bahwa dalam rangka penyelesaian Piutang Negara yang lebih efektif dan efisien, perlu diupayakan pengurusannya secara optimal;
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.06/2016 perlu disesuaikan dengan perkembangan pengurusan Piutang Negara, sehingga perlu disempurnakan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengurusan Piutang Negara;
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104);
Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara;
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 51);
MEMUTUSKAN:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Direktorat Jenderal, adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal, adalah salah satu pejabat unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Panitia adalah Panitia Urusan Piutang Negara, baik tingkat pusat maupun cabang.
Kantor Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal.
Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal.
Kantor Pelayanan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah.
Chanelling adalah pola penyaluran dana oleh pemerintah kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga pembiayaan nonperbankan dimana pemerintah menanggung risiko kerugian apabila terjadi kemacetan.
Risk sharing adalah pola penyaluran dana oleh pemerintah kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga pembiayaan nonperbankan dimana pemerintah dan perbankan atau lembaga pembiayaan nonperbankan berbagi risiko kerugian apabila terjadi kemacetan.
Penyerah Piutang adalah Instansi Pemerintah termasuk Badan Layanan Umum (BLU)/Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Lembaga Negara, Komisi Negara, Badan Hukum lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing , yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara.
Penanggung Hutang adalah badan dan/atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan dan/atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang.
Penjamin Hutang adalah badan dan/atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang.
Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara, yang untuk selanjutnya disebut SP3N, adalah surat yang diterbitkan oleh Panitia, berisi pernyataan menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang.
Pernyataan Bersama adalah kesepakatan antara Panitia Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah hutang yang wajib dilunasi, cara-cara penyelesaiannya, dan sanksi.
Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Panitia, yang memuat jumlah hutang yang wajib dilunasi oleh Penanggung Hutang.
Pencegahan adalah larangan bepergian ke luar dari wilayah Republik Indonesia.
Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Panitia Cabang kepada Penanggung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diberitahukan.
Juru Sita Piutang Negara adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab kejurusitaan.
Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang diserahkan sebagai jaminan penyelesaian hutang.
Harta Kekayaan Lain adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang yang tidak dilakukan pengikatan sebagai jaminan hutang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi jaminan penyelesaian hutang.
Penilai Pemerintah Di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Penilai Direktorat Jenderal, adalah penilai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh kuasa Menteri yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan penilaian termasuk atas hasil penilaiannya secara independen.
Nilai Pasar adalah perkiraan jumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti, antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang penawarannya dilakukan secara layak dalam waktu yang cukup, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui kegunaan properti tersebut, bertindak hati-hati, dan tanpa paksaan.
Nilai Likuidasi adalah nilai properti yang dijual melalui lelang setelah memperhitungkan risiko penjualannya.
Nilai Limit adalah nilai terendah atas pelepasan barang dalam Lelang.
Nilai Pembebanan adalah nilai yang tercantum dalam akta hipotek/ crediet verband /hak tanggungan/fidusia.
Lelang adalah penjualan barang di muka umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjualan Tanpa Melalui Lelang adalah penjualan barang yang dilakukan oleh Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang dengan persetujuan Panitia Cabang.
Penebusan adalah pembayaran yang dilakukan oleh Penjamin Hutang untuk mengambil kembali Barang Jaminan.
Pemeriksaan adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh Pemeriksa Piutang Negara guna memperoleh informasi dan/atau bukti-bukti dalam rangka penyelesaian Piutang Negara.
Pemeriksa Piutang Negara adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Pemeriksaan.
Paksa Badan adalah penyanderaan ( gijzeling ) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap diri pribadi Penanggung Hutang atau pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus bertanggung jawab.
Tempat Paksa Badan adalah tempat tertentu yang tertutup, mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem pengamanan serta pengawasan memadai, yang digunakan untuk pelaksanaan Paksa Badan.
BAB II
PENYERAHAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
Bagian Pertama
Syarat Penyerahan
Pasal 2
Piutang Negara pada tingkat pertama diselesaikan sendiri oleh Instansi Pemerintah termasuk Badan Layanan Umum (BLU)/Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Lembaga Negara, Komisi Negara, Badan Hukum lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
Dalam hal penyelesaian Piutang Negara tidak berhasil, Instansi Pemerintah termasuk Badan Layanan Umum (BLU)/Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Lembaga Negara, Komisi Negara, Badan Hukum lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib menyerahkan pengurusan Piutang Negara kepada Panitia Cabang.
Pasal 4
Penyerahan pengurusan Piutang Negara disampaikan secara tertulis disertai resume dan dokumen kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah Piutang.
Dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (1), dalam hal:
tempat dibuatnya perjanjian kredit/tempat terjadinya piutang berada di luar kedudukan Penyerah Piutang, penyerahan dapat dilakukan kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat dibuatnya perjanjian kredit/tempat terjadinya piutang dimaksud;
domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian berada di luar kedudukan Penyerah Piutang, penyerahan harus dilakukan kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian dimaksud; atau
domisili Penanggung Hutang berbeda dengan kedudukan Penyerah Piutang, penyerahan dapat dilakukan kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi domisili Penanggung Hutang dimaksud.
Pasal 5
Resume berkas kasus Piutang Negara yang diserahkan memuat informasi:
identitas Penyerah Piutang;
identitas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
bidang usaha Penanggung Hutang;
keadaan usaha Penanggung Hutang pada saat diserahkan;
dasar hukum terjadinya piutang;
jenis Piutang Negara;
penjamin kredit oleh perusahaan penjamin kredit;
sebab-sebab kredit atau piutang dinyatakan macet;
tanggal realisasi kredit dan tanggal-tanggal Penyerah Piutang mengkategorikan kredit sesuai peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam hal Piutang Negara berasal dari perbankan, atau tanggal Penanggung Hutang dinyatakan wanprestasi sesuai dengan perjanjian, peraturan, surat keputusan pejabat berwenang atau sebab apapun dalam hal Piutang Negara berasal dari nonperbankan;
rincian hutang yang terdiri dari saldo hutang pokok, bunga, denda, dan ongkos/beban lainnya;
daftar Barang Jaminan, yang memuat uraian barang, pembebanan, kondisi dan nilai Barang Jaminan pada saat penyerahan, dalam hal penyerahan didukung oleh Barang Jaminan;
daftar Harta Kekayaan Lain;
penjelasan singkat upaya-upaya penyelesaian piutang yang telah dilakukan oleh Penyerah Piutang; dan n. informasi lainnya yang dianggap perlu disampaikan oleh Penyerah Piutang.
Dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam penyerahan pengurusan Piutang Negara sebagai berikut:
perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, perjanjian, perubahan perjanjian, kontrak, surat perintah kerja, keputusan yang diterbitkan pejabat yang berwenang, peraturan, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan/atau dokumen lain yang membuktikan adanya piutang;
rekening koran, prima nota, mutasi piutang, faktur, rekening, bukti tagihan, dan/atau dokumen lain yang dapat membuktikan besarnya piutang;
dokumen yang terkait dengan Barang Jaminan dan pembebanannya;
surat menyurat antara Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang berkaitan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka penyelesaian hutang.
Pasal 6
Ketentuan mengenai dokumen-dokumen yang dilampirkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 7
Dalam hal pada waktu yang bersamaan Penyerah Piutang menyerahkan pengurusan Piutang Negara lebih dari 1 (satu) berkas kasus, setiap berkas kasus dilengkapi surat penyerahan dengan nomor surat tersendiri.
Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1), terhadap piutang pasien rumah sakit, Penyerah Piutang dapat menyampaikan satu surat penyerahan untuk lebih dari satu Penanggung Hutang disertai rincian jumlah tagihan per Penanggung Hutang.
Panitia Cabang/Kantor Pelayanan menerbitkan satu surat/produk hukum untuk tiap satu Penanggung Hutang.
Bagian Kedua
Permintaan Kelengkapan Data dan Ekspose
Pasal 8
Kantor Pelayanan dapat meminta kelengkapan data kepada Penyerah Piutang dalam hal:
berkas kasus yang diserahkan belum lengkap; atau
Kantor Pelayanan membutuhkan informasi lebih lanjut sebagai bahan pengurusan.
Pasal 9
Dalam kasus-kasus tertentu, Kantor Pelayanan dapat meminta bantuan Penyerah Piutang untuk memberikan penjelasan (ekspose) atas kasus yang diserahkan.
Bagian Ketiga
Kredit Sindikasi
Pasal 10
Dalam hal piutang berasal dari kredit sindikasi/konsorsium, sepanjang terdapat Piutang Negara yang harus diselesaikan, pengurusannya dapat diserahkan kepada Panitia Cabang.
Pasal 11
Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan oleh agen atau anggota sindikasi yang berasal dari Instansi Pemerintah.
Dalam hal Instansi Pemerintah berkedudukan sebagai anggota sindikasi/konsorsium, penyerahan pengurusan Piutang Negara harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari agen anggota sindikasi/konsorsium.
Pasal 12
Jumlah Piutang Negara yang diserahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 adalah sebesar piutang dari anggota sindikasi/konsorsium yang berasal dari Instansi Pemerintah.
Penyerahan Piutang Negara dengan jumlah sebesar seluruh piutang sindikasi/konsorsium hanya boleh dilakukan oleh:
agen sindikasi/konsorsium yang berasal dari Instansi Pemerintah setelah mendapat persetujuan dari seluruh anggota sindikasi/konsorsium;
anggota sindikasi/konsorsium yang berasal dari Instansi Pemerintah setelah mendapat persetujuan dari agen dan seluruh anggota sindikasi/ konsorsium yang lain.
BAB III
PENERIMAAN DAN PENOLAKAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
Bagian Pertama
Penelitian Adanya dan Besarnya Piutang Negara
Pasal 13
Kantor Pelayanan meneliti surat penyerahan pengurusan Piutang Negara berikut lampirannya.
Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus.
Pasal 14
Berdasarkan resume dan dokumen penyerahan, Kantor Pelayanan menghitung besarnya Piutang Negara.
Pasal 15
Piutang Negara terdiri atas hutang pokok, bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya sesuai perjanjian atau peraturan atau putusan pengadilan.
Terhadap piutang yang pengurusannya diserahkan oleh BUMN/BUMD yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing , dalam hal terdapat pembebanan bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya, besarnya pembebanan ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan setelah kredit atau piutang dikategorikan macet atau jatuh tempo kecuali ditetapkan tersendiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terhadap piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang pengurusannya diserahkan oleh Instansi Pemerintah, dalam hal terdapat pembebanan sanksi administrasi berupa denda, besarnya pembebanan ditetapkan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah Piutang Negara jatuh tempo berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terhadap piutang bukan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang pengurusannya diserahkan oleh Instansi Pemerintah, dalam hal terdapat pembebanan bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya, besarnya pembebanan ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan setelah Piutang Negara jatuh tempo kecuali ditetapkan tersendiri berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 16
Dalam menghitung besarnya Piutang Negara:
polis asuransi, biaya pembebanan hak tanggungan atau fidusia, biaya perpanjangan hak atas tanah, biaya pengukuhan hak atas tanah, dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan, diperhitungkan sebagai penambahan.
Piutang Negara dalam satuan mata uang asing tetap dihitung dalam satuan mata uang asing yang bersangkutan.
Pasal 17
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, Piutang Negara dapat dihitung dan ditetapkan dalam satuan mata uang Rupiah dalam hal sebelum pengurusan Piutang Negara diserahkan kepada Panitia telah ada kesepakatan antara Penyerah Piutang dengan Penanggung Hutang atau telah ada persetujuan dari Penyerah Piutang.
Dalam hal mata uang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b sudah tidak berlaku, piutang negara dihitung dalam mata uang asing pengganti yang masih berlaku.
Pasal 18
Dalam hal Penyerah Piutang tidak dapat menyampaikan rekening koran, prima nota, atau data mutasi keuangan, Kantor Pelayanan dapat menghitung sendiri besarnya Piutang Negara berdasarkan syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian atau peraturan atau putusan pengadilan.
Hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonfirmasikan kepada Penyerah Piutang.
Bagian Kedua
Penerimaan
Pasal 19
Dalam hal berkas penyerahan telah memenuhi persyaratan dan dari hasil penelitian berkas dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara, Panitia Cabang menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan SP3N.
Dalam hal berkas penyerahan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 ayat , yang disebabkan keadaan kahar, penyerahan dapat diterima dengan ketentuan penyerahan dilampiri:
dokumen pengganti, daftar nominatif atau rekapitulasi dan/atau data pendukung yang menunjukkan adanya dan besarnya piutang; dan
laporan kepada Kepolisian atau keterangan dari pejabat yang berwenang tentang dokumen yang hilang atau musnah karena keadaan kahar.
Dalam hal Kantor Pelayanan menghitung sendiri besarnya Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, hasil perhitungan Kantor Pelayanan yang telah mendapat konfirmasi secara tertulis dari Penyerah Piutang, digunakan sebagai dasar menetapkan besarnya Piutang Negara dalam SP3N.
Pasal 20
SP3N memuat paling kurang:
nomor dan tanggal surat penyerahan pengurusan Piutang Negara;
identitas Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang;
pernyataan menerima pengurusan Piutang Negara;
rincian dan jumlah Piutang Negara yang telah diperhitungkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18;
uraian barang jaminan, jika ada;
klausula bahwa piutang dimaksud tetap dicatat dalam neraca Penyerah Piutang; dan
tanda tangan Panitia Caban
Pasal 21
Panitia Cabang menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang atas piutang yang terjadi atau diperjanjikan di luar negeri dalam hal:
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; dan
Penanggung Hutang berstatus Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia; atau
terdapat kewenangan Penyerah Piutang untuk memilih yurisdiksi hukum di Indonesia.
Pasal 22
Dalam hal Penanggung Hutang adalah Instansi Pemerintah, pengurusan Piutang Negara dilaksanakan secara khusus dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan mengenai pengurusan Piutang Negara dengan Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 23
Sejak SP3N diterbitkan, pengurusan Piutang Negara beralih kepada Panitia Cabang dan penyelenggaraannya dilakukan oleh Kantor Pelayanan.
Dalam hal piutang didukung dengan Barang Jaminan, sejak SP3N diterbitkan Penyerah Piutang wajib menyerahkan semua dokumen asli Barang Jaminan.
Bagian Ketiga
Penolakan
Pasal 24
Panitia Cabang menolak penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara dalam hal:
kelengkapan syarat-syarat penyerahan pengurusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dipenuhi oleh Penyerah Piutang, sehingga tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara;
Penyerah Piutang dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat permintaan konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), tidak memberikan tanggapan; atau
Penyerah Piutang bukan berasal dari Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Bagian Keempat
Permintaan Dokumen Asli
Pasal 25
Dalam hal setelah diterbitkan SP3N, Penyerah Piutang belum menyerahkan dokumen asli Barang Jaminan dan pembebanannya, Kantor Pelayanan menerbitkan surat permintaan kepada Penyerah Piutang.
BAB IV
KOREKSI DAN PERUBAHAN BESARAN PIUTANG NEGARA
Bagian Pertama
Koreksi Besaran Piutang Negara
Pasal 26
Koreksi besaran Piutang Negara hanya dapat dilakukan jika terdapat:
pembayaran yang tidak tercatat;
kesalahan perhitungan oleh Penyerah Piutang; dan/atau c. sebab lain yang sah.
