bahwa untuk menyesuaikan perkembangan teknologi dan informasi, mekanisme pengadaan barang dan jasa, dan sistem pembayaran secara elektronik, serta untuk simplifikasi proses pembayaran, perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.05/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6267);
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 33) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 63);
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.07/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 954);
MEMUTUSKAN:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi pemerintah daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.
Penyedia Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia adalah pelaku usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak.
Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.
Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan surat perintah membayar langsung.
Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi UP yang telah ditetapkan.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran.
Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran UP.
Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran TUP.
Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban dan permintaan kembali pembayaran UP.
Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPP-GUP Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban UP.
Surat Permintaan Pembayaran Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pertanggungjawaban atas TUP.
Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran.
Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan UP.
Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan TUP.
Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan UP yang telah dipakai.
Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPM-GUP Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban UP yang membebani DIPA.
Surat Perintah Membayar Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban atas TUP yang membebani DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan Penyedia atau pelaksana swakelola.
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri dari informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Interkoneksi adalah keterhubungan antar sistem elektronik yang digunakan dalam platform.
Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai yang selanjutnya disingkat PPABP adalah pembantu KPA yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan administrasi belanja pegawai.
Pengelola Basis Data Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PBDK adalah pejabat atau pegawai yang ditunjuk oleh kepala Satker untuk diberi tugas dan tanggung jawab dalam mengelola data kepegawaian pada aplikasi kepegawaian Satker.
BAB II
PENGGUNA ANGGARAN DAN BENDAHARA UMUM NEGARA
Bagian Kesatu
Pengguna Anggaran Paragraf 1 Satuan Kerja
Pasal 2
Satker melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memenuhi persyaratan sebagai berikut:
merupakan bagian dari struktur organisasi Kementerian Negara/Lembaga yang ditetapkan melalui surat keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terkait kelembagaan;
diberikan penugasan dan tanggung jawab untuk mengelola kegiatan dan alokasi kegiatan;
memiliki unit yang melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan, dan akuntansi, yang ditetapkan dalam struktur organisasi dan tata kerja;
karakteristik tugas/kegiatan yang ditangani bersifat spesifik dan berbeda dengan unit eselon I/setara; dan
lokasi Satker yang bersangkutan berada pada provinsi/kabupaten/kota yang berbeda dengan unit eselon I/setara.
Dalam hal Satker dengan jenis/karakteristik tertentu atau mendapatkan penugasan khusus dari PA/KPA eselon I Satker yang bersangkutan, dapat diusulkan dengan memenuhi syarat sebagai berikut:
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sampai dengan huruf e;
adanya surat keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga tentang penetapan Satker; dan
mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang terkait pengelolaan sesuai dengan jenis/karakteristik Satker tersebut. Paragraf 2 Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
Pasal 3
DIPA berlaku sebagai dasar pelaksanaan pengeluaran negara setelah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan selaku BUN.
DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku untuk masa 1 (satu) tahun anggaran.
Anggaran yang dialokasikan dalam DIPA merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak dapat dilampaui.
Tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban DIPA tidak dapat dilakukan dalam hal anggaran tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pembayaran gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji dapat melampaui alokasi anggaran dalam DIPA.
Pembayaran gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat dilakukan mendahului revisi anggaran. Paragraf 3 Pejabat Perbendaharaan Negara
Pasal 4
Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat lainnya ( ad interim ) selaku penyelenggara urusan tertentu dalam pemerintahan bertindak sebagai PA atas bagian anggaran yang disediakan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan kewenangannya tersebut.
Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat lainnya ( ad interim ) selaku PA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara formal dan materiil kepada Presiden atas pelaksanaan kebijakan anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tanggung jawab formal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya.
Tanggung jawab materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tanggung jawab atas penggunaan anggaran dan hasil yang dicapai atas beban anggaran negara.
PA memiliki tugas dan wewenang:
menyusun DIPA;
merinci bagian anggaran yang dikelolanya ke masing- masing Satker;
menetapkan kepala Satker atau pejabat lain sebagai KPA;
menetapkan pejabat perbendaharaan lainnya; dan
menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran yang dikelolanya.
Tugas dan kewenangan PA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d dilimpahkan kepada KPA.
Pasal 5
PA menetapkan kepala Satker sebagai KPA. (2) PA dapat menetapkan pejabat lain selain kepala Satker sebagai KPA dalam hal:
Satker dipimpin oleh pejabat yang bersifat komisioner;
Satker dipimpin oleh pejabat eselon I atau setingkat eselon I;
Satker yang dibentuk berdasarkan penugasan khusus;
Satker yang pimpinannya mempunyai tugas fungsional; atau
Satker Lembaga Negara.
Penetapan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat ex-officio .
Pasal 6
Dalam hal kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berhalangan, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat menetapkan pejabat definitif sebagai pejabat pelaksana tugas KPA dengan ketentuan sebagai berikut:
merupakan pejabat 1 (satu) tingkat di bawah kepala Satker atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang mempunyai tugas dan fungsi terkait urusan keuangan/umum/rumah tangga/tata usaha/kepegawaian/perlengkapan yang tidak menjabat sebagai PPK yang berkedudukan pada Satker berkenaan;
merupakan pejabat 2 (dua) tingkat di bawah kepala Satker atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang mempunyai tugas dan fungsi terkait urusan keuangan yang tidak menjabat sebagai PPK yang berkedudukan pada Satker berkenaan, dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud dalam huruf a berhalangan atau menjabat sebagai PPK; atau
merupakan pejabat pelaksana tugas kepala Satker atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b berhalangan atau menjabat sebagai PPK.
Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat yang ditetapkan sebagai KPA atau pejabat yang ditetapkan sebagai pelaksana tugas KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan; dan/atau b. masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 45 (empat puluh lima) hari kalender.
Pejabat pelaksana tugas KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA.
Penetapan pelaksana tugas KPA berakhir dalam hal:
KPA telah terisi kembali oleh kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) yang berstatus definitif; dan/atau
kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA.
Pasal 7
Penetapan KPA tidak terikat tahun anggaran. (2) Dalam hal Satker dilikuidasi dan/atau tidak teralokasi anggaran dalam DIPA pada tahun anggaran berikutnya, penetapan KPA berakhir.
Pasal 8
Penetapan KPA atas pelaksanaan dana urusan bersama dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas usul Gubernur/Bupati/Walikota.
Penetapan KPA atas pelaksanaan dana dekonsentrasi dilakukan oleh Gubernur selaku pihak yang dilimpahi sebagian urusan pemerintah yang menjadi kewenangan Kementerian Negara/Lembaga.
Penetapan KPA atas pelaksanaan tugas pembantuan dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas usul Gubernur/Bupati/Walikota.
Dalam rangka percepatan pelaksanaan anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mendelegasikan penetapan KPA atas pelaksanaan urusan bersama dan tugas pembantuan kepada Gubernur/Bupati/ Walikota.
Penetapan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) paling lambat sebelum DIPA disahkan.
Pasal 9
KPA bertanggung jawab secara formal dan materiil kepada PA atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya.
Tanggung jawab formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPA.
Tanggung jawab materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab atas penggunaan anggaran dan keluaran yang dihasilkan atas beban anggaran negara.
Dalam rangka pelaksanaan anggaran, KPA memiliki tugas dan wewenang:
menyusun DIPA;
menetapkan PPK dan PPSPM;
menetapkan panitia/pejabat yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan dan anggaran;
menetapkan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana pencairan dana;
melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara;
melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran atas beban anggaran negara;
memberikan supervisi, konsultasi, dan pengendalian pelaksanaan kegiatan dan anggaran;
mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan anggaran; dan
menyusun laporan keuangan dan kinerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 10
Untuk 1 (satu) DIPA, KPA menetapkan:
1 (satu) atau lebih PPK; dan
1 (satu) PPSPM.
KPA dapat menetapkan PPK lebih dari 1 (satu) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dengan pertimbangan:
kompleksitas kegiatan dalam DIPA;
besarnya alokasi anggaran dalam DIPA; dan/atau
lokasi kegiatan/kondisi geografis.
PPK dan PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pegawai/pejabat berstatus sebagai PNS, prajurit TNI, atau anggota POLRI.
PPK dan PPSPM tidak dapat saling merangkap.
Pasal 11
PPK melaksanakan kewenangan KPA untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.
Dalam rangka melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara, PPK memiliki tugas dan wewenang:
menyusun rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana penarikan dana;
menerbitkan surat penunjukan Penyedia;
membuat, menandatangani, dan melaksanakan perjanjian dengan Penyedia;
melaksanakan kegiatan swakelola;
memberitahukan kepada Kuasa BUN atas perjanjian yang dilakukannya;
mengendalikan pelaksanaan perikatan;
menguji dan menandatangani surat bukti mengenai hak tagih kepada negara;
membuat dan menandatangani SPP atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPP;
melaporkan pelaksanaan/penyelesaian kegiatan kepada KPA;
menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan kepada KPA dengan berita acara penyerahan;
menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan;
menerbitkan dan menyampaikan SPP ke PPSPM;
menyampaikan rencana penarikan dana kepada KPPN; dan
melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.
PPK bertanggung jawab terhadap:
kebenaran materiil dan akibat yang timbul dari penggunaan bukti mengenai hak tagih kepada negara;
kebenaran data supplier dan data Kontrak;
kesesuaian barang/jasa yang diterima dengan spesifikasi teknis dan volume yang telah ditetapkan; dan
penyelesaian pengujian tagihan dan penerbitan SPP sesuai dengan norma waktu yang ditentukan.
Dalam rangka kelancaran pembuatan komitmen, pengujian tagihan, dan penerbitan permintaan pembayaran, PPK:
melaporkan kepada KPA atas perjanjian/perikatan yang dilakukannya; dan
menyampaikan data supplier dan data Kontrak atas perjanjian/perikatan kepada KPPN dalam hal pembayaran dilakukan melalui mekanisme SPM-LS.
Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g dilakukan dengan menguji kebenaran materiil dan keabsahan surat-surat bukti mengenai hak tagih kepada negara.
Tugas dan wewenang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf n meliputi:
menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa;
memastikan telah terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada negara oleh pihak yang mempunyai hak tagih kepada negara;
mengajukan permintaan pembayaran atas tagihan berdasarkan prestasi kegiatan;
memastikan ketepatan jangka waktu penyelesaian tagihan kepada negara; dan
menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia.
Pasal 12
Untuk membantu PPK dalam mengelola administrasi belanja pegawai dapat diangkat:
PPABP oleh KPA; dan/atau
PBDK oleh kepala Satker.
PPABP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diutamakan bagi pejabat fungsional di bidang pengelolaan keuangan APBN.
Pengangkatan PBDK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b khusus dilakukan untuk Satker yang telah memiliki interkoneksi antara aplikasi kepegawaian dengan aplikasi gaji.
Pengangkatan PPABP dan PBDK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan.
PPABP memiliki tugas dan wewenang yang berhubungan dengan pengelolaan administrasi belanja pegawai.
PBDK memiliki tugas dan wewenang yang berhubungan dengan pengelolaan administrasi kepegawaian untuk pembayaran belanja pegawai melalui interkoneksi antara aplikasi kepegawaian dengan aplikasi gaji.
