bahwa Piutang Negara yang merupakan hak pemerintah perlu dikelola secara optimal melalui pengembangan sistem pengelolaan Piutang Negara yang handal dan terpercaya;
bahwa untuk pengelolaan Piutang Negara oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan penyederhanaan proses pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara sesuai Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara, perlu penguatan proses pengelolaan dan pengurusan Piutang Negara;
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, perlu pengaturan mengenai penghapusan Piutang Negara yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga, Bendahara Umum Negara dan Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara;
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104);
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4488) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6119);
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.01/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 641);
MEMUTUSKAN:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN PIUTANG NEGARA PADA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, BENDAHARA UMUM NEGARA DAN PENGURUSAN SEDERHANA OLEH PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Definisi
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun.
Panitia Urusan Piutang Negara yang selanjutnya disingkat PUPN adalah panitia yang bersifat interdepartemental sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara.
Pengurusan Piutang Negara adalah kegiatan yang dilakukan oleh PUPN dalam rangka mengurus Piutang Negara sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dan peraturan perundang-undangan lain di bidang Piutang Negara.
Penghapusan Secara Bersyarat adalah kegiatan untuk menghapuskan Piutang Negara dari pembukuan Pemerintah Pusat dengan tidak menghapuskan hak tagih negara.
Penghapusan Secara Mutlak adalah kegiatan penghapusan Piutang Negara setelah Penghapusan Secara Bersyarat dengan menghapuskan hak tagih negara.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga Negara.
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah salah satu pejabat unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, Piutang Negara, dan lelang.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN.
Kantor Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal.
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disingkat KPKNL adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.
Penanggung Utang adalah badan dan/atau orang yang berutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun.
Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih yang selanjutnya disingkat PSBDT adalah pernyataan dari PUPN bahwa Piutang Negara telah diurus optimal dan masih terdapat sisa utang.
Pernyataan Piutang Negara Telah Optimal yang selanjutnya disingkat PPNTO adalah pernyataan dari pejabat yang berwenang pada Kementerian Negara/Lembaga sebagai bukti bahwa Piutang Negara dengan kualifikasi macet telah dikelola secara optimal namun masih terdapat sisa kewajiban karena Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang, tidak ada barang jaminan atau sebab lain yang sah.
Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik Penanggung Utang dan/atau penjamin utang yang diserahkan sebagai jaminan penyelesaian utang.
Harta Kekayaan Lain adalah harta kekayaan milik Penanggung Utang yang tidak dilakukan pengikatan sebagai jaminan utang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi jaminan penyelesaian utang.
Lelang adalah penjualan barang di muka umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 2
Piutang Negara yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga dan BUN, selain piutang perpajakan dan piutang lainnya yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
BAB II
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Tugas dan Wewenang Menteri Selaku BUN dalam Pengelolaan Piutang Negara
Pasal 3
Menteri selaku BUN dalam pengelolaan Piutang Negara bertugas:
melakukan pengelolaan piutang BUN secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
melaksanakan rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara; dan
mengoordinasikan, mengharmonisasikan, dan mengonsolidasikan seluruh kegiatan pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga dan PPA BUN.
Menteri selaku BUN dalam pengelolaan Piutang Negara berwenang:
menetapkan kebijakan dan pedoman umum pengelolaan Piutang Negara;
meminta jaminan, asuransi, bank garansi, surety bond atau jaminan lain kepada pihak Penanggung Utang untuk menjamin dilunasinya piutang BUN secara menyeluruh dan tepat waktu;
menerima, mencatat, dan mengadministrasikan pembayaran/angsuran piutang BUN;
melakukan monitoring dan pengawasan terhadap jalannya pembayaran dan/atau penagihan piutang BUN;
menerbitkan surat penagihan dan/atau surat peringatan kepada Penanggung Utang;
melaksanakan penagihan secara tertulis dengan surat tagihan atau penagihan dengan upaya optimalisasi;
melaksanakan pemblokiran Barang Jaminan atau Harta Kekayaan Lain Penanggung Utang;
melaksanakan roya jaminan kebendaan dan pencabutan pemblokiran Barang Jaminan atau Harta Kekayaan Lain dalam hal terdapat penyelesaian piutang BUN;
menerbitkan surat penyerahan pengurusan Piutang Negara macet kepada PUPN;
mencari dan menginventarisasi Harta Kekayaan Lain milik Penanggung Utang serta menginformasikan kepada PUPN untuk dilakukan pemeriksaan dan tindakan hukum;
mengajukan permohonan Lelang langsung kepada kantor yang memiliki fungsi pelayanan Lelang terhadap Barang Jaminan yang telah diikat sempurna sesuai dengan peraturan perundang- undangan ( parate executie );
mengajukan usul penghapusan Piutang Negara yang telah ditetapkan PSBDT oleh PUPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
memberikan persetujuan terhadap Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga yang akan dilakukan optimalisasi lainnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini;
menyetujui, menolak, meneruskan atau memberikan saran terhadap usulan penghapusan Piutang Negara dari Kementerian Negara/Lembaga atau BUN;
membuat dan menandatangani berita acara rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara; dan/atau p. kewenangan lain dalam menyelesaikan Piutang Negara yang diatur dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur BUN.
Tugas Menteri selaku BUN dalam pengelolaan Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
PPA BUN; dan
Direktur Jenderal.
Kewenangan Menteri selaku BUN dalam menyusun kebijakan dan pedoman umum pengelolaan Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a secara teknis dilaksanakan oleh Direktur Jenderal.
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan untuk kebijakan dan pedoman umum pengelolaan Piutang Negara yang telah diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan, meliputi:
kebijakan dan pedoman umum pengelolaan Piutang Negara yang terkait akuntansi dan pelaporan secara teknis dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan;
kebijakan dan pedoman umum pengelolaan Piutang Negara Badan Layanan Umum secara teknis dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan berdasarkan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara; dan
kebijakan dan pedoman umum pengelolaan Piutang Negara yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri/rekening dana investasi/rekening pembangunan daerah secara teknis dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan berdasarkan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Pelaksanaan tugas PPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terkait teknis kewenangan Menteri selaku BUN, dan dapat dilaksanakan pejabat lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang Menteri/Pimpinan Lembaga dalam Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Lembaga
Pasal 4
Menteri/Pimpinan Lembaga dalam pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya bertugas:
mengelola Piutang Negara secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
melakukan rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara.
Menteri/Pimpinan Lembaga dalam pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya berwenang:
menerapkan prinsip mengenal pengguna layanan secara optimal;
meminta jaminan meliputi namun tidak terbatas pada asuransi, bank garansi, surety bond , jaminan kebendaan atau perorangan kepada pihak Penanggung Utang untuk menjamin dilunasinya Piutang Negara secara menyeluruh dan tepat waktu;
menerima, mencatat, dan mengadministrasikan pembayaran/angsuran Piutang Negara;
melakukan monitoring dan/atau verifikasi terhadap pembayaran, penyetoran dan/atau upaya penagihan Piutang Negara;
menerbitkan surat ketetapan, surat tagihan dan/atau surat peringatan kepada Penanggung Utang;
melaksanakan penagihan secara tertulis dengan surat tagihan atau penagihan dengan upaya optimalisasi;
melaksanakan pemblokiran Barang Jaminan atau Harta Kekayaan Lain Penanggung Utang;
melaksanakan roya jaminan kebendaan dan pencabutan pemblokiran Barang Jaminan atau Harta Kekayaan Lain dalam hal terdapat penyelesaian Piutang Negara;
menerbitkan surat penyerahan pengurusan Piutang Negara macet kepada PUPN;
mencari dan menginventarisasi Harta Kekayaan Lain milik Penanggung Utang serta menginformasikan kepada PUPN untuk dilakukan pemeriksaan dan tindakan hukum;
mengajukan permohonan Lelang langsung kepada kantor yang memiliki fungsi pelayanan Lelang terhadap Barang Jaminan yang telah diikat sempurna sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan melalui mekanisme parate executie ;
mengajukan gugatan melalui lembaga peradilan sesuai tata cara yang diatur dalam Peraturan Menteri ini;
menerbitkan PPNTO terhadap Piutang Negara yang pengurusannya tidak melalui PUPN sesuai mekanisme yang diatur dalam Peraturan Menteri ini;
mengajukan usul penghapusan Piutang Negara yang telah ditetapkan PSBDT atau PPNTO kepada Menteri;
mengajukan usulan kepada Menteri untuk melakukan upaya optimalisasi lainnya; dan
membuat dan menandatangani berita acara rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara sesuai mekanisme yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
BAB III
PENGELOLAAN PIUTANG NEGARA PADA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
Bagian Kesatu
Lingkup Kegiatan Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga Paragraf 1 Lingkup Kegiatan Pengelolaan
Pasal 5
Kegiatan pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga meliputi:
penatausahaan;
penagihan;
penyelesaian; dan
pembinaan, pengawasan, pengendalian, dan pertanggungjawaban.
Kementerian Negara/Lembaga dalam melakukan kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dapat melakukan kegiatan pengelolaan Piutang Negara berdasarkan peraturan perundang- undangan yang mengaturnya.
Dalam hal upaya penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b telah dilakukan namun Piutang Negara tidak dilunasi, Kementerian Negara/Lembaga melakukan penyerahan Pengurusan Piutang Negara macet kepada PUPN, kecuali terhadap Piutang Negara yang berdasarkan Peraturan Menteri ini tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN. Paragraf 2 Penatausahaan Piutang Negara
Pasal 6
Kegiatan penatausahaan Piutang Negara di Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
menatausahakan dokumen Piutang Negara;
menatausahakan dokumen kepemilikan Barang Jaminan atau Harta Kekayaan Lain, dalam hal terdapat Barang Jaminan atau Harta Kekayaan Lain yang diserahkan;
melakukan pembebanan jaminan kebendaan, dalam hal dalam proses pengelolaan Piutang Negara terdapat Barang Jaminan atau Harta Kekayaan Lain yang diserahkan;
melakukan penentuan kualitas dan pembentukan penyisihan Piutang Negara tidak tertagih; dan
menyelenggarakan akuntansi dan pelaporan Piutang Negara sesuai standar akuntansi pemerintahan.
Pasal 7
Dokumen Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a terdiri atas:
dokumen sumber Piutang Negara; dan
dokumen pendukung Piutang Negara.
Pasal 8
Dokumen sumber Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a merupakan dokumen yang membuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara sehingga memenuhi syarat untuk diakui/dicatat sebagai Piutang Negara meliputi:
perjanjian kredit, akta pengakuan utang, perjanjian ikatan dinas, perjanjian penyaluran dana, surat keputusan/keterangan/penunjukan pejabat yang menimbulkan Piutang Negara, surat kontrak, surat keputusan kerugian negara, perhitungan pungutan ekspor/bea keluar, beserta perubahan/addendum, dokumen pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak, surat tagihan berdasarkan laporan hasil verifikasi/monitoring Penerimaan Negara Bukan Pajak, surat tagihan dan surat ketetapan kurang bayar berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, serta surat tagihan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
rekening koran, prima nota, mutasi Piutang Negara, rincian tagihan/tunggakan/perhitungan, surat ketetapan, bukti pembayaran dan dokumen lain sejenis yang membuktikan besarnya Piutang Negara;
rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan dalam hal Piutang Negara berasal dari Tuntutan Ganti Rugi (TGR); dan/atau
dokumen lain yang dapat membuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dokumen pendukung Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b merupakan dokumen yang memperkuat serta memperjelas status hukum dan administrasi Piutang Negara, meliputi:
surat tagihan, peringatan, somasi, surat himbauan membayar atau surat lain sejenisnya;
dokumen identitas Penanggung Utang atau penjamin utang yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu Keluarga (KK), Paspor, Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), Akta Pendirian Perusahaan atau dokumen sejenisnya;
bukti kepemilikan jaminan dapat berupa sertifikat tanah dan/atau bangunan, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) atau dokumen sejenisnya;
bukti pengikatan jaminan antara lain berupa hak tanggungan, hipotek, fidusia, dan gadai;
surat kuasa untuk menjual/menjaminkan Barang Jaminan atau Harta Kekayaan Lain milik Penanggung Utang;
daftar Harta Kekayaan Lain milik Penanggung Utang yang diinventarisasi;
surat izin usaha, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tanda pengenal/pendaftaran perusahaan;
surat bukti asuransi, penjaminan, surety bond , bank garansi, atau surat sejenisnya;
surat keterangan/keputusan dari pejabat atau instansi yang berwenang;
foto, gambar, denah, peta, citra satelit; dan/atau
dokumen lain yang mendukung keberadaan Piutang Negara.
Pasal 9
Kegiatan penatausahaan dokumen kepemilikan Barang Jaminan atau Harta Kekayaan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, paling sedikit dengan:
menatausahakan dan mengamankan dokumen kepemilikan;
mengurus peningkatan hak dan memperpanjang masa berlaku dokumen kepemilikan dalam hal hak akan berakhir;
melakukan tindakan pemblokiran dokumen kepemilikan ke instansi yang berwenang;
melakukan tindakan pencabutan blokir dan roya, dalam hal terdapat penyelesaian Piutang Negara; dan
penatausahaan lainnya sesuai peraturan perundang- undangan.
Pasal 10
Pembebanan jaminan kebendaan terhadap Barang Jaminan atau Harta Kekayaan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c meliputi:
hak tanggungan;
hipotek;
fidusia; atau
gadai, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
Kegiatan akuntansi dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e antara lain berupa pengakuan, pencatatan, pengukuran, penyajian, pengungkapan, dan kegiatan lain yang menyangkut akuntansi dan pelaporan Piutang Negara.
Tata cara pelaksanaan akuntansi dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai penatausahaan Piutang Negara diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal atau Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan berdasarkan koordinasi dengan Direktur Jenderal. Paragraf 3 Penagihan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga
Pasal 13
Penagihan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dilakukan dengan:
penagihan secara tertulis dengan surat tagihan; dan
penagihan dengan kegiatan optimalisasi Piutang Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Penagihan secara tertulis dengan surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dilakukan untuk seluruh jenis, besaran dan kualifikasi Piutang Negara.
Penagihan dengan kegiatan optimalisasi Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas serta memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Kegiatan penagihan Piutang Negara secara tertulis dengan surat tagihan oleh Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat huruf a paling sedikit meliputi:
menerbitkan dan menyampaikan surat tagihan pertama paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak jatuh tempo atau sejak laporan yang menjadi dokumen sumber Piutang Negara diterima;
apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat tagihan pertama, Penanggung Utang tidak melunasi seluruh Piutang Negara, Kementerian Negara/Lembaga menerbitkan dan menyampaikan surat tagihan kedua;
apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal surat tagihan kedua, Penanggung Utang tidak melunasi seluruh Piutang Negara, Kementerian Negara/Lembaga menerbitkan dan menyampaikan surat tagihan ketiga atau tagihan terakhir dengan tembusan kepada PUPN sesuai wilayah kerja;
apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat tagihan ketiga, Penanggung Utang tidak melunasi seluruh Piutang Negara:
Kementerian Negara/Lembaga menerbitkan surat penyerahan pengurusan piutang macet kepada PUPN; atau
dalam hal surat tagihan diterbitkan oleh mitra yang bekerja sama dengan Kementerian Negara/Lembaga dalam mengelola Piutang Negara, mitra menerbitkan surat penerusan tagihan Piutang Negara kepada Kementerian Negara/Lembaga, untuk selanjutnya dilakukan penyerahan pengurusan Piutang Negara macet kepada PUPN; dan
kewajiban penyerahan pengurusan Piutang Negara kepada PUPN setelah terbitnya surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada huruf d dilakukan dalam hal upaya optimalisasi tidak dapat dilaksanakan.
Kementerian Negara/Lembaga mendokumentasikan, mengadministrasikan, dan mengamankan surat tagihan, bukti pengiriman dan bukti lain yang terkait, baik secara manual maupun elektronik.
Dalam hal Penanggung Utang tidak melakukan pemenuhan kewajiban atas surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat menjadi dasar bagi Kementerian Negara/Lembaga untuk menghentikan layanan kepada Penanggung Utang.
Pasal 15
Terhadap Piutang Negara yang berasal dari:
pembiayaan/penyaluran dana;
hasil pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan/atau c. Piutang Negara dengan tata cara penagihan tertulis tersendiri, tata cara penagihan secara tertulisnya mengikuti ketentuan dalam perjanjian dan/atau peraturan perundangan-undangan yang mengaturnya.
Pasal 16
Penyampaian surat tagihan kepada Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat dilakukan:
secara manual melalui surat tercatat; dan/atau
secara elektronik melalui surat elektronik.
Dalam hal jumlah Piutang Negara lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Penanggung Utang, surat tagihan pertama diantar langsung oleh pegawai yang ditugaskan oleh Kementerian Negara/Lembaga dengan membuat tanda terima.
Dalam hal jumlah Piutang Negara lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Penanggung Utang, surat tagihan pertama diantar langsung oleh pegawai yang ditugaskan oleh Kementerian Negara/Lembaga dengan membuat berita acara.
Dalam hal Penanggung Utang tidak dijumpai saat penyampaian surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), surat tagihan disampaikan kepada orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di kantor/tempat usaha Penanggung Utang atau kepala lingkungan setempat untuk disampaikan kepada Penanggung Utang.
Proses penyampaian surat tagihan yang memerlukan tanda terima atau berita acara penyampaian surat tagihan dapat dilakukan secara manual atau elektronik.
Bentuk dan format surat, tanda terima, berita acara berikut tata cara penyampaian surat tagihan, dan tanda terima/berita acara berpedoman pada ketentuan yang diterbitkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 17
Mekanisme penagihan dengan surat tagihan secara tertulis terhadap Piutang Negara yang timbul berdasarkan putusan pengadilan atau Piutang Negara eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 Penagihan dengan Kegiatan Optimalisasi Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga
Pasal 18
Selain melakukan penagihan secara tertulis dengan surat tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16, Kementerian Negara/Lembaga mengupayakan penagihan dengan optimalisasi Piutang Negara sesuai Pasal 13 ayat huruf b untuk mempercepat penyelesaian.
Penagihan dengan optimalisasi Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
restrukturisasi;
kerjasama penagihan dengan pihak ketiga antara lain:
Kejaksaan;
Kantor Wilayah sesuai wilayah kerja;
Direktorat Jenderal Anggaran;
Direktorat Jenderal Pajak;
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan/atau
pihak ketiga lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
pelaksanaan parate executie jaminan kebendaan;
crash program penyelesaian Piutang Negara;
gugatan melalui lembaga peradilan; dan/atau
penghentian layanan kepada Penanggung Utang.
Pasal 19
Selain optimalisasi Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), dapat pula dilakukan upaya optimalisasi lainnya meliputi:
hibah Piutang Negara kepada Pemerintah Daerah;
konversi Piutang Negara menjadi penyertaan modal negara;
penjualan hak tagih/Piutang Negara; dan/atau
debt to asset swap .
Pasal 20
Penagihan dengan optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan optimalisasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dilakukan sebelum penyerahan ke PUPN.
Dalam hal Piutang Negara telah diserahkan ke PUPN namun terdapat alasan untuk melakukan optimalisasi atau optimalisasi lainnya, Kementerian Negara/Lembaga selaku penyerah Piutang Negara:
melakukan penarikan pengurusan Piutang Negara dari PUPN dalam hal upaya optimalisasi dilakukan dengan restrukturisasi; atau
meminta kepada PUPN untuk melakukan pengembalian Piutang Negara dalam hal upaya optimalisasi dilakukan selain dengan restrukturisasi.
Piutang Negara yang telah disetujui oleh PUPN untuk dilakukan penarikan atau pengembalian, selanjutnya dapat dilakukan penagihan dengan optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) atau optimalisasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
Pasal 21
Restrukturisasi Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a dilakukan secara selektif dalam rangka meningkatkan kemampuan Penanggung Utang melakukan pembayaran kembali.
Restrukturisasi Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan atas permohonan tertulis Penanggung Utang kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
Berdasarkan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri/Pimpinan Lembaga dapat memberikan:
surat persetujuan; atau
surat penolakan.
Pasal 22
Restrukturisasi Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dilakukan dengan:
penjadwalan kembali;
perubahan persyaratan;
keringanan utang yang meliputi pengurangan pokok dan/atau kewajiban selain pokok;
pembayaran sebagian utang dengan pencairan Barang Jaminan yang disertai dengan penjadwalan kembali sisa utang; dan/atau
jenis restrukturisasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Kerjasama penagihan dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b dituangkan dalam nota kesepahaman/perjanjian kerja sama.
Nota kesepahaman/perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
daftar rincian Penanggung Utang yang akan dilakukan penagihan bersama;
pola kerja penagihan bersama;
pendanaan; dan
jangka waktu kegiatan.
Pasal 24
Kementerian Negara/Lembaga selaku pengelola Piutang Negara dapat memilih untuk melaksanakan parate executie jaminan kebendaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c dengan mengajukan permohonan Lelang kepada kantor yang memiliki fungsi pelayanan Lelang dalam hal Piutang Negara dijamin dengan jaminan kebendaan berupa hak tanggungan peringkat pertama, fidusia atau gadai sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kementerian Negara/Lembaga selaku pengelola Piutang Negara yang akan melaksanakan parate executie jaminan kebendaan, terlebih dahulu menerbitkan dan menyampaikan surat peringatan tersendiri sebanyak 3 (tiga) kali bahwa akan dilakukan penjualan Lelang, kecuali dalam surat penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) telah ditegaskan akan dilaksanakan kewenangan parate executie jaminan kebendaan melalui penjualan Lelang.
Dalam hal pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Barang Jaminan:
tidak terjual, Kementerian Negara/Lembaga dapat memintakan Lelang ulang;
terjual sebagian, Kementerian Negara/Lembaga dapat menyerahkan pengurusan Piutang Negara macet kepada PUPN atau mengajukan permohonan Lelang ulang Barang Jaminan yang belum terjual kepada kantor yang memiliki fungsi pelayanan Lelang; atau
terjual namun masih terdapat sisa utang Kementerian Negara/Lembaga menyerahkan pengurusan Piutang Negara macet kepada PUPN.
Dalam hal Barang Jaminan pada Lelang ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b tidak terjual, Kementerian Negara/Lembaga menyerahkan pengurusan Piutang Negara macet kepada PUPN.
Pasal 25
Optimalisasi Piutang Negara melalui crash program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf d dilaksanakan:
masing-masing Kementerian Negara/Lembaga; atau
untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang khusus mengamanatkan adanya crash program yang dikoordinasikan oleh Menteri.
Optimalisasi Piutang Negara melalui crash program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam periode waktu tertentu berupa:
keringanan utang, baik pokok maupun selain pokok;
percepatan penerbitan PSBDT atau PPNTO;
moratorium tindakan hukum; dan/atau
bentuk crash program lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan crash program penyelesaian Piutang Negara oleh masing-masing Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dikoordinasikan dengan Menteri.
Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggungjawab terhadap crash program yang dilaksanakannya.
Ketentuan lebih lanjut yang mengatur tata cara pelaksanaan crash program secara nasional diatur oleh Menteri berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 26
Optimalisasi Piutang Negara dengan gugatan melalui lembaga peradilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (2) huruf e dilakukan dalam hal terdapat:
sengketa terhadap adanya dan besarnya jumlah Piutang Negara, sehingga tidak dapat diserahkan kepada PUPN; atau b. masalah hukum yang menurut pertimbangan pimpinan Kementerian Negara/Lembaga akan lebih efektif diselesaikan dengan gugatan melalui lembaga peradilan.
Pasal 27
Optimalisasi Piutang Negara berupa penghentian layanan kepada Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf f dilakukan dalam hal Penanggung Utang mengajukan permohonan layanan kepada Kementerian Negara/Lembaga.
Penghentian layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
layanan yang sama; dan/atau
layanan lainnya, yang diajukan oleh Penanggung Utang yang sama.
Pasal 28
Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab penuh terhadap Penagihan dengan optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Paragraf 5 Penyelesaian Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga
Pasal 29
Penyelesaian Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga dilakukan dengan:
pelunasan, termasuk pelunasan dengan keringanan; atau b. penghapusan.
Selain penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian Piutang Negara dapat dilakukan dengan pembatalan pengakuan Piutang Negara melalui koreksi pencatatan.
Pembatalan pengakuan Piutang Negara melalui koreksi pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal terdapat bukti kesalahan pengakuan, yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang pada Kementerian Negara/Lembaga.
Dalam hal Piutang Negara berupa piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak, penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
terbitnya surat persetujuan atas keringanan Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa pengurangan atau pembebasan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
terbitnya penetapan atas pengajuan keberatan atas surat ketetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
terbitnya koreksi atas surat tagihan Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan/atau
terbitnya pembetulan atas dokumen pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan/atau dokumen pembayaran dan penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
Piutang Negara yang diselesaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat huruf a dinyatakan lunas dalam hal:
Penanggung Utang telah melunasi seluruh kewajibannya; atau
sebab lainnya yang sah.
Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara menerbitkan bukti pelunasan yang sah terhadap Piutang Negara yang telah dinyatakan lunas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 6 Penyetoran Pembayaran Piutang Negara dan Penerbitan Bukti Pelunasan
Pasal 31
Penerimaan pembayaran Piutang Negara wajib disetor ke kas negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
Penanggung Utang wajib menyampaikan foto kopi/salinan bukti setoran kepada unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah dilakukan penyetoran, dalam hal Pembayaran Piutang Negara disetor sendiri oleh Penanggung Utang ke Kas Negara.
Berdasarkan bukti setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas pada unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga melakukan:
pencatatan Piutang Negara dalam Kartu Piutang; dan b. penatausahaan bukti setoran.
Pasal 33
Pelunasan Piutang Negara dilakukan secara:
angsuran; atau
pembayaran sekaligus, sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau perjanjian yang mengaturnya.
Setiap pelunasan Piutang Negara yang pembayarannya dilakukan secara angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara wajib menerbitkan bukti pelunasan.
Setiap pelunasan Piutang Negara yang pembayarannya dilakukan sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bukti Penerimaaan Negara (BPN) berfungsi sebagai bukti pelunasan.
Dalam rangka penerbitan bukti pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), petugas pada unit Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara wajib mengonfirmasi kebenaran setoran Piutang Negara kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).
Konfirmasi kebenaran setoran Piutang Negara dalam rangka penerbitan bukti pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk Piutang Negara yang jangka waktu pembayarannya kurang dari 1 (satu) tahun, konfirmasi kebenaran atas setoran dilakukan sebelum penerbitan bukti pelunasan; dan
untuk Piutang Negara yang jangka waktu pembayarannya lebih dari 1 (satu) tahun, konfirmasi kebenaran atas setoran dilakukan setiap 1 (satu) tahun. Paragraf 7 Penyerahan Pengurusan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga kepada PUPN
Pasal 34
Piutang Negara pada tingkat pertama diselesaikan sendiri oleh Kementerian Negara/Lembaga.
Pasal 35
Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dengan kategori macet dan telah dilakukan penagihan secara tertulis dan/atau penagihan secara optimalisasi pada tingkat pertama namun tidak berhasil, wajib diserahkan pengurusannya kepada PUPN.
Penyerahan pengurusan kepada PUPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap:
Piutang Negara yang tata cara pengurusannya diatur dalam Undang-Undang tersendiri; dan
Piutang Negara yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 36
Piutang Negara yang telah diserahkan kepada PUPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat tetap dicatat sebagai Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara.
Nilai Piutang Negara yang dicatat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan nilai pada saat diserahkan kepada PUPN. Paragraf 8 Penghapusan Piutang Negara
Pasal 37
Penghapusan Piutang Negara Secara Bersyarat dan Penghapusan Piutang Negara Secara Mutlak dapat dilakukan setelah Piutang Negara diurus secara optimal.
Pengurusan Piutang Negara dinyatakan telah optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal telah dinyatakan sebagai:
PSBDT oleh PUPN; atau
PPNTO oleh Menteri/Pimpinan Lembaga, atas Piutang Negara yang tidak dapat diserahkan kepada PUPN.
Pasal 38
Piutang Negara yang telah dinyatakan PSBDT atau PPNTO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), harus segera diajukan usul Penghapusan Secara Bersyarat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri.
Pasal 39
Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang- undangan di bidang Piutang Negara.
Bagian Kedua
Optimalisasi Lainnya oleh Kementerian Negara/Lembaga Paragraf 1 Umum
Pasal 40
Kementerian Negara/Lembaga hanya dapat melakukan kegiatan optimalisasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berdasarkan persetujuan dari Menteri.
Menteri berwenang memberikan persetujuan pelaksanaan optimalisasi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk nilai Piutang Negara sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal.
Direktur Jenderal harus bertanggung jawab secara substansi atas pemberian persetujuan pelaksanaan optimalisasi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Paragraf 2 Permohonan
Pasal 41
Kementerian Negara/Lembaga yang akan melakukan upaya optimalisasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat , terlebih dahulu harus mengajukan usulan permohonan persetujuan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipersyaratkan paling sedikit memuat:
nama dan alamat Penanggung Utang;
besaran Piutang Negara beserta rinciannya;
dokumen terjadinya Piutang Negara;
upaya yang telah dilakukan dalam menagih Piutang Negara;
alasan/pertimbangan; dan
langkah strategis yang akan dilakukan dalam pelaksanaan optimalisasi lainnya.
Pasal 42
Direktur Jenderal melakukan penelitian terhadap usulan permohonan persetujuan optimalisasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat .
Dalam hal diperlukan, Direktur Jenderal dapat meminta bantuan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk melakukan review terlebih dahulu terhadap permohonan optimalisasi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dalam hal permohonan optimalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
disetujui, Direktur Jenderal berdasarkan kewenangan dalam bentuk mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) memberikan persetujuan pelaksanaan optimalisasi lainnya; atau
tidak disetujui, Direktur Jenderal berdasarkan kewenangan dalam bentuk mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) menolak usulan permohonan persetujuan optimalisasi lainnya. Paragraf 3 Hibah Piutang Negara kepada Pemerintah Daerah
Pasal 43
Kementerian Negara/Lembaga melakukan inventarisasi dan penelitian Piutang Negara yang akan dilakukan optimalisasi lainnya dalam bentuk hibah kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a.
Hasil inventarisasi dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
legalitas kepemilikan Piutang Negara oleh pemerintah, yang didukung dengan dokumen sumber dan dokumen pendukung yang membuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara; dan b. nilai Piutang Negara yang akan dihibahkan kepada Pemerintah Daerah, yang meliputi pokok dan kewajiban lainny
Pasal 44
Hibah Piutang Negara kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a hanya dapat dilakukan setelah terdapat:
persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2); dan
surat kesediaan untuk menerima hibah dari Pemerintah Daerah selaku calon penerima hibah.
Pasal 45
Hibah Piutang Negara dilakukan dengan berita acara hibah yang ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat yang diberi kewenangan selaku pemberi hibah dan Kepala Daerah atau pejabat yang diberi kewenangan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan selaku penerima hibah. Paragraf 4 Konversi Piutang Negara Menjadi Penyertaan Modal
Pasal 46
Optimalisasi lainnya dalam bentuk konversi Piutang Negara menjadi penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
Penanggung Utang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau perusahaan yang telah terdapat kepemilikan negara;
terdapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau organ perusahaan yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan; dan
konversi Piutang Negara hanya dapat dilakukan atas utang pokok, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang khusus mengaturnya.
Pasal 47
Optimalisasi lainnya dalam bentuk konversi menjadi penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
setelah mendapat persetujuan RUPS atau organ perusahaan yang berwenang, pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau perusahaan yang telah terdapat kepemilikan negara selaku Penanggung Utang mengajukan permohonan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dilampiri proposal, yang meliputi aspek hukum, aspek keuangan, dan aspek operasional, serta data dan dokumen pendukungnya;
proposal sebagaimana dimaksud pada huruf a didasarkan dari hasil uji tuntas ( due diligence ) yang dilakukan oleh pihak independen;
Menteri/Pimpinan Lembaga meneruskan permohonan yang dilampiri proposal Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada Menteri melalui Direktur Jenderal untuk mendapat persetujuan dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2);
Direktur Jenderal melakukan penelitian dari aspek hukum, aspek keuangan, dan aspek operasional terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf c; dan
dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf d menunjukkan bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk membayar utangnya, Direktur Jenderal berdasarkan kewenangan dalam bentuk mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) menyetujui rencana pelaksanaan optimalisasi lainnya dengan cara konversi menjadi penyertaan modal negara.
Pasal 48
Persetujuan optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf e, ditindaklanjuti Menteri dengan:
melakukan koordinasi bersama Menteri/Pimpinan Lembaga terkait; dan
menyampaikan usul penyertaan modal negara dimaksud kepada Presiden.
Pasal 49
Penyertaan modal negara ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Paragraf 5 Penjualan Hak Tagih/Piutang Negara
Pasal 50
Penjualan hak tagih Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dapat dilakukan melalui:
penjualan secara langsung berdasarkan akta cessie yang dibuat oleh notaris; atau
Lelang dihadapan pejabat lelang.
Penjualan hak tagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal berdasarkan pelimpahan wewenang dalam bentuk mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3).
Pasal 51
Kementerian Negara/Lembaga yang akan melakukan penjualan hak tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat , terlebih dahulu harus melakukan inventarisasi dan penelitian terhadap Piutang Negara yang akan dilakukan penjualan.
Inventarisasi dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
legalitas kepemilikan Piutang Negara oleh pemerintah, yang didukung dengan dokumen sumber dan dokumen pendukung yang membuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara; dan c. nilai dan daya laku Piutang Negara yang akan dijual.
Dalam hal berdasarkan hasil inventarisasi dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Piutang Negara direncanakan akan dilakukan penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), pimpinan unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara memberitahukan secara tertulis kepada Penanggung Utang.
Pasal 52
Harga dasar atas penjualan hak tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat yang diberikan kewenangan.
Harga dasar penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan hasil penilaian oleh penilai pemerintah atau penilai publik.
Dalam hal harga dasar atas penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah nilai utang pokok, penjualan hak tagih harus dilakukan melalui Lelang.
Pasal 53
Dalam hal Piutang Negara telah beralih kepada pihak ketiga melalui penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), Pimpinan unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara memberitahukan secara tertulis tersebut kepada Penanggung Utang.
Pasal 54
Proses Lelang hak tagih dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. Paragraf 6 Debt to Asset Swap
Pasal 55
Optimalisasi lainnya dalam bentuk debt to asset swap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d, dilakukan:
apabila optimalisasi penyelesaian Piutang Negara dengan cara restrukturisasi Piutang Negara tidak dapat dilakukan/diselesaikan; dan
atas sebagian atau seluruh kewajiban pokok dan/atau non pokok.
Alokasi debt to asset swap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan berdasarkan urutan prioritas sebagai berikut:
kewajiban pokok;
bunga;
denda; dan
kewajiban lainnya.
Dalam hal setelah dilakukan debt to asset swap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa kewajiban pokok dan/atau non pokok, penyelesaian sisa kewajiban dilakukan melalui upaya optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dengan mempertimbangkan aspek kesesuaian dan efektivitas.
Pasal 56
Debt to asset swap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dilakukan dengan cara penyerahan aset.
Aset yang dipergunakan untuk debt to asset swap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berupa tanah atau tanah berikut bangunan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
atas nama Penanggung Utang;
bebas dari segala permasalahan hukum;
dalam kondisi tidak dalam penguasaan pihak ketiga;
dalam kondisi tidak menjadi jaminan utang kepada kreditur yang lain; dan
tidak terkait dengan kegiatan usaha Penanggung Utang.
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam surat pernyataan Penanggung Utang.
Pasal 57
Untuk menentukan nilai aset yang menjadi objek debt to asset swap , Direktorat Jenderal Kekayaan Negara berdasarkan permohonan optimalisasi lainnya dari pimpinan Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat , menyampaikan permohonan penilaian kepada:
penilai pemerintah; atau
penilai publik yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, untuk mendapatkan nilai wajar.
Setelah aset dilakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Kekayaan Negara meminta review kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagai bahan pertimbangan persetujuan optimalisasi penyelesaian Piutang Negara melalui debt to asset swap .
Direktur Jenderal berdasarkan pelimpahan wewenang dalam bentuk mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat menerbitkan surat persetujuan optimalisasi lainnya berupa debt to asset swap termasuk nilai aset yang ditetapkan sebagai debt to asset swap .
Pasal 58
Dalam hal surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) telah diterbitkan, pelaksanaan Debt to Asset Swap dilanjutkan dengan penyelesaian:
perjanjian debt to asset swap antara Penanggung Utang dengan Menteri/Pimpinan Lembaga secara notariil;
berita acara serah terima aset dari Penanggung Utang kepada Menteri/Pimpinan Lembaga;
akta pelepasan hak dari Penanggung Utang kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah; dan
pengurusan balik nama sertifikat menjadi atas nama Pemerintah Republik Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.
Nilai aset yang ditetapkan sebagai debt to asset swap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban dari Penanggung Utang.
Kementerian Negara/Lembaga melakukan pengurangan kewajiban dari Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah diselesaikannya pengurusan balik nama sertifikat menjadi atas nama Pemerintah Republik Indonesia.
Kementerian Negara/Lembaga dapat menyerahkan pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri selaku Pengelola Barang Milik Negara melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
BAB IV
PENGELOLAAN PIUTANG NEGARA PADA BENDAHARA UMUM NEGARA (BUN)
Pasal 59
Pengelolaan Piutang Negara pada BUN dilakukan sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri ini, sepanjang tidak diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan.
Ketentuan mengenai pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 39 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pengelolaan Piutang Negara pada BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap ketentuan mengenai penerbitan PPNTO.
Pasal 60
Piutang Negara pada BUN yang dikategorikan macet dan telah dilaksanakan upaya penagihan tertulis dan/atau upaya optimalisasi namun tidak dilunasi, wajib diserahkan pengurusannya kepada PUPN.
Penyerahan pengurusan kepada PUPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh PPA BUN.
Berdasarkan kewenangan PUPN, Piutang Negara pada BUN yang telah diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditolak atau dikembalikan kepada PPA BUN selaku penyerah piutang.
Dalam hal Piutang Negara pada BUN yang ditolak atau dikembalikan oleh PUPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3), PPA BUN:
melengkapi/memperbaiki dokumen penyerahan dan selanjutnya menyerahkan kembali kepada PUPN; atau b. menyelesaikan Piutang Negara pada BUN yang dikembalikan atau ditolak oleh PUPN sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur Piutang Negara pada BUN, dalam hal dokumen penyerahan tidak dapat dilengkapi/diperbaiki.
BAB V
PENGELOLAAN PIUTANG NEGARA PADA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA YANG TIDAK DAPAT DISERAHKAN PENGURUSANNYA KEPADA PUPN
Bagian Kesatu
Jenis-Jenis Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga yang Tidak Dapat Diserahkan Pengurusannya kepada PUPN
Pasal 61
Piutang Negara dengan kategori macet pada Kementerian Negara/Lembaga yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN meliputi:
Piutang Negara dengan jumlah sisa kewajiban paling banyak sampai dengan Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) per Penanggung Utang dan tidak ada Barang Jaminan yang diserahkan atau Barang Jaminan tidak mempunyai nilai ekonomis; atau
Piutang Negara yang tidak memenuhi syarat untuk diserahkan pengurusannya kepada PUPN.
Piutang Negara yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada prinsipnya diselesaikan sendiri oleh Menteri/Pimpinan Lembaga sesuai mekanisme yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 62
Piutang Negara yang tidak memenuhi syarat untuk diserahkan pengurusannya kepada PUPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat huruf b merupakan Piutang Negara yang adanya dan besarnya tidak dapat dipastikan secara hukum.
Piutang Negara yang adanya dan besarnya tidak dapat dipastikan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN, meliputi:
Piutang Negara yang tidak didukung dokumen sumber yang memadai sehingga tidak dapat dibuktikan subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap penyelesaiannya;
Piutang Negara yang tidak dapat dipastikan jumlah/besarannya dikarenakan tidak terdapat dokumen sumber, tidak terdapat kejelasan informasi dokumen sumber atau bukti-bukti pendukungnya;
Piutang Negara yang masih menjadi objek sengketa di lembaga peradilan; dan/atau
Piutang Negara yang telah diserahkan ke PUPN namun dikembalikan atau ditolak oleh PUPN berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Tata Cara Penyelesaian Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga yang Tidak Dapat Diserahkan Pengurusannya kepada PUPN Paragraf 1 Tata Cara Umum
Pasal 63
Setiap Kementerian Negara/Lembaga yang mempunyai Piutang Negara yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN harus melaksanakan upaya penagihan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat sampai dengan lunas.
Selain melakukan upaya penagihan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian Negara/Lembaga dapat menempuh upaya penagihan dengan optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan optimalisasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dengan memperhatikan aspek efektivitas dan efisiensi.
Pasal 64
Piutang Negara yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN hanya dapat diusulkan penghapusan setelah diterbitkan PPNTO oleh pimpinan unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara.
Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab penuh terhadap penerbitan PPNTO.
PPNTO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlebih dahulu mendapatkan r eview dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Kementerian Negara/Lembaga.
Bentuk dan format PPNTO tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 65
Piutang Negara ditetapkan sebagai PPNTO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat , dalam hal masih terdapat sisa kewajiban, namun:
Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan atau tidak diketahui tempat tinggalnya; dan
tidak ada Barang Jaminan atau Barang Jaminan tidak mempunyai nilai ekonomis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a.
Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan berdasarkan laporan hasil penilaian atau penaksiran bahwa Barang Jaminan mempunyai nilai jual yang rendah atau sama sekali tidak mempunyai nilai jual.
Nilai jual yang rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal biaya yang harus dikeluarkan untuk menjual Barang Jaminan diperkirakan lebih besar dari hasil penjualannya. Paragraf 2 Persyaratan PPNTO untuk Sisa Kewajiban Paling Banyak Rp8.000.000,00 (Delapan Juta Rupiah) per Penanggung Utang dan Tidak Ada Barang Jaminan yang Diserahkan
Pasal 66
Piutang Negara dengan jumlah sisa kewajiban paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) per Penanggung Utang dan tidak ada Barang Jaminan yang diserahkan atau Barang Jaminan tidak mempunyai nilai ekonomis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat huruf b, dapat diterbitkan PPNTO.
Penerbitan PPNTO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Piutang Negara memenuhi persyaratan sebagai berikut:
telah disampaikan surat penagihan sesuai ketentuan;
kualitas Piutang Negara telah macet;
usia pencatatan Piutang Negara telah lebih dari 5 (lima) tahun dan tidak terdapat angsuran atau terdapat angsuran kurang dari 10% (sepuluh persen);
Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang yang dibuktikan dengan paling sedikit dokumen berupa:
kartu keluarga miskin;
putusan pailit;
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa/Kepala Lingkungan/Instansi yang berwenang yang menyatakan Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang atau tidak diketahui tempat tinggalnya;
bukti penerimaan asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin; dan/atau
bukti kunjungan penagihan oleh petugas unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara dalam bentuk surat kunjungan atau berita acara atau bukti lain yang menyimpulkan bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang; dan
terdapat review dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Kementerian Negara/Lembaga bahwa proses pengelolaan Piutang Negara telah dilakukan secara optimal.
Dalam hal jumlah sisa kewajiban paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), bukti bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d angka 3) dapat berupa surat pernyataan pimpinan unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara. Paragraf 3 Persyaratan PPNTO untuk Piutang Negara yang Tidak Memenuhi Syarat untuk Diserahkan Pengurusannya kepada PUPN
Pasal 67
Piutang Negara yang tidak memenuhi syarat diserahkan kepada PUPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dengan sisa kewajiban paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah), dapat diterbitkan PPNTO setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 68
Piutang Negara yang tidak memenuhi syarat diserahkan kepada PUPN karena ada dan besarnya tidak pasti menurut hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan Pasal 62 dengan jumlah sisa kewajiban Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per Penanggung Utang, dapat diterbitkan PPNTO setelah dipenuhi syarat:
telah disampaikan surat penagihan sesuai ketentuan;
kualitas Piutang Negara telah macet;
usia pencatatan Piutang Negara lebih dari 7 (tujuh) tahun dan tidak terdapat angsuran atau terdapat angsuran kurang dari 10% (sepuluh persen);
Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang yang dibuktikan dengan paling sedikit dokumen berupa:
kartu keluarga miskin;
putusan pailit;
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa/Kepala Lingkungan/Instansi yang berwenang yang menyatakan Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang atau tidak diketahui tempat tinggalnya;
bukti penerimaan asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin; dan/atau
bukti kunjungan penagihan oleh petugas unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara dalam bentuk surat kunjungan atau berita acara atau bukti lain yang menyimpulkan bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang; dan
terdapat review dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Kementerian Negara/Lembaga bahwa proses pengelolaan Piutang Negara telah dilakukan secara optimal.
Pasal 69
Piutang Negara yang tidak memenuhi syarat diserahkan kepada PUPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dengan sisa kewajiban Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan jumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Penanggung Utang, dapat diterbitkan surat PPNTO setelah dipenuhi syarat:
telah disampaikan surat penagihan sesuai ketentuan;
kualitas Piutang Negara telah macet;
usia pencatatan Piutang Negara telah lebih dari 10 (sepuluh) tahun dan tidak terdapat angsuran atau terdapat angsuran kurang dari 10% (sepuluh persen);
Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang yang dibuktikan dengan paling sedikit dokumen berupa:
kartu keluarga miskin;
putusan pailit;
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa/Kepala Lingkungan/Instansi yang berwenang yang menyatakan Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang atau tidak diketahui tempat tinggalnya;
bukti penerimaan asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin; dan/atau
berita acara kunjungan penagihan oleh petugas pada unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara yang menyimpulkan bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang; dan
terdapat review dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Kementerian Negara/Lembaga bahwa proses pengelolaan Piutang Negara telah dilakukan secara optimal.
Pasal 70
Piutang Negara yang tidak memenuhi syarat diserahkan kepada PUPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dengan sisa kewajiban lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Penanggung Utang, dapat diterbitkan surat pernyataan PPNTO setelah dipenuhi syarat:
telah disampaikan surat penagihan sesuai ketentuan;
kualitas Piutang Negara telah macet;
usia pencatatan Piutang Negara telah lebih dari 10 (sepuluh) tahun dan tidak terdapat angsuran atau terdapat angsuran kurang dari 10% (sepuluh persen);
Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang yang dibuktikan dengan paling sedikit dokumen berupa:
kartu keluarga miskin;
putusan pailit;
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa/Kepala Lingkungan/Instansi yang berwenang yang menyatakan Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang atau tidak diketahui tempat tinggalnya;
bukti penerimaan asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin; dan/atau
berita acara kunjungan penagihan oleh petugas petugas pada unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara yang menyimpulkan bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan utang;
telah dilakukan kerjasama penagihan dengan melibatkan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b sesuai wilayah kerjanya; dan
terdapat review dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Kementerian Negara/Lembaga bahwa proses pengelolaan Piutang Negara telah dilakukan secara optimal.
Pasal 71
Dalam hal dari upaya penagihan yang dilakukan oleh unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan melibatkan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b diperoleh bukti/dokumen yang membuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara secara pasti, terhadap Piutang Negara yang semula termasuk kategori tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat huruf b, diserahkan pengurusannya kepada PUPN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyerahan kepada PUPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika memenuhi syarat:
jumlah sisa kewajiban paling sedikit Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah); atau
terdapat Barang Jaminan yang diserahkan.
Pasal 72
Dalam hal Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat huruf b dilakukan upaya penagihan atau upaya lain yang dilakukan oleh petugas pada unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan melibatkan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b, namun Penanggung Utang tetap tidak mengakui adanya dan/atau besarnya Piutang Negara, Kementerian Negara/Lembaga dapat melakukan upaya gugatan melalui lembaga peradilan sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf e.
Gugatan melalui lembaga peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dalam hal:
jumlah sisa kewajiban paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
adanya bukti formal yang memadai; dan
berdasarkan hasil indentifikasi terdapat harta kekayaan Penanggung Utang yang dapat dilakukan penyitaan.
Dalam hal gugatan melalui lembaga peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan:
kalah/ditolak/tidak dapat diterima, namun tidak dapat dilakukan upaya hukum lebih lanjut; atau
dimenangkan secara inkracht van gewijsde namun tidak dapat dilakukan eksekusi karena tidak terdapat harta kekayaan yang bisa diletakkan penyitaan, pimpinan unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara menerbitkan PPNTO tanpa menunggu usia pencatatan melebihi ketentuan dalam Pasal 70 huruf c.
BAB VI
PENENTUAN KUALITAS PIUTANG DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PIUTANG TIDAK TERTAGIH
Pasal 73
Kementerian Negara/Lembaga dan PPA BUN wajib melakukan penentuan kualitas Piutang Negara dengan mempertimbangkan paling sedikit:
jatuh tempo Piutang Negara; dan
upaya penagihan.
Pasal 74
Kementerian Negara/Lembaga dan PPA BUN wajib melakukan pembentukan penyisihan Piutang Negara tidak tertagih berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Pasal 75
Tata cara penentuan kualitas Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan pembentukan penyisihan Piutang Negara tidak tertagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 pada Kementerian Negara/Lembaga dan PPA BUN dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PROSEDUR DAN TATA CARA PENGURUSAN PIUTANG NEGARA OLEH PUPN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 76
Prosedur dan tata cara Pengurusan Piutang Negara oleh PUPN dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan di bidang Pengurusan Piutang Negara.
Dikecualikan dari ketentuan ayat (1), Piutang Negara yang diurus oleh PUPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pengurusan sederhana oleh PUPN dengan mengikuti ketentuan pengurusan sederhana yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Bagian Kedua
Pengurusan Sederhana Paragraf 1 Objek Pengurusan Sederhana
Pasal 77
Piutang Negara yang dilakukan pengurusan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
jumlah utang paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
tidak terdapat Barang Jaminan atau Barang Jaminan tidak mempunyai nilai ekonomis, telah hilang, telah terjual Lelang atau telah dicairkan;
tidak pernah datang memenuhi surat panggilan/himbauan atau tidak pernah datang atas kemauan sendiri;
tidak pernah melakukan angsuran;
telah dilakukan pemberitahuan Surat Paksa; dan
telah diurus oleh PUPN lebih dari 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N).
Pasal 78
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf f, dalam hal Piutang Negara berasal eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Piutang Negara berasal dari eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria antara lain sebagai berikut:
alamat dan/atau nama Penanggung Utang tidak diketemukan atau tidak lengkap sehingga tidak memungkinkan dilakukan penelusuran lebih lanjut;
dokumen penyerahan pengurusan Piutang Negara hanya berupa cetakan dari Sistem Aplikasi Pengganti Bunysis (SAPB); dan/atau
tidak terdapat dokumen yang membuktikan bahwa Penanggung Utang telah membuat perikatan/perjanjian kredit dengan bank asal. Paragraf 2 Pelaksanaan Pengurusan Sederhana
Pasal 79
Pelaksanaan pengurusan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) dilaksanakan oleh PUPN Cabang.
Dalam melaksanakan pengurusan sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PUPN Cabang dapat dibantu oleh pejabat/pegawai Kantor Wilayah.
Pasal 80
Pengurusan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
membuat konsep surat penagihan yang ditandatangani oleh Kepala KPKNL yang ditujukan kepada Penanggung Utang yang menjadi objek pengurusan sederhana agar menghadap ke KPKNL untuk melakukan pembayaran sesuai ketentuan;
mengirimkan surat penagihan sebagaimana dimaksud pada huruf a melalui surat tercatat atau melalui sarana elektronik;
dalam hal alamat Penanggung Utang tidak diketemukan atau tidak lengkap sehingga surat penagihan tidak memungkinkan tersampaikan kepada Penanggung Utang, penagihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan melalui pengumuman panggilan yang diunggah dalam laman/ website Kantor Pusat/Kantor Wilayah/KPKNL tanpa menyebutkan besaran jumlah utang;
PUPN Cabang melakukan pembahasan per Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) setelah:
terlampauinya tanggal menghadap sebagaimana tercantum dalam surat penagihan/pengumuman panggilan;
Penanggung Utang memenuhi surat penagihan dan melakukan penyelesaian sebagian/seluruh kewajiban atau mengajukan cara-cara penyelesaian; atau 3) Penanggung Utang datang memenuhi surat penagihan namun tidak melakukan penyelesaian; dan e. membuat tindak lanjut penyelesaian per Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) berdasarkan hasil pembahasan.
Pasal 81
PUPN Cabang merumuskan tindak lanjut penyelesaian berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf e.
Tindak lanjut penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah diterbitkannya surat penagihan, yaitu:
menerbitkan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas (SPPNL), dalam hal Penanggung Utang melunasi utang;
membuat surat kepada penyerah Piutang Negara untuk melakukan penarikan, dalam hal Penanggung Utang mengajukan restrukturisasi utang melalui penyerah piutang;
memproses persetujuan keringanan utang, dalam hal Penanggung Utang mengajukan upaya penyelesaian dengan keringanan utang sesuai besaran tarif yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
mengadministrasikan pembayaran sesuai ketentuan yang berlaku, dalam hal Penanggung Utang membayar sebagian utang;
memantau secara ketat dan berkala rencana penyelesaian utang, dalam hal Penanggung Utang menghadap dan membuat surat pernyataan bermaterai untuk menyelesaikan atau mengangsur utang;
menerbitkan PSBDT dalam hal:
Penanggung Utang menghadap namun tidak mampu menyelesaikan utang dengan disertai surat pernyataan miskin bermaterai, dalam hal jumlah kurang dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
Penanggung Utang menghadap namun tidak mampu menyelesaikan utang dengan disertai: a) surat pernyataan miskin bermeterai yang dikuatkan oleh Kepala Desa/Lurah/Instansi yang berwenang; atau b) surat pernyataan miskin bermeterai yang dilengkapi dengan salah satu dari kartu keluarga miskin, bukti penerima asuransi kesehatan atau bukti lainnya yang sejenis, dalam hal jumlah utang Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
Penanggung Utang dari Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menghadap namun tidak mengakui serta menolak membayar kewajiban dengan surat pernyataan bermaterai, dalam hal dokumen penyerahan pengurusan Piutang Negara termasuk kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (2) huruf a, huruf b atau huruf c;
Penanggung Utang tidak menghadap, dan surat tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf b dikembalikan oleh perusahaan jasa pengiriman karena tidak diketahui lagi alamatnya atau alamat tidak jelas, dalam hal jumlah utang paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); atau
Penanggung Utang tidak menghadap dan dari pembahasan bersama, penelitian administrasi atau kegiatan pengurusan diketahui bahwa Penanggung Utang telah tidak diketahui keberadaannya dengan bukti paling sedikit berupa: a) berita acara pemberitahuan surat paksa dilakukan dengan cara ditempelkan oleh Juru Sita Piutang Negara di papan pengumuman PUPN Cabang sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 karena Penanggung Utang tidak diketahui lagi keberadaannya; b) surat keterangan Lurah/Kepala Desa/ Pimpinan Instansi yang berwenang; atau c) berita acara intensifikasi penagihan yang dibuat oleh petugas KPKNL yang diketahui oleh kantor kelurahan/desa/ instansi yang berwenang, dalam hal jumlah utang sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan
Tindak lanjut penyelesaian lainnya yang mendorong penyelesaian Piutang Negara.
Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf d dan tindak lanjut penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh:
Kepala KPKNL;
Kepala Seksi Piutang Negara;
Kepala Seksi Hukum dan Informasi;
pemegang Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN); dan
Pejabat/pegawai Kantor Wilayah dalam hal terdapat penugasan untuk melakukan asistensi.
Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan lebih dari satu kali sesuai perkembangan pengurusan sederhana.
Bentuk dan format berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
PUPN Cabang menindaklanjuti rekomendasi penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak berita acara ditandatangani dan melaporkan hasil pengurusan sederhana kepada Direktur Jenderal.
Pasal 82
Dalam pelaksanaan pengurusan sederhana:
persetujuan penarikan utang sebagai tindak lanjut penyelesaian sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) huruf b, dilakukan tanpa proposal restrukturisasi utang;
persetujuan keringanan utang sebagai tindak lanjut penyelesaian sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c, dilakukan tanpa adanya analisis keringanan; dan c. penerbitan PSBDT sebagai tindak lanjut penyelesaian sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) huruf f, dilakukan tanpa adanya pemeriksaan atau penelitian lapangan.
Pasal 83
Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) yang telah dilakukan pengurusan oleh PUPN, namun termasuk dalam kriteria pengurusan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 78, harus berpedoman dan mengikuti proses keseluruhan pengurusan sederhana yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 84
Pembuatan berita acara pembahasan dalam rangka pengurusan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) hanya dapat dilakukan sampai dengan 31 Desember 2021.
Piutang Negara yang tidak dapat diselesaikan melalui pengurusan sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diselesaikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pengurusan Piutang Negara.
Pasal 85
Ketentuan mengenai teknis pengurusan sederhana diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB VIII
TATA CARA PENGAJUAN USULAN, PENELITIAN, DAN PENETAPAN PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA YANG TIDAK DAPAT DISERAHKAN PENGURUSANNYA KEPADA PUPN
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Penghapusan Secara Bersyarat atau Mutlak
Pasal 86
Penghapusan Secara Bersyarat atau Mutlak sesuai Peraturan Menteri ini meliputi penghapusan Piutang Negara yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN.
Bagian Kedua
Kewenangan Penghapusan Secara Bersyarat atau Mutlak Terhadap Piutang Negara yang Tidak Dapat Diserahkan Pengurusannya kepada PUPN
Pasal 87
Penghapusan Secara Bersyarat atau Mutlak terhadap Piutang Negara yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, ditetapkan oleh:
Menteri untuk jumlah sampai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
Presiden untuk jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 88
Kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf a, untuk menetapkan penghapusan Piutang Negara dengan nilai sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal.
Direktur Jenderal harus bertanggung jawab secara substansi atas penetapan penghapusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga
Persyaratan Pengajuan Surat Keputusan Penghapusan Secara Bersyarat terhadap Piutang Negara yang Tidak Dapat Diserahkan Pengurusannya kepada PUPN
Pasal 89
Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN hanya dapat diajukan Penghapusan Secara Bersyarat setelah dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
telah diurus secara optimal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan telah dinyatakan sebagai PPNTO oleh pejabat yang berwenang pada Kementerian Negara/Lembaga;
dilengkapi dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga; dan
diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga.
Bagian Keempat
Pengajuan Usulan Penghapusan Piutang Negara yang Tidak Dapat Diserahkan Pengurusannya kepada PUPN Paragraf 1 Umum
Pasal 90
Menteri/Pimpinan Lembaga dan PPA BUN dapat mengusulkan Penghapusan Secara Bersyarat atau Mutlak atas Piutang Negara untuk jumlah:
sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) kepada Menteri, melalui Direktur Jenderal;
lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) kepada Presiden, melalui Menteri; dan
lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) kepada Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, melalui Menteri.
Batasan nilai Piutang Negara yang dapat dihapuskan secara bersyarat atau mutlak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai Piutang Negara per Penanggung Utang. Paragraf 2 Pengajuan Usulan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara yang Tidak Dapat Diserahkan Pengurusannya kepada PUPN
Pasal 91
Usulan Penghapusan Secara Bersyarat atas Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 disampaikan secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen paling sedikit:
daftar nominatif Penanggung Utang;
PPNTO; dan
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dari Menteri/Pimpinan Lembaga.
daftar nominatif Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat informasi:
nama para Penanggung Utang;
alamat para Penanggung Utang;
jumlah sisa kewajiban/utang para Penanggung Utang;
nama unit di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola Piutang Negara;
nomor dan tanggal PPNTO;
tanggal terjadinya Piutang Negara;
tanggal Piutang Negara dinyatakan macet; dan
Keterangan yang antara lain memuat keberadaan dan kemampuan Penanggung Utang, kondisi jaminan dan/atau informasi lainnya.
Dalam hal Piutang Negara berupa Tuntutan Ganti Rugi (TGR), usulan persetujuan Penghapusan Secara Bersyarat dilampiri dengan dokumen paling sedikit:
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
surat rekomendasi Penghapusan Secara Bersyarat dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam hal Piutang Negara yang akan dihapuskan merupakan Piutang Negara BUN eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang ditolak pengurusannya oleh PUPN atau tidak diserahkan ke PUPN karena pertimbangan PPA BUN, dokumen yang dilampirkan paling sedikit:
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
dokumen yang membuktikan pengeloaan Piutang Negara telah optimal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan aset eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Bentuk dan format daftar nominatif Penanggung Utang, dan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dari Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Kelima
Penelitian dan Penetapan Atas Pengajuan Usulan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara yang Tidak Dapat Diserahkan Pengurusannya kepada PUPN Paragraf 1 Penelitian
Pasal 92
Usulan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat huruf a ditindaklanjuti Direktur Jenderal dengan melakukan penelitian.
Usulan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) huruf b dan huruf c, ditindaklanjuti Menteri dengan menugaskan Direktur Jenderal untuk melakukan penelitian.
Pasal 93
Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 meliputi penelitian atas kelengkapan persyaratan yang diajukan.
Dalam hal diperlukan, Direktur Jenderal dapat melakukan konfirmasi tentang kebenaran persyaratan yang diajukan kepada:
Menteri/Pimpinan Lembaga atau PPA BUN yang mengajukan usulan; dan/atau
pihak-pihak lain yang terkait.
Pasal 94
Dalam hal dari hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 diketahui bahwa kelengkapan persyaratan telah terpenuhi dan dapat dibuktikan kebenarannya, usulan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara dapat diterima.
Dalam hal dari hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak terpenuhi dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, usulan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara tidak dapat diterima.
Dalam hal usulan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara dapat diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
hasil dari penelitian disampaikan oleh Direktur Jenderal kepada Menteri dengan disertai pertimbangan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja; dan
hasil dari penelitian digunakan sebagai bahan pertimbangan Direktur Jenderal, untuk penetapan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara sesuai kewenangan dalam bentuk mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1).
Dalam hal usulan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara tidak dapat diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak usulan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara tidak dapat diterima, usulan penghapusan dikembalikan oleh Direktur Jenderal kepada Menteri/Pimpinan Lembaga atau PPA BUN yang mengajukan usulan.
Pasal 95
Dalam hal usulan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat huruf b dapat diterima, Menteri meneruskan usulan tersebut kepada Presiden dengan disertai pendapat.
Dalam hal Presiden tidak memberikan persetujuan, Menteri mengembalikan usulan Penghapusan Secara Bersyarat kepada Direktur Jenderal untuk disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga atau PPA BUN yang mengajukan usulan.
Penyampaian kepada Menteri/Pimpinan Lembaga atau PPA BUN yang mengajukan usulan Penghapusan Secara Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima oleh Direktur Jenderal.
Pasal 96
Dalam hal usulan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat huruf c dapat diterima, Menteri meneruskan usulan tersebut kepada Presiden untuk meminta persetujuan penghapusan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan, Menteri mengembalikan usulan Penghapusan Secara Bersyarat kepada Direktur Jenderal untuk disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga atau PPA BUN yang mengajukan usulan.
Pengembalian usulan Penghapusan Secara Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima oleh Direktur Jenderal. Paragraf 2 Penetapan
Pasal 97
Menteri menetapkan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara atas usulan penghapusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat huruf a.
Presiden menetapkan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara dalam hal Presiden dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui usulan penghapusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) huruf b dan huruf c.
Direktur Jenderal menetapkan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara atas usulan penghapusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat huruf b sesuai kewenangan dalam bentuk mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1).
Pasal 98
Setelah ditetapkan oleh Menteri, penetapan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat disampaikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri kepada Menteri/Pimpinan Lembaga atau PPA BUN yang mengajukan usulan.
Setelah ditetapkan oleh Presiden, penetapan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat , disampaikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri kepada Menteri/Pimpinan Lembaga atau PPA BUN yang mengajukan usulan.
Setelah ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri, penetapan Penghapusan Secara Bersyarat Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usulan.
Penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan diterima Direktur Jenderal atau ditetapkan Direktur Jenderal berdasarkan kewenangannya.
Bagian Keenam
Pengajuan Usulan Penghapusan Secara Mutlak Piutang Negara yang Tidak Dapat Diserahkan Pengurusannya kepada PUPN Paragraf 1 Persyaratan
Pasal 99
Usulan Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Negara diajukan setelah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penetapan Penghapusan Secara Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97.
Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dengan dilampiri surat keterangan dari aparat/pejabat yang berwenang yang menyatakan Penanggung Utang tetap tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sisa kewajibannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya.
Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen paling sedikit:
daftar nominatif Penanggung Utang; dan
penetapan Penghapusan Secara Bersyarat atas Piutang Negara yang diusulkan untuk dihapuskan secara mutlak.
Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan setelah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penetapan Penghapusan Secara Bersyarat. Paragraf 2 Penelitian dan Penetapan
Pasal 100
Ketentuan mengenai penelitian dan penetapan Penghapusan Secara Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 sampai dengan Pasal 98 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penelitian dan penetapan Penghapusan Secara Mutlak.
BAB IX
PEMBINAAN, PENGAWASAN, PENGENDALIAN, DAN PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 101
Menteri/Pimpinan Lembaga dan BUN melakukan pembinaan, pengawasan, pengendalian, dan pertanggungjawaban pengelolaan Piutang Negara, untuk:
memastikan dipatuhinya seluruh peraturan perundang-undangan terkait Piutang Negara;
memastikan tercapainya semua tujuan kebijakan pengelolaan Piutang Negara;
memastikan penyetoran penerimaan negara dari hasil penagihan Piutang Negara secara menyeluruh dan tepat waktu;
memastikan seluruh Piutang Negara mempunyai dokumen sumber dan dokumen pendukung yang handal dan dapat dipercaya;
memastikan Piutang Negara dilaporkan secara tepat waktu;
memastikan telah dilaksanakan penentuan kualitas dan penyisihan Piutang Negara;
memastikan terlaksananya kegiatan rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara setiap periode; dan h. memastikan terbentuknya basis data Piutang Negara secara elektronik dan terintegrasi dengan Kementerian Keuangan selaku BUN.
Dalam melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat melibatkan aparat pengawas fungsional.
Pasal 102
Pembinaan, pengawasan, pengendalian dan pertanggungjawaban oleh Menteri selaku BUN untuk kegiatan pengelolaan Piutang Negara secara umum, penagihan, penyerahan kepada PUPN, penyelesaian, dan penghapusan Piutang Negara, secara teknis dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Pembinaan, pengawasan, pengendalian dan pertanggungjawaban oleh Menteri selaku BUN untuk kegiatan penatausahaan Piutang Negara berupa akuntansi dan pelaporan, secara teknis dilakukan oleh Unit Eselon I yang membidangi Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.
Pembinaan, pengawasan, pengendalian dan pertanggungjawaban oleh Menteri selaku BUN untuk kegiatan pengelolaan Piutang Negara Badan Layanan Umum, secara teknis dilakukan oleh unit eselon I yang membidangi Badan Layanan Umum berdasarkan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Pembinaan, pengawasan, pengendalian dan pertanggungjawaban oleh Menteri selaku BUN untuk kegiatan pengelolaan Piutang Negara yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri/rekening dana investasi/rekening pembangunan daerah, secara teknis dilakukan oleh unit eselon I yang membidangi manajemen investasi berdasarkan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
BAB X
REKONSILIASI DAN PEMUTAKHIRAN DATA PIUTANG NEGARA
Pasal 103
Kementerian Negara/Lembaga dan PPA BUN melakukan rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara yang dikelolanya dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap semester pada tahun berjalan dengan membandingkan data Piutang Negara pada periode yang sama di tahun berjalan.
Pasal 104
Rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat terdiri atas:
rekonsiliasi saldo awal Piutang Negara;
rekonsiliasi dan pemutakhiran data transaksi periode berjalan; dan
pemutakhiran kegiatan pengelolaan Piutang Negara.
Hasil rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara dituangkan dalam bentuk berita acara rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara.
Berita acara rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
identitas Kementerian Negara/Lembaga atau PPA BUN;
data Piutang Negara yang dikelola; dan
penjelasan dalam terdapat perbedaan.
Pasal 105
Sebelum dilaksanakan rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara meminta data Piutang Negara kepada seluruh Kementerian Negara/Lembaga dan PPA BUN yang melakukan pengelolaan Piutang Negara sebagai data awal pengelolaan Piutang Negara.
Kementerian Negara/Lembaga dan PPA BUN memberikan data Piutang Negara kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Pelaksanaan rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dilaksanakan mulai Tahun Anggaran 2022.
Pasal 106
Ketentuan lebih lanjut mengenai rekonsiliasi dan pemutakhiran data Piutang Negara diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 107
Sejak berlakunya Peraturan Menteri ini:
Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga dengan jumlah penyerahan paling banyak sampai dengan Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) dan tidak terdapat Barang Jaminan atau Barang Jaminan tidak mempunyai nilai ekonomis, dilakukan pengelolaannya oleh Kementerian Negara/Lembaga sampai dengan diterbitkannya PPNTO;
Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga yang tidak memenuhi syarat penyerahan pengurusan kepada PUPN karena ada dan besarnya tidak pasti menurut hukum, dilakukan pengelolaannya oleh Kementerian Negara/Lembaga sampai dengan diterbitkannya PPNTO; dan c. Piutang Negara penyerahan dari Kementerian Negara/Lembaga yang telah diurus oleh PUPN dengan jumlah penyerahan paling banyak sampai dengan Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) dan tidak terdapat Barang Jaminan atau Barang Jaminan tidak mempunyai nilai ekonomis, tetap diurus oleh PUPN berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pengurusan Piutang Negara.
Pasal 108
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur Pengurusan Piutang Negara dapat digunakan dalam mekanisme pengurusan sederhana sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan dengan Peraturan Menteri ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 109
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.06/2011 tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah yang Dikelola/Diurus oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 390); dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2012 tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah yang Dikelola/Diurus oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 588), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 110
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Oktober 2020 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Oktober 2020 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd WIDODO EKATJAHJANA