bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri dan Rekening Dana Investasi pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.05/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri dan Rekening Dana Investasi pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya;
bahwa untuk mengoptimalkan penyelesaian piutang negara pada badan usaha milik negara/perseroan terbatas/badan hukum lainnya dan untuk memperkuat struktur permodalan serta perbaikan kinerja badan usaha milik negara, perlu melakukan penyesuaian kembali terhadap ketentuan mengenai tata cara optimalisasi penyelesaian piutang negara yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri dan rekening dana investasi pada badan usaha milik negara/perseroan terbatas/badan hukum lainnya;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri dan Rekening Dana Investasi pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya;
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4488) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6119);
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.06/2014 tentang Penentuan Kualitas Piutang dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih pada Kementerian Negara/Lembaga dan Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 556) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.06/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.06/2014 tentang Penentuan Kualitas Piutang dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih pada Kementerian Negara/Lembaga dan Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1702);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);
MEMUTUSKAN:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA OPTIMALISASI PENYELESAIAN PIUTANG NEGARA YANG BERSUMBER DARI PENERUSAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN REKENING DANA INVESTASI PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA/PERSEROAN TERBATAS/BADAN HUKUM LAINNYA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Definisi
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan/atau hak pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disebut Perjanjian PPLN adalah kesepakatan tertulis antara pemerintah dan penerima penerusan pinjaman luar negeri untuk penerusan pinjaman luar negeri.
Perjanjian Pinjaman Rekening Dana Investasi yang selanjutnya disebut Perjanjian Pinjaman RDI adalah perjanjian pinjaman yang dananya bersumber dari rekening dana investasi kepada badan usaha milik negara/perseroan terbatas/badan hukum lainnya.
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya.
Badan Hukum Lainnya yang selanjutnya disingkat BHL adalah badan hukum yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan selain BUMN/Perseroan yang menerima pinjaman bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri dan/atau rekening dana investasi.
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Direktur adalah pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang sistem manajemen investasi termasuk pemberian pinjaman.
Kualitas Piutang Negara adalah hampiran atas ketertagihan piutang yang diukur berdasarkan kepatuhan membayar kewajiban oleh BUMN/ Perseroan/BHL.
Penjadwalan Kembali adalah perubahan jangka waktu pinjaman yang mengakibatkan perubahan terhadap besarnya pembayaran atas utang pokok, bunga/biaya administrasi, biaya komitmen, denda, dan biaya lainnya yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Perubahan Persyaratan adalah perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pinjaman yang tertuang dalam Perjanjian PPLN atau Perjanjian Pinjaman RDI, namun tidak termasuk perubahan jangka waktu pinjaman.
Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal penilaian.
Debt to Asset Swap adalah pembayaran sebagian atau seluruh kewajiban BUMN/Perseroan/BHL melalui penyerahan aset dan dicatat sebagai pengurang utang.
Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN/Perseroan, dan dikelola secara korporasi.
Penghapusan adalah tindakan menghapus Piutang Negara dari daftar tagihan pemerintah dengan menerbitkan keputusan dari pejabat negara yang berwenang untuk membebaskan BUMN/Perseroan/BHL dari tanggung jawab administrasi dan pembayaran kembali kepada pemerintah.
Cut-off Date yang selanjutnya disingkat CoD adalah tanggal acuan yang dijadikan sebagai dasar perhitungan pembebanan Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL.
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan yang selanjutnya disingkat RKAP adalah dokumen perencanaan strategis yang mencakup rumusan mengenai sasaran dan tujuan yang hendak dicapai perusahaan dalam jangka waktu satu tahun ke depan.
Rencana Perbaikan dan Kinerja yang selanjutnya disingkat RPK adalah dokumen yang berisi rencana tindak perbaikan kinerja yang ditinjau dari berbagai aspek, yang akan dilakukan BUMN/Perseroan/BHL untuk meningkatkan pendapatan agar dapat memenuhi kewajiban pembayaran Piutang Negara.
Uji Tuntas adalah proses penilaian, pemeriksaan, dan investigasi terhadap data dan fakta dari catatan perusahaan dalam rangka evaluasi kondisi pertumbuhan dan perkembangan BUMN/Perseroan/BHL.
Panitia Urusan Piutang Negara yang selanjutnya disingkat PUPN adalah panitia yang bersifat interdepartemental dan bertugas mengurus Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang selanjutnya disingkat BPKP adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Jaminan adalah aset BUMN/Perseroan/BHL baik berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud sebagai agunan bagi pelunasan utang, yang memberi kedudukan yang diutamakan kepada pemerintah terhadap kreditur lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Bunga/Biaya Administrasi yang selanjutnya disebut Bunga adalah beban yang timbul sebagai akibat atas penarikan pokok pinjaman sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian pinjaman.