Pasal 13
PPSPM melaksanakan kewenangan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf f, dalam rangka melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran atas beban anggaran negara.
Dalam rangka melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPSPM memiliki tugas dan wewenang:
menguji kebenaran SPP atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPP beserta dokumen pendukung;
menolak dan mengembalikan SPP, apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;
membebankan tagihan pada akun yang telah disediakan;
menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih;
melakukan pemantauan atas ketersediaan pagu anggaran, realisasi belanja, dan penggunaan UP/TUP;
memperhitungkan kewajiban penerima hak tagihan apabila penerima hak tagihan masih memiliki kewajiban kepada negara;
menerbitkan dan menyampaikan SPM atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM ke KPPN;
menyampaikan laporan atas pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran kepada KPA secara periodik; dan
melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran.
PPSPM bertanggung jawab terhadap:
kebenaran administrasi, kelengkapan administrasi, dan keabsahan administrasi dokumen hak tagih yang menjadi dasar penerbitan SPM;
kebenaran dan keabsahan atas SPM;
akibat yang timbul dari pengujian SPP dan/atau penerbitan SPM; dan
ketepatan waktu penerbitan SPM dan penyampaian SPM kepada KPPN.
Pasal 14
Dalam hal terdapat kebutuhan organisasi dan diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, KPA dapat menetapkan pejabat di luar Satker berkenaan sebagai PPK dan/atau PPSPM dengan ketentuan:
untuk PPK, telah memiliki sertifikat kompetensi PPK sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penilaian kompetensi bagi PPK dan PPSPM pada Satker pengelola APBN; dan
untuk PPSPM, telah memiliki sertifikat kompetensi PPSPM sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penilaian kompetensi bagi PPK dan PPSPM pada Satker pengelola APBN.
Penetapan pejabat di luar Satker berkenaan sebagai PPK dan/atau PPSPM dilakukan setelah KPA Satker berkenaan berkoordinasi dengan Satker tempat pegawai yang akan ditetapkan sebagai PPK dan/atau PPSPM berkedudukan.
KPA menyampaikan laporan penetapan pejabat di luar Satker berkenaan sebagai PPK dan/atau PPSPM kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran paling lama 5 (lima) hari kerja sejak surat keputusan penetapan ditandatangani.
Pasal 15
Untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengangkat Bendahara Pengeluaran di setiap Satker.
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengangkat 1 (satu) atau lebih bendahara pengeluaran pembantu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan mengangkat Bendahara Pengeluaran, atau bendahara pengeluaran pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat didelegasikan kepada kepala Satker.
Bendahara Pengeluaran atau bendahara pengeluaran pembantu tidak dapat dirangkap oleh KPA, PPK, atau PPSPM.
Pasal 16
Penetapan PPK, PPSPM, Bendahara Pengeluaran, dan bendahara pengeluaran pembantu tidak terikat periode tahun anggaran.
Dalam hal PPK dan/atau PPSPM berhalangan melaksanakan tugasnya, KPA dapat menetapkan PPK dan/atau PPSPM pengganti dengan surat keputusan.
Dalam hal Bendahara Pengeluaran, dan/atau bendahara pengeluaran pembantu berhalangan, kepala Satker dapat menetapkan Bendahara Pengeluaran, dan/atau bendahara pengeluaran pembantu pengganti dengan surat keputusan.
Dalam hal penetapan KPA berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), penunjukkan PPK dan PPSPM secara otomatis berakhir.
PPK dan PPSPM yang berakhir penetapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyelesaikan seluruh administrasi keuangan yang menjadi tanggung jawabnya pada saat menjadi PPK atau PPSPM.
KPA/kepala Satker menyampaikan surat keputusan penetapan KPA, PPK, PPSPM, Bendahara Pengeluaran, bendahara pengeluaran pembantu dan pejabat pengganti kepada:
Kepala KPPN selaku Kuasa BUN;
PPSPM;
PPK;
Bendahara Pengeluaran; dan
bendahara pengeluaran pembantu.
Dalam hal terjadi pergantian KPA, PPK, PPSPM, Bendahara Pengeluaran, dan/atau bendahara pengeluaran pembantu di awal tahun atau dalam tahun anggaran berjalan, KPA/kepala Satker menyampaikan pemberitahuan ke KPPN.
Pasal 17
Dalam rangka menjaga tata kelola dalam pelaksanaan APBN, pejabat perbendaharaan harus memenuhi standar kompetensi.
Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan pembinaan dan pengembangan standar kompetensi pejabat perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Standar kompetensi bagi KPA, PPK, dan PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai standar kompetensi kerja khusus bagi KPA, PPK, dan PPSPM.
Standar kompetensi bagi Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan bukti pemenuhan kompetensi berupa sertifikat Bendahara dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara sertifikasi Bendahara pada Satker pengelola APBN.
Pemenuhan kompetensi bagi PPK dan PPSPM dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat kompetensi sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penilaian kompetensi bagi PPK dan PPSPM pada Satker pengelola APBN.
Bagian Kedua
Bendahara Umum Negara
Pasal 18
Menteri Keuangan bertindak sebagai BUN. (2) Menteri Keuangan selaku BUN mengangkat Kuasa BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan.
Menteri Keuangan selaku BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengangkat:
Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagai Kuasa BUN pusat; dan
Kepala KPPN sebagai Kuasa BUN daerah.
Kepala KPPN selaku Kuasa BUN daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b memiliki wilayah kerja, yang ditetapkan dengan mempertimbangkan:
wilayah geografis; dan/atau
beban kerja.
