bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 54 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Koordinasi antar Penyelenggara Jaminan Dalam Pemberian Manfaat Pelayanan Kesehatan;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 51);
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 165);
MEMUTUSKAN:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KOORDINASI ANTAR PENYELENGGARA JAMINAN DALAM PEMBERIAN MANFAAT PELAYANAN KESEHATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Penyelenggara Jaminan Dalam Pemberian Manfaat Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya disebut Penyelenggara Jaminan adalah penyelenggara jaminan yang memberikan manfaat pelayanan kesehatan dan/atau penggantian biaya pelayanan kesehatan.
Peserta adalah peserta program jaminan yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Jaminan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Korban adalah setiap orang yang menjadi korban kecelakaan alat angkutan penumpang umum yang sah dan lalu lintas jalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Program Jaminan Kecelakaan Lalu Lintas.
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.
Jaminan Kecelakaan Kerja yang selanjutnya disingkat JKK adalah manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
Jaminan Kecelakaan Lalu Lintas yang selanjutnya disingkat JKLL adalah perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi Korban kecelakaan yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan penumpang umum yang sah dan lalu lintas jalan yang mengakibatkan Korban mengalami cedera dan memerlukan perawatan pada Fasilitas Kesehatan.
Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan koordinasi pemberian manfaat pelayanan kesehatan antar Penyelenggara Jaminan.
Pasal 3
Penyelenggara Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas:
BPJS Kesehatan;
BPJS Ketenagakerjaan;
PT Taspen (Persero);
PT Asabri (Persero);
PT Jasa Raharja (Persero); dan
Penyelenggara jaminan lain yang memberikan manfaat pelayanan kesehatan.
Pasal 4
Koordinasi pemberian manfaat pelayanan kesehatan antar Penyelenggara Jaminan dilakukan pada kasus:
kecelakaan lalu lintas;
kecelakaan kerja;
penyakit akibat kerja; dan/atau
kasus lain yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
BAB II
KOORDINASI PEMBERIAN MANFAAT PELAYANAN KESEHATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan BPJS Kesehatan dapat berkoordinasi dengan Penyelenggara Jaminan selain BPJS Kesehatan.
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama.
Pemberian manfaat pelayanan kesehatan oleh Penyelenggara Jaminan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pelaporan Dugaan Kasus
Pasal 6
Pelaporan dugaan kasus dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan yang telah bekerja sama dengan Penyelenggara Jaminan melalui penerbitan laporan dugaan kasus.
Laporan dugaan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan:
laporan kejadian kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, dan/atau kasus lain yang membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
ketentuan mengenai penjamin sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, huruf A dalam hal diduga kasus kecelakaan lalu lintas;
ketentuan mengenai penjamin sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, huruf B dalam hal diduga kasus kecelakaan kerja; dan/atau d. ketentuan mengenai jenis penyakit akibat kerja sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal diduga kasus penyakit akibat kerja.
Laporan dugaan kasus oleh Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen (Persero), atau PT Asabri (Persero) dalam hal diduga merupakan kasus kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja;
PT Jasa Raharja (Persero) dalam hal diduga merupakan kasus kecelakaan lalu lintas;
BPJS Kesehatan dalam hal diduga merupakan kasus kecelakaan lalu lintas yang bukan kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja;
penyelenggara jaminan lain yang memberikan manfaat pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
pemberi kerja, pasien/Korban, keluarga, atau wali keluarga dari pasien/Korban dalam hal pasien/Korban bukan peserta Penyelenggara Jaminan.
Laporan dugaan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai:
identitas pasien/Korban;
status kepesertaan pasien/Korban pada Penyelenggara Jaminan;
perkiraan kronologis dan tempat kejadian;
perkiraan penyebab kejadian;
pernyataan dugaan kasus;
diagnosis klinis; dan
tindakan pelayanan kesehatan yang dilakukan.
Pelaporan dugaan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan pada kesempatan pertama.
Pasal 7
Berdasarkan laporan dugaan kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat , Fasilitas Kesehatan memberikan tanda khusus (tagging) kepada pasien/Korban sekurang-kurangnya untuk keperluan pemberian layanan kesehatan, tindak lanjut layanan kesehatan berikutnya, dan pengadministrasian pembebanan biaya layanan kesehatan.
Tanda khusus (tagging) kepada pasien/Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan disesuaikan kemudian berdasarkan penetapan status kasus.
Pasal 8
Dalam hal Fasilitas Kesehatan belum mempunyai perjanjian kerja sama dengan Penyelenggara Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), pelaporan dugaan kasus oleh Fasilitas Kesehatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penetapan Status Kasus dan Pelaksanaan Koordinasi Paragraf 1 Kasus Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 9
Berdasarkan laporan dugaan kasus kecelakaan lalu lintas dari Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) yang telah dibuktikan dengan laporan Polisi atau instansi berwenang lainnya, penjamin sebagaimana diatur dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini memberikan surat jaminan kepada Fasilitas Kesehatan atas pasien/Korban yang diduga mengalami kasus kecelakaan lalu lintas.
Surat jaminan dari penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada kesempatan pertama sejak diterimanya laporan dugaan kasus kecelakaan lalu lintas dari Fasilitas Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemberian surat jaminan bagi pasien/Korban yang diduga mengalami kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kriteria dan plafon jaminan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Surat jaminan dari penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada penjamin lainnya yang terkait.
Pasal 10
Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) menanggung biaya layanan kesehatan akibat kecelakaan lalu lintas berdasarkan surat jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai penjamin yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 11
Penetapan status kecelakaan lalu lintas dilakukan berdasarkan laporan Polisi atau instansi berwenang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Dalam hal terdapat perbedaan antara laporan Polisi atau instansi berwenang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan laporan dugaan kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), penetapan status akhir kasus kecelakaan lalu lintas didasarkan pada laporan Polisi atau instansi berwenang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penetapan status kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan status akhir kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya dapat menjadi dasar bagi:
penyesuaian tanda khusus (tagging) yang telah diberikan sebelumnya oleh Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1);
penyesuaian penjamin yang menjadi penanggung biaya layanan kesehatan sebelumnya; dan/atau
penyesuaian pembebanan biaya layanan kesehatan yang telah dikeluarkan oleh penjamin sebelumnya.
Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku surut untuk layanan kesehatan yang telah diberikan sebelum adanya penetapan status akhir kasus dan layanan kesehatan berikutnya setelah adanya penetapan status akhir kasus.
Penetapan status kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan status akhir kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghalangi pembayaran pertanggungan biaya layanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan sesuai ruang lingkup jaminan.
Biaya penetapan status kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan status akhir kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada penjamin yang melakukan upaya penetapan status kasus kecelakaan lalu lintas. Paragraf 2 Kecelakaan Kerja
Pasal 12
Berdasarkan laporan dugaan kasus kecelakaan kerja dari Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), penjamin sebagaimana diatur dalam Lampiran Bagian B yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, memberikan surat jaminan kepada Fasilitas Kesehatan atas pasien/Korban yang diduga mengalami kasus kecelakaan kerja.
Surat jaminan dari penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada kesempatan pertama sejak diterimanya laporan dugaan kasus kecelakaan kerja dari Fasilitas Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemberian surat jaminan bagi pasien/Korban yang diduga mengalami kasus kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Surat jaminan dari penjamin sebagaimana dimaksud ayat (1) ditembuskan kepada penjamin lainnya yang terkait.
Pasal 13
Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) menanggung biaya layanan kesehatan akibat kecelakaan kerja berdasarkan surat jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), sesuai dengan ketentuan mengenai penjamin yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 14
Penetapan status kecelakaan kerja dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal terdapat perbedaan antara penetapan status kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan laporan dugaan kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), penetapan status akhir kasus kecelakaan kerja didasarkan pada hasil investigasi bersama Penyelenggara Jaminan atau keputusan menteri teknis terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penetapan status kasus kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan status akhir kasus kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit dapat menjadi dasar bagi:
penyesuaian tanda khusus (tagging) yang telah diberikan sebelumnya oleh Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1);
penyesuaian penjamin yang menjadi penanggung biaya layanan kesehatan sebelumnya; dan/atau
penyesuaian pembebanan biaya layanan kesehatan yang telah dikeluarkan oleh penjamin sebelumnya.
Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku surut untuk layanan kesehatan yang diberikan sebelum adanya penetapan status akhir kasus dan layanan kesehatan berikutnya setelah adanya penetapan status akhir kasus.
Penetapan status kasus kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan status akhir kasus kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghalangi pembayaran pertanggungan biaya layanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan.