Penghapusan Secara Bersyarat adalah penghapusan yang dilakukan dengan menghapuskan pembukuan tanpa menghapuskan hak tagih negara atas Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL.
Penghapusan Secara Mutlak adalah penghapusan yang dilakukan setelah Penghapusan Secara Bersyarat dengan menghapuskan hak tagih negara atas Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL.
Menteri Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut Menteri BUMN adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN.
Kontrak Manajemen Tahunan Direksi yang selanjutnya disebut Kontrak Manajemen adalah kontrak yang berisikan target-target pencapaian indikator kinerja utama ( key performance indicator ) direksi untuk memenuhi segala target yang ditetapkan oleh rapat umum pemegang saham/Menteri BUMN dalam satu tahun.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 2
Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mengoptimalkan penyelesaian Piutang Negara.
Bagian Ketiga
Kriteria
Pasal 3
Direktorat Jenderal menerbitkan status Kualitas Piutang Negara atas BUMN/Perseroan/BHL per semester.
Kualitas Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan ke dalam:
lancar;
kurang lancar;
diragukan; dan
macet.
Ketentuan mengenai penggolongan Kualitas Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
BUMN/Perseroan/BHL dengan tingkat Kualitas Piutang Negara macet harus mengajukan penyelesaian Piutang Negara.
BUMN/Perseroan/BHL dengan tingkat Kualitas Piutang Negara kurang lancar atau diragukan dapat mengajukan penyelesaian Piutang Negara.
Pasal 5
Penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL meliputi penyelesaian atas:
kewajiban pokok; dan
kewajiban non pokok.
Kewajiban pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
tunggakan utang pokok sampai dengan CoD; dan/atau b. utang pokok yang belum jatuh tempo.
Kewajiban non pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
tunggakan Bunga, denda, dan kewajiban lainnya sampai dengan CoD; dan/atau
Bunga yang belum jatuh tempo.
BAB II
CARA OPTIMALISASI PENYELESAIAN PIUTANG NEGARA
Pasal 6
Optimalisasi penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL dilakukan dengan cara:
Penjadwalan Kembali;
Perubahan Persyaratan;
Debt to Asset Swap ;
PMN;
Penghapusan; dan/atau
keringanan ( discount ) pembayaran.
Optimalisasi penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan lebih dari 1 (satu) cara.
Dalam hal optimalisasi penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diselesaikan, penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL dilakukan melalui pengurusan oleh PUPN dengan mengikuti mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Penjadwalan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat huruf a dilakukan terhadap:
kewajiban pokok; dan/atau
kewajiban non pokok.
Jangka waktu Penjadwalan Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 20 (dua puluh) tahun, termasuk masa tenggang, terhitung sejak tanggal persetujuan optimalisasi penyelesaian Piutang Negara oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
Alokasi pembayaran kembali Piutang Negara diperhitungkan berdasarkan urutan prioritas untuk pembayaran:
kewajiban pokok;
Bunga;
denda; dan
kewajiban lainnya.
Penjadwalan Kembali terhadap kewajiban non pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tidak dikenakan Bunga.
Pasal 8
Perubahan Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dilakukan dengan:
perubahan tingkat bunga;
perubahan mata uang;
penyerahan, penambahan dan/atau penggantian Jaminan; dan/atau
konversi kewajiban non pokok menjadi kewajiban pokok.
Pasal 9
Perubahan tingkat bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dilakukan dengan ketentuan:
untuk Perjanjian PPLN dengan perjanjian pinjaman luar negeri yang masih aktif, perubahan besaran tingkat bunga paling rendah sama dengan tingkat bunga dalam perjanjian pinjaman luar negeri; dan
untuk Perjanjian Pinjaman RDI dan Perjanjian PPLN dengan perjanjian pinjaman luar negeri yang sudah tidak aktif, perubahan tingkat bunga yang berlaku sampai dengan sebesar 0% (nol persen).
Pasal 10
Perubahan mata uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dilakukan dalam hal mata uang pinjaman diubah ke dalam bentuk mata uang rupiah.
Nilai tukar mata uang pinjaman yang diubah ke dalam bentuk mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal persetujuan Direktur Jenderal atas nama Menteri.
Pengenaan tingkat suku bunga pinjaman mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
Penyerahan, penambahan dan/atau penggantian Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c dilakukan atas pinjaman yang belum atau telah terdapat Jaminan.
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa aset atau penerimaan atas proyek/kegiatan.
Pelaksanaan Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
Konversi kewajiban non pokok menjadi kewajiban pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d, hanya dapat dilakukan kepada BUMN atau Perseroan yang di dalamnya terdapat kepemilikan negara.