Pasal 19
Kuasa BUN pusat bertanggung jawab terhadap ketersediaan dana dalam rangka pencairan dana atas beban DIPA.
Kuasa BUN daerah bertanggung jawab terhadap:
kesesuaian penerima pembayaran berdasarkan perintah pembayaran dari PPSPM; dan
ketepatan waktu penerbitan SP2D.
Dalam rangka melaksanakan tugas kebendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), Kuasa BUN memiliki wewenang paling sedikit:
Kuasa BUN pusat:
melaksanakan penerimaan dan pengeluaran kas negara dalam rangka pengendalian pelaksanaan anggaran negara;
melakukan pembayaran tagihan pihak ketiga sebagai pengeluaran anggaran; dan
melakukan penyusunan laporan keuangan tingkat Kuasa BUN pusat.
Kuasa BUN daerah:
melakukan pengujian atas SPM yang diajukan oleh Satker;
melakukan penerbitan SP2D atas beban rekening kas negara; dan
melakukan penyusunan laporan keuangan tingkat Kuasa BUN daerah.
Untuk kelancaran pengujian SPM dan penerbitan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Kuasa BUN daerah memiliki tugas:
melaksanakan standar operasional prosedur pengujian SPM dan penerbitan SP2D;
memastikan Satker menggunakan sistem dan prosedur pembayaran yang telah distandardisasi oleh BUN;
memastikan Satker menyampaikan rencana penarikan dana yang tepat waktu dan akurat;
melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran dalam rangka manajemen kas; dan
memantau pencairan anggaran kepada penerima pembayaran.
Bagian Ketiga
Pejabat Fungsional di Bidang Pengelolaan Keuangan APBN
Pasal 20
Pejabat/pegawai yang akan ditetapkan/diangkat sebagai:
PPK;
PPSPM;
Bendahara Pengeluaran;
bendahara penerimaan; atau
bendahara pengeluaran pembantu, diprioritaskan berasal dari pejabat fungsional di bidang pengelolaan keuangan APBN yang dibina oleh Kementerian Keuangan.
Pejabat fungsional di bidang pengelolaan keuangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki sertifikat kompetensi PPK, sertifikat kompetensi PPSPM, atau sertifikat bendahara sesuai dengan jenis penetapan/pengangkatannya masing-masing.
Dalam hal tidak terdapat pejabat fungsional di bidang pengelolaan keuangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat ditetapkan sebagai PPK atau PPSPM, KPA menetapkan:
pejabat/pegawai yang memiliki sertifikat kompetensi PPK sebagai PPK; dan
pejabat/pegawai yang memiliki sertifikat kompetensi PPSPM sebagai PPSPM.
Dalam hal tidak terdapat pejabat fungsional di bidang pengelolaan keuangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat ditetapkan sebagai Bendahara Pengeluaran, bendahara penerimaan, atau bendahara pengeluaran pembantu, Kepala Satker mengangkat pejabat/pegawai yang memiliki sertifikat bendahara sebagai Bendahara Pengeluaran, bendahara penerimaan, atau bendahara pengeluaran pembantu.
Kepemilikan serfitikat kompetensi PPK dan sertifikat kompetensi PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penilaian kompetensi bagi PPK dan PPSPM pada Satker pengelola APBN.
Kepemilikan serfitikat Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara sertifikasi bendahara pada Satker pengelola APBN.
BAB III
KOMITMEN
Bagian Kesatu
Pembuatan Komitmen
Pasal 21
Pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran pada DIPA yang mengakibatkan belanja negara, dilakukan melalui pembuatan komitmen.
Komitmen merupakan dasar timbulnya hak tagih kepada negara atas beban DIPA.
Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
penetapan keputusan; atau
Kontrak untuk pengadaan barang/jasa.
Anggaran yang sudah terikat dengan komitmen tidak dapat digunakan untuk kebutuhan lain.
Pasal 22
Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf a dibuat dalam bentuk penetapan keputusan pejabat yang berwenang.
Pejabat berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pejabat pembina kepegawaian;
KPA;
PPK; atau
pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Komitmen dalam bentuk penetapan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:
surat keputusan;
surat perintah;
surat tugas;
surat keterangan; dan/atau
surat perjalanan dinas.
Pasal 23
Komitmen dalam bentuk Kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf b dapat berupa:
bukti pembelian/pembayaran;
kuitansi;
surat perintah kerja;
surat perjanjian; dan/atau
surat/bukti pesanan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pasal 24
Bukti pembelian/pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a diterbitkan oleh Penyedia.
Bukti pembelian/pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
tanggal pembelian/pembayaran;
nama Penyedia;
uraian barang/jasa yang dibeli/dibayar;
kuantitas barang/jasa yang dibeli/dibayar; dan
jumlah pembayaran.
Pasal 25
Kuitansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b diterbitkan dan ditandatangani paling kurang oleh PPK dan Penyedia.
Kuitansi paling sedikit memuat:
tanggal pembelian/pembayaran;
nama Penyedia;
uraian barang/jasa yang dibeli/dibayar;
kuantitas barang/jasa yang dibeli/dibayar; dan
jumlah pembayaran.
Kuitansi diterbitkan sebagai pengganti Bukti Pembelian/Pembayaran dalam hal:
Penyedia tidak menerbitkan bukti pembelian pembayaran; dan/atau
bukti pembelian/pembayaran dari Penyedia tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).
Pasal 26
Surat perintah kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c diterbitkan dan ditandatangani oleh PPK dan Penyedia.
Surat perintah kerja berisi perintah pelaksanaan pekerjaan kepada Penyedia yang paling sedikit memuat:
nama dan kode Satker;
nomor dan tanggal surat perintah kerja;
nama PPK;
uraian barang/jasa;
nama Penyedia;
hak dan kewajiban para pihak;
jangka waktu pelaksanaan pekerjaan; dan
nilai Kontrak.