Koreksi besaran Piutang Negara tidak dapat dilakukan terhadap perhitungan pembebanan bunga, denda dan/atau ongkos atau beban lainnya yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat , ayat (3), dan ayat (4).
Pasal 27
Koreksi besaran Piutang Negara tidak boleh dilakukan dengan maksud memberikan keringanan hutang.
Pasal 28
Ketentuan mengenai koreksi besaran Piutang Negara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Perubahan Besaran Piutang Negara
Pasal 29
Perubahan besaran Piutang Negara hanya dapat dilakukan, jika terdapat:
pembebanan biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a; dan/atau
persetujuan keringanan jumlah hutang.
Pasal 30
Dalam hal kasus Piutang Negara telah diterbitkan SP3N, perubahan besaran Piutang Negara tidak boleh dilakukan dengan cara menerbitkan SP3N kembali.
Bagian Ketiga
Penelitian Bukti-bukti
Pasal 31
Koreksi besaran Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) atau perubahan besaran Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a harus didasarkan pada penelitian atas bukti-bukti, baik yang bersumber dari Penyerah Piutang maupun dari Penanggung Hutang.
BAB V
PENGEMBALIAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
Pasal 32
Pengembalian pengurusan Piutang Negara dapat dilakukan oleh Panitia Cabang dalam hal:
terdapat kekeliruan Penyerah Piutang karena Penanggung Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan;
piutang terkait dengan perkara pidana;
Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif;
terdapat putusan lembaga peradilan dalam perkara perdata maupun tata usaha negara yang telah berkekuatan hukum tetap yang membatalkan penyerahan pengurusan Piutang Negara;
Piutang Negara yang diserahkan, terjadi atau disalurkan di eks Provinsi Timor-Timur;
Penyerah Piutang meminta kembali pengurusan Piutang Negara yang bersumber dari perjanjian penerusan pinjaman luar negeri, rekening pembangunan daerah, dan rekening dana investasi pada Perusahaan Daerah Air Minum; atau
Penyerah Piutang meminta kembali pengurusan Piutang Negara eks PT Jamsostek (Persero) yang telah berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan guna perhitungan kembali hak piutang BPJS Ketenagakerjaan.
Pasal 33
Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena kekeliruan Penyerah Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a harus berdasarkan bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadi kekeliruan.
Pasal 34
Perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b merupakan perkara yang terkait dengan penyalahgunaan penggunaan kredit atau menyangkut proses pemberian kredit.
Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena terkait dengan perkara pidana dapat dilakukan pada tahap penyidikan.
Piutang Negara yang telah dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diserahkan kembali kepada Panitia Cabang apabila:
dalam putusan pidana tidak terdapat kerugian negara yang harus diganti; atau
dalam putusan pidana Penanggung Hutang dibebaskan dari segala tuntutan.
Pasal 35
Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf c dapat dilakukan apabila:
Penyerah Piutang tidak bersedia menyerahkan dokumen asli Barang Jaminan berikut pengikatannya kepada Kantor Pelayanan, setelah diminta secara tertulis; atau
Penyerah Piutang tidak menanggapi surat atau tidak bersedia memenuhi permintaan tertulis dari Kantor Pelayanan.
Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan peringatan secara tertulis kepada Penyerah Piutang.
Pasal 36
Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena adanya putusan lembaga peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf d harus berdasarkan bukti salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pasal 37
Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf e, hanya dapat dilaksanakan apabila:
terdapat permintaan secara tertulis dari Penyerah Piutang; dan
pengembalian dilaksanakan untuk keperluan penghapusan secara bersyarat dan/atau penghapusan secara mutlak.
Pasal 38
Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf f , hanya dapat dilaksanakan apabila:
terdapat permintaan secara tertulis dari Penyerah Piutang; dan
dipergunakan untuk penyelesaian Piutang Negara oleh Penyerah Piutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian Piutang Negara yang bersumber dari perjanjian penerusan pinjaman luar negeri, rekening pembangunan daerah, dan rekening dana investasi pada Perusahaan Daerah Air Minum.
Pasal 39
Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf g, hanya dapat dilaksanakan apabila:
Piutang tersebut berasal dari penyerahan PT Jamsostek;
terdapat permintaan secara tertulis dari Penyerah Piutang, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh BPJS Ketenagakerjaan; dan
dipergunakan untuk perhitungan kembali hak piutang BPJS Ketenagakerjaan agar tidak tercampur dengan hak piutang lainnya
Pasal 40
Pengembalian pengurusan Piutang Negara dituangkan dalam Surat Pengembalian Pengurusan Piutang Negara yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.
Surat Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Penyerah Piutang dengan disertai semua dokumen yang telah diterima oleh Kantor Pelayanan.
BAB VI
PANGGILAN
Bagian Pertama
Surat Panggilan dan Panggilan Terakhir
Pasal 41
Kantor Pelayanan melakukan panggilan secara tertulis kepada Penanggung Hutang dalam rangka penyelesaian hutang.
Pasal 42
Dalam hal Penanggung Hutang adalah:
perorangan, panggilan ditujukan kepada diri pribadi Penanggung Hutang;
badan hukum berbentuk perseroan terbatas, panggilan ditujukan kepada direksi dan komisaris yang melakukan kegiatan pengurusan perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga badan hukum;
badan hukum koperasi atau yayasan, panggilan ditujukan kepada pengurus koperasi atau yayasan;
firma, panggilan ditujukan kepada salah seorang firman; atau e. commanditer vennootschap , panggilan ditujukan kepada pesero pengurus.
Pasal 43
Tenggang waktu antara tanggal surat panggilan dan tanggal menghadap disesuaikan dengan perkiraan lamanya surat sampai di alamat Penanggung Hutang ditambah waktu yang diperlukan untuk datang menghadap ke Kantor Pelayanan.
Pasal 44
Dalam hal Penanggung Hutang tidak memenuhi panggilan, Kantor Pelayanan melakukan panggilan terakhir secara tertulis paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal menghadap yang ditetapkan dalam surat panggilan.
Pasal 45
Surat panggilan dan surat panggilan terakhir disampaikan oleh kurir atau menggunakan jasa pos.
Pasal 46
Ketentuan mengenai panggilan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Pengumuman Panggilan
Pasal 47
Dalam hal Penanggung Hutang menghilang atau tidak mempunyai tempat tinggal/tempat kediaman yang dikenal di Indonesia, Kantor Pelayanan melakukan pengumuman panggilan melalui:
surat kabar harian;
media elektronik;
papan pengumuman di Kantor Pelayanan; dan/atau
media massa lainnya:
Dalam hal dianggap perlu, panggilan, panggilan terakhir atau panggilan lain-lain dapat dilakukan melalui surat kabar dan/atau media massa lainnya.
Pasal 48
Pengumuman panggilan memuat identitas Penanggung Hutang dan kewajiban Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya kepada Negara.
Bagian Ketiga
Surat Kuasa Khusus
Pasal 49
Dalam hal Penanggung Hutang diwakili oleh pihak ketiga, pihak yang mewakili harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus yang dibuat dengan akta notaris atau dilegalisasi oleh notaris.
Dalam hal jenis piutang adalah Kredit Usaha Kecil dan Menengah atau yang sejenis, surat kuasa khusus dapat dibuat dengan surat kuasa di bawah tangan, dengan ketentuan:
surat kuasa khusus dibuat di atas kertas bermeterai cukup dan diketahui kepala desa atau lurah setempat;
dilampiri fotokopi kartu identitas pemberi dan penerima kuasa; dan
pada saat menghadap, penerima kuasa menunjukkan kartu identitas asli pemberi dan penerima kuasa.
BAB VII
PERNYATAAN BERSAMA
Bagian Pertama
Wawancara
Pasal 50
Dalam hal Penanggung Hutang datang memenuhi panggilan atau datang atas kemauan sendiri, Kantor Pelayanan melakukan wawancara dengan Penanggung Hutang tentang kebenaran adanya dan besarnya Piutang Negara serta cara- cara penyelesaiannya.
Pasal 51
Hasil wawancara dituangkan dalam Berita Acara Tanya Jawab, yang ditandatangani oleh:
Penanggung Hutang;
Kepala Kantor Pelayanan atau pejabat yang ditunjuk; dan
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.
Bagian Kedua
Pembuatan Pernyataan Bersama
Pasal 52
Berdasarkan berita acara tanya jawab dibuat Pernyataan Bersama, yang ditandatangani oleh:
Panitia Cabang;
Penanggung Hutang; dan
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.
Pasal 53
Dalam hal Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang dan sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan dibuat Pernyataan Bersama yang memuat sekurang-kurangnya:
irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa";
identitas Penanggung Hutang;
identitas Penyerah Piutang;
besarnya Piutang Negara dengan rincian terdiri dari hutang pokok, bunga, denda dan/atau ongkos/beban lain;
besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
pengakuan hutang oleh Penanggung Hutang;
kesanggupan Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutang dan cara penyelesaiannya;
sanksi jika tidak memenuhi cara penyelesaian hutang;
tanggal penandatanganan Pernyataan Bersama;
tanda tangan Panitia Cabang;
tanda tangan Penanggung Hutang di atas meterai cukup; dan l. tanda tangan para saksi.
Pasal 54
Dalam hal Penanggung Hutang meninggal dunia, Pernyataan Bersama dibuat dengan ahli waris Penanggung Hutang.
Ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan fatwa waris, penetapan dari pengadilan, atau Surat Keterangan Ahli Waris dari pejabat yang berwenang.
Pasal 55
Dalam hal Penanggung Hutang diwakili oleh kuasanya, Pernyataan Bersama dibuat dengan kuasa Penanggung Hutang.
Pasal 56
Jangka waktu penyelesaian hutang yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Pernyataan Bersama ditandatangani.
Pasal 57
Pembayaran Piutang Negara yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama dapat dilakukan secara tunai atau angsuran.
Dalam hal pembayaran ditetapkan secara angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jangka waktu angsuran tidak boleh melebihi triwulanan.
Pasal 58
Dalam hal Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang namun tidak sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pernyataan Bersama tetap dibuat.
Pernyataan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
pengakuan hutang; dan
pernyataan Penanggung Hutang tidak sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan.
Bagian Ketiga
Peringatan Pernyataan Bersama
Pasal 59
Dalam hal Penanggung Hutang tidak membayar angsuran sesuai ketentuan dalam Pernyataan Bersama, paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis kepada Penanggung Hutang untuk memenuhi kewajibannya.
Dalam hal Penanggung Hutang memenuhi kewajiban sesuai dengan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jadwal angsuran yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama tetap berlaku.
Pasal 60
Surat peringatan Pernyataan Bersama dapat diterbitkan lebih dari 1 (satu) kali, dalam hal Penanggung Hutang memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam surat peringatan Pernyataan Bersama, namun pada jadwal angsuran berikutnya Penanggung Hutang melakukan tunggakan.
Bagian Keempat
Perubahan Besaran Piutang Negara
Pasal 61
Dalam hal setelah Pernyataan Bersama dibuat terdapat perubahan besaran Piutang Negara sebagai akibat penambahan biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, Panitia Cabang menerbitkan surat pemberitahuan perubahan besaran Piutang Negara kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang.
Surat pemberitahuan perubahan besaran Piutang Negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pernyataan Bersama.
BAB VIII
PENETAPAN JUMLAH PIUTANG NEGARA
Bagian Pertama
Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara
Pasal 62
Panitia cabang menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara, dalam hal Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat karena:
Penanggung Hutang tidak mengakui jumlah hutang baik sebagian atau seluruhnya, tetapi tidak dapat membuktikan;
Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang, tetapi menolak menandatangani Pernyataan Bersama tanpa alasan yang sah; atau
Penanggung Hutang tidak memenuhi panggilan dan/atau pengumuman panggilan.
Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara memuat sekurang-kurangnya:
berkepala "Keputusan Panitia Urusan Piutang Negara" tentang Penetapan Jumlah Piutang Negara;
pertimbangan diterbitkannya Penetapan Jumlah Piutang Negara;
dasar hukum diterbitkannya Penetapan Jumlah Piutang Negara;
besarnya Piutang Negara dengan rincian hutang pokok, bunga, denda, ongkos/beban lainnya dan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara yang wajib dilunasi Penanggung Hutang;
tanggal penerbitan Penetapan Jumlah Piutang Negara; dan
tanda tangan Panitia cabang.
Bagian Kedua
Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara
Pasal 63
Dalam hal setelah diterbitkan Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara terdapat koreksi/perubahan besaran Piutang Negara, tidak perlu dibuat Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara yang baru, tetapi cukup diterbitkan Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.
Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Penetapan Jumlah Piutang Negara.
BAB IX
KERINGANAN HUTANG
Bagian Pertama
Kewenangan
Pasal 64
Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan diberi kewenangan untuk memberikan keringanan hutang dalam bentuk:
keringanan jumlah hutang yang menyangkut bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya;
keringanan jangka waktu penyelesaian hutang;
keringanan jumlah hutang yang menyangkut bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sekaligus keringanan jangka waktu; atau
konversi satuan mata uang asing ke dalam satuan mata uang rupiah.
Pasal 65
Berdasarkan kewenangan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, Kepala Kantor Wilayah berwenang untuk:
menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit/hutang lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), atau pokok kredit/hutang dalam satuan mata uang asing yang setara berupa keringanan hutang:
bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen);
jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun untuk pokok kredit/hutang paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun untuk pokok kredit/hutang lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus keringanan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun untuk pokok kredit/hutang paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau
bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus keringanan jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun untuk pokok kredit/hutang lebih dari Rp000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau
menolak permohonan keringanan hutang.
Pasal 66
Berdasarkan kewenangan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, Kepala Kantor Pelayanan berwenang untuk:
menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit/hutang paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), atau pokok kredit/hutang dalam satuan mata uang asing yang setara berupa keringanan hutang:
bunga, denda, dan/atau ongkos atau beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen);
jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun; atau
bunga, denda, dan/atau ongkos atau beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus keringanan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
menolak permohonan keringanan hutang; atau
memberikan pertimbangan keringanan hutang kepada Kepala Kantor Wilayah.
Pasal 67
Pokok kredit/hutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 65 dan Pasal 66 adalah pokok kredit/hutang yang tercantum dalam perjanjian kredit, perjanjian lain yang sejenis, atau keputusan pejabat yang berwenang.
Persetujuan keringanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dan Pasal 66, dalam hal Piutang Negara merupakan piutang yang berasal dari:
Instansi Pemerintah Pusat, pemberian keringanan hutang dalam bentuk keringanan jumlah hutang atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, hanya dapat dilakukan dengan ketentuan besarnya keringanan hutang paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); dan
Instansi Pemerintah Daerah, pemberian keringanan hutang dalam bentuk keringanan jumlah hutang atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, hanya dapat dilakukan setelah Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan atau menyerahkan keputusan kepada Kantor Pelayanan dan besarnya keringanan hutang paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 68
Keringanan hutang atas piutang dalam satuan mata uang asing diberikan dengan ketentuan.
piutang terjadi sebelum Januari 1998 dan macet sebagai akibat krisis moneter;
sumber utama penghasilan Penanggung Hutang/ Penjamin Hutang dalam satuan mata uang rupiah; dan c. pelunasan hutang dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan persetujuan keringanan hutang diterbitkan Kantor Pelayanan.
Keringanan hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf d dilakukan dengan menghitung rata-rata nilai kurs pada saat terjadinya hutang dan nilai kurs pada saat persetujuan keringanan hutang ditetapkan.
Besarnya keringanan hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pemberian keringanan hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disertai dengan pemberian keringanan jumlah hutang berupa bunga, denda, dan/atau ongkos atau beban lainnya dan/atau jangka waktu penyelesaian hutang.
Bagian Kedua
Permohonan
Pasal 69
Permohonan keringanan hutang diajukan oleh Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang kepada Kepala Kantor Pelayanan disertai proposal atau alasan- alasannya.
Permohonan keringanan hutang dapat juga diajukan Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang melalui Penyerah Piutang.
Pasal 70
Dalam hal permohonan keringanan hutang yang diajukan melebihi kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dan Pasal 66 atau berkas/data yang disampaikan tidak lengkap, Kantor Pelayanan dapat menolak permohonan karena tidak dapat diproses lebih lanjut.
Permohonan kembali keringanan hutang dapat dilakukan terhadap kasus Piutang Negara yang telah pernah ditolak dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 71
Permohonan keringanan hutang atau permohonan kembali keringanan hutang diajukan selambat- lambatnya sebelum pengumuman Lelang.
Dalam hal Lelang pernah dilaksanakan, permohonan keringanan hutang atau permohonan kembali keringanan hutang dapat diajukan dengan ketentuan selambat- lambatnya sebelum pengumuman Lelang berikutnya.
Pasal 72
Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan keringanan hutang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Ketiga
Analisis
Pasal 73
Persetujuan, penolakan, dan pemberian pertimbangan atas permohonan keringanan hutang harus berdasarkan hasil analisis.
Pasal 74
Dalam hal kegiatan usaha Penanggung Hutang masih berjalan dan permohonan keringanan berupa keringanan jangka waktu atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, analisis permohonan keringanan hutang meliputi sekurang-kurangnya:
latar belakang permohonan keringanan hutang;
itikad baik Penanggung Hutang;
kemampuan/usaha Penanggung Hutang;
nilai dan daya laku barang jaminan; dan
rencana pelunasan hutang.
Pasal 75
Dalam hal kegiatan usaha Penanggung Hutang tidak berjalan/tidak ada, atau usaha masih berjalan tetapi hanya mengajukan permohonan keringanan jumlah hutang, analisis permohonan keringanan hutang meliputi sekurang- kurangnya:
latar belakang permohonan keringanan hutang;
itikad baik Penanggung Hutang;
nilai dan daya laku barang jaminan; dan
rencana dan sumber pelunasan hutang.
Pasal 76
Analisis terhadap nilai dan daya laku Barang Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf c tidak dilakukan dengan ketentuan pada saat keringanan hutang diajukan:
sisa hutang pokok paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
sisa hutang pokok lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), dan pengurusan telah lebih dari 5 (lima) tahun sejak SP3N diterbitkan;
sisa hutang pokok lebih dari Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dan pengurusan telah lebih dari 7 (tujuh) tahun sejak SP3N diterbitkan;
sisa hutang pokok lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dan pengurusan telah lebih dari 10 (sepuluh) tahun sejak SP3N diterbitkan; atau
sisa hutang pokok lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dan pengurusan telah lebih dari 15 (lima belas) tahun sejak SP3N diterbitkan.
Pasal 77
Pembayaran hutang yang diterima sejak SP3N diterbitkan, diperhitungkan sebagai pembayaran hutang pokok.
Pembayaran hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pembayaran yang dilaksanakan sejak tanggal berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara sampai dengan saat pengajuan permohonan keringanan hutang.
Pembayaran hutang yang dilaksanakan sebelum berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara dimintakan konfirmasi kepada Penyerah Piutang mengenai alokasi pembayaran yang telah dilakukan Penanggung Hutang.
Pasal 78
Besar keringanan jumlah hutang dihitung dari sisa hutang bunga, denda, dan ongkos/beban lainnya pada saat keputusan persetujuan permohonan keringanan hutang diterbitkan.
Pasal 79
Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis keringanan hutang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Keempat
Keputusan
Pasal 80
Keputusan keringanan hutang dapat berupa menyetujui seluruhnya, menyetujui sebagian, atau menolak permohonan keringanan yang diajukan.
Pasal 81
Dalam hal kegiatan usaha Penanggung Hutang tidak ada, atau tidak mendukung penyelesaian hutang secara bertahap, atau permohonan diajukan oleh Penjamin Hutang, keringanan hutang yang dapat dipertimbangkan hanya dalam bentuk keringanan jumlah hutang.
Dalam hal dari hasil analisis menunjukkan kegiatan usaha Penanggung Hutang mendukung penyelesaian seluruh hutang secara bertahap, keringanan hutang yang dapat dipertimbangkan hanya dalam bentuk keringanan jangka waktu.
Dalam hal dari hasil analisis menunjukkan kegiatan usaha Penanggung Hutang mendukung penyelesaian sebagian hutang secara bertahap, keringanan hutang dapat dipertimbangkan dalam bentuk keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu.
Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1), keringanan hutang dalam bentuk keringanan jangka waktu atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu dapat dipertimbangkan dalam hal :
Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang bersedia menyerahkan jaminan tambahan dan melakukan pengikatan;
sumber pembayaran yang digunakan merupakan kegiatan usaha yang masih berjalan dan mendukung penyelesaian hutang; dan
Pengurus dari badan usaha dan badan usaha yang digunakan sebagai sumber pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b dapat diikat sebagai Penjamin Hutang.
Pasal 82
Dalam hal permohonan keringanan hutang dapat disetujui dalam bentuk keringanan jangka waktu atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, pembayaran secara angsuran tidak boleh ditetapkan melebihi triwulanan.
Dalam hal permohonan keringanan hutang dapat disetujui dalam bentuk keringanan jumlah hutang, pelunasan hutang harus dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan persetujuan permohonan keringanan hutang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan.
Pasal 83
Dalam hal permohonan keringanan hutang dapat disetujui, keputusan persetujuan permohonan keringanan hutang dituangkan dalam surat persetujuan permohonan.keringanan hutang.
Dalam hal permohonan keringanan hutang tidak dapat disetujui, keputusan penolakan permohonan keringanan hutang dituangkan dalam surat penolakan permohonan keringanan hutang.
Pasal 84
Penanggung Hutang yang pernah diberikan persetujuan keringanan hutang namun wanprestasi, pada prinsipnya tidak dapat lagi diberikan persetujuan keringanan hutang kecuali apabila cara penyelesaian tersebut lebih baik/menguntungkan dibandingkan cara penyelesaian lainnya atau telah dilakukan lelang namun tidak terjual/tidak lunas.
Persetujuan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan ketentuan:
dalam hal pada keputusan terdahulu terdapat keringanan jumlah hutang, besaran keringanan jumlah hutang yang dapat ditetapkan sama dengan keputusan terdahulu:
dalam hal pada keputusan terdahulu tidak terdapat keringanan jumlah hutang, dapat diberikan keringanan jumlah hutang;
pembayaran hutang yang telah dilakukan sejak keputusan terdahulu dihitung sebagai pengurang hutang pokok dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77; dan
pembayaran bersifat tunai paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal persetujuan.
Persetujuan kembali keringanan hutang dapat dilakukan untuk mengubah jadwal pembayaran dan besarnya angsuran hutang apabila cara penyelesaian tersebut berdasarkan hasil analisis merupakan cara penyelesaian yang lebih baik/menguntungkan, dengan ketentuan:
Penanggung Hutang belum dinyatakan wanprestasi;
tidak boleh mengurangi jumlah hutang yang ditetapkan dalam persetujuan keringanan hutang sebelumnya; dan
tidak boleh memperpanjang jangka waktu penyelesaian hutang sesuai dengan persetujuan keringanan hutang sebelumnya.
Persetujuan kembali keringanan hutang hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Pasal 85
Keputusan persetujuan atau penolakan permohonan keringanan hutang diberitahukan secara tertulis oleh Kantor Pelayanan kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang.
Sejak permohonan keringanan hutang diterima Kantor Pelayanan secara lengkap sampai terbitnya keputusan permohonan keringanan hutang, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut.
Pasal 86
Ketentuan lebih lanjut mengenai keputusan keringanan hutang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB X
PENGELOLAAN BARANG JAMINAN DAN/ATAU HARTA KEKAYAAN LAIN
Bagian Pertama
Barang Jaminan Dengan Pengikatan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH)/Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
Pasal 87
Barang Jaminan untuk menjamin kredit selain Kredit Usaha Kecil atau yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam surat Keputusan Bank Indonesia yang pembebanannya masih dalam tahap pemberian SKMH/SKMHT dan belum ditingkatkan menjadi Hipotik/Hak Tanggungan, dalam hal:
milik Penanggung Hutang, merupakan Harta Kekayaan Lain yang dapat digunakan sebagai pembayaran hutang;
milik Penjamin Hutang, diatur lebih lanjut dalam Keputusan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup Pengelolaan
Pasal 88
Ruang lingkup pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain meliputi kegiatan:
penatausahaan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain;
pengamanan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain; dan
pendayagunaan Barang Jaminan.
Pasal 89
Kantor Pelayanan melakukan pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi.
Bagian Ketiga
Penatausahaan
Pasal 90
Dalam rangka penatausahaan dilakukan tindakan meliputi penerimaan, pencatatan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pengeluaran atau penyerahan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain.
Pasal 91
Kepala Kantor Pelayanan menunjuk petugas khusus di unit kerjanya yang bertanggung jawab dalam kegiatan penatausahaan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain.
Pasal 92
Ketentuan mengenai penerimaan, pencatatan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pengeluaran atau penyerahan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Keempat
Pengamanan
Pasal 93
Dalam rangka pengamanan dapat dilakukan kegiatan:
penelitian terhadap keaslian, kebenaran atau jangka waktu berlakunya hak atas dokumen Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain beserta pembebanannya;
penelitian lapangan; dan/atau
pemblokiran Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain.
Pasal 94
Dalam hal jangka waktu berlakunya dokumen Barang Jaminan akan segera berakhir atau dokumen asli Barang Jaminan rusak atau hilang, Kantor Pelayanan melakukan koordinasi dengan Penyerah Piutang untuk mengurus kepada instansi yang berwenang.
Pasal 95
Dalam hal barang yang akan diteliti berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan dengan meminta bantuan Kantor Pelayanan tempat barang yang akan diteliti berada.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penelitian lapangan dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan dalam hal barang yang akan diteliti berada di kabupaten/kota yang berbatasan dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan.
Pasal 96
Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf c wajib dilakukan terhadap barang milik Penanggung Hutang yang tidak dibebani hak tanggungan atau fidusia.
Pasal 97
Pemblokiran terhadap Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain dilaksanakan dengan menerbitkan surat pemblokiran yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan dan ditujukan kepada instansi yang berwenang.
Pasal 98
Pemblokiran terhadap Harta Kekayaan Lain yang tersimpan pada bank dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah dari Otoritas Jasa Keuangan.
Permohonan untuk mendapatkan izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Direktur Jenderal atau Panitia Pusat berdasarkan usulan Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah.
Pasal 99
Pemblokiran terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan setelah memperoleh izin tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
Permohonan untuk mendapatkan izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Direktur Jenderal atau Panitia Pusat berdasarkan usulan Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah.
Pasal 100
Kantor Pelayanan mencabut pemblokiran dalam hal:
Piutang Negara dinyatakan lunas atau selesai;
Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain bukan atau bukan lagi merupakan jaminan penyelesaian hutang;
Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain telah disita lebih dahulu oleh instansi lain yang berwenang; atau
Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain diketahui mengandung cacat hukum berdasarkan keputusan instansi yang berwenang.
Surat pencabutan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Kantor Pelayanan kepada instansi yang berwenang.
Pasal 101
Ketentuan lebih lanjut mengenai penelitian lapangan dan pemblokiran Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kelima
Pendayagunaan
Pasal 102
Dalam rangka pendayagunaan Barang Jaminan, dapat dilakukan sewa menyewa/kontrak yang hasilnya digunakan untuk pembayaran hutang.
Pasal 103
Pendayagunaan Barang Jaminan dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian dalam bentuk sewa-menyewa Barang jaminan dengan ketentuan a. permohonan sewa-menyewa diajukan oleh Penanggung Hutang, dan/atau pemilik Barang Jaminan;
sewa-menyewa disepakati oleh Kantor Pelayanan, Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan Pemilik Barang Jaminan;
jangka waktu sewa-menyewa ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun;
tidak menghalangi proses pengurusan Piutang Negara terhadap Barang jaminan lainnya dan/atau Harta Kekayaan Lain; dan
perjanjian sewa-menyewa antara pemilik Barang Jaminan dengan penyewa dibuat dengan akta notaris.
Pasal 104
Perjanjian sewa-menyewa dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 103.
BAB XI
PEMERIKSAAN
Bagian Pertama
Objek Pemeriksaan
Pasal 105
Objek Pemeriksaan adalah:
Penanggung Hutang, Penjamin Hutang, atau pemegang saham;
kemampuan Penanggung Hutang;
Harta Kekayaan Lain; dan/atau
fisik Barang Jaminan.
Dalam hal Penanggung Hutang meninggal dunia, Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap diri ahli waris, harta kekayaan yang diwarisi, dan/atau kemampuan ahli waris.
Pasal 106
Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat huruf a yaitu:
orang yang berkedudukan sebagai pihak yang berhutang dalam perikatan hutang atau orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;
badan hukum, yang diwakili oleh:
direksi atau pengurus perusahaan atau koperasi; dan/atau
anggota dewan komisaris atau dewan pengawas perusahaan atau koperasi; atau
salah seorang pesero dan/atau pesero pengurus dari badan usaha dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennootschap , atau persekutuan perdata.
Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf a yaitu:
penjamin hutang pribadi ( borgtocht atau personal guarantee );
penjamin atas pembayaran wesel ( avalist ); atau
pengurus badan usaha atau badan hukum yang mengikatkan diri sebagai penjamin ( corporate guarantee ).
Pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf a, yaitu pemegang saham yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas dapat diminta tanggung jawab pribadi.
Pasal 107
Kemampuan Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf b meliputi:
penghasilan Penanggung Hutang; dan/atau
hasil usaha dari Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain.
Pasal 108
Harta Kekayaan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf c meliputi:
barang tidak bergerak, antara lain tanah, tanah berikut bangunan, kapal dengan isi kotor lebih dari 20 m ^3 ^ ( dua puluh meter kubik);
barang bergerak, antara lain kendaraan bermotor, perhiasan, furnitur, peralatan elektronik;
surat berharga, antara lain saham, obligasi, bukti piutang, penyertaan modal;
barang tidak berwujud, antara lain hak cipta, hak paten, hak merek; dan/atau
uang atau harta kekayaan yang tersimpan di bank.
Pasal 109
Fisik Barang Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf d meliputi Barang Jaminan yang:
belum ditemukan; dan/atau
terdapat permasalahan hukum.
Bagian Kedua
Pemeriksa Piutang Negara
Pasal 110
Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa Piutang Negara dari Kantor Pelayanan.
Dalam hal pada Kantor Pelayanan belum terdapat Pemeriksa Piutang Negara, pemeriksaan dapat dilakukan oleh Pemeriksa Piutang Negara pada Kantor Wilayah setelah Kepala Kantor Pelayanan meminta bantuan kepada Kepala Kantor Wilayah.
