"Pasal 20

(1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.  
(2) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(3)

Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
23. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:


"Pasal 21

(1)

Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun;

d.

badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e. perusahaan, badan, dan penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:
a. badan perwakilan negara asing;

b.

organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(3)

Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

(4)

Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sama dengan tarif pajak sebagaimana tersebut dalam Pasal 17.
(6) Pajak yang telah dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dari 1 (satu) pemberi kerja sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali pegawai atau pensiunan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan lain yang bukan penghasilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan bersifat final menurut Undang-undang ini.
(7) Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan pemotongan pajak yang bersifat final atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan tertentu.

(8)

Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa, atau kegiatan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
24. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 22

(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatn usaha di bidang lain.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan besarnya pungutan, tata cara penyetoran, dan tata cara pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
25. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 23

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:

a.

sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1) dividen;
2) bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
3) royalti;
4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;

b.

sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi;

c.

sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f;
d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
26. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:


"Pasal 24

(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam menhitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut:
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalit, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
27. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 25

(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu, sepanjang tidak kurang dari rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.
(3) Apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahu pajak sebelum tahun Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar dari angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tahun pajak terakhir.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat keterangan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar daripada angsuran pajak bulan yang lalu, yang dihitung berdasarkan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tahun pajak terakhir dn berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) Apabila Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu lebih keci dari jumlah Pajak Penghasilan yang telah dibayar, dipotong dan/atau dipungut selama tahun pajak yang bersangkutan, maka besarnya angsuran pajak untuk setiap bulan sama denga angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sampai dikeluarkannya keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan untuk bulan-bulan berikutnya angsuran pajak dihitung berdasarkan jumlah pajak yang terutang menurut keputusan tersebut.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, apabila:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
28. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:


"Pasal 26

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen
b. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia yang ketentuannya ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap."
29. Ketentuan Pasal 27 dihapus.
30. Judul Bab VI diubah, sehingga menjadi sebagai berikut:


" BAB VI

PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN"

31. Ketentuan Pasal 28 disempurnakan dan ditambah dengan ketentuan baru, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 28

(1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa:
a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5).
(2) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
32. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 28 dan Pasal 29 yang dijadikan Pasal 28A, yang berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 28A

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata kebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya."
33. Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 29

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (duapuluh lima) bulan ke tiga setelah pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.
34. Ketentuan Pasal 30 dihapus.
35. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
36. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 31 dan Pasal 32 yang dijadikan Pasal 31A dalam Bab VII tentang Ketentuan Lain-lain, yang berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 31A

Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
37. Ketentuan Pasal 32 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 32

Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
38. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 33 dan Pasal 34 yang dijadikan Pasal 33A dalam BAB VIII tentang Ketentuan Peralihan, yang berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 33A

(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 1995 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang ini.
(2) Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan dan telah mendapat keputusan tentang saat mulai berproduksi sebelum tanggal 1 Januari 1995, maka fasilitas perpajakan dimaksud dapat dinikmati sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan.
(3) Fasilitas perpajakan yang diberikan, berakhir pada tanggal 31 Desember 1994, kecuali fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.
39. Ketentuan Pasal 34 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 34

Peraturan pelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
40. Ketentuan Pasal 35 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 35

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."


Pasal II

Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan 1984."


Pasal III

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara.


Disahkan di Jakarta pada tanggal 9 Nopember 1994

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


S O E H A R T O