Pasal 27
Surat perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d ditandatangani oleh PPK dan Penyedia.
Surat Perjanjian berisi kesepakatan para pihak mengenai pekerjaan yang paling sedikit memuat:
nama dan kode Satker;
nomor dan tanggal Surat Perjanjian;
nama PPK;
uraian barang/jasa;
nama Penyedia;
hak dan kewajiban para pihak;
jangka waktu pelaksanaan pekerjaan; dan
nilai Kontrak.
Pasal 28
Surat/bukti pesanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e dibuat oleh PPK dan ditujukan kepada Penyedia dengan tujuan untuk memesan barang/jasa melalui e-purchasing sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Surat/bukti pesanan paling sedikit memuat:
nama pemesan;
nama Penyedia;
barang/jasa yang dipesan;
spesifikasi teknis barang; dan
jumlah pembayaran.
Penggunaan surat/bukti pesanan untuk pengadaan barang/jasa dapat ditindaklanjuti dengan surat perintah kerja atau surat perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
Ketentuan mengenai batasan nominal pembayaran dengan komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.
Bagian Kedua
Penatausahaan Data Kontrak dan Data _Supplier_
Pasal 30
PPK melakukan pendaftaran Kontrak ke KPPN atas data Kontrak dan data supplier penerima pembayaran.
Pendaftaran Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah Kontrak ditandatangani.
Dalam hal terdapat perubahan/adendum atas Kontrak yang telah didaftarkan, PPK menyampaikan data perubahan/adendum Kontrak ke KPPN paling lama 5 (lima) hari kerja setelah penandatanganan perubahan/adendum Kontrak.
Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran data Kontrak dan data supplier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan sistem perbendaharaan dan anggaran negara dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan sistem SAKTI.
BAB IV
PENGAJUAN TAGIHAN KEPADA NEGARA
Bagian Kesatu
Ketentuan Tagihan
Pasal 31
Pengajuan tagihan dilakukan berdasarkan atas komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dan bukti- bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran, meliputi:
prestasi pekerjaan/pengeluaran riil;
daftar perhitungan/nominatif penerima pembayaran untuk yang lebih dari 1 (satu) penerima;
penyelesaian kewajiban perpajakan dan/atau kewajiban kepada negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan; dan/atau
persyaratan lainnya.
Prestasi pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berbentuk:
berita acara penyelesaian pekerjaan;
berita acara serah terima pekerjaan/barang;
berita acara pembayaran;
berita acara kemajuan pekerjaan; dan/atau
bukti penyelesaian pekerjaan lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Persyaratan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dapat berbentuk:
pembayaran belanja pegawai:
daftar perhitungan gaji pegawai yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;
daftar perhitungan tunjangan kinerja untuk pembayaran tunjangan kinerja;
daftar perhitungan uang makan untuk pembayaran uang makan;
daftar perhitungan uang lembur untuk pembayaran uang lembur; dan
persyaratan lain sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pembayaran belanja pegawai.
pembayaran belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lainnya:
surat tagihan penggunaan daya dan jasa yang sah untuk pembayaran langganan daya dan jasa;
daftar perhitungan/nominatif perjalanan dinas dan dokumen pendukungnya untuk pembayaran perjalanan dinas;
jaminan dalam hal barang/jasa belum diterima;
pembayaran pengadaan tanah: a) berita acara pelepasan hak atas tanah atau penyerahan tanah; b) surat pelepasan hak adat (apabila diperlukan); c) pernyataan dari pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang disengketakan bahwa pengadilan negeri tersebut dapat menerima uang penitipan ganti kerugian, dalam hal tanah sengketa; dan d) persyaratan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah; dan
persyaratan lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pembayaran belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lainnya.
Pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk tagihan pembayaran atas pengadaan barang/jasa diajukan oleh Penyedia paling lama 5 (lima) hari kerja setelah timbulnya hak tagih kepada negara.
Dalam hal Penyedia belum mengajukan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPK menyampaikan pemberitahuan kepada Penyedia untuk mengajukan tagihan.
Pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara elektronik dengan ketentuan:
telah dilakukan interkoneksi sistem yang digunakan dalam proses pengajuan tagihan; dan/atau
PPK dapat memastikan kebenaran dan keabsahan tagihan.
Bagian Kedua
Mekanisme Pembayaran Tagihan
Pasal 32
Pembayaran tagihan dapat dilakukan melalui mekanisme:
Pembayaran LS; atau
UP. Paragraf 1 Pembayaran Langsung
Pasal 33
Prinsip utama pembayaran dilakukan dengan mekanisme Pembayaran LS kepada penerima hak pembayaran.
Pembayaran LS digunakan untuk pembayaran kepada:
aparatur negara;
Penyedia; dan/atau
pihak lain.
Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah, organisasi internasional, dan/atau badan usaha.
Pasal 34
Dalam hal tidak dapat dilakukan Pembayaran LS kepada penerima hak pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), Pembayaran LS dapat dilakukan melalui:
Bendahara Pengeluaran; atau
bank/pos/lembaga keuangan bukan bank.
Pembayaran LS melalui Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat dilakukan untuk pembayaran:
honorarium dan perjalanan dinas atas dasar komitmen berupa surat keputusan; dan
belanja pegawai kepada pegawai negeri, pejabat negara, dan/atau pejabat lainnya setelah mendapat persetujuan dari Kuasa BUN.