Dalam hal pada Kantor Pelayanan jumlah Pemeriksa Piutang Negara tidak cukup, pemeriksaan dapat melibatkan Pemeriksa Piutang Negara pada Kantor Wilayah setelah Kepala Kantor Pelayanan meminta bantuan kepada Kepala Kantor Wilayah.
Pemeriksaan dilakukan oleh tim yang beranggotakan paling sedikit 2 (dua) orang.
Pasal 111
Pemeriksa Piutang Negara diangkat, dibebastugaskan, atau diberhentikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
Sebelum menjalankan tugasnya, Pemeriksa Piutang Negara terlebih dahulu mengangkat sumpah jabatan menurut agamanya atau kepercayaannya dan dilantik di hadapan dan oleh Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Pemeriksa Piutang Negara yang bersangkutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan, sumpah jabatan, pembebastugasan, dan pemberhentian Pemeriksa Piutang Negara diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Ketiga
Tugas dan Wewenang
Pasal 112
Dalam melaksanakan Pemeriksaan, Pemeriksa Piutang Negara bertugas:
mencari, meneliti, dan mengumpulkan keterangan atau bukti-bukti yang berhubungan dengan objek Pemeriksaan; dan/atau
melakukan wawancara atau meminta penjelasan dari berbagai pihak yang berkaitan dengan objek Pemeriksaan.
Pasal 113
Dalam melaksanakan Pemeriksaan, Pemeriksa Piutang Negara berwenang meminta keterangan kepada Penanggung Hutang dan/atau pihak lain, yang berkaitan dengan :
tempat kediaman/rumah, kantor, tempat usaha/tempat kegiatan milik atau diduga milik Penanggung Hutang;
usaha dan/atau Harta Kekayaan Lain; dan/atau
catatan dan pembukuan dari usaha milik atau diduga milik Penanggung Hutang.
Bagian Keempat
Pelaksanaan Pemeriksaan
Pasal 114
Pemeriksaan hanya dapat dilaksanakan setelah SP3N diterbitkan.
Pasal 115
Pemeriksaan dilaksanakan dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi.
Pasal 116
Dalam melaksanakan Pemeriksaan, Pemeriksa Piutang Negara:
wajib didampingi sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) orang saksi;
dapat meminta bantuan dan bekerja sama dengan aparat kepolisian, aparat pemerintah daerah, Penyerah Piutang, instansi lain yang terkait, dan/atau masyarakat sekitar; dan c. harus memberitahukan maksud Pemeriksaan kepada Penanggung Hutang, Penjamin Hutang, dan/atau aparat pemerintah desa/kelurahan setempat.
Pasal 117
Dalam hal Pemeriksa Piutang Negara memasuki rumah, kantor, dan/atau tempat usaha/kegiatan yang diduga milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, Pemeriksaan harus diketahui oleh Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tidak berada di tempat, Pemeriksaan harus diketahui oleh:
anggota keluarga dari Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, yang telah dewasa;
pegawai senior pada kantor dan/atau tempat usaha/kegiatan; dan/atau
aparat pemerintah desa/kelurahan setempat.
Pasal 118
Dalam hal objek Pemeriksaan berupa tanah dan bangunan dalam keadaan kosong atau terkunci, Pemeriksaan harus didampingi oleh aparat pemerintah desa/kelurahan dan/atau aparat kepolisian setempat.
Dalam hal objek Pemeriksaan berupa tanah kosong, Pemeriksaan dilaksanakan dengan diketahui oleh aparat pemerintah desa/kelurahan setempat.
Pasal 119
Pelaksanaan Pemeriksaan dituangkan dalam berita acara Pemeriksaan.
Berita acara Pemeriksaan ditandatangani oleh:
Pemeriksa Piutang Negara;
saksi-saksi; dan
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, ahli warisnya, penghuni, atau penanggung jawab objek Pemeriksaan.
Pasal 120
Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang menolak atau keberatan menandatangani berita acara Pemeriksaan, Pemeriksa Piutang Negara mencatat dalam berita acara Pemeriksaan.
Pasal 121
Berita acara Pemeriksaan tetap sah meskipun Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang:
menolak atau keberatan menandatangani berita acara Pemeriksaan; atau
tidak berada di tempat objek Pemeriksaan.
Berita acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui oleh aparat pemerintah desa/ kelurahan setempat.
Pasal 122
Dalam hal objek Pemeriksaan berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, pelaksanaan Pemeriksaan dilakukan dengan meminta bantuan Kantor Pelayanan tempat objek Pemeriksaan berada.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan Pemeriksaan dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan dalam hal objek Pemeriksaan berada di kabupaten/kota yang berbatasan dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan.
Pasal 123
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pemeriksaan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB XII
PENCEGAHAN
Bagian Pertama
Objek dan Jangka Waktu Pencegahan
Pasal 124
Objek Pencegahan adalah:
Penanggung Hutang, yang terdiri dari:
orang yang berkedudukan sebagai pihak yang berhutang dalam perikatan hutang, atau orang yang berdasarkan undang-undang atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;
pengurus badan hukum termasuk yayasan yang sesuai dengan akte pendirian badan hukum, diwakili oleh : a) direksi atau pengurus perusahaan/yayasan/ koperasi; dan/atau b) anggota dewan komisaris/dewan pengawas; c) salah seorang pesero dan/atau pesero pengurus dari badan hukum dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennootschap , atau persekutuan perdata;
Penjamin Hutang, terdiri dari:
penjamin hutang pribadi ( borgtocht atau personal guarantee );
penjamin atas pembayaran wesel ( avalist ); atau
pengurus dari badan usaha atau badan hukum yang mengikat diri sebagai penjamin ( corporate guarantee ).
Pemegang saham dalam hal;
secara langsung atau tidak langsung memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;
terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan dalam perseroan; atau
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan; dan/atau
ahli waris yang telah menerima warisan dari Penanggung Hutang.
Pasal 125
Objek Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 dapat dicegah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
Bagian Kedua
Syarat Pencegahan
Pasal 126
Pencegahan hanya dapat dilakukan setelah SP3N diterbitkan.
Pencegahan dilaksanakan dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi.
Pasal 127
Pencegahan dapat dilakukan dalam hal:
sisa hutang:
lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); atau
kurang dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tetapi objek pencegahan sering bepergian keluar Wilayah Republik Indonesia; dan
objek Pencegahan beritikad tidak baik.
Pasal 128
Objek Pencegahan dapat dikategorikan sering ke luar wilayah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf a angka 2, jika selama kurun waktu 12 (dua belas) bulan objek Pencegahan paling sedikit 2 (dua) kali keluar wilayah Republik Indonesia.
Kesimpulan bahwa objek Pencegahan sering bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia dapat diperoleh Kantor Pelayanan dari paspor objek Pencegahan, pengakuan objek Pencegahan, informasi dari instansi berwenang, Penyerah Piutang dan/atau dari sumber lainnya.
Pasal 129
Objek Pencegahan dapat dikategorikan beritikad tidak baik dalam hal:
tidak pernah atau jarang memenuhi panggilan Kantor Pelayanan;
belum pernah membayar atau pernah membayar dalam jumlah relatif kecil dibanding sisa hutangnya;
menunda-nunda pembayaran tanpa alasan yang sah; dan/atau
bergaya hidup mewah.
Kesimpulan objek Pencegahan bergaya hidup mewah dapat diperoleh dari hasil penelitian lapangan, informasi dari Penyerah Piutang, dan/atau informasi dari pihak lain.
Bagian Ketiga
Kasus Piutang Negara Lebih Dari Satu
Pasal 130
Dalam hal objek pencegahan mempunyai kewajiban menyelesaikan hutang lebih dari satu kasus Piutang Negara dan telah dicegah pada salah satu kasus, tidak dilakukan pencegahan kembali untuk kasus yang lain sepanjang jangka waktu pencegahan dan/atau perpanjangan pencegahan masih berlaku.
Pasal 131
Dalam hal jangka waktu pencegahan dan/atau perpanjangan pencegahan telah berakhir, objek pencegahan dapat dicegah untuk kasus yang lain.
Bagian Keempat
Izin Ke Luar Wilayah Republik Indonesia
Pasal 132
Izin ke luar wilayah Republik Indonesia dalam jangka waktu Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan dapat diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan dengan tidak mengurangi masa pencegahan.
Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh objek Pencegahan dengan dilengkapi bukti- bukti yang mendukung alasan ke luar wilayah Republik Indonesia.
Pasal 133
Izin ke luar wilayah Republik Indonesia diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa objek Pencegahan:
menjalankan tugas negara atau mewakili kepentingan negara di forum internasional;
menjalankan ibadah haji;
memerlukan perawatan atau pengobatan kesehatan ke luar wilayah Republik Indonesia yang didukung oleh rekomendasi dokter ahli di Indonesia;
melakukan kerjasama dengan mitra luar negeri untuk kegiatan usaha dalam rangka menyelesaikan hutangnya; atau
memerlukan pergi ke luar wilayah Republik Indonesia karena alasan kemanusiaan.
Alasan kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e antara lain objek Pencegahan membesuk atau mendampingi orang tua/suami/istri/anak yang memerlukan pengobatan/perawatan.
Bagian Kelima
Berakhirnya Masa Pencegahan
Pasal 134
Masa Pencegahan berakhir dalam hal:
Pencegahan dicabut;
Pencegahan berakhir demi hukum.
Pasal 135
Pencabutan Pencegahan terhadap objek Pencegahan dilakukan dalam hal:
Piutang Negara dinyatakan lunas;
Pengurusan Piutang Negara dinyatakan selesai atau dikembalikan; atau
objek Pencegahan telah meninggal dunia.
Pencegahan berakhir demi hukum dalam hal:
jangka waktu Pencegahan berakhir dan tidak ada perpanjangan; atau
terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bebas atas perkara yang menjadi alasan Pencegahan.
Pasal 136
Pencabutan Pencegahan atau masa Pencegahan tidak diperpanjang dapat dilakukan dalam hal:
terdapat perubahan susunan kepengurusan perusahaan secara sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
objek Pencegahan telah menunjukkan itikad baik dengan:
melakukan pembayaran paling sedikit 50% dari sisa hutang; dan
membuat pernyataan tertulis untuk melunasi sisa hutangnya paling lama dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak Pencegahan dicabut;
pencabutan Pencegahan dilakukan setelah pembayaran dan pengajuan pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan oleh Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
Perubahan susunan kepengurusan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus mendapat persetujuan Penyerah Piutang.
Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tidak melunasi sisa hutangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 dilakukan Pencegahan kembali terhadap objek Pencegahan.
Pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Bagian Keenam
Pengajuan Usul
Pasal 137
Usul penetapan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, pencabutan Pencegahan, atau, pemberian izin ke luar wilayah Republik Indonesia diajukan oleh Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur Jenderal.
Pasal 138
Ketentuan lebih lanjut mengenai usul Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, pencabutan Pencegahan, atau pemberian izin ke luar wilayah Republik Indonesia diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Ketujuh
Keputusan
Pasal 139
Keputusan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, dan pencabutan Pencegahan ditetapkan secara tertulis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan.
Keputusan mengenai perpanjangan Pencegahan ditetapkan sebelum jangka waktu Pencegahan berakhir.
Keputusan mengenai pemberian izin ke luar wilayah Republik Indonesia dalam jangka waktu Pencegahan dilakukan dengan menetapkan keputusan tentang perubahan keputusan Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan.
Pasal 140
Keputusan Pencegahan dan perpanjangan Pencegahan memuat sekurang-kurangnya:
nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta foto yang dikenai Pencegahan;
alasan Pencegahan; dan
jangka waktu Pencegahan.
Keputusan pencabutan Pencegahan memuat sekurang- kurangnya:
nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta foto yang dikenai Pencegahan; dan
alasan pencabutan Pencegahan.
Pasal 141
Keputusan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, pencabutan Pencegahan, dan izin ke luar wilayah Republik Indonesia disampaikan antara lain kepada Menteri Hukum dan HAM dan objek Pencegahan.
BAB XIII
SURAT PAKSA
Bagian Pertama
Penerbitan Surat Paksa
Pasal 142
Penagihan sekaligus dengan Surat Paksa dilakukan dalam hal:
Penanggung Hutang tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama, setelah terlebih dahulu diberi peringatan tertulis;
Penanggung Hutang menandatangani Pernyataan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; atau
telah diterbitkan Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara.
Pasal 143
Panitia Cabang menerbitkan Surat Paksa yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.
Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa";
identitas Penyerah Piutang serta nomor dan tanggal surat penyerahan pengurusan Piutang Negara;
identitas Penanggung Hutang;
sisa hutang yang harus diselesaikan termasuk Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
alasan yang menjadi dasar penagihan;
dasar hukum penerbitan Surat Paksa;
perintah kepada Penanggung Hutang untuk melunasi seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
tempat dan tanggal penetapan; dan
tanda tangan Panitia Cabang.
Pasal 144
Dalam hal Penanggung Hutang telah meninggal dunia lewat waktu 6 (enam) bulan, Surat Paksa dibuat atas nama para ahli warisnya tiap orang secara pro rata parte sebagai Penanggung Hutang kepada negara.
Dalam Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dicantumkan nama Penanggung Hutang yang telah meninggal dunia.
Dalam hal ahli waris Penanggung Hutang belum diketahui atau belum ditetapkan, Surat Paksa diterbitkan atas nama "Ahli Waris Almarhum Penanggung Hutang".
Bagian Kedua
Juru Sita dan Pemberitahuan Surat Paksa
Pasal 145
Juru Sita Piutang Negara diangkat, dibebastugaskan, atau diberhentikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan.
Sebelum menjalankan tugasnya, Juru Sita Piutang Negara terlebih dahulu mengangkat sumpah jabatan menurut agamanya atau kepercayaannya dan dilantik di hadapan dan oleh Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Juru Sita Piutang Negara yang bersangkutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan, sumpah jabatan, pembebastugasan dan pemberhentian Juru Sita Piutang Negara diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 146
Surat Paksa diberitahukan oleh Juru Sita Piutang Negara dengan membacakan dan menyerahkan salinan Surat Paksa.
Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam berita acara pemberitahuan Surat Paksa.
Pasal 147
Berita acara pemberitahuan Surat Paksa memuat sekurang-kurangnya:
hari, tanggal, dan jam pemberitahuan Surat Paksa;
identitas Juru Sita Piutang Negara, penerima Surat Paksa, dan saksi¬saksi; dan
tempat pemberitahuan Surat Paksa.
Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh:
Juru Sita Piutang Negara;
saksi-saksi; dan
Penanggung Hutang atau penerima Surat Paksa.
Pasal 148
Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan kepada Penanggung Hutang di tempat tinggal, kantor/tempat usahanya, atau di tempat lain yang memungkinkan.
Dalam hal Penanggung Hutang tidak dijumpai, Surat Paksa diberitahukan kepada orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di kantor/tempat usaha Penanggung Hutang untuk disampaikan kepada Penanggung Hutang.
Dalam hal Penanggung Hutang datang ke Kantor Pelayanan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada yang bersangkutan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 dan Pasal 147.
Pasal 149
Dalam hal Penanggung Hutang meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi, Surat Paksa diberitahukan kepada salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya.
Dalam hal Penanggung Hutang telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi, Surat Paksa diberitahukan kepada para ahli waris.
