menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan
hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
(4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa
yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan
dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296,
Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372,
Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal
480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai,
terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2
dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8
Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7),
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor
9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

Pasal 22

(1) Jenis penahanan dapat berupa :
a. penahanan rumah tahanan negara;
b. penahanan rumah;
c. penahanan kota.
(2) Penahanan rumah dilaksakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman
tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk
menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam
penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman
tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa
melapor diri pada waktu yang ditentukan.
(4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
(5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya
waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah
lamanya waktu penahanan.

Pasal 23

(1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis
penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22
(2) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat
perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang
tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan
kepada instansi yang berkepentingan.

Pasal 24

(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut
umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan
tersangka dari tahanan demi hukum.

Pasal 25

(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud
dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah
mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

Pasal 26

(1) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah
penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus,
terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 27

(1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat
perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus,
terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 28

(1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat
perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua
Mahkamah Agung untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus,
terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 29

(1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal
24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28, guna kepentingan
pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang
berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:
a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat,
yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan
tahun atau lebih.
(2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh
hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang
lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
(3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan
pemeriksaan dalam tingkat:
a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;
b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oleh ketua pengadilan tinggi;
c. pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada
ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggungjawab.
(5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
(6) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai
diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari
tahanan demi hukum.
(7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau
terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat:
a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua
Mahkamah Agung.

Pasal 30

Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25,
Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut
pada Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti
kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.

Pasal 31

(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau
hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan
penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan
syarat yang ditentukan.
(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat
mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar
syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Bagian Ketiga
Penggeledehan

Pasal 32

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukan
dalam undang-undang ini.

Pasal 33

(1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan
penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas
kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal
tersangka atau penghuni menyetujuinya.
(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak
atau tidak hadir.
(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus
dibuat suatu berita acara dan turunannnya disampaikan kepada pemilik atau
penghuni rumah yang bersangkutan.

Pasal 34

(1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,
dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan
penggeledahan :
a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang
ada di atasnya;
b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;
d. di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
(2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1)
penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan
tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak
pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak
pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua
pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 35

Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki :
a. ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;
c. ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan.

Pasal 36

Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya,
dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan
tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh
penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan.

Pasal 37

(1) Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian
termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan
yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
(2) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah
pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.

Pasal 38

(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua
pengadilan negeri setempat.
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,
tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya
atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua
pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 39

(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak
pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit
dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili
perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Pasal 40

Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata
atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau
benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.

Pasal 41

Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenangmenyita paket atau surat atau
benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang
paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal
daripadanya dan untuk itu kepada tersangkadan atau kepada pejabat kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang
bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan.

Pasal 42

(1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang
dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan
pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat
tanda penerimaan.
(2) surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada
penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa
atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau
jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.

Pasal 43

Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut
undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara,
hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua
pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 44

(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2) penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung
jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk
dipergunakan oleh siapapun juga.

Pasal 45

(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang
membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan
pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum
tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi,
sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil
tindakan sebagai berikut :
a. apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda
tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau
penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b. apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat
diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang
menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai
barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak
termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk
dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.

Pasal 46

(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka
dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang
paling berhak apabila :
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau
ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara
tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari
suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak
pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan
tersebut, jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk
dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau
jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara
lain.

Bagian Kelima
Pemeriksaan Surat

Pasal 47

(1) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim
melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi
atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat
mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin
khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri.
(2) Untuk kepentingan tersebut penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos
dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk
itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dapat
dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut
ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut.

Pasal 48

(1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada
hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan
pada berkas perkara.
(2) Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak lagi ada hubungannya
dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan
kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan
komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah
dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tandatangan beserta identitas
penyidik.
(3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah
jabatan isi surat yang dikembalikan itu.

Pasal 49

(1) Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 dan Pasal 75.
(2) Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor
pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan yang bersangkutan.

BAB VI
TERSANGKA DAN TERDAKWA

Pasal 50

(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya
dapat diajukan kepada penuntut umum.
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut
umum.
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

Pasal 51

Untuk mempersiapkan pembelaan :
a. tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
pemeriksaan dimulai;
b. terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti
olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.

Pasal 52

Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.

Pasal 53

(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 177.
(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.

Pasal 54

Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan
hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum, selama dalam waktu dan pada
setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang
ini.

Pasal 55

Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54 tersangka atau
terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.

Pasal 56

(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun
atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima
tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang
bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Pasal 57

(1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi
penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
(2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan
berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi
proses perkaranya.

Pasal 58

Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada
hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.

Pasal 59

Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang
penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang
serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya
dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau
jaminan bagi penangguhannya.

Pasal 60

Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak
yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa
guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha
mendapatkan bantuan hukum.

Pasal 61

Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat
hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang
tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan
pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.

Pasal 62

(1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan
menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang
diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa
disediakan alat tulis menulis.
(2) Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau
sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau
pejabat rumah tahanan negara kecali jika terdapat cukup alasan untuk diduga
bahwa surat menyurat itu disalahgunakan.
(3) Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik atau diperiksa
oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal
itu diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa dan surat tersebut dikirim
kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah
ditilik".

Pasal 63

Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan rohaniwan.

Pasal 64

Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
Halaman berikutnya :