Pasal 13
Debt to Asset Swap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat huruf c:
dilakukan apabila optimalisasi penyelesaian Piutang Negara berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal tidak dapat diselesaikan dengan cara Penjadwalan Kembali dan/atau Perubahan Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b;
dapat dilakukan atas sebagian maupun seluruh kewajiban pokok dan/atau kewajiban non pokok; dan c. diberikan untuk Perjanjian Pinjaman RDI dan/atau Perjanjian PPLN dengan perjanjian pinjaman luar negeri yang sudah tidak aktif.
Alokasi Debt to Asset Swap diperhitungkan berdasarkan urutan prioritas:
kewajiban pokok;
Bunga;
denda; dan
kewajiban lainnya.
Dalam hal setelah dilakukan Debt to Asset Swap masih tersisa kewajiban pokok dan/atau kewajiban non pokok, penyelesaian kewajiban tersebut diselesaikan melalui Penjadwalan Kembali, Perubahan Persyaratan, PMN, Penghapusan, dan/atau keringanan ( discount ) pembayaran.
Pasal 14
Debt to Asset Swap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat huruf c dilakukan dengan cara penyerahan aset.
Aset yang dapat dipergunakan untuk Debt to Asset Swap berupa tanah atau tanah berikut bangunan yang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
aset atas nama BUMN/Perseroan/BHL;
aset bebas dari segala permasalahan hukum;
aset tidak dalam kondisi penguasaan pihak ketiga;
aset dalam kondisi tidak menjadi jaminan utang kepada kreditur yang lain; dan
aset yang tidak terkait dengan kegiatan usaha BUMN/Perseroan/BHL.
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam surat pernyataan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang di BUMN/Perseroan/BHL.
Pasal 15
Untuk menentukan nilai aset yang menjadi objek Debt to Asset Swap , Direktorat Jenderal menyampaikan permohonan penilaian kepada:
penilai pemerintah; atau
penilai publik yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal, untuk mendapatkan Nilai Wajar.
Direktorat Jenderal dapat meminta BPKP untuk melakukan reviu yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rekomendasi optimalisasi penyelesaian Piutang Negara melalui Debt to Asset Swap .
Pasal 16
Pelaksanaan Debt to Asset Swap dilakukan dengan membuat:
perjanjian Debt to Asset Swap antara BUMN/Perseroan/BHL dengan Direktorat Jenderal di hadapan notaris;
berita acara serah terima aset dari BUMN/Perseroan/BHL kepada Direktorat Jenderal; dan c. akta pelepasan hak dari BUMN/Perseroan/BHL kepada Menteri melalui Direktur Jenderal di hadapan pejabat pembuat akta tanah.
Nilai aset yang ditetapkan sebagai Debt to Asset Swap diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban dari BUMN/Perseroan/BHL kepada pemerintah.
Dalam pengelolaan aset dari Debt to Asset Swap , Direktorat Jenderal menyerahkan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada unit/instansi pemerintah yang memiliki lingkup tugas dan tanggung jawab meliputi pengelolaan aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
PMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat huruf d dapat diberikan kepada BUMN dan/atau Perseroan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pemberian PMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
dilakukan apabila optimalisasi penyelesaian Piutang Negara berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal tidak dapat diselesaikan dengan cara Penjadwalan Kembali, Perubahan Persyaratan, dan/atau Debt to Asset Swap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c;
dapat dilakukan atas sebagian maupun seluruh kewajiban pokok; dan
diberikan untuk Perjanjian Pinjaman RDI dan/atau Perjanjian PPLN dengan perjanjian pinjaman luar negeri yang sudah tidak aktif.
PMN yang berasal dari konversi kewajiban non pokok menjadi kewajiban pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d dilakukan dalam hal terdapat kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk memperkuat struktur permodalan, perbaikan kinerja, dan organisasi BUMN/Perseroan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku ketentuan sebagai berikut:
merupakan kebijakan yang berdampak nasional dan strategis;
ditetapkan oleh Presiden dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan presiden; dan
dilampiri kajian dari Kementerian BUMN mengenai pelaksanaan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk memperkuat struktur permodalan, perbaikan kinerja, dan organisasi BUMN/Perseroan.
Dalam hal PMN dilakukan atas sebagian kewajiban pokok, sisa kewajiban pokok diselesaikan melalui cara Penjadwalan Kembali, Perubahan Persyaratan, dan/atau Debt to Asset Swap .
Pasal 18
Penghapusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat huruf e:
dilakukan atas sebagian atau seluruh kewajiban non pokok BUMN/Perseroan/BHL; dan
diberikan untuk Perjanjian Pinjaman RDI dan/atau Perjanjian PPLN dengan perjanjian pinjaman luar negeri yang sudah tidak aktif.