Pembayaran LS melalui bank/pos/lembaga keuangan bukan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat dilakukan antara lain untuk belanja bantuan sosial, dan belanja bantuan pemerintah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Pembayaran dengan Uang Persediaan
Pasal 35
UP dapat digunakan untuk membayar pengeluaran operasional Satker atau pengeluaran lain yang tidak dapat dilakukan dengan mekanisme Pembayaran LS.
Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk jenis belanja:
belanja barang;
belanja modal; dan
belanja lain-lain.
UP yang diajukan berupa:
UP tunai; dan/atau
UP kartu kredit pemerintah.
UP tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan UP yang diberikan dalam bentuk uang tunai kepada Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu melalui rekening Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu.
UP kartu kredit pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan uang muka kerja yang diberikan dalam bentuk batasan belanja (limit) kredit kepada Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu.
Besaran UP yang dikelola Satker sesuai dengan kebutuhan UP Satker dalam 1 (satu) bulan maksimal 1/12 (satu per dua belas) dari pagu jenis belanja yang dapat dibayarkan melalui UP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk masing-masing sumber dana dalam DIPA.
Besaran UP sebagaimana dimaksud pada ayat (6), paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas permintaan KPA, dapat memberikan persetujuan UP melampaui besaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7), dengan mempertimbangkan:
frekuensi penggantian UP tahun yang lalu lebih dari rata-rata 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan selama 1 (satu) tahun; dan
perhitungan kebutuhan penggunaan UP dalam 1 (satu) bulan.
Satker mengajukan revolving UP tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
Revolving UP sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat dilakukan setelah digunakan paling sedikit 50% (lima puluh persen).
Pasal 36
Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA, dalam hal 2 (dua) bulan sejak SP2D-UP untuk keseluruhan UP Satker diterbitkan belum dilakukan pengajuan penggantian UP.
Dalam hal setelah 1 (satu) bulan sejak disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dilakukan pengajuan penggantian UP, Kepala KPPN memotong UP sebesar 25% (dua puluh lima persen) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA untuk memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau menyetorkan ke kas negara.
Dalam hal 1 (satu) bulan setelah surat pemberitahuan pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) KPA tidak memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau menyetorkan ke kas negara, Kepala KPPN memotong UP sebesar 50% (lima puluh persen) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA untuk memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau menyetorkan ke kas negara.
Pasal 37
UP dapat digunakan untuk pembayaran secara tunai dan non tunai.
Pembayaran dengan UP kepada setiap penerima hak pembayaran paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Batasan besaran pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikecualikan untuk:
pembayaran honorarium;
perjalanan dinas;
kegiatan di luar negeri;
kegiatan kepresidenan/wakil presiden;
kegiatan yang menyangkut rahasia negara/intelijen;
pengadaan barang/jasa Penyedia di luar negeri;
iuran organisasi internasional;
kegiatan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
penanganan terorisme;
pengadaan alutsista/alpalhankam; dan
penanganan bencana.
Pembayaran dengan UP kepada setiap penerima hak dengan nilai melebihi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal Perbendaharaan. Paragraf 3 Tambahan Uang Persediaan
Pasal 38
Dalam hal UP pada Bendahara Pengeluaran tidak cukup tersedia untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak/tidak dapat ditunda, KPA dapat mengajukan permohonan persetujuan TUP kepada Kepala KPPN.
Permohonan persetujuan TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala KPPN disertai dengan rincian rencana penggunaan TUP.
Kepala KPPN dapat menyetujui atau menolak untuk keseluruhan atau sebagian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 39
TUP harus dipertanggungjawabkan seluruhnya dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan dan dapat dilakukan secara bertahap.
Sisa TUP yang tidak habis digunakan harus disetor ke kas negara paling lama 2 (dua) hari kerja setelah batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dalam hal selama 1 (satu) bulan sejak SP2D TUP diterbitkan belum dilakukan pertanggungjawaban TUP, Kepala KPPN menyampaikan surat teguran kepada KPA.
Untuk perpanjangan pertanggungjawaban TUP melampaui 1 (satu) bulan, KPA mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala KPPN.
Kepala KPPN dapat memberikan persetujuan perpanjangan pertanggungjawaban TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan pertimbangan:
KPA harus mempertanggungjawabkan TUP yang telah dipergunakan; dan
KPA menyampaikan pernyataan kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan sisa TUP tidak lebih dari 1 (satu) bulan berikutnya.
BAB V
PENGUJIAN DAN PENYELESAIAN TAGIHAN
Bagian Kesatu
Pengujian Tagihan dan Penerbitan Surat Permintaan Pembayaran Langsung
Pasal 40
Dalam rangka penyelesaian tagihan, PPK melakukan pengujian materiil terhadap kebenaran tagihan beserta kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat .
Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik terhadap:
kelengkapan dokumen tagihan;
kebenaran data pihak yang berhak menerima pembayaran atas beban APBN; dan
kebenaran perhitungan tagihan termasuk memperhitungkan kewajiban penerima pembayaran kepada negara.
Dalam hal tagihan beserta kelengkapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan tidak dalam bentuk elektronik, pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara manual.
Selain pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPK melakukan pengujian:
kesesuaian spesifikasi teknis dan volume barang/jasa sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian/Kontrak dengan barang/jasa yang diserahkan oleh Penyedia;
kesesuaian spesifikasi teknis dan volume barang/jasa sebagaimana yang tercantum pada dokumen serah terima barang/jasa dengan dokumen perjanjian/Kontrak;
kebenaran, keabsahan serta akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti mengenai hak tagih kepada negara; dan
ketepatan jangka waktu penyelesaian pekerjaan sebagaimana yang tercantum pada dokumen serah terima barang/jasa dengan dokumen perjanjian/Kontrak.