Pasal 150
Surat Paksa terhadap:
badan hukum berbentuk perseroan terbatas diberitahukan kepada salah seorang direksi atau salah seorang komisaris di tempat kedudukan perseroan terbatas yang bersangkutan, di tempat tinggalnya, atau di tempat lain yang memungkinkan;
badan hukum berbentuk koperasi atau yayasan diberitahukan kepada salah seorang pengurus di tempat kedudukan koperasi atau yayasan yang bersangkutan, di tempat tinggalnya, atau di tempat lain yang memungkinkan;
badan usaha berbentuk firma diberitahukan kepada salah seorang firman di tempat kedudukan firma yang bersangkutan, di tempat tinggalnya, atau di tempat lain yang memungkinkan; atau
badan usaha berbentuk commanditer venootschap diberitahukan kepada salah seorang pesero pengurus di tempat kedudukan commanditer venootschap yang bersangkutan, di tempat tinggalnya, atau di tempat lain yang memungkinkan.
Dalam hal Juru Sita Piutang Negara tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, Surat Paksa diberitahukan kepada salah seorang karyawan di tempat kedudukan atau tempat usaha badan hukum atau badan usaha untuk disampaikan kepada penanggung jawab badan hukum atau badan usaha yang bersangkutan.
Pasal 151
Surat Paksa diberitahukan melalui aparat pemerintah desa/kelurahan setempat, dalam hal pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 sampai dengan Pasal 150:
tidak dapat dilaksanakan; atau
di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain yang memungkinkan tidak ditemui seseorang.
Dalam melaksanakan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Juru Sita Piutang Negara melakukan hal sebagai berikut:
menyerahkan salinan Surat Paksa;
meminta kesediaan untuk menyampaikan Surat Paksa kepada Penanggung Hutang;
mencatat hal-hal yang dilakukan dalam berita acara pemberitahuan Surat Paksa; dan
meminta menandatangani berita acara pemberitahuan Surat Paksa sebagai tanda mengetahui.
Pasal 152
Dalam hal Penanggung Hutang dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator/Balai Harta Peninggalan atau Hakim Pengawas.
Pasal 153
Dalam hal badan hukum/badan usaha dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau likuidator.
Pasal 154
Dalam hal Penanggung Hutang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus yang dituangkan dalam akta notaris, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa.
Pasal 155
Pemberitahuan Surat Paksa tetap dilaksanakan dalam hal Penanggung Hutang tidak mempunyai tempat tinggal/kediaman yang dikenal di Indonesia atau menghilang.
Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan:
menempelkan salinan Surat Paksa di papan pengumuman yang ada di Kantor Pelayanan yang menerbitkannya; dan/atau
dimuat dalam surat kabar harian.
Pasal 156
Dalam hal Penanggung Hutang menolak untuk menerima Surat Paksa, Juru Sita Piutang Negara meninggalkan salinan Surat Paksa dan mencatat dalam berita acara pemberitahuan Surat Paksa.
Pemberitahuan Surat Paksa tetap sah meskipun Penanggung Hutang atau penerima Surat Paksa menolak menandatangani berita acara pemberitahuan Surat Paksa.
Pasal 157
Dalam hal tempat pemberitahuan Surat Paksa berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, pemberitahuan Surat Paksa dilakukan dengan meminta bantuan Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat pemberitahuan Surat Paksa.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberitahuan Surat Paksa dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan dalam hal:
tempat pemberitahuan Surat Paksa berada dalam wilayah kerja Ketua Panitia cabang yang bersangkutan; dan
tempat pemberitahuan Surat Paksa berada di Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan yang bersangkutan.
Pasal 158
Surat Paksa tidak boleh diberitahukan kepada Penanggung Hutang di:
tempat ibadah selama ibadah itu dilakukan;
tempat sidang resmi selama sidang itu diadakan;
bursa selama waktu bursa; atau
tempat pemilihan umum selama waktu pemilihan umum.
Pasal 159
Ketentuan mengenai pemberitahuan Surat Paksa, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB XIV
KEPAILITAN
Pasal 160
Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sedang dalam proses kepailitan di lembaga peradilan, pengurusan Piutang Negara tetap dilaksanakan.
Pasal 161
Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah dinyatakan pailit, proses pengurusan Piutang Negara dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan Undang- Undang Kepailitan.
Pasal 162
Ketentuan mengenai pengurusan Piutang Negara atas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang sedang dalam proses kepailitan atau telah dinyatakan pailit diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB XV
PENYITAAN
Bagian Pertama
Surat Perintah Penyitaan
Pasal 163
Dalam hal setelah lewat waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Hutang tidak melunasi hutangnya, Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Penyitaan.
Pasal 164
Surat Perintah Penyitaan memuat sekurang-kurangnya:
pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Penyitaan;
dasar hukum diterbitkannya Surat Perintah Penyitaan;
perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Juru Sita Piutang Negara melakukan penyitaan;
uraian barang yang disita;
tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Penyitaan; dan f. tanda tangan Panitia Cabang.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Penyitaan
Pasal 165
Penyitaan dilakukan terhadap barang milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
Dalam hal Barang Jaminan tidak ada atau diperkirakan nilainya tidak dapat menutup sisa hutang, penyitaan dapat dilakukan terhadap Harta Kekayaan Lain.
Penyitaan terhadap harta kekayaan milik Penjamin Hutang dapat dilakukan terlebih dahulu dalam hal Penjamin Hutang telah melepaskan hak istimewanya.
Pasal 166
Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau di tempat lain, termasuk:
barang dalam penguasaan pihak lain;
barang c. dibebani dengan hak tanggungan/fidusia;
uang dan/atau harta kekayaan yang tersimpan di bank; dan/atau e. surat-surat berharga.
Pasal 167
Penyitaan terhadap Harta Kekayaan Lain tidak boleh dilaksanakan terhadap barang-barang sebagai berikut:
tempat tidur beserta perlengkapannya dari Penanggung Hutang dan anak-anaknya, demikian pula pakaian- pakaian mereka;
perlengkapan Penanggung Hutang yang bersifat dinas pada anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Pegawai Negeri Sipil menurut dinas dan pangkatnya;
alat-alat pertukangan yang termasuk usaha Penanggung Hutang;
persediaan makanan dan minuman untuk satu bulan yang berada di rumah Penanggung Hutang;
buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Hutang atas pilihannya, demikian pula perkakas-perkakas dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, maupun untuk kebudayaan dan keilmuan; dan/atau
ternak yang semata-mata dipergunakan untuk menjalankan usaha Penanggung Hutang.
Pasal 168
Penyitaan terhadap Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain dilakukan oleh Juru Sita Piutang Negara berdasarkan Surat Perintah Penyitaan.
Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) orang saksi yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah, dikenal, dan tidak ada hubungan keluarga dengan Juru Sita Piutang Negara.
Pasal 169
Juru Sita Piutang Negara wajib memberitahukan secara lisan maksud penyitaan dan menyampaikan salinan Surat Perintah Penyitaan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang selaku pemilik barang yang disita, pada saat pelaksanaan penyitaan.
Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berada di tempat, tempat tinggal tidak diketahui, atau tempat tinggal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang berbeda dengan lokasi objek penyitaan, penyitaan diberitahukan kepada aparat pemerintah desa/kelurahan setempat dan/atau:
anggota keluarga/orang yang dipercaya Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, yang telah dewasa dan:
bertempat tinggal sama dengan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; atau
berada di lokasi objek penyitaan;
pegawai senior yang berada di kantor/tempat usaha Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; atau c. penyewa, penggarap, atau pihak yang menguasai secara fisik objek penyitaan.
Pasal 170
Pelaksanaan penyitaan dituangkan dalam berita acara Penyitaan.
Berita acara Penyitaan ditandatangani oleh:
Juru Sita Piutang Negara;
saksi-saksi; dan
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
Berita acara Penyitaan diketahui dan ditandatangani oleh:
aparat pemerintahan desa/kelurahan, dalam hal barang yang disita tanah dan/atau bangunan;
syahbandar, dalam hal barang yang disita berupa kapal dengan isi lebih dari 20 m ^3 ^ (dua puluh meter kubik); atau
pengelola bandara dalam hal barang yang disita berupa pesawat terbang.
Berita acara Penyitaan memuat sekurang-kurangnya:
nomor berita acara Penyitaan;
hari, tanggal dan jam pelaksanaan penyitaan;
identitas Juru Sita Piutang Negara dan saksi-saksi;
nomor dan tanggal Surat Perintah Penyitaan; dan
uraian barang yang disita.
Selembar salinan berita acara Penyitaan disampaikan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
Pasal 171
Dalam hal barang yang disita berupa tanah atau tanah beserta bangunannya, dalam berita acara Penyitaan dicantumkan batas-batas tanah yang disita.
Pasal 172
Penyitaan tetap dapat dilaksanakan dan berita acara penyitaan mempunyai kekuatan mengikat, meskipun:
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang menolak menandatangani berita acara penyitaan atau tidak berada di tempat objek penyitaan; dan/atau
aparat pemerintah desa/kelurahan, syahbandar atau pengelola bandara menolak menandatangani berita acara penyitaan.
Pasal 173
Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tidak berada di tempat objek penyitaan, penyitaan dilaksanakan dengan ketentuan:
salah seorang saksi berasal dari aparat pemerintah desa/kelurahan setempat;
dalam berita acara penyitaan dicantumkan alasan ketidakhadiran Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; dan
berita acara penyitaan ditandatangani Juru Sita Piutang Negara dan saksi-saksi.
Pasal 174
Juru Sita Piutang Negara meminta bantuan kepada aparat kepolisian dan/atau aparat pemerintah desa/kelurahan untuk menyaksikan dan memberikan bantuan pengamanan dalam pelaksanaan penyitaan dalam hal Juru Sita Piutang Negara:
memasuki tempat barang yang disita dan Penanggung Hutang/Penjamin Hutang tidak memperbolehkan atau menghalang¬halangi Juru Sita Piutang Negara memasuki tempat barang yang akan disita;
membuka secara paksa ruangan yang terkunci dan barang yang akan disita berada di dalamnya; atau
memasuki secara paksa bangunan yang akan disita dan dalam keadaan tidak berpenghuni.
Pasal 175
Barang yang telah disita pada prinsipnya dititipkan untuk dijaga dan diawasi kepada Penanggung Hutang/Penjamin Hutang selaku pemilik barang yang disita.
Dalam hal barang sitaan berupa barang tidak bergerak dan Penanggung Hutang/Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
tidak bersedia menandatangani berita acara penyitaan, pengawasan barang sitaan dapat dititipkan kepada aparat pemerintah desa/kelurahan setempat atau dalam pengawasan Kantor Pelayanan; atau
tidak berada di tempat pelaksanaan penyitaan, pengawasan barang sitaan dapat dititipkan kepada aparat pemerintah desa/kelurahan setempat, anggota keluarga, penghuni, penyewa atau dalam pengawasan Kantor Pelayanan.
Dalam hal barang sitaan berupa barang bergerak dan Penanggung Hutang/Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersedia menandatangani berita acara penyitaan atau tidak berada di tempat pelaksanaan penyitaan, barang sitaan dapat disimpan oleh Kantor Pelayanan atau dititipkan di tempat penitipan yang baik.
Pasal 176
Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya dilaksanakan Juru Sita Piutang Negara dengan:
meminta bantuan tanaga ahli untuk melakukan penaksiran; dan
membuat rincian tentang jenis, jumlah, dan berat perhiasan yang disita.
Pasal 177
Penyitaan terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek hanya dapat dilaksanakan setelah pemblokiran.
Salinan berita acara penyitaan terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek juga disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, Pengelola Bursa Efek, dan Kustodian.
Penyitaan terhadap surat berharga yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan dengan terlebih dahulu meneliti keaslian, menghitung jumlah surat berharga dan nilai surat berharga yang disita.
Pasal 178
Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan dengan:
membuat rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita dalam berita acara Penyitaan; dan
membuat persetujuan pengalihan hak tagihan (cessie ) dari Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang kepada Panitia Cabang, dan menyampaikan salinannya kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dan pihak yang berkewajiban membayar hutang.
Pasal 179
Penyitaan terhadap Harta Kekayaan Lain berupa uang tunai dilaksanakan dengan:
meneliti keaslian uang;
menghitung uang yangdisita sesuai dengan sisa hutang; dan c. menyetorkan uang hasil penyitaan ke rekening bendaharawan penerima Kantor Pelayanan.
Pasal 180
Penyitaan terhadap Harta Kekayaan Lain yang tersimpan pada bank hanya dapat dilaksanakan setelah dilakukan pemblokiran.
Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan:
mencantumkan jumlah uang yang disita sesuai dengan sisa hutang dalam berita acara penyitaan; dan b. mentransfer uang hasil penyitaan ke rekening Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan.
Pasal 181
Dalam hal tempat barang yang akan disita berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, pelaksanaan penyitaan dilakukan dengan meminta bantuan Kantor Pelayanan tempat barang yang akan disita berada.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan penyitaan dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan dalam hal:
tempat barang yang akan disita berada di wilayah kerja Ketua Panitia cabang yang bersangkutan; dan
tempat barang yang akan disita berada di Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan yang bersangkutan.
Pasal 182
Penyitaan yang dilaksanakan oleh Juru Sita Piutang Negara merupakan sita eksekusi.
Bagian Ketiga
Sita Persamaan
Pasal 183
Pelaksanaan penyitaan tidak dapat dilakukan terhadap barang yang telah disita lebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, Instansi Pajak, atau instansi lain yang berwenang.
Pasal 184
Terhadap barang yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, Juru Sita Piutang Negara menyampaikan salinan Surat Paksa kepada instansi yang lebih dahulu melakukan penyitaan disertai surat permintaan agar penyitaan yang telah dilakukan oleh instansi tersebut diberlakukan juga untuk pemenuhan Surat Paksa.
Bagian Keempat
Pengumuman Penyitaan
Pasal 185
Salinan berita acara penyitaan ditempelkan pada barang yang disita, di tempat barang yang disita berada, tempat- tempat umum, dan/atau tempat pengumuman di Kantor Pelayanan.
Pada barang yang disita dapat ditempel atau dipasang tanda penyitaan yang memuat sekurang-kurangnya:
kata-kata "DALAM PENYITAAN NEGARA q.q PUPN CABANG ............/KPKNL............";
nomor dan tanggal Berita Acara Penyitaan;
larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, menyewakan, mengubah bentuk, merusak barang sitaan;
larangan untuk merusak tanda penyitaan; dan
sanksi jika melakukan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d.
Penempelan atau pemasangan salinan berita acara penyitaan dan tanda penyitaan dimaksudkan sebagai pengumuman penyitaan agar penyitaan diketahui masyarakat.
Bagian Kelima
Pendaftaran Penyitaan
Pasal 186
Penyitaan yang telah dilaksanakan didaftarkan kepada instansi yang berwenang, sepanjang barang yang disita sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, wajib didaftarkan.
Bagian Keenam
Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan
Pasal 187
Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan dalam hal:
Piutang Negara dinyatakan lunas/selesai;
pengurusan Piutang Negara dikembalikan kepada Penyerah Piutang;
Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain tidak atau tidak lagi menjadi jaminan hutang;
barang yang disita telah disita lebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, Instansi Pajak, atau instansi lain yang berwenang; atau
pelaksanaan penyitaan mengandung cacat hukum.
Pasal 188
Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan memuat sekurang- kurangnya:
pertimbangan pengangkatan sita;
dasar hukum penerbitan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan;
perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk mengangkat penyitaan;
uraian barang yang akan diangkat sitanya;
tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan; dan
tanda tangan Panitia Cabang.
Pasal 189
Berdasarkan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan Kantor Pelayanan membuat Surat Pemberitahuan Pengangkatan Sita yang ditujukan kepada instansi yang menerima salinan berita acara penyitaan dan/atau instansi yang menerima pendaftaran penyitaan.
BAB XVI
PAKSA BADAN
Bagian Pertama
Objek Paksa Badan
Pasal 190
Objek Paksa Badan adalah:
Penanggung Hutang yang terdiri dari:
orang yang berkedudukan sebagai pihak yang berhutang dalam perikatan hutang, atau orang yang berdasarkan undang-undang atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;
pengurus badan hukum termasuk yayasan yang sesuai dengan akte pendirian badan hukum, diwakili oleh: a) direksi atau pengurus perusahaan atau yayasan atau koperasi; dan/atau b) anggota dewan komisaris atau dewan pengawas;
salah seorang pesero dan/atau pesero pengurus dari badan hukum dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennootschap , atau persekutuan perdata;
Penjamin Hutang, terdiri dari:
penjamin hutang pribadi ( borgtocht atau personal guarantee );
penjamin atas pembayaran wesel ( avalist ); atau
pengurus badan usaha atau badan hukum yang mengikat diri sebagai penjamin ( corporate guarantee );
pemegang saham, dalam hal:
secara langsung atau tidak langsung memanfaatkan perseroan untukkepentingan pribadi;
terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan dalam perseroan; atau
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan; dan/atau
ahli waris yang telah menerima warisan dari Penanggung Hutang.
Bagian Kedua
Surat Perintah Paksa Badan
Pasal 191
Surat Perintah Paksa Badan diterbitkan dalam hal:
Penanggung Hutang tidak memenuhi Surat Paksa;
sisa hutang Penanggung Hutang paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
Barang Jaminan tidak ada atau tidak menutup sisa hutang;
Penanggung Hutang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutang tetapi tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan; dan
objek Paksa Badan yang belum berumur 80 (delapan puluh) tahun.
Dalam hal informasi mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan/atau huruf e tidak ada atau tidak mencukupi, dapat dilakukan Pemeriksaan.
Pasal 192
Surat Perintah Paksa Badan dapat diterbitkan terhadap objek Paksa Badan:
yang telah atau sedang dilakukan pencegahan; dan/atau
yang telah dipaksa badan untuk hutang yang lain.
Pasal 193
Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Paksa Badan setelah memperoleh izin dari Kepala Kejaksaan Tinggi setempat.
Permohonan izin Paksa Badan diajukan oleh Panitia Cabang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi setempat setelah rencana Paksa Badan disetujui oleh Ketua Panitia Pusat.
Pasal 194
Surat Perintah Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:
pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Paksa Badan;
dasar Hukum penerbitan Surat Perintah Paksa Badan;
nomor dan tanggal:
surat izin Kepala Kejaksaan Tinggi setempat; dan
surat persetujuan Ketua Panitia Pusat;
perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Juru Sita Piutang Negara melaksanakan Paksa Badan;
identitas objek Paksa Badan;
jangka waktu Paksa Badan;
tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Paksa Badan; dan
tanda tangan Panitia Cabang.
Bagian Ketiga
Penangguhan
Pasal 195
Surat Perintah Paksa Badan dapat ditangguhkan pelaksanaannya dalam hal terdapat:
penetapan penangguhan Paksa Badan dari pengadilan; atau b. pembayaran hutang lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari sisa hutang.
Pasal 196
Penangguhan pelaksanaan Surat Perintah Paksa Badan diberikan:
secara tertulis oleh Panitia Cabang; dan
berlaku untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Bagian Keempat
Jangka Waktu
Pasal 197
Jangka waktu Paksa Badan Paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak objek Paksa Badan ditempatkan dalam tempat Paksa Badan.
Pasal 198
Jangka waktu Paksa Badan dapat diperpanjang oleh Panitia Cabang sebanyak 1 (satu) kali paling lama 6 (enam) bulan.
Bagian Kelima
Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan
Pasal 199
Surat Perintah Paksa Badan diberitahukan oleh Juru Sita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan sesuai ketentuan mengenai pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 sampai dengan 159 (2) Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan.
Pasal 200
Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:
hari, tanggal, dan jam pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan;
identitas Juru Sita Piutang Negara, penerima Surat Perintah Paksa Badan dan saksi-saksi; dan
tempat pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan.
Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh:
Juru Sita Piutang Negara;
saksi-saksi; dan
objek Paksa Badan atau penerima Surat Perintah Paksa Badan.
Pasal 201
Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan tetap sah meskipun objek Paksa Badan atau penerima Surat Perintah Paksa Badan menolak menandatangani Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan.
Bagian Keenam
Pelaksanaan Paksa Badan
Pasal 202
Paksa Badan dilaksanakan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan dalam hal :
Penanggung Hutang tidak melunasi hutangnya; dan
objek Paksa Badan belum berumur 80 (delapan puluh) tahun.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Paksa Badan dapat dilaksanakan sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari namun telah lewat waktu 24 (dua puluh empat) jam sejak pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan, dalam hal terdapat izin tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi setempat dengan alasan untuk kepentingan umum.
Pasal 203
Paksa Badan dilaksanakan oleh Juru Sita Piutang Negara dibantu oleh dua orang saksi penduduk Indonesia, yang telah mencapai usia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun dan dikenal oleh Juru Sita Piutang Negara sebagai orang yang dipercaya.
Dalam melaksanakan Paksa Badan, Kepala Kantor Pelayanan dan/atau Juru Sita Piutang Negara dapat meminta bantuan aparat kepolisian dan/atau kejaksaan setempat.
Pasal 204
Juru Sita Piutang Negara membuat Berita Acara Paksa Badan pada saat objek Paksa Badan ditempatkan di Tempat Paksa Badan.
Berita Acara Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:
nomor Berita Acara Paksa Badan;
hari, tanggal dan jam pelaksanaan Paksa Badan;
identitas Juru Sita Piutang Negara dan saksi-saksi;
nomor dan tanggal Surat Perintah Paksa Badan; dan
hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Paksa Badan.
Berita Acara Paksa Badan ditandatangani oleh:
Juru Sita Piutang Negara;
saksi-saksi; dan
objek Paksa Badan.
Salinan Surat Perintah Paksa Badan dan salinan Berita Acara Paksa Badan disampaikan oleh Juru Sita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.
Pasal 205
Paksa Badan tetap sah meskipun objek Paksa Badan menolak menandatangani Berita Acara Paksa Badan.
Pasal 206
Paksa Badan yang telah dilaksanakan tidak menghilangkan atau mengurangi:
kewajiban Penanggung Hutang untuk melunasi hutang; dan b. Status Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain sebagai tanggungan atas hutang Penanggung Hutang.
Bagian Ketujuh
Tempat Paksa Badan
Pasal 207
Paksa Badan dilaksanakan di rumah Paksa Badan yang diadakan oleh Direktorat Jenderal.
Dalam hal rumah Paksa Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat diadakan, Paksa Badan dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara.
Pasal 208
Dalam hal Tempat Paksa Badan yang akan digunakan adalah rumah Paksa Badan yang diadakan oleh Direktorat Jenderal, Kantor Pelayanan membentuk satuan tugas Paksa Badan yang bertugas untuk mengawasi objek Paksa Badan selama dalam pelaksanaan Paksa Badan.
Pasal 209
Dalam hal Tempat Paksa Badan yang akan digunakan lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara, Kantor Pelayanan melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait.
Bagian Kedelapan
Biaya
Pasal 210
Biaya pelaksanaan Paksa Badan termasuk biaya keperluan hidup objek Paksa Badan di tempat Paksa Badan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Direktorat Jenderal, untuk selanjutnya menjadi penambah jumlah hutang Penanggung Hutang.
Penambahan jumlah hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetor ke Kas Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak dipungut Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.
Bagian Kesembilan
Hak Objek Paksa Badan
Pasal 211
Selama pelaksanaan Paksa Badan di Tempat Paksa Badan, objek Paksa Badan berhak:
melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
memperoleh pelayanan kesehatan;
mendapatkan makanan;
memperoleh bahan bacaan atas biaya sendiri; dan
menerima kunjungan pada waktu tertentu dari:
keluarga dan sahabat;
dokter pribadi atas biaya sendiri; dan/atau
rohaniwan.
Dalam hal hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diperoleh atas biaya sendiri dan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.
Bagian Kesepuluh
Izin Keluar dari Tempat Paksa Badan
Pasal 212
Objek Paksa Badan yang sedang menjalankan Paksa Badan dapat diizinkan keluar dari Tempat Paksa Badan dalam hal objek Paksa Badan akan:
melaksanakan ibadah di tempat ibadah;
menghadiri sidang di pengadilan;
mengikuti pemilihan umum di tempat pemilihan umum;
menjalani pemeriksaan kesehatan atau pengobatan di rumah sakit;
menghadiri pemakaman orang tua, suami/isteri, dan/atau anak; atau
menjadi wali nikah.
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas permohonan objek Paksa Badan.
Pasal 213
Dalam hal dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (1) huruf d diketahui bahwa objek Paksa Badan harus menjalani pengobatan secara rawat inap, masa perawatan tidak mengurangi jangka waktu Paksa Badan.
Pasal 214
Persetujuan atau penolakan izin keluar dari Tempat Paksa Badan diterbitkan oleh Panitia Cabang dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak permohonan izin diterima dan disampaikan kepada objek Paksa Badan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
Dalam hal Tempat Paksa Badan yang digunakan adalah lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, persetujuan atau penolakan izin keluar dari Tempat Paksa Badan disampaikan kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggungjawab Tempat Paksa Badan.
Pasal 215
Jangka waktu izin keluar dari Tempat Paksa Badan ditetapkan paling lama 2 x 24 (dua puluh empat) jam, kecuali untuk izin menjalani pengobatan secara rawat inap.
Bagian Kesebelas
Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan
Pasal 216
Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan diterbitkan oleh Panitia Cabang dalam jangka waktu 1 (satu) hari sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu Paksa Badan berakhir.
Pasal 217
Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan memuat sekurang- kurangnya:
pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan;
dasar hukum penerbitan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan;
perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Juru Sita Piutang Negara untuk melaksanakan perpanjangan Paksa Badan;
identitas objek Paksa Badan;
jangka waktu perpanjangan Paksa Badan;
tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Perpanjangan Badan; dan
tanda tangan Panitia Caban Bagian Kedua Belas Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan
Pasal 218
Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan diberitahukah oleh Juru Sita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan.
Pasal 219
Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan, Paksa Badan memuat sekurang- kurangnya:
hari, tanggal, dan jam pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan;
identitas Juru Sita Piutang Negara, objek Paksa Badan, dan saksi-saksi; dan
tempat pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan.
Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh:
Juru Sita Piutang Negara;
saksi-saksi; dan
objek Paksa Badan.
Salinan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan dan salinan Berita Acara Pemberitahuan Perpanjangan Paksa Badan disampaikan oleh Juru Sita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.
Pasal 220
Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan tetap sah meskipun objek Paksa Badan menolak menandatangani Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan. Bagian Ketiga Belas Objek Paksa Badan Melarikan Diri
Pasal 221
Objek Paksa Badan yang melarikan diri dari tempat Paksa Badan, dapat segera dilaksanakan Paksa Badan kembali berdasarkan Surat Perintah Paksa Badan/atau Surat Perintah Perpanjangan PaksaBadan yang telah diterbitkan.
Pelaksanaan Paksa Badan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jangka waktunya sama dengan masa pelaksanaan Paksa Badan menurut Surat Perintah Paksa Badan atau Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan yang telah diterbitkan, tanpa memperhitungkan jangka waktu pelaksanaan Paksa Badan yangtelah dijalani sebelum objek Paksa Badan melarikan diri.
Pasal 222
Objek Paksa Badan berkewajiban membayar ganti kerugian dan biaya yang timbul karena pelarian.
Ganti kerugian dan biaya yang timbul karena pelarian meliputi biaya:
pelaksanaan Paksa Badan sebelum objek Paksa Badan melarikan diri; dan
untuk mencari objek Paksa Badan.
Ganti kerugian dan biaya yang timbul karena pelarian ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal. Bagian Keempat Belas Pembatalan Paksa Badan
Pasal 223
Pelaksanaan Paksa Badan terhadap objek Paksa Badan yang dibatalkan oleh pengadilan, hanya dapat dipaksa badan lagi untuk hutang yang sama setelah lampau waktu 8 (delapan) hari sejak dibebaskan.
Pasal 224
Paksa Badan yang telah, dijalankan sebelum dibatalkan oleh pengadilan, diperhitungkan dengan pelaksanaan Paksa Badan berikutnya. Bagian Kelima Belas Pembebasan Objek Paksa Badan
Pasal 225
Objek Paksa Badan harus dibebaskan dalam hal:
Piutang Negara dinyatakan lunas;
pengurusan Piutang Negara ditarik oleh atau dikembalikan kepada Penyerah Piutang;
objek Paksa Badan telah berumur 80 (delapan puluh) tahun;
objek Paksa Badan mengalami gangguan kejiwaan berat sehingga menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum; atau
Jangka waktu Paksa Badan berakhir.
Objek Paksa Badan dapat dibebaskan dalam hal:
terdapat pembayaran hutang paling sedikit 50% (lima puluh persen ) dari sisa hutang; atau
terdapat permintaan tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi demi kepentingan umum.
Dalam hal Penanggung Hutang tidak menyelesaikan kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dalam waktu yang ditentukan, objek Paksa Badan dapat dikenakan Paksa Badan kembali untuk sisa waktu pelaksanaan Paksa Badan yang belum dijalani.
Pasal 226
Keterangan bahwa objek Paksa Badan mengalami gangguan kejiwaan berat sehingga menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter yang ditunjuk oleh Panitia Cabang.
Pasal 227
Dalam hal terdapat permintaan tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi untuk membebaskan objek Paksa Badan dari Tempat Paksa Badan demi kepentingan umum, Panitia Cabang terlebih dahulu secara tertulis meminta persetujuan dari ketua Panitia Pusat.
Pasal 228
Pembebasan Paksa Badan dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.
Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:
pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan;
dasar hukum penerbitan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan;
perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Juru Sita Piutang Negara membebaskan objek Paksa Badan;
identitas objek Paksa Badan;
tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan; dan
tanda tangan Panitia Cabang. Bagian Keenam Belas Pelaksanaan Pembebasan Objek Paksa Badan
Pasal 229
Dalam hal objek Paksa Badan akan dibebaskan dari Tempat Paksa Badan, Panitia Cabang memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.
Pasal 230
Pembebasan objek Paksa Badan dari Tempat Paksa Badan dilaksanakan oleh juru Sita Piutang Negara dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Pembebasan objek Paksa Badan dari Tempat Paksa Badan dituangkan dalam Berita Acara Pembebasan Paksa Badan.
Pasal 231
Berita Acara Pembebasan Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:
hari, tanggal, dan jam pembebasan objek Paksa Badan; dan
identitas Juru Sita Piutang Negara, objek Paksa Badan, dan saksi-saksi.
Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh:
Juru Sita Piutang Negara;
saksi-saksi; dan
objek Paksa Badan.
Salinan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan dan salinan Berita Acara Pembebasan Paksa Badan disampaikan oleh Juru Sita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan. Bagian Ketujuh Belas Kerjasama
Pasal 232
Dalam rangka kelancaran pelaksanaan Paksa Badan, Direktur Jenderal atau Ketua Panitia Pusat dapat melakukan kerjasama dengan Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Penyerah Piutang, dan/atau instansi lain yang terkait.
BAB XVII
PENILAIAN
Bagian Pertama
Objek Penilaian dan Penilai
Pasal 233
Objek penilaian adalah Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain.
Penilaian dilakukan dalam rangka penjualan melalui Lelang, Penjualan Tanpa Melalui Lelang, Penebusan dengan nilai di bawah nilai pengikatan, atau keringanan hutang.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Penilaian
Pasal 234
Pelaksanaan penilaian dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 235
Dalam hal objek penilaian yang akan dinilai berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, pelaksanaan penilaian dilakukan dengan meminta bantuan Kantor Pelayanan tempat objek penilaian berada.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penilaian dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan dalam hal objek penilaian berada di kabupaten/kota yang berbatasan dengan wilayah kerja Kantor Pelayanan.
Bagian Ketiga
Laporan Penilaian
Pasal 236
Hasil penilaian dituangkan dalam laporan penilaian yang memuat kesimpulan mengenai Nilai Pasar atau Nilai Pasar dengan Nilai Likuidasi.
Nilai Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung dengan cara mengurangi Nilai Pasar dengan risiko-risiko penjualan melalui lelang.
Risiko-risiko penjualan melalui lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari Nilai Pasar.
Pasal 237
Laporan penilaian yang disampaikan Penyerah Piutang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menetapkan nilai penjualan melalui Lelang, Penebusan dengan nilai di bawah nilai pengikatan, Penjualan Tanpa Melalui Lelang, atau keringanan hutang, dengan ketentuan:
penilai yang ditunjuk Penyerah Piutang adalah penilai atau perusahaan penilai yang independen;
penilai atau perusahaan penilai memiliki izin resmi dari lembaga yang berwenang untuk melakukan kegiatan penilaian ( appraisal ) di Indonesia;
laporan penilaian harus ditandatangani oleh penilai yang lulus Ujian Sertifikasi Penilai (USP) dan telah mempunyai izin penilaian dari Menteri Keuangan;
laporan penilaian masih sesuai dengan kondisi barang atau kondisi pasar yang ada; dan
laporan penilaian masih berlaku.
Penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penilai atau perusahaan penilai yang tidak mempunyai hubungan kepemilikan atau afiliasi dengan Penyerah Piutang atau tidak mempunyai kepentingan dengan objek penilaian.
BAB XVIII
LELANG
Bagian Pertama
Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan
Pasal 238
Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan dalam hal setelah dilakukan penyitaan, Penanggung Hutang tidak menyelesaikan hutangnya.
Pasal 239
Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan sekurang- kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
pertimbangan hukum diterbitkannya Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan;
dasar hukum penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan;
perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk melaksanakan Lelang;
uraian barang sitaan yang akan dilelang;
tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan; dan
tanda tangan Panitia Cabang.
Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan diberitahukan secara tertulis kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
Bagian Kedua
Pengumuman Lelang
Pasal 240
Pengumuman lelang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Nilai Limit
Pasal 241
Nilai Limit barang yang akan dilelang ditetapkan:
oleh Panitia Cabang; dan
berdasarkan laporan penilaian yang masih berlaku.
Pasal 242
Nilai Limit ditetapkan paling rendah sama dengan Nilai Likuidasi yang dibuat oleh Penilai Direktorat Jenderal.
Dalam hal laporan penilaian dibuat oleh penilai publik, Nilai Limit ditetapkan paling rendah sama dengan Nilai Pasar dikurangi risiko-risiko penjualan melalui Lelang paling banyak 30 % (tiga puluh persen).
Pasal 243
Nilai Limit untuk Lelang kedua dan berikutnya ditetapkan:
paling rendah sama dengan nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 dan nilai penawaran tertinggi pada pelaksanaan Lelang sebelumnya;
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242, dalam hal pada pelaksanaan lelang sebelumnya tidak terdapat penawaran.
Penawaran tertinggi yang terjadi pada Lelang sebelumnya tidak dipergunakan sebagai dasar dalam penetapan Nilai Limit dalam hal penawaran dilakukan oleh pemenang lelang yang wanprestasi.
Pasal 244
Pemberitahuan Nilai Limit dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 245
Ketentuan lebih lanjut mengenai Nilai Limit diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Keempat
Persiapan Lelang
Pasal 246
Kantor Pelayanan melakukan:
persiapan dokumen persyaratan lelang; dan
pemberitahuan rencana lelang secara tertulis kepada Penyerah Piutang, Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum lelang dilaksanakan.
Pasal 247
Kantor Pelayanan memberikan penjelasan kepada calon peserta lelang yang meminta penjelasan mengenai barang-barang yang akan dilelang.
Kantor Pelayanan dapat mengundang dan memberikan penjelasan ( aanwijzing) mengenai barang-barang yang akan dilelang dan hal lain yang terkait dengan Lelang kepada calon peserta lelang.
Bagian Kelima
Penentuan Urutan Barang yang Dilelang
Pasal 248
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang selaku pemilik barang yang dilelang dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan guna menentukan urutan barang yang akan dilelang.
Pasal 249
Kepala Kantor Pelayanan menentukan urutan barang yang akan dilelang dalam hal:
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248; atau
barang maupun pemilik barang yang akan dilelang lebih dari 1 (satu) dan masing-masing pemilik mengajukan permohonan urutan barang yang akan dilelang.
Bagian Keenam
Uang Jaminan Lelang
Pasal 250
Setiap barang yang akan dilelang ditetapkan uang jaminan Lelang.
Besarnya uang jaminan Lelang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Lelang Terhadap Barang yang Berada di Luar Wilayah Kerja
Pasal 251
Dalam hal barang yang akan dilelang berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, Kantor Pelayanan meminta bantuan pelaksanaan Lelang secara tertulis kepada Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat barang yang akan dilelang berada.
Bagian Kedelapan
Penundaan dan Pembatalan Rencana Lelang Yang Telah Diumumkan
Pasal 252
Lelang yang akan dilaksanakan pada prinsipnya tidak dapat ditunda kecuali:
adanya putusan atau penetapan Pengadilan;
persyaratan Lelang tidak dipenuhi; atau
adanya pembayaran hutang.
Ketentuan mengenai penundaan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 253
Lelang yang akan dilaksanakan pada prinsipnya tidak dapat dibatalkan kecuali:
Penanggung Hutang melunasi hutang;
barang dan/atau dokumen barang yang akan dilelang disita dalam perkara pidana;
barang dan/atau dokumen barang yang akan dilelang telah musnah;
barang yang akan dilelang telah dijual tidak melaiui lelang; atau
barang yang akan dilelang telah ditebus.
Dalam hal atas 1 (satu) berkas kasus Piutang Negara terdapat beberapa barang yang akan dilelang, pembatalan rencana Lelang hanya berlaku atas objek Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e, sedangkan terhadap barang lainnya, tetap dilaksanakan Lelang.
Pasal 254
Penundaan atau pembatalan rencana Lelang diumumkan oleh:
Kantor Pelayanan melalui:
surat kabar harian;
selebaran 3. tempelan yang mudah dibaca oleh umum di tempat Lelang dilaksanakan; dan/atau
surat kabar harian;
pejabat penjual pada saat Lelang.
Bagian Kesembilan
Pengembalian Kelebihan Hasil Lelang
Pasal 255
Dalam hal terdapat kelebihan hasil Lelang setelah diperhitungkan dengan pelunasan hutang Penanggung Hutang, kelebihan hasil Lelang diserahkan kepada:
Penanggung Hutang;
Penjamin Hutang, dalam hal barang yang dilelang adalah milik pihak ketiga;
ahli waris, dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah meninggal dunia;
Balai Harta Peninggalan, dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris;
likuidator, dalam hal Penanggung Hutang adalah badan hukum yang telah dibubarkan; atau
Pengadilan Niaga atau kurator, dalam hal Penanggung Hutang dinyatakan pailit.
Dalam hal Penanggung Hutang, Penjamin Hutang, dan ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tidak bersedia menerima kelebihan hasil lelang, kelebihan hasil Lelang disetorkan ke Kas Negara.
Dalam hal kelebihan hasil Lelang telah disetor ke Kas Negara dan Penanggung Hutang, Penjamin Hutang, dan ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c meminta hasil kelebihan Lelang dimaksud, Kantor Pelayanan menyerahkan kelebihan hasil Lelang setelah dilakukan restitusi dari Kas Negara.
Pasal 256
Dalam hal hasil Lelang barang milik pihak ketiga melebihi Nilai Pembebanan hipotik/hak tanggungan/fidusia, hasil Lelang yang digunakan untuk pembayaran hutang sebesar Nilai Pembebanan hipotik/hak tanggungan/fidusia ditambah Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.
Pasal 257
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelebihan hasil Lelang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB XIX
PENJUALAN TANPA MELALUI LELANG
Bagian Pertama
Permohonan Penjualan
Pasal 258
Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang selaku pemilik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain dapat mengajukan permohonan Penjualan Tanpa Melalui Lelang untuk penyelesaian hutang.
Permohonan Penjualan Tanpa Melalui Lelang diajukan secara tertulis oleh:
Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang dan dilampiri Surat Penawaran Pembelian dari calon Pembeli; atau
calon pembeli dengan persetujuan Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang.
Dalam hal permohonan diajukan oleh Penjamin Hutang, permohonan harus disetujui oleh Penanggung Hutang.
Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat sekurang-kurangnya:
uraian barang yang akan dijual atau dibeli dengan disertai nilai penjualan atau nilai pembelian;
identitas calon pembeli;
kesediaan menyerahkan salinan akta jual beli maupun bukti penyetoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
cara pembayaran.
Dalam hal Barang Jaminan yang dijual tanpa melalui lelang milik Penanggung Hutang, permohonan harus dilampiri surat pernyataan yang disetujui calon pembeli untuk bersedia dilakukan penyitaan kembali oleh Kantor Pelayanan apabila tidak menyerahkan salinan akta jual beli maupun bukti penyetoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
Pasal 259
Dalam hal Penanggung Hutang telah meninggal dunia, permohonan Penjualan Tanpa Melalui Lelang dapat diajukan oleh ahli warisnya.
Pasal 260
Permohonan Penjualan Tanpa Melalui Lelang dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat sebelum pengumuman Lelang.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan Penjualan Tanpa Melalui Lelang dapat diajukan setelah pengumuman lelang dalam hal nilai permohonan Penjualan Tanpa Melalui Lelang yang diajukan lebih tinggi dari nilai limit yang tertera pada pengumuman lelang.
Dalam hal Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan telah dilelang tetapi belum laku, permohonan Penjualan Tanpa Melalui Lelang dapat diajukan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Persetujuan dan Penolakan
Pasal 261
Persetujuan Penjualan Tanpa Melalui Lelang ditetapkan oleh Panitia Cabang dengan ketentuan:
berpedoman pada laporan penilaian yang masih berlaku; dan
nilai persetujuan paling sedikit sama dengan Nilai Pasar.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan Penjualan Tanpa Melalui Lelang yang diajukan setelah pengumuman Lelang dapat disetujui dalam hal nilai Penjualan Tanpa Melalui Lelang yang diajukan lebih tinggi dari nilai limit yang tertera pada pengumuman lelang.
Persetujuan Penjualan Tanpa Melalui Lelang atas saham/obligasi yang diperjualbelikan di bursa efek dapat dilakukan tanpa berpedoman pada laporan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
Ketentuan mengenai persetujuan Penjualan Tanpa Melalui Lelang atas saham/obligasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Dikecualikan dari ketentuan dalam Pasal 233 dan Pasal 261 ayat (1), persetujuan Penjualan Tanpa Melalui Lelang dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat disetujui tanpa dilakukan penilaian lebih dulu; dalam hal:
Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penjualan kepada Panitia Cabang/Kantor Pelayanan; dan
nilai persetujuan tidak lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Pasal 262
Dalam hal Nilai Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat huruf b di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan atau fidusia atau tidak ada pembebanan hak tanggungan atau fidusia, Kantor Pelayanan wajib meminta persetujuan kepada Penyerah Piutang.
Penjualan Tanpa Melalui Lelang dengan Nilai Pasar di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan atau fidusia, atau tidak ada pembebanan hak tanggungan atau fidusia dapat dilaksanakan setelah Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penjualan kepada Panitia Cabang atau Kantor Pelayanan.
Pasal 263
Tanggapan atas surat permintaan persetujuan wajib disampaikan oleh Penyerah Piutang paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima oleh Penyerah Piutang.
Dalam hal Penyerah Piutang keberatan atas rencana penjualan dengan Nilai Pasar di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan/fidusia, Penyerah Piutang wajib menyampaikan alasan keberatan secara tertulis.
Dalam hal Penyerah Piutang tidak menyampaikan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penjualan Tanpa Melalui Lelang tetap dapat dilaksanakan.
Pasal 264
Nilai persetujuan Penjualan Tanpa Melalui Lelang yang ditetapkan:
termasuk Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
tidak termasuk beban pajak dan beban lainnya.
Pasal 265
Sejak permohonan penjualan diterima Kantor Pelayanan sampai terbitnya keputusan Panitia Cabang tentang Penjualan Tanpa Melalui Lelang, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana Lelang yang telah diumumkan atas Barang Jaminan yang dimohonkan untuk dijual tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat tetap berlaku sampai dengan diterimanya hasil penjualan tanpa melalui Lelang di rekening bendahara penerimaan Kantor Pelayanan (3) Tindakan hukum pengurusan Piutang Negara dapat dilaksanakan terhadap barang lain yang tidak diajukan permohonan untuk dijual.
Bagian Ketiga
Cara Pembayaran dan Wanprestasi
Pasal 266
Pembayaran Penjualan Tanpa Melalui Lelang dilakukan secara tunai paling lama dalam waktu 2 (dua) bulan sejak mendapat persetujuan.
Dalam hal pembeli wanprestasi terhadap syarat pembayaran, Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis.
Dalam hal pembeli tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan penjualan menjadi batal.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), pembayaran atas Penjualan Tanpa Melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (2) harus sudah efektif diterima di rekening bendahara penerimaan Kantor Pelayanan paling lambat 4 (empat) hari kerja sebelum pelaksanaan Lelang.
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak efektif diterima di rekening bendahara penerimaan Kantor Pelayanan, persetujuan Penjualan Tanpa Melalui Lelang menjadi batal dan rencana Lelang dilanjutkan.
Pasal 267
Penanggung Hutang dapat mengajukan kembali permohonan Penjualan Tanpa Melalui Lelang atas Barang Jaminan dan/atau harta kekayaan yang telah dibatalkan persetujuan penjualannya.
Penjualan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi calon pembeli yang telah wanprestasi.
Permohonan pengajuan kembali dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 sampai dengan Pasal 260.
Pengajuan permohonan penjualan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku satu kali untuk barang yang sama.
BAB XX
PENEBUSAN
Bagian Pertama
Permohonan Penebusan
Pasal 268
Penjamin Hutang dapat mengajukan permohonan untuk menebus Barang Jaminan miliknya.
Permohonan Penebusan diajukan oleh Penjamin Hutang secara tertulis.
Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat sekurang-kurangnya:
uraian barang yang akan ditebus;
nilai penebusan; dan
cara pembayaran.
Pasal 269
Dalam hal Penjamin Hutang telah meninggal dunia, permohonan Penebusan dapat diajukan oleh ahli warisnya.
Pasal 270
Permohonan Penebusan sebesar Nilai Pembebanan hak tanggungan/fidusia dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan Lelang.
Dalam hal Barang Jaminan telah dilelang tetapi belum laku, pengajuan permohonan Penebusan dengan nilai sebesar Nilai Pembebanan hak tanggungan/fidusia tetap dapat dilakukan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan Lelang berikutnya.
Pasal 271
Permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan/fidusia dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat sebelum pelaksanaan Lelang.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan atau fidusia dapat diajukan setelah pengumuman lelang dalam hal nilai permohonan Penebusan yang diajukan lebih tinggi dari Nilai Limit yang tertera pada pengumuman lelang.
Dalam hal Barang Jaminan telah dilelang tetapi belum laku, pengajuan permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan atau fidusia tetap dapat dilakukan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat sebelum pengumuman lelang berikutnya.
Pasal 272
Penebusan tidak boleh diajukan oleh Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang yang menjamin seluruh hutang Penanggung Hutang.
Bagian Kedua
Persetujuan dan Penolakan
Pasal 273
Persetujuan Penebusan ditetapkan oleh Panitia Cabang dengan ketentuan paling sedikit sama dengan Nilai Pembebanan hak tanggungan/fidusia.
Pasal 274
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan/fidusia yang diajukan sebelum pengumuman lelang, dapat disetujui dengan ketentuan:
Nilai Pasar barang yang akan ditebus berdasarkan laporan penilaian yang masih berlaku di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan/fidusia;
Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penebusan kepada Panitia cabang/Kantor Pelayanan; dan
mendapat persetujuan Penanggung Hutang.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan Penebusan dengan nilai di bawah nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia yang diajukan setelah pengumuman lelang dapat disetujui dalam hal nilai Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia yang diajukan lebih tinggi dari Nilai Limit yang tertera pada pengumuman lelang.
Dikecualikan dari ketentuan Pasal 233 dan Pasal 274 ayat (1), Penebusan dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat disetujui tanpa dilakukan penilaian lebih dulu, dalam hal :
Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan Penebusan kepada Panitia Cabang atau Kantor Pelayanan;
mendapat persetujuan Penanggung Hutang; dan
nilai persetujuan tidak lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Pasal 275
Permintaan persetujuan dari Kantor Pelayanan atas rencana Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan atau fidusia harus mendapat tanggapan dari Penyerah Piutang paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permintaan persetujuan diterima oleh Penyerah Piutang.
Dalam hal Penyerah Piutang keberatan atas rencana Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan atau fidusia, Penyerah Piutang wajib menyampaikan alasan keberatan secara tertulis.
Dalam hal Penyerah Piutang tidak menyampaikan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan atau fidusia tetap dapat dilaksanakan.
Pasal 276
Nilai Penebusan yang ditetapkan ditambah Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.
Pasal 277
Sejak permohonan Penebusan diterima Kantor Pelayanan sampai terbitnya keputusan Panitia Cabang tentang Penebusan, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana Lelang yang telah diumumkan atas Barang Jaminan yang dimohonkan untuk ditebus dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan/fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat tetap berlaku sampai dengan diterimanya hasil Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan/fidusia di rekening bendahara penerimaan Kantor Pelayanan.
Tindakan hukum pengurusan Piutang Negara dapat dilaksanakan terhadap barang lain yang tidak diajukan permohonan untuk ditebus.
Bagian Ketiga
Cara Pembayaran dan Wanprestasi
Pasal 278
Pembayaran Penebusan dilakukan secara tunai paling lama dalam waktu 2 (dua) bulan sejak permohonan disetujui.
Dalam hal Penjamin Hutang wanprestasi terhadap pembayaran penebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis.
Dalam hal Penjamin Hutang tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), persetujuan Penebusan menjadi batal.
Pasal 279
Dalam hal permohonan Penebusan yang diajukan nilainya lebih tinggi dari Nilai Limit yang tertera pada pengumuman lelang, maka pembayaran atas Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia harus sudah efektif diterima di rekening Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan paling lambat 4 (empat) hari kerja sebelum pelaksanaan Lelang.
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak efektif diterima di rekening bendahara penerimaan Kantor Pelayanan, persetujuan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan hak tanggungan/fidusia sebagaimana dimaksud Pasal 274 ayat menjadi batal dan rencana Lelang dilanjutkan.
Pasal 280
Penjamin Hutang dapat mengajukan kembali permohonan Penebusan atas Barang Jaminan yang telah dibatalkan persetujuan penebusannya.
Permohonan Penebusan kembali dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 sampai dengan Pasal 272.
Pengajuan permohonan penebusan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku satu kali untuk barang yang sama.
BAB XXI
PIUTANG NEGARA SEMENTARA BELUM DAPAT DITAGIH
Pasal 281
Piutang Negara ditetapkan sebagai Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih, dalam hal masih terdapat sisa Piutang Negara, namun:
Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan atau tidak diketahui tempat tinggalnya; dan
Barang Jaminan tidak ada, telah terjual, ditebus, atau tidak lagi mempunyai nilai ekonomis.
Penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Surat Paksa disampaikan.
Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan berdasarkan laporan penilaian bahwa Barang Jaminan mempunyai nilai jual yang rendah atau sama sekali tidak mempunyai nilai jual.
Pasal 282
Penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih harus dilakukan Pemeriksaan terlebih dahulu, dalam hal sisa hutang paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 283
Penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih tidak didahului dengan kegiatan Pemeriksaan namun dilakukan penelitian lapangan, dalam hal:
sisa hutang sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan dari laporan hasil penelitian lapangan oleh petugas Kantor Pelayanan diketahui bahwa:
Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutangnya; atau
tidak diketahui tempat tinggalnya; atau
sisa hutang lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan kurang dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) setelah diperoleh:
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang menyatakan: a) Penanggung Hutang tidak mempunyai kemam- puan untuk menyelesaikan hutangnya; atau b) tidak diketahui tempat tinggalnya; dan
laporan hasil penelitian lapangan oleh petugas Kantor Pelayanan terhadap kemampuan dan keberadaan Penanggung Hutang.
Pasal 284
Dikecualikan dari kegiatan Pemeriksaan dimaksud Pasal 282 dan penelitian lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 283, penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih dapat dilakukan terhadap piutang negara dengan sisa hutang sampai dengan Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan telah lebih dari 10 (sepuluh) tahun sejak diterbitkannya SP3N.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap piutang negara yang berasal dari piutang eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional, eks PT Perusahaan Pengelola Aset, eks bank dalam likuidasi, dan piutang tuntutan ganti rugi.
Pasal 285
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (2), Penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih dapat dilakukan setelah SP3N diterbitkan tanpa adanya Surat Paksa/sebelum Surat Paksa disampaikan serta tanpa dilakukan Pemeriksaan dan penelitian lapangan, dalam hal memenuhi salah satu syarat berikut:
Piutang Negara berasal dari Instansi Pemerintah dan telah mendapat rekomendasi penghapusan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Piutang Negara dengan sisa hutang paling banyak Rp.8.000.000,00 (delapan juta rupiah) yang dilengkapi dokumen berupa:
Kartu Keluarga Miskin;
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang menyatakan Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan atau tidak diketahui tempat tinggalnya untuk menyelesaikan hutangnya;
surat keterangan/pernyataan pimpinan Penyerah Piutang yang menyatakan Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan atau tidak diketahui tempat tinggalnya untuk menyelesaikan hutangnya; atau 4. bukti penerima asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin.
Piutang BUMN yang selanjutnya berubah menjadi piutang Instansi Pemerintah dan telah dilakukan penelitian bersama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 286
Panitia Cabang menetapkan dan memberitahukan secara tertulis Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih kepada Penyerah Piutang.
Pasal 287
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 dapat dipergunakan sebagai dasar bagi Penyerah Piutang untuk mengusulkan/melakukan penghapusbukuan atau penghapustagihan piutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 288
Pengurusan Piutang Negara yang telah diterbitkan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih dilanjutkan dalam hal pada perkembangan selanjutnya Penanggung Hutang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan hutang.
Dalam hal pengurusan Piutang Negara dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitia Cabang menetapkan dan memberitahukan secara tertulis Pencabutan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih yang telah diterbitkan.
Dalam hal pernah diterbitkan Pencabutan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih, Surat Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih yang baru dapat diterbitkan dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 286
BAB XXII
BIAYA ADMINISTRASI PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
Bagian Pertama
Pemungutan dan Pembebanan
Pasal 289
Setiap pengurusan Piutang Negara dipungut Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.
Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dibebankan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dan dikenakan terhitung mulai tanggal diterbitkannya SP3N.
Pasal 290
Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dikenakan dari jumlah hutang yang wajib dilunasi/diselesaikan oleh Penanggung Hutang.
Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara tidak dikenakan dalam hal:
terdapat biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a yang timbul setelah SP3N diterbitkan;
terjadi Pengembalian pengurusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 40; atau
terdapat bagian dari kredit sindikasi yang tidak ikut diserahkan pengurusannya kepada Panitia Cabang.
Pasal 291
Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dipungut secara proporsional dari setiap pembayaran hutang yang diterima.
Bagian Kedua
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pasal 292
Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan wajib disetorkan ke Kas Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
Pasal 293
Besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dikenakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XXIII
PEMBAYARAN HUTANG
Pasal 294
Pelaksanaan pembayaran hutang termasuk Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dapat dilakukan melalui Kantor Pelayanan atau Penyerah Piutang.
Pasal 295
Dalam hal pembayaran dilaksanakan melalui Kantor Pelayanan, pembayaran hutang dapat diterima oleh Bendahara Penerimaan melalui rekening Bendahara Penerima dan/atau secara tunai.
Dalam hal pembayaran diterima secara tunai, besarnya pembayaran yang dapat diterima oleh Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan paling banyak sebesar Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 296
Dalam hal Piutang Negara berupa satuan mata uang asing dan pembayaran hutang ke rekening Kantor Pelayanan dalam mata uang rupiah, perhitungan pembayaran menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada saat dana efektif diterima.
Dalam hal Piutang Negara berupa satuan mata uang rupiah dan satuan mata uang asing dan terdapat pembayaran dalam satuan mata uang tertentu, perhitungan pembayaran didahulukan terhadap satuan mata uang yang sama.
Dalam hal kurs tengah Bank Indonesia tidak tersedia untuk satuan mata uang asing tertentu, nilai kurs yang digunakan sebagai dasar perhitungan adalah kurs valuta asing yang bersangkutan di pasar internasional terhadap dolar Amerika Serikat dan dikalikan kurs tengah Bank Indonesia atas rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang berlaku untuk kurun waktu yang sama.
Pasal 297
Dalam hal pembayaran dilaksanakan melalui Penyerah Piutang, Penyerah Piutang wajib segera memberitahukan data pembayaran hutang kepada Kantor Pelayanan dan wajib segera melimpahkan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara ke rekening Bendahara Penerimaan Kantor Pelayananan.
Pasal 298
Kantor Pelayanan menatausahakan penerimaan pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penatausahaan penerimaan pembayaran diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal.
BAB XXIV
KERJASAMA
Pasal 299
Direktorat Jenderal dapat melakukan kerjasama dengan:
Penyerah Piutang;
perusahaan penjamin kredit;
pihak-pihak yang mempunyai keahlian di bidang pengelolaan aset, restrukturisasi hutang, peningkatan kualitas sumber daya manusia; dan/atau d. instansi lain yang terkait dengan pengurusan Piutang Negara.
Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 300
Dalam rangka pelaksanaan kerjasama, biaya-biaya yang timbul dapat dibebankan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (1), dan/atau Direktorat Jenderal.
Pasal 301
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB XXV
PENARIKAN
Bagian Pertama
Usul Penarikan
Pasal 302
Penyerah Piutang dapat mengajukan usul penarikan pengurusan Piutang Negara untuk keperluan restrukturisasi hutang.
Usul penarikan disampaikan secara tertulis oleh Penyerah Piutang.
Usul penarikan pengurusan Piutang Negara dapat diajukan sewaktu-waktu sebelum pengumuman lelang.
Pasal 303
Restrukturisasi hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 dilakukan oleh Penyerah Piutang berdasarkan pedoman restrukturisasi hutang yang diterbitkan oleh Penyerah Piutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Persetujuan dan Penolakan
Pasal 304
Kantor Pelayanan segera meneliti rencana pelaksanaan restrukturisasi hutang yang disampaikan oleh Penyerah Piutang.
Pasal 305
Dalam hal usul penarikan pengurusan Piutang Negara dapat disetujui, Panitia Cabang menerbitkan Surat Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara.
Pasal 306
Dalam hal usul penarikan pengurusan Piutang Negara tidak dapat disetujui, Panitia cabang menerbitkan Surat Penolakan Penarikan Pengurusan Piutang Negara.
Pasal 307
Dalam hal setelah lewat waktu 14 (hari) sejak tanggal terbitnya Surat Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara tidak diselesaikan, Kantor Pelayanan memberikan surat teguran kepada Penyerah Piutang.
Dalam hal setelah lewat 14 (hari) hari sejak tanggal terbitnya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara tetap tidak diselesaikan, Panitia Cabang menerbitkan Surat Pembatalan Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara.
Penyerah Piutang dapat mengajukan permohonan penarikan kembali terhadap pengurusan Piutang Negara yang telah dibatalkan persetujuan penarikannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Permohonan penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Bagian Ketiga
Piutang Negara Selesai
Pasal 308
Dalam hal usul penarikan disetujui dan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara atas penarikan pengurusan, Piutang Negara telah diselesaikan, Panitia Cabang menerbitkan Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai.
Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai diterbitkan berdasarkan hasil verifikasi dan bukti pembayaran Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara yang menunjukkan Piutang Negara telah selesai.
Pasal 309
Kantor Pelayanan menyampaikan Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai kepada Penyerah Piutang disertai semua dokumen asli yang telah diterima oleh Kantor Pelayanan.
BAB XXVI
PELUNASAN
Pasal 310
Dalam hal hutang Penanggung Hutang telah lunas, Panitia Cabang menerbitkan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas.
Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas diterbitkan berdasarkan hasil verifikasi.
Pasal 311
Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas disampaikan kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang.
BAB XXVII
ROYA
Pasal 312
Penyerah Piutang wajib mengajukan permohonan roya, dalam hal:
Barang Jaminan telah terjual atau ditebus; atau
Piutang Negara dinyatakan lunas.
BAB XXVIII
PROSEDUR KERJA DAN BENTUK SURAT
Pasal 313
Ketentuan mengenai prosedur kerja dan bentuk surat pengurusan Piutang Negara yang diperlukan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB XXIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 314
Kasus Piutang Negara yang diurus berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara dan belum lunas/selesai, tahap selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Dalam hal Penanggung Hutang berstatus BUMN/BUMD dan:
telah dilaksanakan mediasi namun belum tercapai kesepakatan penyelesaian, selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dimulai dengan Panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41; atau
telah dilaksanakan tindakan pengurusan Piutang Negara, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan dengan melanjutkan tindakan pengurusan Piutang Negara menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
BAB XXX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 315
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.06/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.06/2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.06/2016 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 316
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PMK Nomor 21/PMK.06/2016, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Menteri ini.
Pasal 317
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2016 MENTERI KEUANGAN ttd SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2016 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd WIDODO EKATJAHJANA