Biaya penetapan status kasus kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan status akhir kasus kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada penjamin yang melakukan upaya penetapan status kasus kecelakaan kerja. Paragraf 3 Penyakit Akibat Kerja
Pasal 15
Berdasarkan laporan dugaan kasus penyakit akibat kerja dari Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ketentuan mengenai jenis penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d, BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen (Persero), atau PT Asabri (Persero) sesuai lingkup kepesertaannya, memberikan surat jaminan kepada Fasilitas Kesehatan atas pasien/Korban yang diduga mengalami kasus penyakit akibat kerja.
Surat jaminan dari BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen (Persero), atau PT Asabri (Persero) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada kesempatan pertama sejak diterimanya laporan dugaan kasus penyakit akibat kerja dari Fasilitas Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemberian surat jaminan bagi pasien/ Korban yang diduga mengalami kasus penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Surat jaminan dari BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen (Persero), atau PT Asabri (Persero) sebagaimana dimaksud ayat (1) ditembuskan kepada penjamin lainnya yang terkait.
Pasal 16
Biaya layanan kesehatan atas dugaan kasus penyakit akibat kerja berdasarkan surat jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen (Persero), atau PT Asabri (Persero).
Biaya layanan kesehatan atas dugaan kasus penyakit akibat kerja selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Pasal 17
Penegakan diagnosis kasus penyakit akibat kerja dilakukan oleh dokter atau dokter spesialis yang berkompeten di bidang kesehatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Biaya yang timbul untuk penegakan diagnosis kasus penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada penjamin yang melakukan upaya penegakan diagnosis kasus.
Pasal 18
Dalam hal terdapat perbedaan antara penegakan diagnosis kasus penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan laporan dugaan kasus penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), penetapan status akhir kasus penyakit akibat kerja menggunakan hasil penegakan diagnosis.
Penetapan status akhir penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang- kurangnya dapat menjadi dasar bagi:
penyesuaian tanda khusus (tagging) yang telah diberikan sebelumnya oleh Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1);
penyesuaian penjamin yang menjadi penanggung biaya layanan kesehatan sebelumnya; dan/atau
penyesuaian pembebanan biaya layanan kesehatan yang telah dikeluarkan oleh penjamin sebelumnya.
Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku surut untuk layanan kesehatan yang diberikan sebelum adanya penetapan status akhir kasus dan layanan kesehatan berikutnya setelah adanya penetapan status akhir kasus.
Penetapan status penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan status akhir kasus penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghalangi pembayaran pertanggungan biaya layanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan.
Pasal 19
Untuk penetapan dugaan kasus penyakit akibat kerja selain yang diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jenis penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d, dilakukan suatu forum koordinasi.
Biaya yang timbul dalam rangka penetapan status penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada penjamin yang melakukan upaya penetapan status kasus.
Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil forum koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan laporan dugaan kasus penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat , penetapan status akhir kasus penyakit akibat kerja menggunakan hasil forum koordinasi.
Hasil forum koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya dapat menjadi dasar bagi:
penyesuaian tanda khusus (tagging) yang telah diberikan sebelumnya oleh Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1);
penyesuaian penjamin yang menjadi penanggung biaya layanan kesehatan sebelumnya; dan/atau
penyesuaian pembebanan biaya layanan kesehatan yang telah dikeluarkan oleh penjamin sebelumnya.
Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku surut untuk layanan kesehatan yang diberikan sebelum adanya penetapan status akhir kasus dan layanan kesehatan berikutnya setelah adanya penetapan status akhir kasus.
Penetapan status akhir kasus penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghalangi pembayaran pertanggungan biaya layanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan.
Bagian Keempat
Penyetaraan Kelas dan Tarif Layanan
Pasal 20
Dalam hal belum ditetapkan status kasus kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, atau penyakit akibat kerja, layanan kesehatan oleh Fasilitas Kesehatan dilakukan sesuai kelas dan tarif layanan kesehatan yang berlaku pada Penyelenggara Jaminan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Bagian Kelima
Rekonsiliasi dan Penggantian Biaya
Pasal 21
Untuk proses penggantian biaya pelayanan kesehatan yang telah dikeluarkan oleh salah satu penjamin dilakukan rekonsiliasi.
Hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh penjamin yang terkait.
Besaran penggantian biaya pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Koordinasi Pemberian Manfaat Pelayanan Kesehatan oleh Penyelenggara Jaminan Lain
Pasal 22
Penyelenggara jaminan lain yang memberikan manfaat layanan kesehatan dapat melakukan koordinasi pemberian manfaat layanan kesehatan berdasarkan perjanjian kerja sama dengan BPJS Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Kerja Sama dengan Fasilitas Kesehatan
Pasal 23
Penyelenggara Jaminan selain BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan Fasilitas Kesehatan yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian kerja sama.
BAB III
SISTEM KOORDINASI DAN PERTUKARAN DATA KEPESERTAAN
Bagian Kesatu
Sistem Koordinasi Pelayanan Kesehatan antar Penyelenggara Jaminan yang Memberikan Layanan Kesehatan
Pasal 24
Pelaporan dugaan kasus, pemberian layanan kesehatan, tindak lanjut layanan kesehatan berikutnya, dan pengadministrasian pembebanan biaya layanan kesehatan dilakukan secara elektronis dalam sistem koordinasi pelayanan kesehatan antar Penyelenggara Jaminan yang memberikan layanan kesehatan, yang dikembangkan oleh Penyelenggara Jaminan.
Pembuatan dan pengembangan integrasi sistem koordinasi pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh BPJS Kesehatan.
Bagian Kedua
Pertukaran Data Kepesertaan
Pasal 25
Dalam pelaksanaan koordinasi antar Penyelenggara Jaminan dalam pemberian layanan kesehatan dilakukan pertukaran data kepesertaan antar Penyelenggara Jaminan.
Pertukaran data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi sinkronisasi nomor identitas peserta dan pemutakhiran data kepesertaan.
Pelaksanaan pertukaran data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama antar Penyelenggara Jaminan.
Pertukaran data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya.
BAB IV
SOSIALISASI DAN MONITORING EVALUASI
Bagian Kesatu
Sosialisasi
Pasal 26
Penyelenggara Jaminan wajib melakukan sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dan Fasilitas Kesehatan mengenai penyelenggaraan koordinasi antar Penyelenggara Jaminan, baik secara sendiri maupun bersama-sama.
Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 4 (empat) kali dalam setahun.
Bagian Kedua
Monitoring dan Evaluasi
Pasal 27
Untuk pelaksanaan koordinasi antar Penyelenggara Jaminan dalam pemberian manfaat layanan kesehatan, Penyelenggara Jaminan dan/atau kementerian/lembaga terkait melaksanakan monitoring dan evaluasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk perbaikan penyelenggaraan koordinasi antar Penyelenggara Jaminan dalam pemberian manfaat layanan kesehatan.
BAB V
PENYELESAIAN PERBEDAAN PENDAPAT
Pasal 28
Perbedaan pendapat antar Penyelenggara Jaminan diselesaikan dengan cara musyawarah.
Penyelesaian secara musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Penyelenggara Jaminan, kementerian/lembaga terkait dan/atau lembaga lainnya dengan mempertimbangkan pendapat dari organisasi profesi kesehatan.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 29
Biaya atas layanan kesehatan yang tidak dijamin oleh program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan kesehatan ditagihkan oleh Fasilitas Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
Perjanjian kerja sama, petunjuk teknis, dan/atau peraturan teknis lainnya antar Penyelenggara Jaminan dan Fasilitas Kesehatan mengenai koordinasi pemberian manfaat layanan kesehatan oleh Penyelenggara Jaminan disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Menteri ini mulai diundangkan.
Penyelesaian pengembangan sistem teknologi informasi oleh Penyelenggara Jaminan dan Fasilitas Kesehatan terkait koordinasi pemberian manfaat layanan kesehatan oleh Penyelenggara Jaminan dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Menteri ini mulai diundangkan.
Penyelenggara Jaminan selain BPJS Kesehatan yang belum bekerja sama dengan Fasilitas Kesehatan yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan mengadakan perjanjian kerja sama paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai diundangkan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, perjanjian kerja sama, petunjuk teknis dan/atau peraturan teknis lainnya terkait koordinasi pemberian manfaat pelayanan kesehatan oleh Penyelenggara Jaminan, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.
Pasal 32
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2018 April 2012 MENTERI KEUANGAN ttd ttd SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2018 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd WIDODO EKATJAHJANA