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila optimalisasi penyelesaian Piutang Negara berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal tidak dapat diselesaikan melalui cara Penjadwalan Kembali, Perubahan Persyaratan, Debt to Asset Swap , dan/atau PMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d.
Pasal 19
Keringanan ( discount ) pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat huruf f dilakukan atas kewajiban non pokok.
Keringanan ( discount ) pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
diberikan untuk Perjanjian Pinjaman RDI dan/atau Perjanjian PPLN dengan perjanjian pinjaman luar negeri yang sudah tidak aktif; dan
kewajiban pokok maupun kewajiban non pokok dibayarkan secara sekaligus.
Perhitungan besaran keringanan ( discount ) pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan nilai sekarang ( present value ) dari nilai kewajiban non pokok yang menjadi hak pemerintah.
Nilai sekarang ( present value ) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan nilai pada suatu tanggal tertentu, dari angsuran-angsuran pinjaman RDI dan/atau penerusan pinjaman luar negeri yang akan dilakukan setelah tanggal tersebut, yang dihitung dengan mendiskonto angsuran-angsuran pinjaman RDI dan/atau penerusan pinjaman luar negeri berdasarkan asumsi tingkat bunga tertentu untuk terjadinya angsuran- angsuran tersebut.
Pasal 20
Pengurusan Piutang Negara melalui PUPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dilakukan dalam hal BUMN/Perseroan/BHL:
tidak memiliki prospek usaha yang dibuktikan dengan Uji Tuntas; atau
tidak tercapai kesepakatan terhadap cara penyelesaian Piutang Negara bagi BUMN/Perseroan/BHL yang mempunyai utang dengan Kualitas Piutang Negara macet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d.
BAB III
TATA CARA PENYELESAIAN PIUTANG NEGARA
Pasal 21
BUMN/Perseroan/BHL dapat mengajukan permohonan penyelesaian Piutang Negara kepada Menteri u.p. Direktur Jenderal sejak dinyatakan dalam status kurang lancar atau diragukan dengan contoh format tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BUMN/Perseroan/BHL harus melengkapi dokumen persyaratan penyelesaian Piutang Negara paling lambat 6 (enam) bulan sejak surat permohonan penyelesaian Piutang Negara diterima.
Dalam hal BUMN/Perseroan/BHL tidak melengkapi dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan penyelesaian Piutang Negara BUMN/Perseroan/BHL tidak disetujui.
Pasal 22
BUMN/Perseroan/BHL harus mengajukan permohonan penyelesaian Piutang Negara paling lambat 6 (enam) bulan sejak dinyatakan dalam status macet dengan contoh format tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BUMN/Perseroan/BHL dalam status macet yang mengajukan permohonan penyelesaian Piutang Negara, harus melengkapi persyaratan paling lambat 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima.
Dalam hal BUMN/Perseroan/BHL tidak melengkapi persyaratan paling lambat 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Jenderal meminta BPKP atau auditor independen untuk melakukan audit untuk tujuan tertentu.
Dalam hal diperlukan, Direktorat Jenderal dapat meminta unit/instansi pemerintah atau lembaga terkait untuk melakukan reviu dari aspek hukum sebagai pendamping hasil audit untuk tujuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 23
CoD ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Penetapan CoD dilakukan pada tanggal surat permohonan penyelesaian Piutang Negara dari BUMN/Perseroan/BHL diterima.
Dalam hal BUMN/Perseroan/BHL tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), CoD ditetapkan 6 (enam) bulan sejak status macet ditetapkan.
Dalam hal permohonan penyelesaian Piutang Negara BUMN/Perseroan/BHL tidak disetujui dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), perhitungan CoD dinyatakan batal dan kembali pada perhitungan semula.
BUMN/Perseroan/BHL tidak dikenakan Bunga, denda, dan/atau biaya lainnya terhitung sejak CoD ditetapkan sampai dengan tanggal persetujuan atau penolakan penyelesaian Piutang Negara.
Pasal 24
Permohonan penyelesaian Piutang Negara yang diajukan oleh BUMN/Perseroan/BHL harus dilengkapi dengan dokumen persyaratan sebagai berikut:
laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir dengan ketentuan:
dalam hal debitur berbentuk BUMN/Perseroan, laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen dan menunjukkan opini paling rendah wajar dengan pengecualian; atau
dalam hal debitur berbentuk BHL, laporan keuangan yang telah disahkan oleh rapat anggota tahunan atau pembina;
laporan evaluasi kinerja/laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas 3 (tiga) tahun terakhir dengan ketentuan:
dalam hal debitur berbentuk BUMN/Perseroan, laporan evaluasi dibuat oleh auditor independen; atau
dalam hal debitur berbentuk BHL, laporan evaluasi dibuat sendiri dan telah disahkan oleh rapat anggota tahunan atau pembina;
RKAP/dokumen yang dipersamakan tahun anggaran berjalan dan tahun anggaran sebelumnya berikut laporan realisasi;
RPK BUMN/Perseroan/BHL yang telah dibahas dan disetujui rapat umum pemegang saham/Menteri BUMN/pembina/rapat anggota sesuai dengan contoh format tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
surat pernyataan direksi dan komisaris/ketua pengurus dan pembina tentang komitmen untuk melaksanakan RPK BUMN/Perseroan/BHL, dengan contoh format tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan
dalam hal debitur berbentuk BUMN, diperlukan rekomendasi Menteri BUMN atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan penyelesaian Piutang Negara, dengan contoh format tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Dalam hal usulan permohonan penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan cara optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c sampai dengan huruf e, permohonan penyelesaian Piutang Negara harus dilampiri dengan hasil uji tuntas aspek keuangan dan aspek hukum yang dilakukan oleh pihak independen.
Direktorat Jenderal dapat meminta dokumen lain selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendukung informasi yang diberikan oleh BUMN/Perseroan/BHL.
Pasal 25
Direktorat Jenderal melakukan verifikasi dokumen permohonan penyelesaian Piutang Negara yang diajukan BUMN/Perseroan/BHL paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan diterima.
Dalam hal dokumen permohonan penyelesaian Piutang Negara yang diajukan BUMN/Perseroan/BHL dinyatakan tidak lengkap, namun masih dalam jangka waktu pengajuan permohonan penyelesaian Piutang Negara, Direktorat Jenderal membuat surat pernyataan dokumen tidak lengkap untuk disampaikan kepada BUMN/Perseroan/BHL paling lambat 15 (lima belas) hari sejak surat permohonan diterima.
Dalam hal dokumen permohonan penyelesaian Piutang Negara yang diajukan BUMN/Perseroan/BHL dinyatakan lengkap, Direktorat Jenderal membuat surat pernyataan dokumen lengkap untuk disampaikan kepada BUMN/Perseroan/BHL paling lambat 15 (lima belas) hari sejak surat permohonan diterima dan melakukan analisis dokumen penyelesaian Piutang Negara.
Dalam hal BUMN/Perseroan/BHL tidak mengajukan permohonan penyelesaian Piutang Negara paling lambat 6 (enam) bulan sejak dinyatakan macet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Direktorat Jenderal meminta BPKP atau auditor independen untuk melakukan audit untuk tujuan tertentu.
Dalam hal diperlukan, Direktorat Jenderal dapat meminta unit/instansi pemerintah atau lembaga terkait untuk melakukan reviu dari aspek hukum sebagai pendamping hasil audit untuk tujuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 26
Direktorat Jenderal melakukan analisis terhadap permohonan penyelesaian Piutang Negara yang diajukan BUMN/Perseroan/BHL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3).
Pasal 27
Analisis terhadap permohonan penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 meliputi:
prospek usaha; dan
kemampuan membayar.
Pasal 28
Analisis terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a meliputi:
potensi pertumbuhan usaha;
kondisi pasar; dan
posisi BUMN/Perseroan/BHL dalam persaingan usaha.
Analisis terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tata cara analisis prospek usaha dan kemampuan bayar kembali BUMN/Perseroan/BHL sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 29
Analisis terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b meliputi:
proyeksi arus kas BUMN/Perseroan/BHL;
proyeksi pendapatan bersih BUMN/Perseroan/BHL; dan c. struktur permodalan BUMN/Perseroan/BHL.
Analisis terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tata cara analisis prospek usaha dan kemampuan bayar kembali BUMN/Perseroan/BHL sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 30
BHL yang tidak bertujuan mencari keuntungan dikecualikan terhadap analisis prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a.
Pasal 31
Dalam hal hasil analisis permohonan penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak memiliki prospek usaha, penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL tersebut dapat dilakukan dengan mekanisme pengurusan oleh PUPN.
Pasal 32
Dalam hal BUMN/Perseroan/BHL tidak melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau tidak mengajukan permohonan penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4), Direktorat Jenderal melakukan analisis terhadap:
hasil audit untuk tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (4); dan/atau
hasil reviu dari aspek hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 25 ayat (5).
Dalam hal hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki prospek usaha, dapat dilakukan pengurusan oleh PUPN.
Dalam hal hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki prospek usaha, Direktorat Jenderal menentukan cara optimalisasi penyelesaian Piutang Negara.
Direktorat Jenderal melakukan perundingan cara optimalisasi penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan BUMN/Perseroan/BHL.
Dalam hal hasil perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak menghasilkan kesepakatan, pengurusan Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL tersebut dilakukan oleh PUPN.
Pasal 33
Dalam hal optimalisasi penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL dilakukan pengurusan oleh PUPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dikembalikan dengan pertimbangan tertentu, Direktorat Jenderal dapat melakukan penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL tersebut melalui cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
Pasal 34
Menteri dapat membentuk tim penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL yang terdiri atas unsur Kementerian Keuangan dan/atau kementerian negara/lembaga.
Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk membantu Direktorat Jenderal dalam melakukan analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
Pasal 35
Berdasarkan hasil analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan hasil kesepakatan perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4):
Direktur Jenderal menyampaikan rekomendasi optimalisasi penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL kepada Menteri dalam hal optimalisasi penyelesaian Piutang Negara dilakukan dengan cara Debt to Asset Swap , PMN, Penghapusan, dan/atau keringanan ( discount ) pembayaran; atau
Direktur menyampaikan rekomendasi optimalisasi penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL kepada Direktur Jenderal dalam hal optimalisasi penyelesaian Piutang Negara dilakukan dengan cara Penjadwalan Kembali dan/atau Perubahan Persyaratan.
Pasal 36
Dalam hal Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a atau Direktur Jenderal atas nama Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b menyetujui rekomendasi optimalisasi penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL, Menteri atau Direktur Jenderal atas nama Menteri menyampaikan surat persetujuan optimalisasi penyelesaian Piutang Negara kepada BUMN/Perseroan/BHL.
Pasal 37
Dalam hal optimalisasi penyelesaian Piutang Negara kepada BUMN/Perseroan/BHL dilakukan dengan cara Penghapusan, BUMN/Perseroan/BHL tersebut harus menyelesaikan program optimalisasi yang dipersyaratkan dalam surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
Program optimalisasi yang harus diselesaikan oleh BUMN/Perseroan/BHL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
tambahan jangkauan pelayanan;
tambahan kontribusi untuk penerimaan negara; dan/atau c. pelaksanaan program pemerintah.
Pasal 38
Berdasarkan surat persetujuan optimalisasi penyelesaian Piutang Negara dengan cara Penghapusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat , dilakukan penetapan Penghapusan Secara Bersyarat.
Kewenangan penetapan Penghapusan Secara Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
Menteri untuk jumlah sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
Presiden untuk jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pengusulan penetapan Penghapusan Secara Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan oleh Menteri.
Dalam hal Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak memberikan persetujuan, Menteri menyampaikan surat pembatalan persetujuan optimalisasi penyelesaian Piutang Negara kepada BUMN/Perseroan/BHL.
Pasal 39
Penghapusan Secara Mutlak ditetapkan setelah BUMN/Perseroan/BHL menyelesaikan program optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
Pasal 40
Dalam melaksanakan Penghapusan Secara Mutlak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Direktorat Jenderal melakukan penilaian terhadap penyelesaian program optimalisasi oleh BUMN/Perseroan/BHL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan BUMN/Perseroan/BHL belum menyelesaikan program optimalisasi yang dipersyaratkan, BUMN/Perseroan/BHL diberikan perpanjangan jangka waktu penyelesaian program optimalisasi paling lama 5 (lima) tahun.
Dalam hal setelah diberikan perpanjangan jangka waktu penyelesaian program optimalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) BUMN/Perseroan/BHL masih belum menyelesaikan program optimalisasi, BUMN/Perseroan/BHL dapat diberikan perpanjangan jangka waktu kembali paling lama 5 (lima) tahun.
Direktorat Jenderal menyampaikan surat pemberitahuan perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) kepada BUMN/Perseroan/BHL.
Pasal 41
Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Direktur Jenderal memberikan rekomendasi persetujuan Penghapusan Secara Mutlak kepada Menteri.
Dalam hal Menteri menyetujui rekomendasi persetujuan Penghapusan Secara Mutlak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan surat persetujuan optimalisasi penyelesaian Piutang Negara kepada BUMN/Perseroan/BHL.
Ketentuan mengenai penetapan Penghapusan Secara Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Penghapusan Secara Mutlak.
Pasal 42
BUMN/Perseroan/BHL harus mencantumkan pemenuhan kewajiban optimalisasi penyelesaian Piutang Negara ke dalam Kontrak Manajemen atau dokumen yang dipersamakan.
Pasal 43
Dalam hal optimalisasi penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan dilakukan dengan cara PMN, BUMN/Perseroan membayar dividen kepada pemerintah setelah mendapatkan PMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembayaran dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh BUMN/Perseroan dalam hal BUMN/Perseroan mempunyai saldo laba positif atas laba bersih.
Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan formula sebagai berikut:
Pembayaran dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dituangkan dalam Kontrak Manajemen.
Pasal 44
Dalam hal setelah dilakukan optimalisasi penyelesaian Piutang Negara BUMN/Perseroan/BHL masih dalam status kurang lancar, diragukan, atau macet, BUMN/Perseroan/BHL dapat mengajukan kembali permohonan penyelesaian Piutang Negara kepada Menteri.
BUMN/Perseroan/BHL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan penyelesaian Piutang Negara dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22.
BAB IV
PERUBAHAN PERJANJIAN
Pasal 45
Segala perubahan Perjanjian PPLN dan/atau perubahan Perjanjian Pinjaman RDI akibat optimalisasi penyelesaian Piutang Negara dituangkan dalam perubahan Perjanjian PPLN dan/atau perubahan Perjanjian Pinjaman RDI.
Perubahan Perjanjian PPLN dan/atau perubahan Perjanjian Pinjaman RDI ditandatangani oleh direktur utama/direktur/pengurus BUMN/Perseroan/BHL dan Menteri atau pejabat yang diberi kuasa oleh Menteri.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 46
Selama masa optimalisasi penyelesaian Piutang Negara, BUMN/Perseroan/BHL harus menyampaikan dokumen sebagai berikut:
laporan keuangan:
dalam hal debitur berbentuk BUMN/Perseroan, laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen; atau
dalam hal debitur berbentuk BHL, laporan keuangan yang telah disahkan oleh rapat anggota tahunan/pembina;
laporan evaluasi kinerja/laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas:
dalam hal debitur berbentuk BUMN/Perseroan, laporan evaluasi dibuat oleh auditor independen; atau
dalam hal debitur berbentuk BHL, laporan evaluasi dibuat oleh BHL tersebut dan telah disahkan oleh rapat anggota tahunan/pembina;
RKAP/dokumen yang dipersamakan tahun anggaran berjalan yang disetujui dalam rapat umum pemegang saham/rapat pembahasan bersama/rapat anggota tahunan/pembina; dan
Kontrak Manajemen atau dokumen yang dipersamakan.
Laporan perkembangan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Menteri u.p. Direktur Jenderal dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan keuangan diterima paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tanggal laporan hasil audit diterbitkan;
laporan evaluasi kinerja perusahaan diterima paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tanggal laporan dibuat;
RKAP/dokumen yang dipersamakan diterima paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tanggal pengesahan; dan
Kontrak Manajemen atau dokumen yang dipersamakan diterima paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah Kontrak Manajemen atau dokumen yang dipersamakan ditetapkan.
BAB VI
EVALUASI DAN PEMANTAUAN
Pasal 47
Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk melakukan evaluasi dan pemantauan dari aspek keuangan, aspek operasional, aspek manajemen, dan aspek administrasi atas pelaksanaan optimalisasi penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL.
Dalam hal hasil evaluasi dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan hasil bahwa asumsi pada RPK tidak tercapai dan mempengaruhi arus kas, Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk memberikan rekomendasi kepada BUMN/Perseroan/BHL untuk melakukan perubahan RPK.
Perubahan RPK yang telah mendapat pengesahan oleh rapat umum pemegang saham/rapat pembahasan bersama/rapat anggota/pembina disampaikan kepada Menteri u.p. Direktur Jenderal.
Dalam hal terjadi perubahan RPK yang menyebabkan perubahan besaran angsuran namun tidak mengakibatkan perubahan jadwal pembayaran, terlebih dahulu dilakukan analisis dan mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal atas nama Menteri.
Perubahan besaran angsuran yang tidak mengakibatkan perubahan jadwal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dituangkan dalam perubahan Perjanjian PPLN atau Perjanjian Pinjaman RDI.
Perubahan asumsi RPK dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun buku.
Dalam hal hasil evaluasi dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan hasil bahwa asumsi dalam RPK tidak tercapai dan mengakibatkan perubahan jangka waktu pembayaran, BUMN/Perseroan/BHL mengajukan permohonan penyelesaian Piutang Negara kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).
BAB VII
SANKSI
Pasal 48
Dalam hal BUMN/Perseroan/BHL mengalami keterlambatan/tunggakan pembayaran pokok, Bunga, dan biaya lainnya setelah dilakukan Penjadwalan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dikenakan denda sebesar 1% (satu persen) per tahun.
Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung paling lama sampai dengan status macet pada BUMN/Perseroan/BHL ditetapkan.
Dalam hal BUMN/Perseroan/BHL melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, BUMN/Perseroan/BHL yang bersangkutan diberikan surat peringatan.
Dalam hal BUMN/Perseroan/BHL tidak menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dalam waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak tanggal surat peringatan, BUMN/Perseroan/BHL yang bersangkutan dikenakan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap bulan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
BAB VIII
PENYELESAIAN PIUTANG NEGARA PADA BUMN/PERSEROAN/BHL YANG MEMPUNYAI KRITERIA TERTENTU
Pasal 49
Penyelesaian Piutang Negara dilakukan pada BUMN/Perseroan/BHL yang mempunyai kriteria tertentu sebagai berikut:
Perjanjian PPLN dan/atau Perjanjian Pinjaman RDI tidak lengkap dan/atau tidak ditemukan, namun nilai/jumlah Piutang Negara tercatat/diakui sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
status badan hukum dibubarkan atau sudah tidak ada berdasarkan data/dokumen yang dikeluarkan oleh pejabat/instansi/lembaga yang berwenang.
Pasal 50
Penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a dilakukan berdasarkan usulan permohonan penyelesaian Piutang Negara.
Penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan terlebih dahulu membuat surat kesepakatan utang yang ditandatangani Direktur Jenderal atas nama Menteri dengan direktur utama/direktur/pengurus BUMN/Perseroan/BHL.
Surat kesepakatan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
besaran Piutang Negara berdasarkan berita acara rekonsiliasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal;
jangka waktu pinjaman;
jadwal pembayaran kembali; dan
tingkat suku bunga.
Penentuan jangka waktu pinjaman, jadwal pembayaran kembali dan tingkat suku bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b sampai dengan huruf d dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan membayar kembali BUMN/Perseroan/BHL.
Jangka waktu pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan tingkat suku bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dapat ditetapkan sampai dengan 0% (nol persen) dengan jangka waktu pinjaman paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Berdasarkan surat kesepakatan utang yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal menyampaikan permohonan persetujuan penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL dengan kriteria tertentu kepada Menteri.
Dalam hal Menteri menyetujui permohonan penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Menteri menyampaikan surat persetujuan kepada BUMN/Perseroan/BHL.
Surat persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menjadi dasar penyusunan Perjanjian PPLN dan/atau Perjanjian Pinjaman RDI baru.
Perjanjian PPLN dan/atau Perjanjian Pinjaman RDI sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditandatangani oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri dengan direktur utama/direktur/pengurus BUMN/Perseroan/BHL.
Pasal 51
Direktur Jenderal menyusun dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b dengan cara Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak kepada Menteri.
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Penghapusan atas kewajiban pokok dan kewajiban non pokok.
Jumlah kewajiban pokok dan kewajiban non pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah Piutang Negara yang tercatat/diakui oleh Direktorat Jenderal.
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat paling sedikit:
jika masih terdapat hak-hak pemerintah atas Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL, hak-hak tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan
data/dokumen dari pejabat/instansi/lembaga yang berwenang menyatakan bahwa BUMN/Perseroan/BHL sudah tidak ada/dibubarkan.
Dalam menyusun rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal dapat meminta bantuan BPKP.
Berdasarkan rekomendasi Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan persetujuan penyelesaian Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL dengan kriteria tertentu.
Ketentuan mengenai Penghapusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) sampai dengan ayat (4) berlaku mutatis mutandis terhadap Penghapusan pada BUMN/Perseroan/BHL yang telah memperoleh persetujuan penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
CoD yang telah ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap berlaku.
BUMN/Perseroan/BHL yang telah mengajukan permohonan penyelesaian Piutang Negara sebelum Peraturan Menteri ini berlaku namun belum memenuhi dokumen persyaratan secara lengkap dan benar, harus melengkapi persyaratan dimaksud paling lambat 6 (enam) bulan setelah berlakunya Peraturan Menteri ini.
BUMN/Perseroan/BHL yang telah mengajukan permohonan penyelesaian Piutang Negara sebelum Peraturan Menteri ini berlaku dan telah memenuhi dokumen persyaratan secara lengkap dan benar, penyelesaian Piutang Negara nya dilakukan sesuai Peraturan Menteri ini.
BUMN/Perseroan/BHL yang telah berstatus macet pada saat Peraturan Menteri ini berlaku dan belum mengajukan permohonan penyelesaian Piutang Negara, harus mengajukan permohonan penyelesaian Piutang Negara paling lambat 6 (enam) bulan setelah berlakunya Peraturan Menteri ini.
BUMN/Perseroan/BHL yang telah memperoleh persetujuan penyelesaian Piutang Negara sebelum Peraturan Menteri ini berlaku namun mengalami gagal bayar, dapat diberikan penyelesaian Piutang Negara kembali.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri dan Rekening Dana Investasi pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 147) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.05/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri dan Rekening Dana Investasi pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1722), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 54
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2021 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2021 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd BENNY RIYANTO