Dalam hal terdapat keterlambatan penyelesaian pekerjaan, PPK memperhitungkan denda sesuai dengan ketentuan pengenaan denda yang dicantumkan dalam Kontrak pengadaan barang/jasa.
Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi ketentuan, PPK menerbitkan SPP-LS.
Dalam hal berdasarkan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tagihan tidak memenuhi ketentuan, PPK menolak tagihan.
Pasal 41
PPK menerbitkan dan menyampaikan SPP-LS beserta kelengkapan tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 kepada PPSPM dengan ketentuan:
paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah persyaratan diterima secara lengkap dan benar untuk pembayaran kepada aparatur negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a;
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tagihan dari Penyedia atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b dan huruf c diterima secara lengkap dan benar; dan/atau
paling lambat tanggal 10 (sepuluh) sebelum bulan pembayaran atau hari kerja sebelumnya dalam hal tanggal 10 (sepuluh) merupakan hari libur atau hari yang dinyatakan libur, untuk pembayaran gaji induk/bulanan.
Pasal 42
KPA menyampaikan permohonan persetujuan besaran UP per sumber dana kepada KPPN berdasarkan proyeksi kebutuhan UP Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (6).
Dalam hal UP Satker dikelola oleh beberapa bendahara pengeluaran pembantu, permohonan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai daftar rincian yang menyatakan jumlah UP yang dikelola oleh masing-masing bendahara pengeluaran pembantu.
Berdasarkan permohonan persetujuan kebutuhan UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPPN memberikan persetujuan besaran UP Satker.
Berdasarkan persetujuan besaran UP Satker dari KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bendahara Pengeluaran mengajukan SPP-UP kepada PPK.
PPK menerbitkan SPP-UP dan disampaikan kepada PPSPM paling lama 2 (dua) hari kerja setelah pengajuan SPP-UP dari Bendahara Pengeluaran.
Pasal 43
Dalam rangka pembayaran dengan mekanisme UP, PPK melakukan pengujian materiil terhadap kebenaran tagihan beserta kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat .
Tata cara pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat , ayat (3), dan ayat (4) berlaku mutatis mutandis terhadap pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dalam hal berdasarkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memenuhi persyaratan, PPK menerbitkan SPBy yang disampaikan kepada Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu.
Dalam hal UP digunakan untuk uang muka, PPK menerbitkan SPBy disertai dengan:
rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran; dan
rincian kebutuhan dana.
Uang muka sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan secara tunai atau nontunai.
Berdasarkan SPBy yang disampaikan PPK, Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu melakukan pengujian yang meliputi:
meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK;
pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, meliputi:
pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran;
nilai tagihan yang harus dibayar; dan
jadwal waktu pembayaran.
menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang disebutkan dalam penerimaan barang/jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen perjanjian/Kontrak; dan
pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan klasifikasi anggaran.
Apabila SPBy telah memenuhi persyaratan, Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu melakukan pembayaran dengan UP.
Dalam hal SPBy tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan, Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu mengembalikan tagihan/mengembalikan SPBy.
Pasal 44
Penerima uang muka mempertanggungjawabkan uang muka kepada Bendahara Pengeluaran disertai dengan bukti pengeluaran yang sah paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan kegiatan selesai.
Dalam hal sampai batas paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan kegiatan selesai, penerima uang muka kerja belum menyampaikan bukti pengeluaran yang sah, Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu menyampaikan permintaan tertulis agar penerima uang muka kerja segera mempertanggungjawabkan uang muka kerja dengan tembusan kepada PPK.
Pasal 45
Bendahara Pengeluaran mengajukan penggantian ( revolving ) UP kepada PPK sepanjang dana yang dapat dibayarkan dengan UP masih tersedia dalam DIPA.
Masing-masing bendahara pengeluaran pembantu mengajukan penggantian ( revolving ) UP melalui Bendahara Pengeluaran.
Pengajuan penggantian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan SPBy dan kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1).
Berdasarkan pengajuan penggantian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), PPK menerbitkan:
SPP GUP untuk pengisian kembali UP; atau
SPP GUP Nihil untuk pengesahan/ pertanggungjawaban UP, disertai dengan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
SPP GUP/GUP Nihil diterbitkan dan disampaikan kepada PPSPM paling lama 5 (lima) hari kerja setelah bukti-bukti pendukung diterima secara lengkap dan benar.
Pasal 46
Berdasarkan persetujuan pemberian TUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), Bendahara Pengeluaran mengajukan SPP-TUP kepada PPK.
PPK menerbitkan SPP-TUP dan disampaikan oleh PPK kepada PPSPM paling lama 2 (dua) hari kerja setelah pengajuan SPP-UP dari Bendahara Pengeluaran.
Tata cara penggunaan UP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 berlaku mutatis mutandis terhadap tata cara penggunaan TUP.
Untuk mengesahkan/mempertanggungjawabkan TUP, PPK menerbitkan SPP-PTUP.
SPP-PTUP diterbitkan dan disampaikan oleh PPK kepada PPSPM paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum batas akhir pertanggungjawaban TUP.
SPP-PTUP disertai dengan SPBy dan kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1).
Pasal 47
PPK menerbitkan SPP-LS/UP/TUP/GUP/GUP Nihil/PTUP dan SPBy dengan sistem aplikasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.
Pengesahan SPP-LS/UP/TUP/GUP/GUP Nihil/PTUP dan SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pengujian SPP dan Penerbitan SPM Paragraf 1 Mekanisme Pengujian dan Penerbitan SPM-LS/UP/GUP/GUP Nihil/ TUP/PTUP
Pasal 48
Dalam rangka penyelesaian tagihan, PPSPM melakukan pengujian formal atas SPP beserta kelengkapannya yang disampaikan dari PPK.
Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik meliputi:
kelengkapan dokumen pendukung SPP;
kebenaran dan keabsahan Tanda Tangan Elektronik PPK;
kebenaran pengisian format SPP;
ketersediaan pagu sesuai Bagan Akun Standar (BAS) pada SPP dengan DIPA/Petunjuk Operasional Kegiatan (POK)/Rencana Kerja Anggaran Satker (RKA);
kebenaran formal bukti yang menjadi persyaratan/kelengkapan pembayaran;
kebenaran perhitungan tagihan serta kewajiban di bidang perpajakan dari pihak yang mempunyai hak tagih;
kepastian telah terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada negara oleh pihak yang mempunyai hak tagih kepada negara;
kesesuaian prestasi pekerjaan dengan ketentuan pembayaran dalam perjanjian/Kontrak; dan
ketepatan penggunaan kode bagan akun standar antara SPP dengan DIPA/POK/RKA Satker.
Dalam hal kelengkapan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan tidak secara elektronik, pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelengkapan SPP dilakukan secara manual.
Dalam hal berdasarkan hasil pengujian SPP beserta kelengkapannya telah memenuhi ketentuan, PPSPM menerbitkan SPM-LS/UP/GUP/GUP Nihil/TUP/PTUP.
Dalam hal berdasarkan hasil pengujian SPP beserta kelengkapannya tidak memenuhi ketentuan, PPSPM menolak SPP.
Jangka waktu pengujian SPP beserta kelengkapannya sejak diterima secara lengkap dan benar sampai dengan penerbitan SPM oleh PPSPM diatur dengan ketentuan:
paling lama 2 (dua) hari kerja untuk penerbitan SPM- UP/TUP;
paling lama 4 (empat) hari kerja untuk penerbitan SPM-GUP/GUP Nihil;
paling lama 3 (tiga) hari kerja untuk penerbitan SPM- PTUP;
paling lama 5 (lima) hari kerja untuk penerbitan SPM- LS; dan
paling lambat tanggal 15 (lima belas) sebelum bulan pembayaran atau hari kerja sebelumnya dalam hal tanggal 15 (lima belas) merupakan hari libur atau hari yang dinyatakan libur, untuk pembayaran gaji induk/bulanan.
Dalam hal PPSPM menolak SPP, PPSPM harus menyatakan secara tertulis alasan penolakan/ pengembalian paling lama 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya SPP. Paragraf 2 Penyampaian SPM kepada KPPN
Pasal 49
PPSPM menerbitkan SPM-LS/UP/TUP/GUP/GUP Nihil/PTUP menggunakan sistem aplikasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.
Pengesahan SPM-LS/UP/TUP/GUP/GUP Nihil/PTUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menggunakan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
SPM-LS/UP/TUP/GUP/GUP Nihil/PTUP yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirim secara sistem ke KPPN paling lama 2 (dua) hari kerja setelah pengesahan.
Bagian Ketiga
Pengujian SPM dan Penerbitan SP2D Paragraf 1 Pengujian SPM oleh KPPN
Pasal 50
Dalam pencairan anggaran belanja negara, KPPN melakukan penelitian dan pengujian secara elektronik atas SPM yang disampaikan oleh PPSPM.
Penelitian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi penelitian terhadap:
kelengkapan SPM; dan
kebenaran SPM meliputi:
kebenaran dan keabsahan Tanda Tangan Elektronik pada SPM;
kesesuaian penulisan/pengisian jumlah angka dan huruf pada SPM; dan
kebenaran penulisan dalam SPM, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan.
Pengujian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
menguji kebenaran perhitungan angka atas beban APBN yang tercantum dalam SPM, yaitu kebenaran jumlah belanja/pengeluaran dikurangi dengan jumlah potongan/penerimaan dengan jumlah bersih dalam SPM;
menguji ketersediaan dana dalam DIPA dengan yang dicantumkan pada SPM;
menguji kesesuaian tagihan dengan data perjanjian/Kontrak atau perubahan data pegawai yang telah disampaikan kepada KPPN; dan
menguji persyaratan pencairan dana. Paragraf 2 Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana
Pasal 51
Penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat dilakukan terhadap data/informasi pada sistem aplikasi.
Dalam hal berdasarkan penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SPM memenuhi ketentuan, KPPN menerbitkan SP2D.
Dalam hal berdasarkan penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) SPM tidak memenuhi ketentuan, KPPN menolak SPM.
Penerbitan SP2D dilakukan sesuai dengan prosedur standar operasional dan norma waktu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 52
Koreksi/ralat/pembatalan atas SPP dan SPM yang telah mendapatkan penerbitan SP2D hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengakibatkan:
perubahan jumlah uang pada SPP, SPM, dan SP2D;
sisa pagu anggaran pada DIPA menjadi minus; atau
perubahan kode bagian anggaran, eselon I, dan Satker.
BAB VI
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 53
Menteri/Pimpinan Lembaga menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian internal terhadap pelaksanaan anggaran Satker di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga masing-masing.
Pengawasan dan pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Dalam rangka mempersiapkan sistem aplikasi dan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat menetapkan penahapan implementasi pembayaran dengan sistem aplikasi dan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi.
Pasal 55
Dalam hal sistem aplikasi dan/atau Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, tata cara pembayaran atas beban APBN diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembayaran atas beban APBN diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, tata cara penandatanganan, pengujian tanda tangan, dan penyampaian SPP dan SPM sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1191) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.05/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1736) masih tetap berlaku sepanjang belum dapat dilakukan penerapan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1191) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.05/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1736), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 59
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2022 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY