1 1 PUTUSAN Nomor 43/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] I. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dalam hal ini diwakili oleh: Nama : Ir. H. Said Iqbal, M.E Jabatan : Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Alamat : Jalan Lestari RT. 009/RW. 003, Kelurahan Kalisari, Kecamatan Pasar Rebo, Kota Jakarta Timur Nama : Muhamad Rusdi Jabatan : Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Alamat : Jalan Pengadegan Timur IV, RT. 009/RW. 001, Kelurahan Pengadegan, Kecamatan Pancoran, Kota Jakarta Selatan Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------- Pemohon I; II. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dalam hal ini diwakili oleh: Nama : Andi Gani Nena Wea, S.H Jabatan : Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) 2 Alamat : Jalan Anggur Barat II/18 Kav. D 1, RT. 005/RW. 003 Kelurahan Cipete Selatan, Kecamatan Cilandak, Kota Jakarta Selatan Nama : Subiyanto, S.H Jabatan : Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Alamat : Jalan Danau Poso V Nomor 59 RT. 006/RW. 005 Kelurahan Bencongan, Kecamatan Kelapa Dua Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------- Pemohon II; III. Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), d alam hal ini diwakili oleh: Nama : Mudhofir, S.H Jabatan : Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Alamat : Jalan Kampung Rawa Panjang, RT. 03/RW. 004, Kelurahan Gepanjang Jaya, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi Nama : Togar Marbun Jabatan : Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Alamat : Jalan Komplek Susi, RT. 001/RW. 002, Kelurahan Jeungjing, Kecamatan Cisoka, Kota Tangerang Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------- Pemohon III; IV. Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), dalam hal ini diwakili oleh: Nama : Bayu Murniyanto Jabatan : Presiden Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI) Alamat : Jalan Kampung Bulak Gg. D/17, RT. 004/RW. 017, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Kota Jakarta Utara Nama : Ade Mulyadi Jabatan : Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI) 3 Alamat : Jalan Sukapura, RT. 10/RW. 001, Kelurahan Sukapura, Kecamatan Cilincing, Kota Jakarta Utara Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------- Pemohon IV; V. Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit (FSPTSK), dalam hal ini diwakili oleh: Nama : H. Muhammad Rodja, S.H Jabatan : Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit (FSPTSK) Alamat : Jalan Tulodong Atas Nomor 11 A, RT. 006/RW. 003, Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan Nama : Indra Munaswar Jabatan : Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit (FSPTSK) Alamat : Jalan Kampung Balimatraman, RT 012/RW 006, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Kota Jakarta Selatan Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------- Pemohon V; Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus, masing-masing bertanggal 21 Mei 2012 memberi kuasa kepada 1) Dr. Muchtar Pakpahan, S.H;
Sabinus Moa, S.H;
Budiyono, S.H;
Ahmad Fauzi, S.H.I;
Ari Lazuardi, S.H;
Andriko. S. Otang, S.H;
Nurdin S., S.H., M.H;
Surya Tjandra, S.H., LL.M;
Kambusiha, S.H;
Gindo L. Tobing, S.H;
Saut Pangaribuan, S.H;
M. Fandrian Hadistianto, S.H;
Siti Rahmah, S.H.I; dan
Elisabeth Imelda Jachja, S.H., M.H., kesemuanya adalah Advokat dan Pengabdi Bantuan Hukum yang tergabung dalam TIM PEMBELA BURUH UNTUK ANGGARAN PRO- RAKYAT yang berdomisili hukum di Jalan Mesjid III Nomor 1, Pejompongan, Jakarta Pusat dan Jalan Tanah Tinggi II Nomor 44B, Johar Baru, Jakarta Pusat, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa ; Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon ; 4 [1.3] Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah; Mendengar dan membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar keterangan saksi dan ahli para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; Membaca kesimpulan tertulis para Pemohon dan Pemerintah;
DUDUK PERKARA [1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal 1 Mei 2012, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 1 Mei 2012 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 164/PAN.MK/2012 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 9 Mei 2012 dengan Nomor 43/PUU-X/2012, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 30 Mei 2012, menguraikan hal- hal sebagai berikut:
Konteks Kepentingan Para Pemohon Dalam Pengujian Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6A), dan Pasal 15A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012. Gonjang-ganjing dan pro-kontra kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu terakhir ini memberikan setidaknya tiga pelajaran utama kepada rakyat awam di Indonesia. Pertama , rakyat makin sadar bahwa BBM adalah produk strategis yang tidak hanya menggerakkan roda kendaraan, tetapi juga roda ekonomi secara keseluruhan negeri ini. Ini yang mendorong begitu banyak pihak merasa berkepentingan dengan isu ini dan ikut ambil bagian dalam kontroversi yang terjadi. Kedua , rakyat juga makin sadar bahwa naik-turunnya harga BBM ternyata terkait erat dengan anggaran dan pendapatan belanja Negara (APBN), karena secara langsung mempengaruhi besaran “subsidi” yang terdapat di dalam APBN, di mana ketika “subsidi” membengkak maka makin berat pula beban APBN, yang kemudian diikuti 5 langkah-langkah efisiensi atau pengurangan, maupun penambahan pendapatan Negara melalui pajak. Dan ketiga , isu kenaikan harga BBM dan isu pembengkakan “subsidi” yang menyertainya membuka lebar informasi terkait APBN baik postur, skema yang dibangun, maupun pelolaannya, yang terbukti justeru amat problematis. BBM adalah hasil kekayaan alam, oleh karena itu merujuk ke UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), penguasaan, eksplorasi, ketersediaan, pengilangan, distribusi, dan penetapan harga BBM tidaklah boleh membebani rakyat. Kenyataannya, kita bukan lagi negeri yang mampu menguasai, mengeksplorasi, mengilang, menyediakan, dan mendistribusikan BBM sehingga harganya terjangkau. Oleh sebab itulah kita mengenal “subsidi” BBM, yang bahkan, ketika kita masih anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang mengekspor BBM dan masih menyandang negara kaya minyak bumi, “subsidi” sudah berlangsung. Istilah “subsidi” pun semakin menjauhi makna sesungguhnya, dan melulu menjadi komoditas politik yang tergantung pada kepentingan siapa yang bicara. Seperti akan dijelaskan di dalam permohonan uji materil ini, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, khususnya Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 15A – justeru tidak menunjukkan hal-hal yang seharusnya dilakukan secara selayaknya tersebut, dan melanggar ketentuan UUD 1945 khususnya Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 7 ayat (1) : Subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair ( liquified petroleum gas (LPG)) tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 diperkirakan sebesar Rp 137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah), dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 KL (empat puluh juta kilo liter). Pasal 7 ayat (1) menjadi dasar dikeluarkannya Pasal 7 ayat (6a), karena pada di sinilah ditetapkan kebutuhan untuk menaikkan besaran “subsidi energi” menjadi Rp 225 trilyun, di mana “subsidi BBM dan LPG” naik 6 menjadi Rp 137,4 trilyun (sebelumnya Rp 123,6 trilyun pada APBN 2012, atau naik sekitar Rp 13,8 trilyun), dan menjadi alasan langsung dari kebutuhan untuk memberikan hak kepada Pemerintah untuk “melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya” sesuai dengan perkembangan harga ICP ( Indonesian Crude Price ) sebagaimana ditetapkan Pasal 7 ayat (6a), yang memicu kontroversi di masyarakat umum karena memberi hak pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sesuai dengan harga pasar, tanpa melalui persetujuan maupun konsultasi dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Akibatnya adalah kenaikan harga BBM yang secara langsung berdampak pada naiknya biaya hidup masyarakat yang pasti akan memberatkan. Pasal 7 ayat (1) ini merupakan perubahan dari Pasal 7 ayat (1) UU APBN 2012 yang berbunyi: “…” Penambahan asumsi anggaran ini tentunya baik saja selama memang didasari oleh motif yang baik, masalahnya alih-alih menunjukkan keprihatinan nyata terkait beban rakyat yang pasti akan meningkat dengan kenaikan harga BBM, Perubahan APBN 2012 justeru dilakukan dengan melakukan “mark-up” (pembesaran) asumsi kebutuhan anggaran untuk subsidi, sebagaimana tercermin di dalam Pasal 7 ayat (1). Tindakan mana terindikasi merupakan tindak pembohongan publik untuk memberi kesan “darurat” terhadap Perubahan APBN 2012 ini, di mana Pemerintah mengajukan penambahan “subsidi energi” menjadi Rp 225 trilyun, di mana “subsidi BBM dan LPG” naik menjadi Rp 137,4 trilyun, padahal sebagaimana dihitung oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) seharusnya cukup hanya dengan Rp 68 trilyun, yang dengan kata lain telah terjadi “mark-up” setidaknya Rp 69 trilyun. Tujuannya adalah agar bisa segera dilakukan sidang paripurna DPR yang mensahkan Undang-Undang Perubahan APBN 2012 tersebut, yang bahkan dilaksanakan di luar ketentuan yang berjalan selama ini di mana perubahan APBN dilaksanakan setelah dilaksanakannya audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk menilai terlebih dahulu tingkat serapan dari anggaran berjalan sebelum Pemerintah memutuskan apakah memang diperlukan perubahan atau tidak. Seharusnya Pemerintah bisa melakukan pengurangan dan pengetatan anggaran yang sudah ada terlebih dahulu, sesuai masukan hasil pemeriksaan BPK terhadap anggaran berjalan, bukan 7 malah membesar-besarkan proyeksi kenaikan anggaran subsidi, yang kemudian malah dijadikan alasan untuk Pemerintah menggunakan mekanisme pasar dalam penetapan harga BBM bersubsidi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (6a). Seperti dijelaskan oleh ekonom senior yang juga bekas Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan di era Presiden Abdurrahman Wahid, Kwik Kian Gie, di dalam tulisannya berjudul “Kontroversi Kenaikan Harga BBM”, yang beredar luas di berbagai kalangan masyarakat, yang menunjukkan adanya sesat pikir dalam argumentasi Pemerintah terkait penetapan harga BBM subsidi seiring harga pasar tersebut, di mana bukan membengkaknya besaran biaya Pemerintah melainkan keuntungan yang menurut perhitungan Kwik Kian Gie adalah sebesar Rp 97,939 trilyun Hal ini pun sesungguhnya diakui oleh Pemerintah sendiri, sebagaimana tampak dalam anggaran yang disusunnya sendiri, sebagai berikut: Pos “DBH (Dana Bagi Hasil) sejumlah Rp 45,3 trilyun; Pos “Net Migas” sejumlah Rp 51,5 trilyun; Jumlahnya Rp 96,8 trilyun. Seperti dijelaskan Kwik Kian Gie, perbedaan perhitungan sebesar Rp 1,1 trilyun ini disebabkan karena Pemerintah menghitungnya dengan data lengkap yang mendetil. Sementara ia menghitungngya dengan penyederhanaan/simplifikasi guna memperoleh esensi perhitungan bahwa Pemerintah melakukan kehohongan publik. Perbedaannya relatif juga tidak signifikan, yaitu hanya sebesar Rp. 1,1 trilyun atau 1,14 % saja dari total APBN 2012. Para Pemohon dalam konteks ini berpendapat tidak perlu dilakukan besaran asumsi di atas sebagaimana ditetapkan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perubahan APBN 2012, yang mengakibatkan permasalahan turunan berantai seperti diurai di atas, dan memohon agar tetap saja menggunakan anggaran lama yang sudah ditetapkan Pemerintah bersama DPR.
Pasal 7 ayat (6a) : Dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP ) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk 8 melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya. Alih-alih menegaskan kedaulatan Negara yang menjadi sumber persoalan dari kemelut penetapan harga BBM ini, Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang Perubahan APBN 2012 justeru malah menegaskan peran pasar dalam menentukan harga BBM melalui yang disebut sebagai “ICP” ( Indonesian Crude Price ). ICP adalah indeks harga minyak mentah dari Indonesia, yang ditetapkan oleh Pertamina berdasarkan rata-rata perubahan harga minyak mentah yang diperdagangkan secara internasional, yaitu: Minas (Indonesia), Tapis (Malaysia), Gippsland (Australia), Dubai (Uni Emirat Arab), dan Oman (Wikipedia.org). ICP untuk Minas, dengan kata lain, adalah rata-rata dari seluruh minyak bumi yang disedot dari dalam perut bumi Indonesia. Mid Oil Platts Singapore (MOPS) Dalam konteks ini harga BBM di Indonesia dikaitkan dengan penilaian yang dibuat oleh sebuah lembaga penilai Platts (www.platts.com) melalui yang dikenal sebagai “MOPS” atau “Mean of Platts Singapore”, yaitu penilaian produk untuk perdagangan minyak mentah di kawasan Asia yang dibuat oleh Platts, anak perusahaan McGraw Hill. Istilah MOPS selama ini dikenal di Indonesia dengan Mid Oil Platts Singapore yang dijadikan patokan harga BBM di Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri. Selisih harga patokan per liter jenis BBM tertentu yang didasarkan ke MOPS ditambah alpha (margin dan fee distribusi) yang sebesar 14,1% dikurangi dengan harga jual eceran per liter jenis BBM tertentu di Indonesia yang akan menjadi besar patokan subsidi untuk tiap liter jenis BBM tertentu. Jenis BBM tertentu berdasarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2005 tersebut adalah minyak tanah, premium, dan solar. Jadi itu merupakan harga yang ditetapkan oleh perusahaan Platts yang berkedudukan di Singapura. Negara kecil yang tidak memiliki sumber minyak malah memiliki kekuasaan untuk menetapkan harga minyak bumi yang dihasilkan, diproduksi dan digunakan untuk masyarakat Negara Indonesia yang memiliki sumber 9 minyak yang besar. Dan yang lebih aneh lagi, harga MOPS ini tidak pernah dipublikasikan secara umum. Jadi pihak yang mendapatkan informasi tentang berapa harga MOPS, hanyalah pihak yang berlangganan secara khusus untuk mendapatkan informasi tersebut, yang tentu saja harus membayar sejumlah uang tertentu, alias tidak gratis. Menurut laporan Energi Riset dan Manajemen Indonesia (ERMI), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki perhatian khusus di bidang pemanfaatan energi, PT Pertaminan harus membayar US$ 100 ribu/tahun untuk berlangganan informasi ini. Pada saat menghitung jumlah subsidi yang harus dibayar oleh Pemerintah kepada perusahaan yang menyalurkan BBM bersubsidi (saat ini sudah berjumlah tiga perusahaan yaitu PERTAMINA, AKR dan Petronas, walaupun kedua perusahaan terakhir ini hanya melayani wilayah tertentu dan terbatas) digunakan harga MOPS tersebut. Dengan demikian hanya pihak Pertamina yang tahu harga MOPS, yang digunakan untuk menghitung subsidi dan pemerintah yang membayarkan subsidi tersebut, yang ini merupakan celah yang sangat besar untuk terjadinya penyelewangan yang jumlahnya bukan kepalang besar. Dengan kata lain, ICP yang menjadi dasar menetapkan harga patokan untuk BBM, dan karenanya besaran subsidi yang menyertainya, ditetapkan dengan mengikuti perkembangan harga pasar. Ini secara langsung bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), sebagaimana juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 terkait uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Melalui Putusan tersebut Mahkamah Konstitusi membatalkan tiga pasal dalam Undang- Undang Minyak dan Gas Bumi, yaitu Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (2). Terkait harga BBM, Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi, ”Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar,” dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (M. Kholid Syeirazi (Sekretaris Jenderal PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama, dalam tulisannya berjudul “Harga BBM dan Konstitusi”, di Kompas, 26 April 2012). 10 c. Pasal 15A : Dalam rangka membantu masyarakat berpendapatan rendah agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah akibat gejolak harga, dialokasikan anggaran untuk bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp 17.088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) termasuk anggaran untuk pengaman pelaksanaan (safeguarding). Alih-alih memberikan solusi yang tepat terkait “kompensasi” dari akibat dan kesulitan ekonomi kenaikan harga BBM, pemerintah kembali dengan solusi lama yang problematis berupa pemberian “bantuan langsung sementara masyarakat” (dahulu “bantuan langsung tunai”) sebesar Rp 17,1 trilyun. Solusi ini problematis karena praktek yang selama ini terjadi menunjukkan bahwa solusi ini justeru tidak produktif dan menghasilkan pembodohan rakyat, dengan diiringi kebocoran yang terjadi di sana-sini, selain sifatnya yang memang sementara sehingga tidak berkelanjutan. Lebih parah lagi “bantuan langsung sementara masyarakat” ini sebagian berasal dari utang luar negeri, yang dalam beberapa tahun terakhir ini telah meningkat luar biasa, dan dalam jangka panjang akan mengancam kedaulatan serta kemandirian bangsa Indonesia. Nama baru, makna sama Dulu bantuan langsung tunai (BLT), kini bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), namun makna keduanya sama saja, yakni memberikan kepada rumah tangga sasaran sejumlah uang tunai selama kurun waktu tertentu dengan maksud mencegah mereka dari kemerosotan kualitas hidup akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Bantuan seperti ini diberikan tahun 2005 dan 2008 dengan nama BLT. BLSM ibarat obat yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit penderita penyakit dalam. Kenyataan menunjukkan, para penerima BLT kembali miskin seperti sedia kala karena basis ekonomi mereka tidak ada. Mereka tidak punya pendapatan tetap. Jumlah keluarga penerima BLT dan BLSM relatif sama dalam dekade terakhir. Pada tahun 2005, ketika harga BBM dua kali dinaikkan, sebesar 29% dan 126%, BLT disalurkan kepada 19,1 juta keluarga. Jumlah penerima BLT hanya turun tipis menjadi 19,02 juta 11 keluarga tahun 2008 saat harga BBM dinaikkan 33,3%. Tahun ini, penerima BLSM diperkirakan 18,2 juta keluarga. Pengamat memperkirakan, penerima BLT tahun ini masih 19 juta keluarga karena penduduk hampir miskin justru meningkat meski penduduk di bawah garis kemiskinan sedikit berkurang sesuai rendahnya kriteria kemiskinan. Nilai BLSM tahun ini direncanakan Rp 17,1 triliun, jauh lebih besar dibanding BLT sebelumnya. Dana itu diberikan kepada keluarga sasaran selama 9 bulan. Nilai BLT tahun 2005 sebesar Rp 15 triliun dan pada 2008 sebesar Rp 14 triliun. Pada periode yang sama, Pemerintah menaikkan dana jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan biaya operasional siswa (BOS). Tidak ada alasan kuat Namun tidak ada alasan kuat bagi Pemerintah saat ini untuk memberikan BLT “baju” baru. Dampak kenaikan harga BBM tahun 2012 tidak sedahsyat tahun 2008 apalagi tahun 2005. Dipicu kenaikan harga BBM yang sangat tinggi, inflasi tahun 2005 terkerek hingga 17,8%. Inflasi tahun 2008 juga cukup tinggi, mencapai 11,03%. Namun, tahun ini, dengan asumsi kenaikan harga BBM 33,3%, inflasi hanya sekitar 6-7%. Situasi tahun ini jauh beda dibanding tahun-tahun sebelumnya ketika harga BBM bersubsidi dinaikkan, dan karena itu sesungguhnya pemberian dana tunai kepada keluarga miskin sama sekali tidak diperlukan. Pada 2005, rakyat miskin cukup terpukul dengan kenaikan harga BBM karena sebagian besar masyarakat masih menggunakan minyak tanah untuk bahan bakar di rumah tangga. Kini, minyak tanah tidak lagi dikonsumsi masyarakat. Fungsi minyak tanah sudah digantikan bahan bakar gas (BBG), yakni elpiji. Namun, alasan terpenting peniadaan BLT atau BLSM adalah minimnya manfaat ekonomi pembagian dana tunai itu bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Buktinya, jumlah penduduk miskin masih relatif tinggi. Pada tahun 2011, penduduk miskin masih sebesar 30 juta atau 12,5%, turun lima juta dibanding 2005. Angka riil penduduk miskin bisa menembus 100 juta jika garis kemiskinan yang saat ini diukur dengan pengeluaran untuk konsumsi Rp 8.000 sehari dinaikkan ke Rp 15.000 sehari atau setara US$ 1,5 per 12 hari. Pengeluaran sehari penduduk miskin menurut Bank Dunia adalah US$ 2. Dengan kata lain argumentasi mengapa BLSM/BLT perlu dipersoalkan antara lain:
BLSM/BLT rawan manipulasi untuk kepentingan politik sesaat penguasa . Pemberian BLT tahun 2008 selama tujuh bulan, Juni- Desember, menjadi amunisi kampanye penguasa saat ini ( incumbent ) dan partai penguasa waktu itu. Sementara kandidat presiden yang mengkritik BLT sebagai upaya “menyuap” rakyat langsung kehilangan simpati rakyat. Kemiskinan mendorong rakyat mendukung calon yang memberikan BLT.
BLT atau BLSM bukan cara efektif menurunkan angka kemiskinan . Ini terbukti dengan masih tetap saja tinggi angka kemiskinan di negeri ini, terlepas dari adanya beberapa program BLT/BLSM yang diterapkan pemerintah. Karena itu, pemerintah perlu memiliki program yang lebih strategis dan konkret untuk menurunkan angka kemiskinan. Kenaikan harga BBM perlu dijadikan momentum untuk menaikkan kesejahteraan rakyat secara terprogram dan sistematis.
BLT atau BLSM bisa jadi justeru menambah beban Negara karena diduga bersumber dari utang luar negeri . Sebagaimana diberitakan beberapa media massa, dana bantuan langsung tunai (BLT) yang dibagikan kepada warga miskin selama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono ternyata berasal dari dana pinjaman luar negeri (detikfinance.com, 9 Juni 2009). “Audit Badan Pemeriksa yang menyatakan itu,”ujar Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) Wahyu Susilo (http: //kampungtki.com/baca/3064, 13 Juni 2009). Di dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa temuan Badan Pemeriksa tersebut kemudian ditelusuri sumbernya oleh Infid, yang kemudian menemukan bahwa bantuan langsung tunai didanai dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan pinjaman Jepang. Skemanya berasal dari Development Policy Loan World dan Co Financing Development Policy Support . __ 13 DARIPADA BLSM LEBIH BAIK PROGRAM PRODUKTIF BAGI RAKYAT Berdasarkan hal-hal di atas, para Pemohon berkeyakinan bahwa BLT/BLSM tidak atau belum dibutuhkan saat ini. Kalau memang Pemerintah sungguh serius memperhatikan rakyatnya, sepatutnya ia melakukan penghematan terkait ongkos hariannya yang mencapai 80% dari total APBN setahun tersebut, dan mengalokasikan penghematan dari APBN 2012 untuk mendukung program-program produktif yang lebih bermanfaat dan strategis di bidang transportasi, energi, pertanian, dan industri. Pertama , dana terbatas di dalam APBN perlu digunakan untuk tujuan lebih strategis, yakni perbaikan transportasi umum. Dengan transportasi umum yang aman dan nyaman, kemacetan lalu lintas di kota besar bisa teratasi. Tarif angkutan umum untuk masyarakat bawah disubsidi Pemerintah dengan dana penghematan subsidi BBM itu. Saat ini, 2% angkutan umum di Jakarta, misalnya, harus mengangkut 60% warga yang melakukan perjalanan sehari. Dari sekitar 20 juta perjalanan sehari di DKI, angkutan pribadi yang berjumlah 98% dari total kendaraan hanya mengangkut 40% perjalanan. Jika transportasi umum aman dan nyaman, akan menarik pengguna angkutan pribadi untuk beralih menggunakan angkutan umum. Jika subsidi BBM terus ditekan setiap tahun hingga nol persen, DKI dan kota-kota besar di Indonesia akan memiliki mass rapid tranport (MRT), angkutan umum bus dan kereta api yang aman dan nyaman. Anggaran juga bisa digunakan juga untuk membangun infrastruktur transportasi laut dan udara serta infrastruktur jalan raya dan kereta api antarkota. Daripada memberikan uang tunai kepada keluarga yang masih mampu bekerja, lebih baik ada kegiatan padat karya membangun infrastruktur jalan raya, waduk, dan irigasi. Kedua , dana terbatas dalam APBN perlu digunakan untuk membangun sektor usaha yang menjadi gantungan hidup mayoritas rakyat seperti pertanian dan industri. Gunakan anggaran tersebut untuk menyediakan benih dan pupuk murah serta tenaga penyuluh pertanian. Jangan memberikan rakyat ikan, tapi berikan kail sekaligus mengajari cara menggunakan kail. Ketiga , anggaran perlu digunakan untuk menambah bantuan kepada rakyat miskin lewat pengobatan gratis, termasuk penyakit 14 berat, dan pendidikan gratis hingga SLTA, sesuai dengan amanat UUD 1945 khususnya Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2), yang menjadi dasar penerapan sistem jaminan sosial menyeluruh di negeri ini. Keempat , sistem jaminan sosial nasional (SJSN) lewat pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) harus segera direalisasikan agar mereka yang menganggur dan jompo mendapatkan dana untuk kebutuhan hidup sehari-hari. BLT dan BLSM bukan saja terbukti tidak mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan, tapi juga jauh lebih banyak ekses buruknya. Karena itu, program ini perlu diakhiri, mulai tahun ini. Jangan perlakukan kemiskinan seperti pornografi, yang dilarang dan bertekad dibasmi, tapi diam-diam dipelihara karena dibutuhkan untuk komoditas politik. Batu Uji UUD 1945 Keseluruhan dari pasal-pasal yang bermasalah di atas akan diuji secara materil berhadapan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23 ayat (1) : Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu .
Pasal 28D ayat (1) : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. c. Pasal 28H ayat (1) : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. d. Pasal 28H ayat (3) : Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. __ __ 15 e. Pasal 33 ayat (2) : Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara .
Pasal 33 ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat . Perlu kiranya ditegaskan bahwa agak berbeda dengan permohonan uji materi yang sudah diajukan bererapa kalangan lain, permohonan pengujian UU Perubahan APBN 2012 dilakukan oleh Konfederasi dan Federasi buruh ini mempunyai makna lebih strategis dari sekadar persoalan penetapan harga BBM yang boleh atau tidak mengikuti mekanisme pasar, tetapi permohonan ini melampauinya dengan menggugat pemahaman kita terhadap konsep “anggaran” itu sendiri, sebagaimana termanifestasi dalam APBN – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (dan dalam konteks lain APBD – Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Mengikuti pendapat Sugeng Bahagijo, penulis buku “Mimpi Negara Kesejahteraan: Analisa Peran Negara dalam Produksi Kesejahteraan” (2006, Jakarta: LP3ES), kami berangkat dari konsepsi “anggaran” (APBN/APBD):
Sebagai kontrak politik antara berbagai kepentingan politik dan sosial;
Sebagai produk hukum tentang bagaimana sumberdaya masyarakat dihimpun dan dialokasikan;
Sebagai formula sosial-ekonomi tentang bagaimana beban dipikul secara bersama-sama ( sharing burdens ) – antara elite dan warga, warisan masa lalu dan cita-cita masa depan; dan
Sebagai wujud kebijakan publik bagaimana masalah diatasi dengan cara tertentu __ dan dengan sejumlah sumber daya tertentu . Konsepsi anggaran seperti ini membawa konsekuensi terhadap pilihan-pilihan kebijakan publik, yang dapat dirumuskan dengan pertanyaan seperti: ¨Mana yang lebih diutamakan: Keadilan atau Efisiensi? Atau, dapatkah keduanya dipadukan secara seimbang?” atau juga “Mana yang lebih dipentingkan: peranan negara yang optimum (mengatasi kegagalan pasar, market shaping ) atukah kah peranan negara yang minimal ( market making , privatisasi, market- led development )?” 16 Terkait itu, menurut Sugeng Bahagijo, dalam menilai permohonan pengujian Undang-undang Perubahan APBN 2012 ini Mahkamah Konstitusi perlu kiranya mempertimbangkan hal-hal berikut:
¨Bagaimana fakta-fakta empiris (sosiologis, ekonomis) telah menjadi pertimbangan?”;
¨Seberapa jauh sebuah kebijakan publik telah dirancang untuk mengatasi permasalahan Indonesia, baik untuk tujuan mengatasi warisan masa lalu atau untuk mengejar ketertinggalan agar Indonesia sejajar dan setara dengan negara lain?”; dan
¨Seberapa jauh aspek keadilan, di samping aspek efisiensi , telah dimasukkan dan diberi bobot yang memadai dalam perancangan dan pelaksanaan sebuah kebijakan publik oleh pemerintah?” Permohonan pengujian Undang-Undang Perubahan APBN 2012 ini mengikuti logika yang ditawarkan di atas, dan menyimpulkan bahwa secara sosiologis dan ekonomis disahkannya Undang-Undang Perubahan APBN 2012, khususnya dengan memuat beberapa pasal yang dimohonkan untuk diuji di dalamnya, telah tidak mengatasi permasalahan rakyat Indonesia pada umumnya, serta tidak mencerminkan aspek keadilan bagi sebagian warga negara, khususnya buruh dan pekerja, yang juga adalah pembayar pajak, sumber pendapatan negara di dalam APBN, dan karenanya memiliki kaitan langsung dengan penetapan anggaran Negara dalam APBN. Sesuai dengan amanat UUD 1945 khususnya Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang secara umum mengandung makna kedaulatan negara untuk mengelola hasil alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “Setiap konstitusi adalah cita-cita,” demikian kata B. herry-Priyono (“Amandemen Pasal Ekonomi”, Kompas, 5 Juli 2001), karenanya “masa depan” yang menjadi faktor pertimbangannya. UUD 1945 sudah memberikan dasar yang tegas bahwa kesejahteraan masyarakatlah yang menjadi prioritas dan cita-cita itu sendiri, sebagai dasar konstitusional perjuangan untuk anak-cuku kita di masa depan. Persoalan debat naik-tidaknya harga BBM bersubsidi, ya atau tidak penetapannya dengan harga pasar, maupun dampak langsung kepada rakyat akibat putusan tersebut, dan khususnya soal prioritas dan alokasi anggaran dalam APBN itu sendiri, memberikan rakyat pendidikan langsung tentang hak 17 dan kewajibannya, juga cita-cita untuk masa depannya. Dalam konteks itulah permohonan uji materil ini kami ajukan.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi 1. Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip Negara Hukum. Prof Jimly Asshiddiqy dalam tulisannya di “Model-Model Pengujian Konstitusional Di Beberapa Negara” (2005) menjelaskan mengenai makna dan tujuan pengujian konstitusional sebagai berikut: “ ... Pengujian konstitusional (constitutional review) itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD sungguh-sungguh dijalankan atau ditegakkan dalam proses penyelenggaraan sehari-hari.” Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan ini kepada Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang memiliki peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK);
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945. Hal ini diatur berdasarkan dalam ketentuan- ketentuan pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan), dan Pasal 10 ayat (1) huruf 1a UU MK, yang masing-masing mengatur sebagai berikut: Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, 18 memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Kekuasaan Kehakiman “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan _terakhir yang putusannya bersifat final untuk: _ a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara _Republik Indonesia Tahun 1945; _ b..... Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Mahkamah Konstitusi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan _terakhir yang putusannya bersifat final untuk: _ a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara _Republik Indonesia Tahun 1945; _ b..... Pasal 9 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.” Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal-pasal tersebut di atas maka sebagai salah satu institusi kekuasaaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi bertugas menjaga agar Undang-Undang tidak bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa Pasal 1 angka 3 UU Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa “Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap _Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; _ 5. Bahwa UUD 1945 secara hierarki lebih tinggi dari undang-undang. Hal ini diatur berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa “Jenis dan hierarkhi Peraturan Perundang-undangan _terdiri atas: _ _a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; _ _b. Undang-undang; _ 19 c. .… 6. Bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini diatur berdasarkan ketentuan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa: ”Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘hierarki’ adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.” 7. Bahwa jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan Undang-Undang tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
Bahwa berdasarkan hal-hal di atas, permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 15A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 terhadap Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), Undang-Undang Dasar 1945 ini telah para Pemohon ajukan kepada lembaga yang secara sah dan meyakinkan dan memang memiliki kewenangan untuk itu ( in casu Mahkamah Konstitusi).
Kedudukan Hukum Para Pemohon ( Legal Standing ) Para Pemohon dalam uji materi ini adalah konfederasi dan federasi serikat buruh di Indonesia, yang secara bersama-sama mewakili setidaknya 3 juta buruh terorganisir yang meliputi sekitar 10% dari total buruh/pekerja formal di negeri ini. Keberadaan serikat buruh/serikat pekerja di negeri ini telah memiliki sejarah panjang, yang keberadaannya sering diliputi atau dipengaruhi oleh keadaan di sekelilingnya, terutama yang berkaitan dengan faktor politik, sosial dan ekonomi. Sejak reformasi keberadaan mereka kian dikukuhkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memberi dasar hukum keberadaan juga perlindungan kepada serikat buruh/serikat pekerja dan aktivisnya. 20 KOTAK 1: Sejarah singkat serikat buruh Pada awal abad ke-20 ketika bangsa Indonesia sedang memperjuangkan kemerdekaan dari Kolonialisme Belanda, organisasi pekerja ini memberikan dukungan kepada gerakan-gerakan kebangsaan yang bertujuan meraih kemerdekaan. Lahirnya Persatuan Buruh Kereta Api, Perserikatan Guru Hindia Belanda, Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumi Putera, Serikat Pekerja Pegawai Pekerjaan Umum, dan lain-lain, mengawali kelahiran organisasi pekerja di permulaan abad ke-20. Berikutnya pada tahun 1922, terbentuk wadah baru Vakbond (Persatuan Buruh). Di awal kelahirannya, Vakbond ini diwarnai oleh adanya perbedaan. Di satu pihak ada yang menghendaki agar organisasi tetap bersifat sosial-ekonomi saja, agar nasib para pekerja segera dapat diperbaiki, sementara itu di lain pihak ada yang menghendaki agar organisasi pekerja tetap mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan, di samping harus tetap bersifat sosial-ekonomi. Setelah Indonesia merdeka ada keinginan dari organisasi pekerja untuk ikut serta mempertahankan kemerdekaan. Sebagai perwujudan dari keinginan ini lahirlah BBI (Barisan Buruh Indonesia), yang menganggap bahwa seluruh serikat pekerja sebagai anggotanya. BBI lahir pada tanggal 19 September 1945. Tahun 1945, saat orang-orang memfokuskan pikirannya pada perebutan kekuasaan, sangat mempengaruhi para anggota BBI. Timbul pro dan kontra berkaitan dengan persoalan ini. Mereka yang pro menghendaki agar perjuangan BBI dilakukan lewat partai politik, sebab partai politik dianggap sebagai wadah yang memungkinkan tujuan mereka tercapai. Sementara itu, mereka yang kontra menghendaki agar BBI melepaskan diri dari segala pengaruh politik dan kepartaian, sebab keterlibatan BBI dalam perpolitikan dan kepartaian dipandang hanya akan menghambat tercapainya tujuan mereka. Perbedaan pandangan ini menjadi pembahasan pada konggres yang diadakan BBI di Surakarta pada tanggal 7 November 1945, yang _berujung pada perpecahan: _ 1. Sebagian serikat buruh berkeinginan dan setuju agar gerakan 21 buruh disatukan menjadi gerakan politik. Kelompok ini akhirnya _mendirikan Partai Buruh Indonesia; _ 2. Sebagian serikat buruh berkeinginan dan setuju agar gerakan buruh tetap bersifat sosial-ekonomi. Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1946 kelompok ini mengadakan konggres di Madiun. Di dalam konggres ini dibentuk GABSI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia) yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup para anggotanya. Beberapa saat kemudian, tepatnya pada tanggal 29 November 1946, GABSI bergabung dengan GASBV (Gabungan Serikat Buruh Vertikal), dan mengganti namanya dengan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Ternyata kemudian SOBSI ini menyatakan diri berhaluan kiri (komunis internasional). Pada awal tahun 1960 pemerintah menganjurkan pembentukan OPPI (Organisasi Persatuan Pekerja Indonesia). Wadah ini dimaksudkan untuk mempersatukan seluruh serikat buruh yang ada. Usaha ini tidak berhasil karena berbagai alasan, di antaranya karena ada penentangan dari SOBSI. Namun demikian karena ada kepentingan untuk merebut kembali Papua (dulu Irian Barat, kemudian Irian Jaya), akhirnya pada penghujung tahun 1966 terbentuklah SEKBER BURUH (Sekretariat Bersama Perjuangan Buruh). Hal ini menunjukkan bahwa gerakan buruh sesungguhnya amat sulit dipisahkan sama sekali dengan masalah politik. Setelah peristiwa G30S tahun 1965 terjadi, pada tahun 1966 terbentuklah KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia). Lahirnya organisasi ini praktis memadamkan pengaruh SOBSI, seiring dengan kegagalan PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam perebutan kekuasaan di tahun 1965. Terbentuknya KABI ini dimaksudkan untuk berjuang bersama-sama dengan Orde Baru menumbangkan sisa-sisa G30S. Perjuangan KABI bersifat politis, sedangkan masalah-masalah yang bersifat non-politis, misalnya sosial dan ekonomi, diselesaikan oleh SEKBER BURUH. Pada tanggal 1 November 1969 beberapa saat menjelang kelahiran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 (undang-undang ini lahir pada tanggal 19 November 1969) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok 22 mengenai Tenaga Kerja, terbentukalah MPBI (majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia). MPBI terdiri atas 21 organisasi serikat buruh. Terbentuknya organisasi ini dimaksudkan untuk menyehatkan dan memperbaiki kehidupan gerakan buruh. MPBI merupakan wadah bagi serikat buruh untuk bertemu dan berdialog dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah perburuhan. Sejalan dengan perkembangan kehidupan politik, di mana banyak partai politik berfusi atau meleburkan diri menjadi hanya dua partai politik, yaitu (1) PPP (Partai Persatu8an Pembangunan), dan (2) PDI (Partai Demokrasi Indonesia, ditambah GOLKAR (Golongan Karya), maka hal ini berpengaruh juga terhadap serikat buruh. Serikat buruh yang semula merupakan onderbow partai politik tertentu, seolah-olah kehilangan induk semang atau perlindungannya. Kenyataan ini menimbulkan kegoyahan pada serikat buruh tertentu. Dalam suasana seperti ini, MPBI mengadakan seminar yang berlangsung pada tanggal 21 – 28 Oktober 1971. Seminar ini berhasil merumuskan kembali identitas _gerakan buruh di Indonesia, yaitu: _ _1. Gerakan buruh harus lepas dari kekuatan politik; _ 2. Gerakan serikat buruh harus dititikberatkan pada bidang sosial- ekonomi; _ _ Serikat buruh yang ada secara organisasi ditetapkan kembali dan _dipersatukan melalui pendekatan yang persuasif; _ _4. Merombak struktur organisasi gerakan buruh; _ 5. Serikat buruh tidak boleh menggantungkan diri pada sumber dana dari luar. Dari rumusan tersebut tampak bahwa seminar itu berhasil memunculkan gagasan untuk meluruskan kembali gerakan buruh. Sebagai kelanjutan dari seminar itu, pada tanggal 24 -26 Mei 1972 MPBI mengadakan rapat pleno untuk membahas usaha pembaruan dan penyederhanaan keberadaan serikat buruh. Di dalam forum ini berkembang tekad agar organisasi buruh yang ada meleburkan diri menjadi satu organisasi buruh yang baru sama sekali. Tekad untuk membentuk satu wadah perburuhan di Indonesia ini tertuang dalam deklarasi persatuan buruh seluruh Indonesia yang dibuat di Jakarta pada tanggal 20 Februari 23 1973. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan menjadi tanggal berdirinya FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia). Berikutnya Pemerintah mengakui bahwa FBSI merupakan satu-satunya organisasi buruh di Indonesia. FBSI diakui oleh pemerintah pada tanggal 11 Maret 1974 lewat Surat Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor 286a/DD/Dphk/1974 tentang Pengakuan Organisasi Buruh FBSI. FBSI menghimpun kaum buruh non-pegawai negeri. Setelah semua proses berjalan dengan baik, pada tanggal 26-30 November 1985, FBSI mengadakan konggres II di Jakarta. Di dalam konggres ini FBSI diganti menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Keberadaan serikat buruh semakin marak ketika Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh lahir. Di dalam penjelasan undang-undang ini ditegaskan bahwa serikat pekerja/serikat buruh didirikan secara bebas, mandiri, demokrasi, dan bertanggung-jawab oleh pekerja/buruh untuk memperjuangan kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya. Kebebasan berorganisasi ini dijamin oleh Konvensi ILO (International Labour Organization) Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama. Dua konvensi ini sudah diratifikasi oleh Indonesia. __ Para Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo secara sah dan meyakinkan memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan uji formil dan materil ini, dengan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa syarat Pemohon memiliki legal standing dalam permohonan pengujian undang-undang tersebut yang pertama adalah kualifikasi bertindak sebagai Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan syarat kedua adalah adanya kerugian Pemohon atas terbitnya undang-undang tersebut;
Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh _berlakunya Undang-Undang, yaitu: _ 24 a. perorangan warga negara Indonesia. b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan Undang-Undang. c. badan hukum publik atau privat. d. lembaga negara. 3. Bahwa Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan: yang dimaksud dengan “perorangan” termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama, dan yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 4. Bahwa “ legal standing ” para Pemohon juga merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan selanjutnya, yang memberikan penafsiran terhadap Pasal 51 ayat (1) UU MK terkait dengan hak konstitusional. Dalam yurisprudensi dijelaskan sebagai berikut:
harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian;
ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Bahwa syarat Pemohon memiliki “ legal standing ” dalam permohonan pengujian undang-undang tersebut yang pertama adalah kualifikasi bertindak sebagai Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat kedua adalah adanya kerugian Pemohon atas terbitnya Undang-Undang tersebut; 25 6. Bahwa dalam Pasal 27 huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dinyatakan: Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak _dan memperjuangkan kepentingannya; _ kemudian dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh disebutkan: Serikat Pekerja dalam mencapai tujuan dan melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertanggung jawab kepada anggota, masyarakat, dan Negara. 7. Bahwa dalam konteks mewakili kepentingan anggotanya pun, Serikat Pekerja/Serikat Buruh dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial Pasal 87 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya 8. Bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ditegaskan bahwa serikat buruh merupakan pihak di dalam pembuatan perjanjian kerja bersama. Pasal 4 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 menegaskan: Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama . Penegasan fungsi ini diperjelas kembali dalam pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa “ Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha” . 26 9. Bahwa Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pun menegaskan hal serupa ” Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha ”. Tiga pasal tersebut menegaskan satu hal, yaitu bahwa serikat buruh dapat melakukan perbuatan hukum , yaitu sebagai pihak di dalam perjanjian kerja bersama.
Bahwa manusia yang mempunyai kepentingan bersama, memeperjuangkan suatu tujuan tertentu, berkumpul, dan mempersatukan diri. Mereka menciptakan suatu organisasi dan memiliki pengurus yang akan mewakili mereka. Mereka memasukkan dan mengumpulkan harta kekayaan. Organisasi itu merupakan suatu kesatuan yang baru yang mempunyai hak-hak sendiri terpisah dari hak-hak para anggotanya. Kesatuan yang mempunyai kewajiban sendiri terpisah dari kewajiban- kewajiban para anggota secara individual. Hal ini lah yang dimaksud sebagai badan hukum ( rechtspersoon) sebagai subjek hukum selain manusia ( natuurlijke persoon) 11. Bahwa para Pemohon sebagai Konfederasi dan Federasi Serikat Buruh/ Serikat Pekerja telah memenuhi dua (2) syarat yang harus dipenuhi agar diakui berstatus sebagai badan hukum. Syarat yang pertama adalah syarat materil yaitu:
Ada harta kekayaan yang terpisah Para Pemohon memiliki harta kekayaan yang berasal dari para anggotanya (buruh), dan sama sekali terpisah dari kepemilikan para anggotany Pasal 32 UU 21/2000 secara jelas menyatakan bahwa “Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi pengurus dan anggotanya”. Harta kekayaan tersebut berasal dari sistem pemotongan langsung upah anggotanya melalui mekanisme COS ( check off system ). Yang dimaksud dengan COS adalah cara pembayaran iuran organisasi dari para anggota kepada Serikat Pekerja dengan jalan mengutip sebagian upah pekerja melalui pengusaha untuk selanjutnya diberikan kepada organisasi Serikat Pekerja. Pemotongan upah dari para anggota Serikat Pekerja tersebut 27 selanjutnya uang iuran tersebut disalurkan ke rekening Bank masing- masing perangkat organisasi Serikat Pekerja dengan persentase sesuai dengan ketentuan organisasi. Iuran dari anggota tersebut digunakan oleh para Pemohon untuk menjalankan fungsinya sebagai Serikat Pekerja/Serikat Buruh antara lain pelatihan dan pendidikan, Adokasi atau pembelaan, biaya rapat organisasi, kesekretariatan (inventaris, alat tulis kantor, pemeliharaan, rekening), administrasi (Kop/Amplop surat, Stempel Serikat Pekerja, Blanko penerimaan/pemasukan, Perangko/Meterai, Fotokopi), transportasi, gaji staff sekretariat dan honorarium pengurus.
Mempunyai tujuan tertentu Para Pemohon memiliki tujuan yang masing-masing diatur melalui AD/ARTnya masing-masing. Secara umum tujuan para Pemohon adalah sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, yaitu: Serikat pekerja/serikat buruh, federasi and konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/ buruh dan keluarganya. c. Mempunyai kepentingan tersendiri Para Pemohon memiliki kepentingan yang sama yaitu untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Dalam hal ini kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan dari anggota masing- masing para Pemohon. Hal ini selaras dengan semangat dari terbentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Ada organisasi yang teratur Para Pemohon memiliki organisasi atau perangkat pengurus yang masing-masing diatur melalui AD/ARTnya masing-masing. Selanjutnya syarat kedua adalah syarat formil yaitu harus didaftarkan ke instansi Pemerintah yang berwenang . Para Pemohon telah mendaftarkan Konfederasi dan Federasi serikat pekerja/serikat buruh-nya kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, dalam hal 28 ini Dinas Tenaga Kerja. Setelah para Pemohon mendaftarkannya kepada Dinas Tenaga Kerja, maka para Pemohon harus diakui berstatus sebagai badan hukum dan dapat melakukan perbuatan hukum serta memiliki hak dan kewajiban seperti yang diatur di dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Bahwa para Pemohon memenuhi kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon sesuai ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK karena Pemohon I sampai dengan Pemohon V kesemuanya adalah Badan Hukum privat yang dalam hal ini diwakili oleh Presiden/Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal/Sekretaris Umum organisasi Konfederasi dan Federasi serikat pekerja/serikat buruh yang merasa bahwa hak konstitusional mereka berpotensi dirugikan sehubungan dengan disahkannya Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 15A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, karena ketentuan tersebut berpotensi disalahgunakan oleh Pemerintah dengan membuat kebijakan publik yang tidak tepat sasaran dan hanya demi pencitraan semata, yang seharusnya dapat dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Bahwa para Pemohon merupakan badan hukum yang sah menurut hukum yang memiliki kewajiban untuk melindungi dan memperjuangkan hak anggotanya sebagai wajib pajak. Pendapatan dari pajak yang dipungut antara lain dari anggota para Pemohon digunakan untuk menyelenggarakan semua kegiatan pemerintahan negara termasuk untuk membiayai keberadaan dan kegiatan DPR sebagai pembuat undang-undang. Suatu slogan tentang pembayaran pajak dan hak atas pembayar pajak berbunyi “ no taxation without representation” (tak ada pajak tanpa keterwakilan), __ merupakan slogan yang berkembang sejak masa tahun 1750-an di negara- negara jajahan Inggris dan bahkan kemudian merupakan salah satu pemicu terjadinya Revolusi Amerika. Slogan tersebut masih tetap kerap didengungkan hingga kini.
Bahwa dengan demikian warga negara yang membayar pajak berhak untuk menyuarakan suaranya melalui wakilnya di parlemen. Eksistensi dan kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan DPR dibiayai sebagian 29 besar oleh pajak. Oleh karenanya, legislasi yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR harus menyuarakan dan berkiblat kepada kepentingan rakyat termasuk para Pemohon. Dalam konteks pengujian dalam permohonan ini, kepentingan para Pemohon adalah bahwa disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, secara konkret harus berpihak kepada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui kebijakan yang bersifat sustain /berkelanjutan yang secara langsung bermanfaat bagi rakyat Indonesia termasuk buruh seperti peningkatan anggaran pendidikan, kesehatan, saran transportasi publik, jaminan sosial,dll. Bukan dengan sebaliknya menciptakan kebijakan politik anggaran seperti “Bantuan Langsung Sementara Masyarakat” yang hanya demi pencitraan semata, tidak berkelanjutan, berpotensi tidak tepat sasaran, rawan penyimpangan, sulit dikontrol, dan tidak memberi edukasi kepada rakyat Indonesia.
Kebijakan politik dan anggaran yang tidak pro-rakyat sebagaimana ditunjukkan oleh Pemerintah dan DPR melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, dapat mengakibatkan kerugian hak konstitusional para Pemohon sebagaimana dijanjikan dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi: Pasal 23 ayat (1) UUD 1945: Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat . Pasal 28C ayat (2) UUD 1945: 30 Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya . Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan . Pasal 28H ayat (3) UUD 1945: Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat . Pasal 33 ayat (2) UUD 1945: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara . Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .
Bahwa para Pemohon berkeinginan dan berkepentingan untuk ikut membangun agar masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia berkembang maju, keinginan dan kepentingan tersebut merupakan hak para Pemohon yang dijamin oleh konstitusi. Tidak terlaksananya pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara yang terjadi dewasa ini sebagai akibat kebijakan politik dan anggaran yang tidak pro-rakyat, tercermin dari tidak transparannya pembahasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, sehingga menimbulkan dugaan telah terjadi mark up dalam penghitungan besaran subsidi yang seakan menunjukkan bahwa beban anggaran negara terlalu besar sehingga diperlukan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), hal ini berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusional para Pemohon sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. 31 17. Bahwa sebagai akibat disahkannya pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap situasi ekonomi negara khususnya terkait kenaikan harga eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dapat terjadi sewaktu-waktu.
Bahwa meski harga eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) pada saat ini belum mengalami kenaikan, namun secara konkret dalam ekonomi riil telah mengakibatkan kenaikan harga kebutuhan pokok sehari-hari, hal ini secara riil telah memberikan beban ekonomis kepada anggota para Pemohon dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari khususnya ketika buruh tidak kunjung mendapatkan upah yang layak untuk dapat hidup bermartabat. Hal tersebut secara jelas telah menimbulkan kerugian hak konstitusional para Pemohon sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 .
Bahwa dengan asumsi kenaikan harga eceran bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp. 6.000,- perhitungan lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) hanya membutuhkan anggaran kurang lebih sebesar 68 Trilyun, namun Pasal 7 ayat (1) mengamanatkan subsidi untuk bahan bakar minyak dan bahan bakar gas air ( liquIfied petroleum gas (LPG)) sebesar 137,3 Trilyun. Dengan demikian terdapat selisih sebesar 69,3 Trilyun dari kedua penghitungan tersebut, yang dikhawatirkan dapat berpotensi besar untuk disalahgunakan oleh Pemerintah. Di sisi lain angka subsidi yang terlalu besar tersebut, dapat mengakibatkan pemborosan anggaran negara hanya pada sektor tertentu, dapat berpotensi menghilangkan hak konstitusional pemohon untuk mendapatkan porsi anggaran yang lebih besar di sektor yang lain, seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan, jaminan sosial, dan lain-lain yang manfaatnya secara langsung dapat dirasakan oleh anggota para Pemohon sebagaimana telah dijanjikan dalam Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.
Bahwa dengan hadirnya Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang Perubahan APBN 2012, dengan menyerahkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) kepada mekanisme harga rata-rata minyak mentah Indonesia 32 ( Indonesian Crude Price /ICP), telah bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 yang pada intinya telah menyatakan bahwa penetapan harga eceran bahan bakar minyak tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar. Penentuan harga bahan bakar minyak dengan basis ICP dapat berpotensi menghilangkan kedaulatan negara untuk menjamin kekayaan alam Indonesia dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan para Pemohon, dalam lingkup yang lebih besar Rakyat Indonesia, sebagaimana telah dijanjikan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Bahwa hak konstitusional para Pemohon mendapatkan ”kesejahteraan” terkait dalam permohonan ini selain tercantum dalam Pasal 28H UUD 1945 juga tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “ … Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa… “ Setiap kata yang tersusun dalam kalimat dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan ikrar dan janji yang luhur dari para founding fathers republik ini kepada rakyatnya. Semua lembaga penyelenggara negara, baik Pemerintah maupun DPR, berkewajiban untuk menunaikan semua yang diamanatkan konstitusi bagi rakyat. Janji-janji negara kepada rakyat dalam konstitusi yang menjadi hak konstitusional para Pemohon juga sebagaimana kemudian diturunkan dalam butir “Menimbang”, huruf a, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012: “Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2012 disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, guna mencapai Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis, meningkatkan kesejahteraan rakyat serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. 33 22. Bahwa dalam hal ini para Pemohon adalah Konfederasi dan Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian untuk memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja sebagai pihak yang Iemah, yang berbadan hukum dan telah dicatatkan pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Bahwa dalam hal ini para Pemohon adalah terdiri dari tiga Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan dua Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian untuk memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja sebagai pihak yang Iemah, yang berbadan hukum, dan telah dicatatkan pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. _KOTAK 2: _ Para Pemohon Konfederasi dan Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh A. Pemohon I: Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) • Bahwa Pemohon I tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Selatan dengan Nomor Bukti Pencatatan 313/V/N/IV/ 2003 tanggal 14 April 2003; • Bahwa Pemohon I telah berganti nama dari Kongres Serikat Pekerja Indonesia menjadi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berdasarkan surat Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Selatan, perihal Pemberitahuan, tertanggal 23 Nopember 2007; • Bahwa berdasarkan Keputusan Kongres Nasional III Kongres Serikat Pekerja Indonesia Nomor KEP 10/KONGRES NASIONAL III/KSPI/I/2012 tentang Presiden Dewan Eksekutif Nasional Terpilih, menetapkan “ Sdr. Ir. H. Said Iqbal, M.E. dan sdr. Muhamad Rusdi 34 sebagai Presiden dan Sekretaris Jenderal Dewan Eksekutif Nasional terpilih untuk masa bakti periode 2012 s/d 2017.” • Bahwa mengenai Tujuan KSPI yang tertera dalam Pasal 7, pasal 8, dan Pasal 29 Anggaran Dasar KSPI disebutkan: Pasal 7 Tujuan 1. Terhimpunnya federasi – federasi serikat pekerja dan terciptanya kesetiakawanan serta tali persahabatan diantara sesama serikat pekerja baik secara nasional maupun internasional. 2. Terciptanya KSPI dan Afiliasi yang sehat, kuat,demokratis, independen profesional dan 3. Terciptanya penegakan hukum dan perlindungan hak azasi manusia didalam seluruh kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya di bidang ketenagakerjaan. 4. Terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan bagi pekerja khususnya serta rakyat Indonesia pada umumnya, dengan mengaktualisasikan perintah Konstitusi Negara, khususnya Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. 5. Terciptanya kehidupan dan penghidupan yang demokrasi dan berkeadilan dalam hubungan industrial dengan membela serta melindungi hak dan kepentingan Afiliasi.” __ • Bahwa mengenai Usaha-usaha KSPI yang tertera dalam Pasal 8 Anggran Dasar Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, disebutkan bahwa: Pasal 8 Usaha-usaha 1. Meningkatkan dan mengembangkan peransosial 35 politik dan ekonomi KSPI dan Afiliasi dalam berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Meningkatkan dan mengembangkan partisipasi dan kontribusi KSPI dan Afiliasi dalam pembangunan nasional, utamanya dibidang ketenagakerjaan. 3. Meningkatkan dan mengembangkan daya juang KSPI dan Afiliasi dalam mewujudkan peratuaran perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang berbasis kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan. 4. Meningkatkan dan mengembangkan kerjasama dengan berbagai lembaga dalam rangka akselerasi pencapaian tujuan KSPI dan Afiliasi. 5. Mendirikan usaha-usaha sosial ekonomi dan usaha- usaha lainnya yang sah, bermanfaat dan berdayaguna bagi kepentingan KSPI dan Afiliasi. 6. Menempatkan wakil-wakil KSPI secara selektif di lembaga ketenagakerjaan dan lembaga-lembaga lainnya, baik regional, nasional maupun internasional. • Bahwa mengenai Tugas Presiden KSPI yang tertera dalam Pasal 29 Anggaran Rumah Tangga Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, disebutkan bahwa: Pasal 29 Tugas Presiden 1. mewakili KSPI di bidang ketenagakerjaan dalam arti yang luas, baik nasional maupun internasional. 2. .... • Bahwa Pemohon I merupakan salah satu Konfederasi Serikat Buruh/Pekerja di Indonesia yang membawahi 9 (sembilan) Federasi Serikat Pekerja yaitu PGRI, FSPMI, FSP KEP, ASPEK INDONESIA, FSP ISI, FSP FARKES REFORMASI, FSP PARIWISATA REFORMASI, SP PPMI, dan FSP KAHUTINDO dengan jumlah anggota keseluruhan 57.5040 buruh. B. Pemohon II: Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia 36 (KSPSI) • Bahwa Pemohon II tercatat di Departemen Tenaga Kerja Kantor Kotamadya Jakarta Selatan dengan Nomor Bukti Pencatatan 122/V/N/VIII/2001 tanggal 8 Agustus 2001; • Bahwa berdasarkan hasil Kongres VIII Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia yaitu Surat Keputusan Nomor 14/KONGRES VIII/KSPSI/II/2012 tentang Komposisi Personalia Pengurus Dewan Pimpinan Pusat dan Lembaga-Lembaga Organisasi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Massa Bhakti 2012 – 2017, disebutkan: Mengesahkan komposisi personalia pengurus DPP KSPSI dan Lembaga-Lembaga Organisasi Masa Bhakti 2012- 2017 dengan komposisi susunan personalia sebagai _berikut: _ I. _Dewan Pembina: _ 1. Jacob Nuna Wea, S.Sos, M.Si. 2. H.M. As’ad _II. Pengurus Harian: _ 1. Presiden: Andi Gani Nena Wea, S.H. 2. Wakil Presiden Organisasi: Ir. H. Hermanto Achmad, S.H., MM 3. Wakil Presiden Sosial Ekonomi: Soewarno Sjahery 4. Wakil Presiden Advokasi: H. Nurdin Singadimedja, S.H., M.H. 5. Wakil Presiden Diklat dan Litbang: R. Abdullah 6. Sekretaris Jendral: Subiyanto, S.H. 7. .... • Bahwa mengenai Fungsi KSPSI yang tertera dalam Pasal 7 Anggaran Dasar Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Periode 2008 – 2013, halaman 48 disebutkan bahwa: 1. Pembela dan pelindung hak-hak dan kepentingan Pekerja serta sebagai penyalur aspirasi Federasi 37 _Anggota; _ 2. Pendorong dan penggerak peranan Federasi Serikat Pekerja Anggota untuk turut serta menata perekonomian nasional yang berdampak meningkatnya kesejahteraan Pekerja beserta _keluarganya; _ 3. Pengembang profesionalisme Federasi Serikat Pekerja dalam hal melaksanakan Hubungan _Industrial; _ 4. Pembina kader-kader bangsa untuk dan dalam menunjang pembangunan nasional secara professional, disiplin, terampil, produktif dan _berwawasan kebangsaan; _ 5. Mitra kerja yang aktif dalam proses pengambilan keputusan politik ketenagakerjaan serta sebagai kontrol sosial terhadap kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. • Bahwa mengenai Maksud KSPSI yang tertera dalam Pasal 9 Anggaran Dasar Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Periode 2008 – 2013, halaman 49 disebutkan: 1. Memperjuangkan tercipta dan terlaksananya peraturan perundangan ketenagakerjaan untuk mewujudkan Hubungan Industrial yang harmonis, _dinamis dan berkeadilan; _ 2. Memperjuangkan terwujudnya kondisi dan syarat- syarat kerja yang layak 3. Memperluas kesempatan kerja, meningkatkan produksi dan produktivitas kerja dan syarat-syarat kerja yang sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan _beradab; _ 4. Meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya _serta memperjuangkan perbaikan taraf hidup pekerja; _ 5. Terciptanya kerjasama yang baik dengan badan- 38 badan pemerintah dan swasta baik di dalam maupun di luar negeri, yang mengacu kepada kepentingan Pekerja. • Bahwa mengenai Tujuan KSPSI yang tertera dalam Pasal 10 Anggaran Dasar Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Periode 2008 – 2013, halaman 49 - 50 disebutkan: 1. Meningkatkan peran serta kaum Pekerja dalam pembangunan nasional untuk mengisi cita-cita _Proklamasi 17 Agustus 1945; _ 2. Terwujudnya kondisi dan syarat-syarat kerja yang _layak; _ 3. Memperluas kesempatan kerja, meningkatkan produk dan produktivitas 4. Peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya serta memperjuangkan perbaikan nasib, syarat – syarat kerja yang sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. • Bahwa mengenai Tugas dan Wewenang Dewan Pimpinan Pusat yang tertera dalam Pasal 26 Anggaran Rumah Tangga Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Periode 2008 – 2013, halaman 72 disebutkan: 1. Melaksanakan keputusan Kongres 2. Melaksanakan kebijakan-kebijakan umum organisasi 3. Melaksanakan pembinaan dan koordinasi kepada Federasi Serikat Pekerja Anggota 4. Memberikan sanksi kepada perangkat organisasi Federasi Serikat Pekerja Anggota 5. Menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan dalam tubuh atau antar Federasi Anggota 6. Mengukuhkan Dewan Pimpinan KSPSI setingkat dibawahnya” • Bahwa mengenai Rekomendasi KSPSI yang tertera dalam Bab I. Eksternal, Sub Bab A. Kepada Pemerintah/Presiden 39 poin 4 KONGRES VII Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Tahun 2008, halaman 98 disebutkan bahwa: 4. Mendesak Pemerintah untuk tidak menaikan harga BBM dan menolak sistem pembatasan Subsidi BBM. • Bahwa Pemohon II merupakan salah satu Konfederasi Serikat Buruh/Pekerja di Indonesia yang membawahi 7 (tujuh) Federasi Serikat Pekerja yaitu FSP FARKES, FSP KEP, FSP LEM, FSP NIBA, FSP PPMI, FSP RTMM, FSP TSK dengan jumlah anggota keseluruhan 1.074.514 buruh. C. Pemohon III: Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) • Bahwa Pemohon III tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kodya Jakarta Timur dengan Nomor Bukti Pencatatan 391/IV/N/VII/2003 tanggal 02 Juli 2003 • Bahwa berdasarkan Pasal 1 Keputusan Kongres VI Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Nomor XIX/KONGRES VI/KSBSI/IV/2011 tentang Susunan Personalia Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Periode 2011 – 2015, halaman 210, disebutkan bahwa: Pasal 1 Mengangkat dan menetapkan nama-nama dibawah ini menjadi Personalia Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia periode _2011 – 2015, sebagai berikut : _ 1. Presiden __ : Mudhofir 2. Sekretaris Jendral : Togar Marbun • Bahwa mengenai Tujuan didirikannya KSBSI yang tertera dalam Pasal 8 Anggaran Dasar Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Tahun 2011 – 2015, halaman 5, disebutkan bahwa: _Organisasi ini didirikan dengan tujuan: _ 40 1. Mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia melalui pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 2. Menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi buruh dengan hak seperti berunding kolektif untuk menyatakan pendirian, pendapat, hak untuk mengadakan perjanjian perburuhan dan perlindungan hukum. 3. Menumbuh kembangkan rasa kebersamaan buruh pada bidang pekerjaan serta mewujudkan rasa persatuan sesame buruh tanpa membedakan laki- laki dan perempuan 4. Mencapai kesejahteraan kaum buruh dan keluarganya melalui kondisi kerja yang layak“ • Bahwa mengenai Fungsi didirkannya KSBSI yang tertera dalam Pasal 9 Anggaran Dasar Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Tahun 2011 – 2015, halaman 6 disebutkan bahwa: __ _Untuk mencapai tujuan, organisasi ini berfungsi: _ 1. Menegakan hukum, keadilan dan demokrasi 2. Membela, melindungi dan memperjuangkan hak, kepentingan serta aspirasi buruh 3. Menggalang kebersamaan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan nasional 4. Berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan politik dan sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. • Bahwa mengenai usaha didirikannya KSBSI yang tertera dalam Pasal 10 angka 2 Anggaran Dasar Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Tahun 2011 – 2015, halaman 7 disebutkan bahwa: “mengupayakan penyadaran dan pembelaan hukum 41 untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan buruh.” • Bahwa mengenai Dewan Eksekutif Nasional KSBSI yang tertera dalam Pasal 32 angka 1, angka 2, dan angka 4 Anggaran Dasar Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Tahun 2011 – 2015, halaman 22 disebutkan bahwa: 1. Dewan Eksekutif Nasional merupakan pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi organisasi di lingkungan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. 2. Presiden dan Sekretaris Jendral berwenang bertindak untuk dan atas nama KSBSI . 3. _Dewan Eksekutif Nasional KSBSI terdiri dari: _ __ a. Presiden __ b. Sekretaris Jendral __ c.... • Bahwa dalam sub-bab V.4. angka 4 Bidang Hukum Garis Besar Haluan Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Periode 2011 – 2015, halaman 65 disebutkan bahwa: SBSI terus berusaha mewujudkan reformasi hukum _perburuhan, reformasi tersebut berwujud dalam: _ 4. SBSI terus berjuang atas tegaknya peraturan perundang-undangan yang menjamin adanya kepastian hukum, serta rasa keadilan. SBSI juga senantiasa berjuang agar dilakukannya peninjauan serta pencabutan terhadap setiap produk perundang-undangan yang bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD 1945 yang menghambat proses demokratisasi politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta penegakan perlindungan HAM. SBSI mendorong tegaknya hukum dan keadilan dengan mendesak Pemerintah agar secara 42 sungguh-sungguh menegakan peningkatan kwakitas aparat penegak dan pelaksana hukum“. • Bahwa Pemohon III merupakan salah satu Konfederasi Serikat Buruh di Indonesia yang membawahi 11 (sebelas) Federasi Serikat Pekerja yaitu FSB HUKATAN, FKUI, FPE, F LOMENIK, F NIKEUBA, FTA, F BUPELA, FSB KAMIPARHO, F GARTEKS, FESDIKARI dan F KIKES dengan jumlah anggota keseluruhan 517.000 buruh. D. Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI) • Bahwa Pemohon IV tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Utara dengan Nomor Bukti Pencatatan 647/III/F/I/2006 tanggal 02 Januari 2006. • Bahwa berdasarkan Keputusan Musyawarah Luar Biasa Federasi Serikat Buruh Indonesia – FSBI Nomor KEP 01/Muslub.FSBI/XII/2010 tentang Musyawarah Luar Biasa Pengurus Federasi Serikat Buruh Indonesia – FSBI Periode 2010 – 2013, disebutkan bahwa: __ ”KEPENGURUSAN FEDERASI SERIKAT BURUH _INDONESIA – FSBI PERIODE 2010 – 2013: _ ”1. Presiden: Bayu Murnianto 2. Sekretaris Jendral: Ade Mulyadi 3....” • Bahwa mengenai Maksud dan Tujuan dibentuknya FSBI yang tertera dalam Pasal 6 Anggaran Dasar (AD) Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), disebutkan bahwa: 1. FSBI dibentuk mempunyai maksud mensinergikan perjuangan-perjuangan serikat pekerja/buruh ditingkat unit perusahaan meliputi seluruh aspek kepentingan secara konfherensif. 2. Tujuan jangka panjang; turut berpartisipasi dalam upaya meningkatkan harkat dan martabat bangsa 43 Indonesia dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur. 3. Jangka Pendek a. Memperjuangkan kesejahteraan hidup anggota b. ....” • Bahwa mengenai Tugas dan Wewenang Pengurus FSBI yang tertera dalam Pasal 10 huruf a Anggaran Rumah Tangga (ART) Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), disebutkan bahwa: a. Mewakili organisasi keluar dan kedalam dalam hal tertentu dapat memberikan kuasa penuh kepada satu orang atau beberapa orang anggota untuk bersama- sama bertindak untuk dan atas nama FSBI. b....” • Bahwa mengenai Batasan Tugas Pengurus FSBI yang tertera dalam Pasal 11 angka 1 huruf c Anggaran Rumah Tangga (ART) Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), disebutkan bahwa: ”Presiden: Mewakili organisasi kedalam maupun keluar.” • Bahwa Pemohon IV merupakan salah satu Federasi Serikat Buruh di Indonesia dengan anggota sejumlah 3500 buruh. E. Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (FSPTSK) • Bahwa Pemohon V tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Selatan dengan Nomor Bukti Pencatatan 146/V/N/IX/2001 tanggal 04 September 2001. • Bahwa berdasarkan Keputusan Kongres V Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang Dan Kulit Nomor KEP.X/KONGRES V FSPTSK/XII/2008 tentang Komposisi Dan Personalia Dewan Pimpinan Nasional Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Periode 2008 – 2012, disebutkan bahwa: 44 __ Menetapkan Komposisi dan Personalia DPN FSPTSK _Periode 2008 – 2012, sebagai berikut: _ __ __ 1. Ketua Umum : H. Muhammad Rodja, S.H. __ __ 2. Ketua __ : Ari Sinarijati __ __ 3. Ketua __ : H. Suherman, S.H. __ __ 4. Ketua __ : M. Anwar, S.H. __ __ 5. Ketua __ : Mel Murad __ __ 6. Sekretaris Jendral : Indra Munaswar __ __ 7. ... • Bahwa Tujuan, Misi dan Fungsi dibentuknya FSPTSK yang tertera dalam Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 Anggaran Dasar FSPTSK, halaman 4, disebutkan bahwa: __ __ Pasal 11 __ __ Tujuan __ FSPTSK bertujuan mewujudkan pekerja Indonesia yang makmur dan sejahtera, berdasarkan keadilan sesuai martabat kemanusiaan sebagaimana cita-cita Proklamasi Republik Indonesia. __ __ Pasal 12 __ __ Misi FSPTSK mengemban misi untuk menegakan hubungan industrial yang berkeadilan dalam hubungan kerja, guna memajukan demokrasi diseluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi dan politik nasional demi peningkatan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan kaum pekerja beserta keluarganya dengan adil dan beradab, di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. __ __ Pasal 13 __ __ Fungsi __ __ _FSPTSK berfungsi: _ a. Sebagai alat pemersatu dan pendorong gerakan solidaritas kaum pekerja baik di dalam negeri maupun di dunia. 45 b. Sebagai alat perjuangan untuk tegaknya hukum dalam segala aspek kehidupan, perbaikan hukum perburuhan nasional yang sejalan dengan standar perburuha internasional, terciptanya pemerintahan yang bersih dan mempunyai jiwa keberpihakan terhadap masyarakat rentan secara adil. • Bahwa Pemohon V merupakan salah satu Federasi Serikat Buruh di Indonesia dengan anggota sejumlah 000 buruh. Kerugian Konstitusional Para Pemohon Kerugian konstitusional para Pemohon sebagai akibat diberlakukannya Undang-Undang a quo dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon dan sejumlah sekitar 5 juta anggota yang diwakilinya merupakan individu Warga Negara Republik Indonesia yang juga merupakan warga Negara pembayar pajak, sehingga secara langsung memiliki kepentingan sesuai Pasal 51 UU MK, di mana di dalam APBN 2012 terdapat di dalamnya pajak yang dibayarkan oleh setiap warga negara dalam hal ini oleh para Pemohon kepada Negara.
Bahwa harian Kompas (27 April 2012) menyatakan: “Buruh di Indonesia adalah pelaku utama industri yang berkontribusi 27% terhadap produk domestik bruto (PDB) rata-rata dalam 6 tahun terakhir. Jumlah pekerja saat ini 110 juta jiwa. Sekitar 33 juta orang diantaranya bekerja di sektor formal.” Ironisnya sampai dengan saat ini belum ada penghargaan atau dampak langsung yang bisa dirasakan oleh buruh sebagai bentuk “imbalan” atas kontribusi besar yang sudah diberikan. Oleh sebab itu sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menetapkan dan mengalokasikan pos anggaran dalam APBN yang lebih berpihak kepada kepentingan buruh dan Rakyat Indonesia secara keseluruhan dalam wujud peningkatan pos anggaran di bidang kesehatan, pendidikan, jaminan sosial, tunjangan perumahan, dan sarana transportasi publik yang memadai. Yang secara langsung manfaatnya dapat dirasakan oleh buruh dan seluruh Rakyat Indonesia. 46 3. Bahwa para Pemohon dengan seluruh anggota yang diwakilinya yang sebagian telah berkeluarga dengan pendapatan sebagai buruh yang nominalnya jauh di bawah dari jumlah nominal pendapatan yang dibutuhkan agar dapat hidup layak dan sejahtera merupakan individu Warga Negara Republik Indonesia yang dirugikan hak konstitusionalnya karena harga barang-barang dan kebutuhan hidup menjadi melonjak mahal dan tidak menentu.
Bahwa hal tersebut menjadi ironis jika memperhatikan data sebagai berikut: berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak sehubungan dengan Pendapatan Negara dari Pajak Penghasilan (PPh) Tahun 2011 yang mencapai Rp 431,97 Trilyun, yang berarti bahwa Rakyat Indonesia secara langsung telah berkontribusi sebesar 35% dari total APBN. Buruh dengan jumlah angkatan kerja 37,77 juta pekerja (Data BPS, publikasi Kompas , 27 April 2012, halaman 34) merupakan salah satu penyumbang terbesar dari PPh tersebut.
Bahwa dengan kata lain hak dan kepentingan para Pemohon dan seluruh anggotanya, terpaut erat dengan proses pembahasan Undang-Undang a quo yang bukan hanya dilaksanakan atas biaya negara, yang sebagian berasal dari pemasukan pajak yang telah dibayarkan oleh para Pemohon dan anggota yang diwakilinya, tetapi para Pemohon dengan seluruh anggota yang diwakilinya juga merupakan warga negara pengguna BBM bersubsidi, di mana harga BBM bersubsidi tersebut berkaitan erat dengan implementasi Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012.
Bahwa dengan keputusan Pemerintah dan DPR sebagaimana tercermin di dalam Undang-Undang a quo untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan syarat hanya menghasilkan ketidakpastian, di mana baik para pekerja/buruh dan seluruh anggota keluarganya warga negara, yang dalam hal ini diwakili oleh para Pemohon, juga para pelaku usaha yang menjadi tidak bisa memperkirakan usahanya secara lebih pasti, yang pada akhirnya hanya akan merugikan keberlangsungan hidup para pekerja/buruh dan anggota keluarganya.
Bahwa dengan disahkannya Undang-Undang a quo , meski dengan penolakan sebagian anggota DPR, secara langsung dan tidak langsung telah menyebabkan kenaikan harga-harga barang kebutuhan hidup sehari- 47 hari, hal tersebut telah menjadi pengetahuan umum ( notoir feiten ). Dan kenaikan harga secara langsung berdampak pada penurunan kualitas hidup dan bertambahnya jumlah orang miskin, di mana rakyat seperti petani gurem, buruh, dan khususnya perempuan, yang akan paling menderita. Berikut adalah kutipan beberapa media massa yang membuktikan argumen tersebut. • “Kalau melihat data empiris, kenaikan harga berdampak pada inflasi, terutama harga bahan pangan pokok yang berdampak berat bagi orang miskin, seperti para petani gurem, buruh tani, nelayan, dan sebagainya. Mereka sangat merasakan dampak kenaikan harga kebutuhan pokok yang tidak dirasakan oleh orang kaya.” (Iman Sugema, ekonom, Suara Karya, 13 Juli 2010) • “Dampak yang diakibatkan dari kenaikan harga ini sangat luar biasa bagi rakyat miskin, jumlah warga miskin akan bertambah banyak jumlahnya karena semakin banyaknya warga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Di samping berakibat pada kesulitan dan kesengsaraan untuk memenuhi kebutuhan, juga berakibat pada ketidakmampuan untuk mencapai kualitas hidup dan kesejahteraannya yaitu pemenuhan gizi, kesehatan dan pendidikanya.” (Pelita Online, 30 Februari 2008) • “Kebijakan menaikan harga BBM sebesar 33,3 persen ini membuktikan Pemerintah tidak melaksanakan amanat UUD Pasal 33 ayat (3). Selain itu, kebijakan ini akan membuat 33 juta buruh formal menderita. Kenaikan harga BBM akan menurunkan daya beli dan upah buruh yang baru saja naik sebesar 20 persen sampai 30 persen. Sehingga kenaikan riil nya hanya menjadi kurang dari lima persen. Kebijakan ini akan membuat ongkos transport dan sewa kamar atau rumah buruh naik hingga 20 persen. Sehingga kenaikan upah tadi menjadi minus 10 persen. Dengan kata lain upah buruh bukannya naik tapi turun 10 persen tiap bulan." (Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Suara Pembaruan, 21 Maret 2012) • “Kenaikan harga BBM subsidi dan tarif dasar listrik (TDL) dinilai sebagai ancaman yang paling serius kepada pengusaha dan buruh serta Industri nasional yang dari hari ke hari makin hilang daya saingnya 48 terhadap produk produk hasil impor.” "Tidak ada jalan lain bagi perusahaan yang terkena dampak selain melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap para buruh karena tingginya biaya operasional yang harus ditanggung perusahaan,"” (FX Arief Puyuono Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Okezone.com , 13 Maret 2012.) • "Tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) naik, justru buruh makin miskin, dan pengangguran meningkat. Kenaikan harga BBM berdampak pada masalah krusial berikutnya, kedua, kenaikan BBM berpengaruh pada industri dalam negeri, khususnya menengah ke bawah, yang akhirnya berdampak pemiskinan
pada buruh dan hilangnya lapangan kerja, baik dalam bidang industri, pertanian, maupun perikanan, ini pun dijadikan alasan untuk menambah pasokan dengan membuka impor. Artinya buruh pabrik gula akan senin kemis
hidupnya akibat pabriknya kalah bersaing degan gula impor." (Rieke Diah Pitaloka, Anggota DPR RI, Media Indonesia, 10 Maret 2012 ) 8. Banyak pengamat dan tokoh masyarakat menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak langsung pada kenaikan harga-harga seperti harga bahan pangan dan barang lainnya, energi serta tarif jasa, juga obat, yang secara langsung akan menambah beban hidup sehari-hari dari rakyat, di mana kaum perempuan dan ibu yang paling terkena dampaknya. Sementara bagi buruh kenaikan upah belum lama ini pun menjadi tidak terlalu bisa dirasakan kalau tidak sia-sia. • “Industri makan-minum membutuhkan BBM untuk produksi, distribusi dan bahan baku. Kenaikan BBM setinggi Rp1.500 akan menyebabkan kenaikan harga pangan sedikitnya 5-10%." (Adhi S Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, GAPPMI, BBC Indonesia , 27 Maret 2012). • “Ibu-ibu akan sangat merasakan dampak kenaikan harga BBM. Ibu- ibu lah yang setiap hari mengatur keuangan keluarga,” (Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama, Republika , 26 Maret 2012) • "Kenaikan BBM akan sangat dirasakan oleh kalangan buruh nasional kita, perjuangan mereka kemarin untuk menaikkan upah 49 minimumnya terasa sia-sia. Contoh sederhana, harga sandang, pangan, sewa kamar pasti dan lain-lainnya pasti akan naik, sedangkan revisi komponen KHL untuk menyesuaikan harga komponen tersebut dilakukan pada akhir tahun." (Herlini Amran, Anggota komisi IX DPR RI, Kompas , 23 Maret 2012).
Bahwa dengan kenaikan harga BBM selain secara otomatis menaikan harga Bahan Bakar Bersubsidi juga akan menaikan harga transportasi angkutan umum yang setiap hari buruh membutuhkannya baik untuk mengisi bahan bakar kendaraan motor mereka maupun membayar harga transportasi angkutan umum untuk pergi dan pulang kerja.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), Federasi Serikat Pekerja Tekstil dan Sandang dan Kulit (FSP TSK) memenuhi syarat sebagai “ Pemohon ” sebagai “badan hukum” sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.
Bahwa berdasarkan argumentasi dan ketentuan hukum di atas, maka jelaslah bahwa para Pemohon, mempunyai kedudukan hukum dan dasar kepentingan untuk mengajukan permohonan uji materiil atas Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a) dan Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012 terhadap Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) , Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Fakta-Fakta Hukum 1. Bahwa pada Sidang Paripurna tanggal 30-31 Maret 2012, DPR RI mensahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, yang selanjutnya disahkan oleh Pemerintah RI cq. Presiden RI menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, yang diundangkan pada tanggal 31 Maret 2012 dan dimuat dalam Lembaran Negara RepubIik Indonesia Tahun 2012 Nomor 87;
Bahwa Sidang pembahasan RUU APBN adalah mandat konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 yang berbunyi: 50 (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung _jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; _ (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan _Daerah; _ (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. 3. Dalam rapat paripurna pengambilan keputusan terhadap penambahan Pasal 7 ayat (6a) dalam RUU tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 tersebut mayoritas anggota DPR, yaitu sebanyak 356 orang, dari total 438 orang yang hadir, memilih untuk menambahkan ayat (6a), sementara 82 orang sisanya menolak untuk memasukkan ayat tersebut dalam Pasal 7;
Bahwa Sidang paripurna kali ini berlangsung alot dan baru berakhir jam 01.00 dini hari Sabtu, tanggal 31 Maret 2012, terkait dengan pembahasan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), yang diwarnai dengan kericuhan dan hujan interupsi yang dilakukan beberapa fraksi, khususnya Fraksi PDI Perjuangan dan Gerindra, terkait mekanisme pemungutan suara atas substansi Pasal 7 ayat (6a) dalam RUU tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012;
Sejak awal keberadaannya hingga adanya pembahasan RUU tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 di DPR, telah mendapatkan penolakan dari masyarakat karena dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 disamping itu juga telah banyak mendapatkan penolakan dari rakyat Indonesia secara umum. Mulai dari asumsi keliru yang digunakan, dampak merugikan yang secara langsung dialami warga masyarakat khususnya buruh, juga tidak adilnya harga yang ditanggung warga negara Indonesia dibanding negara lain yang juga sama-sama 51 penghasil minyak. Ini di dalam berbagai tulisan di media sosial dan berita media massa nasional berikut ini:
Bahwa fakta dengan tidak jadi dinaikannya harga BBM bersubsidi pada tanggal 31 Maret 2012 tidak secara langsung dan serta merta menurunkan kembali harga-harga barang kebutuhan hidup sehari-hari pasca-tanggal 31 Maret 2012. Ini terkait erat dengan dimasukannya Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 yang memberikan hak kepada Pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, tanpa konsultasi lebih dahulu dengan DPR, jika kenaikan ICP ( Indonesia Crude Price ) dalam kurun waktu 6 bulan mengalami kenaikan 15 persen dari harga asumsi ICP.
Bahwa ketentuan seperti itu mempunyai beberapa masalah, yang paling kasat mata adalah ia secara langsung bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, yang kemudian dikokohkan tafsirannya oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Bahwa Harga Minyak Mentah Indonesia ( Indonesia Crude Price/ ICP) merupakan sebuah formula penentu harga minyak mentah Indonesia yang perhitungannya adalah 50% dari patokan harga minyak RIM ditambah 50% Platts.
Bahwa jelas ICP ditentukan oleh dua variabel yang berbasis mekanisme pasar yaitu RIM dan Platts, di mana RIM Intelligence Co, adalah badan independen menyediakan data harga minyak untuk pasar asia pasific dan timur tengah dan berkantor pusat di Jepang ( https: //eng.rim- intelligence.co.jp/about/corporate ) dan Platts adalah penyedia jasa informasi energi yang tidak terbatas pada minyak, namun juga gas alam, kelistrikan, petrokimia, batubara dan tenaga nuklir dan berkantor pusat di New York, Amerika ( http: //www.platts.com/Overview ). 55 12. Bahwa selama ini banyak kesimpangsiuran yang beredar di masyarakat mengenai metode penghitungan ICP, hal ini dikarenakan pemerintah tidak pernah mempublikasi rata-rata ICP tiap bulan, harga minyak Platts dan RIM Intellegence Co yang menjadi patokan dalam menghitung ICP, cara menghitung ICP, termasuk alasan pemerintah mengacu pada harga minyak Platts dan RIM.
Sejalan dengan hasil riset dari Energi Riset dan Manajemen Indonesia (ERMI) sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki perhatian khusus di bidang pemanfaatan energi dengan metode kunjungan langsung ke Platts Singapore dan Argus Media Singapore pada 12-14 Desember 2005 yang dilakukan oleh Direktur Riset ERMI Hendri Edianto. Dalam hasil risetnya “PT Pertamina yang berlangganan data Platts dengan membayar $ 100 ribu/tahun. Dari langganan data Platts tersebut PT Pertamina menyatakan berapa besar harga patokan (keekonomian) BBM untuk tiap bulannya ke Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi yang kemudian ditagihkan ke Departemen Keuangan” . (http: //ermi-indonesia.org/2007/07/11/layakkah-mops-dijadikan-patokan- keekonomian-harga-bbm-di-indonesia/. Dua hal tersebut di atas jelas tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.
Bahwa seperti dirangkum oleh M. Kholid Syeirazi (Sekretaris Jenderal PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama, dalam tulisannya berjudul “Harga BBM dan Konstitusi”, di Kompas , 26 April 2012), melalui Putusan tersebut Mahkamah Konstitusi membatalkan tiga pasal dalam UU Minyak dan Gas Bumi, yaitu Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (2). Terkait harga BBM, Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi, ”Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar,” dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Bahwa Mahkamah Konstitusi sependapat dengan dalil Pemohon bahwa liberalisasi harga BBM/BBG dapat mengancam hak rakyat atas harga yang terjangkau ( affordable price ). Karena itu, campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga harus menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 28 ayat (2) yang mengutamakan mekanisme 56 persaingan dan baru kemudian campur tangan pemerintah, menurut Mahkamah Konstitusi, tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut Mahkamah Konstitusi, seharusnya harga BBM dan gas bumi dalam negeri ditetapkan pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu.
Bahwa menurut M. Kholid Syeirazi, putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 28 ayat (2) menggarisbawahi dua hal. Pertama , harga BBM/BBG harus ditetapkan pemerintah dengan memperhatikan golongan masyarakat tidak mampu. Kedua , subsidi adalah hak rakyat sebagai pemilik kedaulatan sumber daya alam. Pasal 28 ayat (2) yang mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan pemerintah tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut Mahkamah Konstitusi, seharusnya harga BBM dan gas bumi dalam negeri ditetapkan pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu.
Bahwa pandangan di atas sejalan dengan pandangan para Pemohon pengujian Undang-Undang a quo yang mewakili secara langsung kepentingan buruh sebagai warga negara dan pembayar pajak.
Urgensi Percepatan Sidang Atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Atas Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 15A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 Terhadap Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 1. Bahwa BBM merupakan hajat hidup orang banyak, karena merupakan faktor paling awal dan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi masyrakat, maupun kebutuhan hidupnya sehari-hari. BBM merupakan kebutuhan hampir seluruh rakyat Indonesia, mulai dari kebutuhan rumah tangga, transportasi hingga industri, sehingga BBM merupakan hajat hidup orang banyak. 57 2. Bahwa BBM merupakan penopang kebutuhan hidup masyarakat, di mana buruh menggunakan BBM untuk bekerja setiap hari untuk menyambung hidupnya, sopir angkutan umum menggunakan BBM tiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, nelayan kecil menggunakan BBM untuk melaut.
Bahwa dengan ketidakjelasan kapan dan berapa jumlah kenaikan harga BBM jelas akan berpengaruh langsung dengan akan aktivitas sehari-hari rakyat Indonesia. Ketika harga minyak naik, tak bisa dihindari harga-harga kebutuhan pokok pun ikut naik mengikuti hukum pasar. Dampak negatif kenaikan BBM karena lonjakan harga yang membuat masyarakat akan semakin terjepit dan jelas sangat merugikan masyarakat kecil. Para buruh yang mengalami penurunan kembali daya beli dan kualitas hidup layak karena dengan kenaikan BBM tidak secara serta merta menaikan upah buruh dan ancaman PHK dari Perusahaan, para pengrajin akan kesulitan besar dalam memperoleh bahan baku karena harganya melonjak tinggi, dan ancaman bertambahnya pengangguran dan masyarakat miskin.
Bahwa masa ketidak jelasan kapan dan berapa jumlah kenaikan harga BBM dalam Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang Perubahan APBN 2012 adalah 6 (enam) bulan, hal ini disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 yaitu : “Yang dimaksud dengan harga rata-rata minyak mentah Indonsia dalam kurun waktu berjalan adalah realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama 6 (enam) bulan terakhir” 5. Bahwa jangka waktu 6 (enam) bulan dalam pasal tersebut di atas dimulai sejak disahkannya UU Perubahan APBN 2012 yaitu terhitung bulan April 2012 sampai dengan September 2012.
Bahwa belajar dari Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Perkara Nomor 57/PUU-VIII/2010 pada Uji Materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 terhadap Undang-Undang Dasar 1945, di mana dalam amar putusan tersebut Majelis Hakim Konstitusi menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima, karena objek permohonan (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 47 Tahun 58 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010) sudah tidak berlaku dan tidak memiliki daya ikat.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memutus perkara dalam putusan sela untuk menyatakan persidangan dilakukan dengan acara cepat.
Pengujian Secara Formil 1. Pengambilan keputusan telah melewati batas waktu masa sidang 1.1. Bahwa dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa “ Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Selanjutnya dalam Pasal 71 huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) juncto Pasal 6 huruf a Tata Tertib Anggota DPR-RI Tahun 2009, menentukan bahwa salah satu Tugas dan Wewenang DPR: "membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama." 1.2. Bahwa Pasal 161 ayat (4) Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) menyatakan bahwa “Pembahasan dan penetapan rancangan undang- undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR”. 1.3. Bahwa dalam Pasal 157 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPR RI/Tahun 2009 tentang Tata Tertib (Tata Tertib DPR RI Tahun 2009) menyatakan bahwa: ”Pembahasan terhadap Perubahan atas APBN dilakukan oleh Badan Anggaran dan komisi terkait dengan pemerintah paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang setelah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR”.
Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 bertentangan satu sama lain dengan Pasal 7 ayat (6) UU Perubahan APBN 2012 1. Bahwa Pasal 7 ayat (6) dan ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 menyatakan bahwa: Pasal 7 ayat (6) UU Perubahan APBN 2012 menyatakan bahwa “ Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan ” Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 menyatakan bahwa “ Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15% dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang 60 diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM”. 2.2. Bahwa isi dan substansi pasal 7 pasca amandemen itu dikaitkan dengan penjelasan pemerintah, maka dalam satu pasal di UU Perubahan APBN 2012 itu terdapat dua pengertian yang memiliki tafsir yang berbeda. Di satu sisi dalam materi ayat (6), ditegaskan bahwa dengan sendirinya Pemerintah tidak menaikkan harga BBM bersubsidi kendati situasi lonjakan harga minyak dunia mengalami fluktuasi sehingga berdampak pada postur APBN yang mendapat tekanan dari ekses tersebut. Sementara di pihak lain, melalui ayat (6a), Pemerintah memiliki kewenangan untuk menaikkan dan atau menurunkan harga BBM akibat adanya acuan harga minyak internasional yang mengalami kenaikan rata-rata 15%. Artinya dalam ayat (6a) ini, mensyaratkan sekaligus kepada pemerintah untuk sewaktu-waktu dapat menaikkan harga BBM kendati dalam Pasal 7 ayat (6) Undang- Undang ini secara tegas pemerintah tidak bisa menaikkan dalam situasi apapun yang terjadi.
Pasal tersebut mengandung kerancuan dan multitafsir. Artinya bagaimana mungkin suatu Undang-Undang pada akhirnya bisa diberlakukan menurut situasi obyektif yang disyaratkan dengan mengabaikan materi yang terdapat dalam ayat lainnya di pasal tersebut. 61 b. Teknik penulisan rumusan pasal tersebut tidak konsisten yang menyebabkan pertentangan antara pasal yang satu dengan pasal yang lainny
Kejelasan rumusan” 2.6. Bahwa Penjelasan Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwa: "Huruf f Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya”.
Berdasarkan seluruh dalil-dalil di atas jelas bahwa persetujuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan APBN 2012 menjadi Undang-Undang yang dilakukan oleh Rapat Paripurna DPR RI pada Hari Sabtu tanggal 31 Maret 2012 telah melanggar ketentuan Pasal 161 ayat (4) UU MD3 juncto Pasal 157 ayat (1) dan Pasal 219 ayat (1) dan ayat (2) Tata Tertib Anggota DPR-RI Tahun 2009, juga Pasal 7 ayat (6a) bertentangan dengan Pasal 7 ayat (6) dalam satu undang-undang yang sama yaitu UU Perubahan APBN 2012 dan menyebabkan multitafsir dan ketidakpastian hukum. Sehingga Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 secara formil cacat hukum, dengan demikian Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 62 7. Pengujian Secara Materiil Kenaikan harga minyak dunia yang menembus harga USD 115/barel lebih menjadi alasan utama pemerintah menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak). Alasan pemerintah menaikkan BBM adalah untuk menjaga defisit anggaran yang di APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2012 sudah dipatok sebesar 1,5% dari PDB (produk domestik bruto), atau sekitar Rp. 124 trilyun. Dengan harga minyak di pasar dunia sebesar USD 115/barel maka defisit akan mencapai 2,2% PDB. Media massa mengabarkan adanya dua skenario yang ditawarkan pemerintah, yaitu menaikkan BBM, khususnya bensin, sebesar Rp 1.000/liter, yang dikatakan akan menghemat APBN sebesar Rp. 35 trilyun (dari anggaran Rp. 165 trilyun) atau menaikkan Rp. 1.500/liter yang akan menghemat Rp. 57 trilyun, dengan kenaikan ini Pemerintah berasumsi inflasi adalah sekitar 6-7%. Untuk menghadapi kesulitan yang lantas muncul seiring kenaikan harga BBM, Pemerintah berencana mengaktifkan lagi pemberian kompensasi berupa BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) kepada rakyat miskin. Dalam permohonan uji materi ini mengajukan tiga (3) Pasal yang akan diuji yaitu Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012, di mana tiga (3) Pasal tersebut saling berkaitan satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang didasari oleh logika sebab akibat. Pemerintah menyatakan bahwa harga BBM telah naik sejumlah Rp. 1.500 di mana jumlah kenaikan tersebut ditanggung oleh Pemerintah melalui subsidi Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 mengalokasikan sejumlah dana untuk subsidi bahan bakar minyak jenis tertentu dan bahan bakar gas cair ( liquefied petroleum gas ( LPG)) sebesar Rp. 137.379.845.300.000. Hal ini pula yang mendasari bahwa alokasi subsidi bahan bakar minyak jenis tertentu dan bahan bakar gas cair bertambah dari yang dialokasikan didalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 sejumlah Rp. 12599.674.000.000. Namun hal ini kontradiksi karena sesungguhnya jika BBM pun naik menjadi Rp. 6.000 subsidi yang diperlukan hanyalah sejumlah Rp. 68.104.186.000.000. Maka dengan dinaikannya subsidi menjadi Rp. 137.379.845.300.000. sebenarnya Pemerintah telah me- mark up anggaran yang mengakibatkan 63 adanya jumlah alokasi dana yang besar tanpa adanya kejelasan tujuan dan keterbukaan. Hal ini diperparah dengan dimasukannya Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat menaikan harga BBM dalam jangka waktu enam (6) bulan mulai terhitung bulan April 2012 dengan syarat adanya kenaikan atau penurunan harga ICP sebesar 15 %. Dengan kenaikan harga BBM tersebut otomatis Pemerintah akan mendapatkan tambahan dana segar dari rakyat dalam jumlah besar, yang lagi-lagi hanya akan menambah alokasi dana yang tidak jelas tujuannya untuk apa dan siapa seperti yang telah dijelaskan di atas. Sementara dengan diberlakukannya Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 maka akibatnya adalah Pemerintah akan memberikan dana yang telah dialokasikan dengan nama Bantuan Langsung Masyarakat Sementara (BLSM) sejumlah Rp. 17.088.400.000.000 yang bertujuan untuk membantu masyarakat berpendapatan rendah agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah akibat gejolak harga. Dana ini telah dialokasikan dan akan digunakan jika Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 terpenuhi, dengan kata lain terdapat dana ”parkir” yang disediakan oleh Pemerintah. Hal ini sangat kontradiktif karena Pemerintah sebelumnya selalu menyatakan bahwa APBN tahun anggaran 2012 akan jebol namun secara tiba-tiba, tanpa sumber yang jelas dan keterbukaan, dana BLSM ini telah di ”parkir” oleh Pemerintah. Terkait hal-hal tersebut di atas, para Pemohon hak uji materi ini berpendapat: • Pemerintah hanya dibayang-bayangi ketakutan terhadap defisit APBN semata tanpa melihat risiko pemiskinan rakyat yang akan semakin meningkat seiring naiknya harga-harga. Menaikkan harga BBM dan memberikan BLSM menunjukkan kemalasan dan ketidakberanian Pemerintah mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan, seperti meningkatkan pendapatan maupun mengefisienkan pengeluaran di APBN sendiri, yang justeru menjadi akar persoalan sesungguhnya bukan semata naiknya harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM telah menjadi kambing hitam dari masalah dan kegagalan Pemerintah sendiri. 64 • Alih-alih mengambil tindakan seperti menaikkan rasio pajak (“ tax ratio ”) – yang lazim dilakukan di negara lain – menjadi 14% dari PDB misalnya, yang artinya pendapatan dari pajak bisa mencapai Rp 1.036 trilyun, atau berjuang keras menaikkan royalti dan pajak di perusahaan tambang yang memberi pemasukan lebih besar bagi negara. Berbeda dengan Perdana Menteri Australia, Kevin Ruud maupun Julian Gillard, yang berani menaikkan pajak perusahaan tambang untuk mengatasi masalah kenaikan harga minyak, Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malah membebankan tanggung jawabnya kepada sebagian besar rakyat miskin negeri ini. Karena tindakan menaikkan rasio pajak bisa diduga hanya akan mengancam kenikmatan kaum kaya negeri ini, yang rupanya lebih diperhatikan dan ditakuti oleh Pemerintah SBY daripada rakyat kebanyakan yang hidupnya sehari-hari sudah sulit. • Kalau memang hanya ingin menghemat dana APBN sebesar Rp 35 trilyun atau bahkan Rp 57 trilyun, maka angka tersebut sesungguhnya bisa diambil dari Sisa Lebih Penggunaan APBN (SILPA) 2011 sekitar 3%, atau sebesar Rp 36 trilyun, ditambah Rp 22 trilyun dari penghematan program di kementerian/lembaga pemerintah, seperti dinyatakan oleh hasil penelitian BKF (Badan Kebijakan Fiskal) Kementerian Keuangan sendiri. • Asumsi inflasi 6-7% akibat kenaikan harga BBM pada kenyataannya akan cenderung lebih tinggi lagi karena kenaikan harga BBM akan berdampak pada biaya lain seperti TDL (tarif dasar listtrik), pangan, transportasi, dan sebagainya. Kenaikan BBM sebesar 28,75% di tahun 2008 sudah mengakibatkan kenaikan inflasi 11,01%, padahal rencana kenaikan BBM saat ini sebesar Rp 1000 berarti naik 22,22%, atau kalau naik Rp 1500 berarti naiknya 33,33%. Ini berarti inflasi berpotensi bisa lebih tinggi dari 11%, yang akan secara langsung menggerus daya beli masyarakat, termasuk buruh, seiring turunnya upah riel buruh. Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) mencatat bahwa 80% upah buruh sudah habis hanya untuk makan dan transportasi, sehingga buruh hanya bisa tersenyum karena kenaikan upah awal tahun ini paling lama dua bulan saja. • Menurut analisa Badan Pusat Statistik (BPS), dengan asumsi pendapatan masyarakat tetap, diperkirakan apabila terjadi kenaikan inflasi sekitar 10% jumlah penduduk miskin akan bertambah sekitar 30%. Daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah akan terpangkas sebesar 35% akibat efek ganda kenaikan harga BBM dan inflasi. Dari sisi pengusaha maka kenaikan harga 65 BBM ini menjadi ancaman bagi industri nasional, di mana biaya produksi akan naik. Industri akan lebih sulit berkompetisi dengan produk dari luar seperti China, dan proses deindustrialisasi akan semakin dipercepat. • Kompensasi kenaikan BBM melalui bantuan sosial seperti BLSM lebih merupakan proses pembodohan rakyat, karena tidak akan menyelesaikan akar masalah tidak efisiennya pengelolaan anggaran yang berlebihan dari Pemerintah sendiri serta keengganan mengambil tindakan yang perlu seperti menaikkan pajak tambang. Seharusnya yang dilakukan adalah dengan mengoptimalkan sumber energi seperti batubara dan gas untuk pembangunan, serta menghemat beberapa pos seperti dana alokasi khusus (DAK), belanja Pemerintah, dan sebagainya. Bukan dengan penyelesaian sesaat dan tidak permanen, terlebih dengan dana hasil utangan macam BLSM ini yang justeru akan menambah beban rakyat dalam jangka panjang. • Rencana menaikkan harga BBM dengan alasan kurangnya anggaran dalam APBN adalah sungguh menyakitkan hati rakyat mengingat 70% APBN justeru habis digunakan untuk membayar gaji pegawai negara, yang kabarnya justeru akan dinaikkan lagi sekadar untuk meredam keresahan 5,2 juta PNS dan anggota TNI/Polri, di atas beban seluruh rakyat sejumlah 232 juta sisanya. Ketidakefisienan dan kebocoran anggaranlah yang seharusnya menjadi fokus perbaikan pemerintah bukan malah menaikkan harga BBM. • Sesungguhnya Indonesia sudah mempunyai peluang emas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang bersama Undang-Undang Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), menjadi dasar hukum dilaksanakannya jaminan sosial menyeluruh bagi seluruh rakyat. Pengalaman di banyak negara membuktikan bahwa jaminan sosial merupakan katup pengaman masyarakat dari risiko-risiko sosial yang terjadi. Dengan pengumpulan dana masyarakat melalui jaminan pensiun, misalnya, Negara bisa memiliki dana cadangan sendiri yang bisa digunakan untuk mengatasi dampak negatif akibat turunnya pendapatan masyarakat akibat kenaikan harga-harga. Seperti penciptaan lapangan pekerjaan yang bisa menaikkan daya beli masyarakat, tanpa malah memberi beban tambahan lain dengan kenaikan harga-harga! Kenaikan harga minyak dunia seharusnya menjadi cambuk bagi Pemerintah untuk segera 66 mewujudkan amanat UUD 1945 untuk terselenggaranya jaminan sosial menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia ini. Dengan mempertimbangkan uraian di atas, berikut adalah argumentasi terkait inkonstitusionalitas dari Pasal-Pasal UU Perubahan APBN 2012 yang dimohonkan uji materi ini. A. Inkonstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 a. Bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 • Bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 menyatakan bahwa “Subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas (LPG)) tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 diperkirakan sebesar Rp 137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah) , dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 (empat puluh juta kilo liter).” • Bahwa angka dalam Pasal tersebut di atas bertambah dari yang pertama ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahun Anggaran 2012 yang menyatakan bahwa “Subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas(LPG)) tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 direncanakan sebesar Rp 123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh puluh empat juta rupiah), dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 KL (empat puluh juta kiloliter).” • Bahwa Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat ” • Bahwa Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus dilaksanakan dengan cara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 67 • Bahwa rumus perhitungan Subsidi BBM adalah (MOPS + alpha) – (Harga Jual-Pajak(PPN+ PBBKB)), di mana jelas memasukan MOPS sebagai salah satu unsur penentu jumlah subsidi BBM. Mid Oil Platt's Singapore yang selanjutnya disebut MOPS adalah harga transaksi jual beli pada bursa minyak di Singapura. __ • Bahwa Pemerintah tidak pernah mempublikasikan secara terbuka kepada masyarakat Indonesia mengenai alasan, dasar dan mekanisme perhitungan perubahan subsidi pada Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 yang pada faktanya nominal yang dialokasikan bertambah dalam jumlah yang besar. Masyarakat Indonesia hanya mengetahui proses Sidang Paripurna yang dilakukan pada tanggal 30 Maret 2012 yang hanya membahas mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 , sedangkan perubahan pasal lain dalam UU Perubahan APBN 2012 dibahas oleh Badan Anggaran DPR RI dengan mekanisme Sidang Tertutup untuk umum. Hal ini jelas tidak adanya mekanisme keterbukaan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dalam menentukan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara __ • Bahwa besaran harga MOPS dikeluarkan oleh Platts, sedangkan Platts adalah penyedia jasa informasi energi yang tidak terbatas pada minyak, namun juga gas alam, kelistrikan, petrokimia, batubara dan tenaga nuklir dan berkantor pusat di New York, Amerika. Harga Mops ini tidak pernah diberitakan secara umum. Pihak yang mendapatkan informasi tentang berapa harga Mops, hanyalah pihak yang berlangganan secara khusus untuk mendapatkan informasi tersebut dengan membayar sejumlah uang tertentu, yang dalam hal ini hanya PT. Pertamina dari Indonesia yang memiliki akses tersebut. Pada saat menghitung jumlah subsidi yang harus dibayar oleh pemerintah kepada perusahaan yang menyalurkan BBM bersubsidi digunakan harga Mops tersebut. Hanya PT. Pertamina yang mengetahui harga MOPS. Hal ini jelas tidak adanya mekanisme keterbukaan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dalam menentukan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara dan mengakibatkan adanya celah yang sangat besar untuk terjadinya penyelewangan jumlah yang besar. __ 68 • Bahwa dengan Pemerintah yang menyandarkan jumlah Subsidi BBM pada MOPS sama halnya dengan menggunakan dan menyandarkan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM, karena MOPS ditentukan berdasarkan pada transaksi jual beli pada bursa minyak di Singapura. Penilaian harga MOPS berdasarkan transaksi yang terjadi di sistem window Platts . Di mana seller dan buyer memasukkan volume untuk jenis minyak yang sesuai spesifikasi Platts dan harga bid/offer . Hal ini jelas membuktikan bahwa Pemerintah tidak bertanggung jawab dalam menentukan APBN untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. __ • Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 jelas bertentangan dengan Pasal 23 (1) UUD 1945. __ • Bahwa dengan tidak terbukanya perumusan subsidi dan tidak diperuntukannya subsidi dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat mengakibatkan kerugian bagi buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena tidak mengetahui secara jelas bagaimana APBN tersebut digunakan dan dialokasikan, serta masyarakat Indonesia tidak merasakan manfaat secara langsung. Hal ini menjadi sangat ironi karena sebagian besar jumlah APBN adalah uang rakyat dari Pph setiap warga negara Indonesia yang bekerja. __ b. Bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 • Bahwa Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 menentukan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak memperoleh pelayanan kesehatan, dan berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. • Bahwa berdasarkan penelitian terhadap perhitungan Pemerintah dan DPR, terkait rencana kenaikan harga BBM 2012 yang dilakukan oleh ICW, sekalipun harga BBM Premiun telah naik menjadi sejumlah Rp 6.000/liter, total beban subsidi BBM dan LPG tidak diperlukan sebesar Rp 137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus 69 tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah) dan mengakibatkan adanya jumlah alokasi dana yang besar tanpa adanya kejelasan tujuan dan keterbukaan. • Dengan adanya jumlah alokasi dana yang besar tanpa adanya kejelasan tujuan dan keterbukaan, seharusnya Pemerintah mengalokasikan dana tersebut pada pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya, serta pendidikan gratis sampai jenjang perguruan tinggi sesuai dengan amanat Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 • Bahwa namun yang terjadi adalah Pemerintah dalam hal ini selalu mengatakan pada publik bahwa APBN akan jebol apabila tidak menaikan harga BBM bersubsidi, padahal Pemerintah dapat menganggarkan sejumlah dana yang besar tanpa keterbukaan dan kejelasan tujuan, alih-alih mengalokasikan dana tersebut pada pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia. • Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 jelas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 dan dapat dikatakan bahwa Pemerintah selama ini telah melakukan pembohongan publik. • Bahwa dengan adanya Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 di mana Pemerintah mengalokasikan dana subsidi yang tidak jelas dasar perubahan dan tujuan kegunaannya daripada menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia mengakibatkan kerugian bagi buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena tidak dapat merasa kan manfaat secara langsung APBN 2012 .
Bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 • Bahwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menentukan “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara ” dan “ Bumi 70 dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat ”. • Bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 menentukan jumlah besaran subsidi atas BBM dan LPG yang merupakan salah satu cabang produksi yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. • Bahwa mengenai makna”dikuasai negara” berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003. … pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat... Yang harus 71 dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) _penting bagi Negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; _ atau (iii) tidak penting bagi Negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat... • Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 secara tegas menyatakan bahwa untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, negara diwajibkan untuk dua (2) hal yaitu memiliki cabang-cabang produksi tersebut dan menggunakan cabang-cabang produksi digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. • Bahwa dengan Pemerintah yang menyandarkan jumlah Subsidi BBM pada MOPS yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM, maka secara jelas Pemerintah telah salah dalam menentukan kebijakan ( beleid ) dan telah salah urus, karena seharusnya Pemerintah sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak menyandarkan __ jumlah subsidi dengan mekanisme pasar di mana frase “digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat” tidak akan pernah terwujud. • Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 . • Bahwa dengan didasarkannya MOPS pada perumusan Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 mengakibatkan kerugian bagi buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena BBM beserta subsidinya tidak akan pernah digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . B. Inkonstitusionalitas Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 a. Bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 • Bahwa Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- 72 besarnya kemakmuran rakyat ” • Bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 menentukan “ Dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP ) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya”. • Bahwa Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus dilaksanakan dengan cara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dua (2) hal tersebut merupakan amanat yang diberikan kepada Pemerintah yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. • Bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 mengizinkan pemerintah menaikkan harga BBM jika ICP ( Indonesia Crude Price ) naik rata-rata 15 persen dalam enam (6) bulan tanpa persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. • Bahwa ICP adalah harga minyak mentah Indonesia yang ditentukan oleh dua variabel yang berbasis mekanisme pasar yaitu RIM dan Platts , di mana RIM Intelligence Co , adalah badan independen menyediakan data harga minyak untuk Pasar Asia Pasific dan Timur Tengah dan Platts adalah penyedia jasa informasi energi yang tidak terbatas pada minyak, namun juga gas alam, kelistrikan, petrokimia, batubara dan tenaga nuklir . • Bahwa akibat dari berlakunya Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012, rakyat akan dipaksa untuk membayar harga BBM bersubsidi yang berdasarkan harga pasar. Hal ini jelas akan sangat membebankan rakyat karena pada faktanya harga BBM yang tidak jadi naik per 1 April 2012 tidak serta merta menurunkan kembali harga-harga kebutuhan hidup lainnya. • Bahwa rakyat akan merasakan kerugian secara langsung dengan semakin menurunnya daya beli terhadap barang-barang kebutuhan hidup. Hal ini jelas akan semakin memiskinkan masyarakat tidak 73 mampu, di mana seharusnya Pemerintah berkewajiban untuk melindunginya. • Bahwa selama Pemerintah menyandarkan perhitungan ICP pada mekanisme pasar maka penggunaan BBM untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 tidak akan pernah terwujud . Pemerintah hanya akan mengutamakan aspek ekonomi yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi ini daripada kemakmuran rakyat. • Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 jelas merugikan kepentingan dari para Pemohon karena penyusunan APBN P 2012 dilakukan tanpa adanya keterbukaan dan pos alokasi anggaran tidak ditujukan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat . b. Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 • Bahwa Pasal 28D (1) UUD 1945 menentukan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” • Bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 mengizinkan pemerintah menaikkan harga BBM jika ICP ( Indonesia Crude Price ) naik rata-rata 15 persen dalam enam bulan tanpa persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. ICP adalah harga minyak mentah Indonesia yang ditentukan oleh dua variabel yang berbasis mekanisme pasar yaitu RIM dan Platts , di mana RIM Intelligence Co , adalah badan independen menyediakan data harga minyak untuk Pasar Asia Pasific dan Timur Tengah dan Platts adalah penyedia jasa informasi energi yang tidak terbatas pada minyak, namun juga gas alam, kelistrikan, petrokimia, batubara dan tenaga nuklir . • Bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan ketidakpastian hukum di masyarakat menyangkut naik atau 74 tidaknya harga BBM dan ketidakjelasan kapan dan berapa jumlah kenaikan harga BBM dalam jangka waktu enam bulan . • Bahwa penerapan Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 telah mengakibatkan kerugian bagi buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya dengan adanya fluktuasi kenaikan harga yang menyertai isu kenaikan harga BBM, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi dari berbagai sektor masyarakat. • Bahwa ketidakpastian hukum itu sendiri telah mengakibatkan ketidakadilan yang berupa rakyat menjadi korban akibat ketidakpastian harga BBM namun harga-harga non BBM sudah terlanjur banyak yang naik, sedangkan pasar justru menikmati ketidakpastian ini dengan menaikan harga-harga kebutuhan masyarakat sehingga tetap mendapatkan laba tertinggi dan tetap bisa melakukan akumulasi modal.
Bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 • Bahwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menentukan “ Cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara ” dan “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ”. • Bahwa dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 terdapat dua unsur yang saling tekait dan tidak bisa dipisahkan , yaitu hak menguasai negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat , dua kalimat tersebut tidaklah terpisah, akan tetapi sebuah fungsi guna melindungi hak-hak warga negara, dalam pengertian Hak Menguasai Negara itu ada dalam rangka melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. • Bahwa minyak dan gas bumi merupakan kekayaan alam yang memiliki nilai strategis dan merupakan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga diperlukan adanya Hak Menguasai Negara guna melindungi tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. • Bahwa ICP adalah harga minyak mentah Indonesia yang ditentukan oleh dua variabel yang berbasis mekanisme pasar yaitu RIM dan Platts , di mana RIM Intelligence Co , adalah badan independen 75 menyediakan data harga minyak untuk pasar asia pasific dan timur tengah dan Platts adalah penyedia jasa informasi energi yang tidak terbatas pada minyak, namun juga gas alam, kelistrikan, petrokimia, batubara dan tenaga nuklir. • Bahwa dengan didasarkannya perhitungan ICP pada mekanisme pasar, maka Pemerintah terlebih dahulu mementingkan minyak dan gas tersebut untuk diperjualbelikan daripada pemenuhan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang mengamanatkan negara diwajibkan untuk dua (2) hal yaitu memiliki cabang-cabang produksi tersebut dan menggunakan cabang-cabang produksi digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. • Bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena harga minyak diserahkan pada mekanisme pasar yang menyebabkan Pemerintah mengutamakan aspek ekonomi yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi ini daripada kemakmuran rakyat. • Bahwa harus ada kedaulatan negara dalam menentukan harga tanpa bersandar pada mekanisme pasar demi kesejahteraan masyarakat. Seharusnya harga untuk masyarakat adalah harga yang benar-benar biaya yang dikeluarkan negara dari hulu ke hilir dibagi besaran produksi, sehingga tercapai harga ekonomis dalam negeri. • Bahwa secara substansi permasalahan Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 sama dengan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 pada Uji Materi Undang-Undang Migas yang menyatakan bahwa harga BBM tidak boleh berdasarkan persaingan usaha/mekanisme pasar. • Bahwa keberlakuan Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 berpotensi menyebabkan kerugian bagi para Pemohon (buruh) dan masyarakat karena tidak dapat membeli harga BBM dengan harga ekonomis dan mendapatkan fungsi dari BBM yang sejatinya diperuntukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. C. Inkonstitusionalitas Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012 a. Bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 76 • Bahwa Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat ”. • Bahwa Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012 menentukan bahwa “ Dalam rangka membantu masyarakat berpendapatan rendah agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah akibat gejolak harga, dialokasikan anggaran untuk bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp 17.088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) termasuk anggaran untuk pengaman pelaksanaan (safeguarding)”. • Bahwa Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012 tidak dibahas dalam Sidang Paripurna tanggal 30 Maret 2012 dan telah ditentukan terlebih dahulu dalam rapat Badan Anggaran DPR RI yang tertutup untuk umum. • Bahwa Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012 dapat berlaku dengan pengkondisian Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 telah berlaku terlebih dahulu. • Bahwa dana kompensasi sebesar Rp 17.088.400.000.000,00 ( tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupaih ) menimbulkan ketidakpastian hukum dengan alasan sebagai berikut: • Bahwa besaran kompensasi kenaikan sebesar Rp.
088.400.000.000,00 tidak didasarkan pada pertimbangan yang matang dalam sidang yang terbuka untuk umum, yang mengakibatkan tidak adanya keterbukaan dalam proses penyusunan Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012; • Bahwa dana kompensasi sebesar Rp 088.400.000.000,00 berkaitan erat dengan pasal 7 ayat (6a) dan merupakan satu kesatuan. Yang berarti besaran dana kompensasi tergantung pada ada tidaknya kenaikan BBM. Pasal 7 ayat (6a) yang menggantungkan naik turunnya harga BBM berdasarkan harga minyak memungkinkan harga BBM mengalami kenaikan dan/atau penurunan. Sehingga penetapan dana 77 kompenasasi BBM tidak logis dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan peruntukkannya. • Bahwa Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012 tentang besaran alokasi dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menjadi tidak logis dan tidak mempunyai dasar karena telah ditentukan terlebih dahulu sebelum ditentukan masuk atau tidaknya Pasal 7 ayat (6a) dalam Undang-Undang Perubahan APBN 2012 yang menjadi syarat dari Pasal 15A Undang-Undang Perubahan APBN 2012 . • Bahwa pasal tersebut menjadi tidak logis dan masuk akal karena pada saat alokasi anggaran itu telah ”diparkir”, Pemerintah secara terang- terangan menyatakan apabila tidak menaikan harga BBM maka APBN akan jebol. • Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012 jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 • Bahwa dengan tidak terbukanya perumusan Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012 tentang alokasikan anggaran BLSM sebesar Rp 17.088.400.000.000,00 __ dan tidak diperuntukannya alokasikan anggaran untuk BLSM untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat mengakibatkan kerugian bagi para Permohon buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena tidak mengetahui secara jelas bagaimana APBN tersebut digunakan dan dialokasikan, serta masyarakat Indonesia tidak merasakan manfaat secara langsung. Hal ini menjadi sangat ironi karena sebagian besar jumlah APBN adalah uang rakyat dari Pph setiap warga negara Indonesia yang bekerja.
Bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 • Bahwa Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 menentukan “ setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak memperoleh pelayanan kesehatan, dan berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat ”. • Bahwa dengan telah ”diparkirnya” alokasi dana tersebut di atas membuat adanya sejumlah dana yang besar yang tidak dapat dipergunakan seharusnya seperti yang diamanatkan dalam Pasal 28H 78 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yaitu demi kemakmuran rakyat, antara lain: - Alokasi dana tersebut dapat digunakan untuk tujuan lebih strategis, yakni perbaikan transportasi umum. Dengan transportasi umum yang aman dan nyaman, kemacetan lalu lintas di kota besar bisa teratasi. Tarif angkutan umum untuk masyarakat bawah disubsidi pemerintah dengan dana alokasi dari dana tersebut di atas. Jika transportasi umum aman dan nyaman, pengguna angkutan pribadi akan menggunakan angkutan umum. Jika subsidi BBM terus ditekan setiap tahun hingga nol persen, DKI dan kota-kota besar di Indonesia akan memiliki mass rapid transport (MRT), subway , angkutan umum bus dan kereta api yang aman dan nyaman. - Alokasi dana tersebut dapat digunakan untuk menopang program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) bagi kebutuhan transportasi dan industri. Pembangunan pipa, stasiun bakar bakar gas (SBBG), dan converter kit dapat menggunakan alokasi dana tersebut. - Alokasi dana tersebut dapat digunakan untuk membangun sektor usaha yang menjadi gantungan hidup mayoritas rakyat seperti pertanian dan industri. Contohnya adalah dengan menyediakan benih dan pupuk murah serta tenaga penyuluh pertanian. - Alokasi dana tersebut dapat digunakan untuk menambah bantuan kepada rakyat miskin lewat pengobatan gratis, termasuk penyakit berat, dan pendidikan gratis hingga SLTA bahkan perguruan tinggi. - Alokasi dana tersebut dapat digunakan untuk melaksanakan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) lewat pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) harus segera direalisasikan agar mereka yang menganggur dan jompo mendapatkan dana untuk kebutuhan hidup sehari-hari. (Berdasarkan Undnag-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, bahwa BPJS Kesehatan sudah terbentuk dan beroperasional pada 1 Januari 2014, serta BPJS Ketenagakerjaan sudah harus terbentuk pada 1 Januari 2014, dan dioperasionalisasikan pada 1 Juli 2015). • Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012 jelas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat 79 (3) UUD 1945 • Bahwa dengan adanya Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012 di mana Pemerintah mengalokasikan dana subsidi yang tidak jelas dasar dan tujuan kegunaannya daripada menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena tidak dapat merasakan manfaat secara langsung dari APBN 2012 .
Mahkamah Konstitusi Dapat Membuat Norma dan Memberi Perintah Kepada Pembuat Undang-Undang a) Bahwa semenjak Mahkamah Konstitusi menjalankan tugasnya melakukan Pengujian Undang-Undang, Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 semata saja sebagaimana diatur dalam pasal 57 UU MK, dalam beberapa putusannya Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran konstitusional atau menyatakan konstitusional namun bersyarat ataupun sebaliknya karena norma yang diundangkan dan berlaku kini belum langsung dapat dikatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan berdampak langsung pada kerugian konstitusional Pemohon. b) Bahwa contoh kongkret Mahkamah Konstitusi mampu menegakkan keadilan konstitional dengan keluar dari pakem hanya sebagai lembaga negatif legislator adalah putusan yang memberikan rumusan norma baru atau putusan yang bernilai self executing, dapat dieksekusi sendiri langsung tanpa perlu dirubah oleh pembuat undang-undang yakni putusan dengan Nomor Perkara 102/PUU-VII/2009 tentang pengujian Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang inti dari putusan tersebut adalah Mahkamah Konsitusi mempermudah syarat pencontrengan untuk pemilu dengan cara pemilih yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dapat mempergunakan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) atau Paspor di tempat pemungutan suara (TPS) yang sesuai dengan asal RT/RW sesuai KTP. c) Bahwa kemudian DPR RI bersama Pemerintah akhirnya melakukan revisi 80 mengenai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang dalam beberapa perubahannya melarang Mahkamah Konstitusi untuk memutus dengan putusan yang isinya memberi perintah kepada pembuat undang-undang dan membuat rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 57 ayat (2a) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Nomor 48/PUU-IX/2011. d) Bahwa dengan demikian menjadi sah dan memungkinkan dalam konteks Pengujian Undang-Undang Perubahan APBN 2012 ini kami mengharapkan Mahkamah Konstitusi untuk lebih arif dalam memutus dan mampu menegakkan keadilan konstitusional yang lebih substantif dengan dapat mengarahkan beberapa pos alokasi APBN ke dalam bidang lainnya sebagaimana yang kami minta dalam petitum kami. PETITUM Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus permohonan hak uji ini sebagai berikut: DALAM PROVISI Menyatakan persidangan dilakukan dengan acara cepat karena masa berlaku Undang-Undang a quo yang tidak lebih dari satu tahun. DALAM POKOK PERMOHONAN A. FORMIL 1. Menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5303) menyalahi prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat ; 81 B. MATERIIL 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini;
Menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5303) bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945;
Menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5303) bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sehingga harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, atau setidaknya sepanjang dimaknai sebagai berikut:
Alokasi anggaran Subsidi BBM dan LPG kembali mengacu kepada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 sebesar Rp 123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh puluh empat juta rupiah ;
Selisih anggaran antara Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 dialokasikan untuk bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya, serta pendidikan gratis sampai jenjang perguruan tinggi;
Menyatakan bahwa Pasal 15A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (Lembaran 82 Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5303 ) bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sehingga harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat , atau setidaknya sepanjang dimaknai alokasi anggaran sejumlah Rp 17.088.400.000.000,00 (tujuh belas juta triliun delapan puluh delapan empat ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 dialokasikan untuk anggaran biaya jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat, seumur hidup dan seluruh penyakit, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengadili permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-9 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012;
Bukti P-2a : Fotokopi Anggaran Dasar Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI);
Bukti P-2b : Fotokopi Anggaran Rumah Tangga Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI);
Bukti P-2c : Fotokopi Keputusan Kongres Nasional III Kongres Serikat Pekerja Indonesia Nomor Kep 10/Kongres Nasional III/KSPI/I/2012 tentang Presiden Dewan Eksekutif Nasional Terpilih; 83 5. Bukti P-2d : Fotokopi Keputusan Kongres Nasional III Kongres Serikat Pekerja Indonesia Nomor Kep 13/Kongnas III/KSPI/I/2012 tentang Susunan Komposisi dan Personalia Dewan Eksekutif Nasional Konferederasi Serikat Pekerja Indonesia Periode 2012- 2017;
Bukti P-2e : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Selatan dengan Nomor Bukti Pencatatan 313/V/N/IV/2003 tanggal 14 April 2003 dan Surat Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Selatan Nomor 4959/-1.83, perihal Pemberitahuan, tertanggal 23 November 2007;
Bukti P-3a : Fotokopi Anggaran Rumah Tangga dan Anggaran Dasar KSPSI;
Bukti P-3b : Fotokopi Surat Keputusan Nomor 14/KONGRES VIII/KSPSI/II/2012 tentang Komposisi Personalia Pengurus Dewan Pimpinan Pusat dan Lembaga-Lembaga Organisasi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Masa Bhakti 2012-2017;
Bukti P-3c : Fotokopi Rekomendasi Kongres VII Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI);
Bukti P-3d : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI);
Bukti P-4a : Fotokopi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Tahun 2011-2015;
Bukti P-4b : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Departemen Tenaga Kerja Kantor Kotamadya Jakarta Timur Nomor 391/IV/N/VII/2003;
Bukti P-4c : Fotokopi Garis Besar Haluan Organisasi Konfederasi Serikat Butuh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Periode 2011-2015;
Bukti P-4d : Fotokopi Keputusan Kongres VI Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Nomor XIX/KONGRES VI/KSBSI/IV/2011 tentang Susunan Personalia Dewan Eksekutif Nasional 84 Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Periode 2011- 2015;
Bukti P-5a : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI) Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Utara dengan Nomor Bukti Pencatatan 647/III/F/I/2006 tanggal 02 Januari 2006;
Bukti P-5b : Fotokopi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Federasi Serikat Butuh Indonesia;
Bukti P-6a : Fotokopi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga FSPTSK;
Bukti P-6b : Fotokopi Keputusan Kongres V Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit Nomor KEP.X/KONGRES V FSPTSK/XII/2008 tentang Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan Nasional Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Periode 2008-2012;
Bukti P-6c : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Selatan dengan Nomor Bukti Pencatatan 146/V/N/IX/2001 tanggal 04 September 2001;
Bukti P-7 : Fotokopi Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPRRI/Tahun 2009 tentang Tata Tertib;
Bukti P-8 : Fotokopi berita online Kontroversi kenaikan Harga BBM, oleh Kwik Kian Gie (http: //kwikkiangie.com/v1/2012/03/kontroversi- kenaikan: harga-bbm);
Bukti P-9 : Fotokopi berita online Ketidakwajaran perhitungan Pemerintah dan DPR (dugaan markup ..., oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) (www.antikorupsi.org/new/download/subsidibbm2012icw.pdf) Selain itu, para Pemohon mengajukan 4 (empat) orang saksi yang telah didengar keterangannya dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 10 Juli 2012 dan 2 (dua) orang ahli pada tanggal 10 Juli 2012 dan 26 Juli 2012, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 85 Saksi para Pemohon 1. Firdaus Ilyas • Bahwa ICW lebih concern dalam hal isu transparansi dan ataupun juga korupsi dalam pengelolaan anggaran negara, baik itu APBN atau APBD. Kemudian yang terkait dengan rencana Pemerintah untuk menaikkan harga BBM untuk Tahun Anggaran 2012 dalam APBN-P 2012, maka ICW melihat pertama , apakah penyusunan, terutama terkait dengan landasan dasar Pemerintah atau asumsi makro di dalam APBN-P sudah dihitung atau dipergunakan secara benar atau belum. Kemudian yang kedua , bagaimana penghitungan terkait dengan beban subsidi yang disampaikan oleh Pemerintah, terutama di dalam pembahasannya dengan DPR dan badan anggaran, apakah sudah dilakukan baik secara proseduran atau telah sesuai peraturan yang ada atau belum, berdasarkan angka-angka yang ada atau prudent sudah tepat atau belum. • Bahwa sejak tahun 2006, terutama pertengahan 2006, Pemerintah menggunakan metode yang dikenal sekarang sebagai MOPS Plus Alpha di mana singkatan dari MOPS sendiri adalah Mean Oil Platts Singapore . Sebagai contoh misalnya, untuk tahun 2006-2007, Pemerintah berdasarkan regulasi yang ada, baik peraturan Menteri Keuangan maupun Peraturan Menteri ESDM, menggunakan harga patokan untuk BBM bersubsidi itu MOPS plus __ 14,1%, kemudian 2008 MOPS plus 9%, dan terakhir untuk 2012 dikenakan MOPS plus Rp 641,94 per liter. Artinya alpha ini adalah alpha rata-rata untuk produk, baik itu gasolin atau premium, minyak tanah, dan juga solar; • Yang ingin disampaikan adalah ketika terjadi perubahan perhitungan metode subsidi BBM dari cost plus fee kemudian beralih menjadi MOPS Plus Alpha, ada beberapa hal yang menjadi concern terkait isu transparansi dan akuntabilitas. Pertama , ketika digunakan metode cost plus fee , Pemerintah, termasuk juga auditor BPK misalnya, harus memeriksa semua arus neraca minyak, baik arus minyak mentah, biaya pengolahan, kemudian biaya impor, berapa volumenya, berapa nilainya, kemudian diberikan fee di mana fee ini diberikan kepada Pertamina terkait dengan kewajiban Pertamina sebagai public service obligation untuk menyediakan, misalnya, bahan bakar bersubsidi. Sedangkan ketika perubahan pola menjadi MOPS 86 Plus Alpha dari sisi pengawasan menjadi dipermudah, Pemerintah hanya melihat berapa total volume BBM bersubsidi kemudian berapa harga patokan atau MOPS di bursa Singapura per bulannya. • Bahwa terkait dengan landasan hukum BBM bersubsidi, Pemerintah pada tahun 2005 mengeluarkan Keppres Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jualan Eceran BBM Bersubsidi, kemudian diubah dengan Keppres Nomor 9 Tahun 2006, dan kemudian terakhir diubah dengan Keppers Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jualan Eceran BBM. Lalu ada Peraturan Presiden Nomor 71 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Tertentu dan diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009, kemudian ada Peraturan ESDM Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 15 tersebut. Berikutnya, ada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3-PMK.02.2009 tentang Tata Cara Penyediaan, Penghitungan, dan Pembayaran Subsidi BBM dan yang terakhir untuk 2012, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21-PMK.02.2011 tentang Tata Cara Penyediaan, Penghitungan, dan Pembayaran Subsidi BBM untuk Tahun Anggaran 2012; • Bahwa di dalam konteks negara mengganti perhitungan atau beban subsidi elpiji, Pemerintah juga mengeluarkan regulasinya, tetapi secara sederhana kurang-lebih harga subsidi elpiji 3 kg mengacu kepada kontrak CP Aramco, Contract Price Aramco yang berada di Arab Saudi, yaitu elpiji merupakan komposisi propana 80% dan butana 20% atau 50%-50%. Kemudian untuk tahun 2012, harga patokan elpiji dihitung dengan menggunakan rumus: contract price atau harga kontrak CP Aramco ditambah $68,64 per metrik tone, ditambah 1,88 CP Aramco, ditambah 1.750/kg. Kemudian subsidi elpijinya dihitung dengan selisih: harga jual eceran setelah dipotong PPN dan marginal jet, dengan harga patokan. Sebagai catatan misalnya, untuk tahun anggaran 2012, Pemerintah dan DPR menyepakati kurang-lebih volume elpiji yang akan disubsidi adalah 3,61 juta _metrik tone; _ • Bahwa di dalam APBN-P 2012, dikatakan rincian anggaran belanja negara untuk subsidi BBM dan elpiji, sebesar Rp137,379 triliun yang di dalamnya termasuk pembayaran untuk kekurangan bayar subsidi BBM dan elpiji 2011 sebesar Rp. 706 miliar, kemudian kekurangan bayar subsidi elpiji terutama konversinya, kurang-lebih 3,5 triliun. Kemudian subsidi LGV konversi gas 87 untuk kendaraan mobil kurang lebih 54 miliar, sehingga aktual bank subsidi yang dialokasikan dan disepakati di dalam APBN-P 2012 adalah Rp133,118 triliun. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dengan indikator tersebut volume total subsidi BBM yang disepakati 40 juta kilo liter dan 3,61 juta metrik ton elpiji, apakah betul Pemerintah membutuhkan anggaran beban subsidi kurang-lebih 133 atau tidak. Terhadap hal tersebut terdapat skenario Pemerintah, yaitu dengan kenaikan ICP dari 90 menjadi 105, maka jika harga premium dan solar tidak dinaikkan dari Rp. 4.500,00 menjadi Rp.
000,00, maka beban subsidi akan membengkak yaitu mencapat 170 sampai 180. • Bahwa berdasarkan regulasi mekanisme perhitungan digunakan landasan hukum yang sama, baik peraturan ESDM, Permen ESDM. Mulai dari Perpresnya, kemudian peraturan untuk Departemen Teknis di ESDM-nya, Permen ESDM, tata cara perhitungan dan juga Permenkeu dapat disimpulkan beberapa hal yaitu, pertama, seharusnya tidak terjadi perbedaan angka yang begitu signifikan di mana untuk skenario jika harga premium dan solar dinaikkan menjadi Rp. 000,00, dapat ditemukan disparitas harga yang begitu tinggi, Rp, 60 triliun lebih. Hal ini yang kemudian menjadi isu bahwa persoalan transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif sumber daya alam, khususnya migas masih sangat buruk, baik itu dari sisi hulu ataupun sisi hilirnya. Bahkan kalau ditanyakan, kepada Departemen Keuangan, Kementerian Keuangan, dan juga ESDM, terutama BP Migas dan BPH Migas memiliki asumsi dan patokan angka data yang sama. Kemudian yang kedua , artinya proyeksi atau perhitungan dengan data-data dan metodologi yang digunakan oleh ICW __ menggunakan metode yang sama, data yang sama, maka baik skenario naik ataupun tidak naik, beban subsidi yang ditanggung oleh negara tidak sebesar yang disampaikan oleh Pemerintah, terutama Kementerian ESDM atau Kementerian Keuangan. Maka pertanyaanya, apakah juga cukup layak atau tidak, lalu apakah juga cukup memiliki dasar hukum Pemerintah mengatakan bahwa terjadi penambahan beban, terutama untuk belanja subsidi yang begitu besar; • Bahwa setiap perubahan dalam industri migas baik kenaikan harga asumsi ICP dari 90 menjadi 105 berimplikasi kepada dua sisi yaitu hulu dan hilir. Di 88 sisi hulu, kalau bicara revenue atau pendapatannya, kenaikan harga minyak mentah otomatis akan menambah pendapatan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas; • Bahwa hal lainnya yang ingin disampaikan adalah di dalam konteks defisit APBN terkait dengan kenaikan harga minyak mentah bahwa kenaikan minyak mentah, di satu sisi memang menambah beban subsidi, pertanyaannya, apakah beban subsidinya seperti yang disampaikan atau disepakati oleh pemerintah dan DPR. Yang disangkutkan dengan Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 33 dan hasil judicial review Mahakamh Konstitusi terkait Undang-Undang Migas 2001 disini yaitu dikarenakan BBM, LPG, energi primer menjadi hak hidup orang banyak, yang mengusai hajat hidup orang banyak maka mau-tidak mau selama konstitusi masih diakui, dan masih mengamini panduan bernegara, maka kewajiban subsidi itu harus tetap diberikan oleh negara.
Warto • Bahwa saksi bekerja sebagai supir trailer di pelabuhan Tanjung Priok, di mana penghasilan yang dirinya dapatkan setelah adanya kenaikan BBM menjadi berkurang dikarenakan pendapatan dari MKL itu yang biasanya MKL itu dalam satu bulan bisa dapat 100 boks, bisa berkurang mencapai 30-40 boks. Itu dampak yang didapat bagi para pemimpin Serikat Buruh di pelabuhan, dan itu pun dampaknya kepada anggota Serikat Buruhnya termasuk dirinya. Dengan adanya isu kenaikan BBM, dari yang sebelumnya mendapatkan 6 rit per minggunya maka saat ini per minggu hanya mendapatkan 3 rit. Secara tegas dapat dikatakan, dengan isu naiknya harga BBM maka pendapatan dirinya berkurang karena harga bahan yang dipakai di perjalanan makan sehari-hari jadi naik dan yang memesan barang untuk diangkut menjadi menurun.
Idrus • Bahwa saksi bekerja sebagai tukang ojek di daerah Pamulang sehari- harinya, dengan adanya isu kenaikan BBM ini, saksi mengatakan bahwa harga bensin untuk ia gunakan sehari-hari bekerja nantinya akan menjadi naik namun harga tarif ojeknya sendiri tidak bisa dinaikkan karena penumpangnya pasti tidak akan menyetujuinya; 89 • Bahwa saat ini, dengan baru adanya isu kenaikan BBM saja, harga bahan makanan dan harga barang-barang pokok sudah mulai mengalami kenaikan sehingga akan mempengaruhi biaya kebutuhan hidup juga;
Nurjanah • Bahwa saksi bekerja sebagai pembantu dan suaminya sebagai pedagang kecil yang dengan adanya isu kenaikan BBM maka harga bahan makanan menjadi naik maka modal yang dibutuhkan juga akan menjadi lebih besar dari biasanya. Ahli para Pemohon 1. Yanuar Rizky • Bahwa pertama pembahasan di APBN-P artinya di perubahan, tidak punya perencanaan di satu sisi. Artinya, kalau memang memproyeksikan harga minyak naik, menurutnya, seharusnya ketika pembahasan APBN sudah ada. Kedua, terlalu over kalau dalam bahasa orang pasar keuangan, statement-statement yang diberikan oleh pemerintah secara official maupun juga beberapa yang mendukung menurut saya terlalu over statement . Artinya di awal tahun pidato bahwa ekonomi bagus, on the track tapi kemudian ketika harga BBM mau naik dan sebagainya seperti mau kiamat. Itu pun sebetulnya cukup buruk. Artinya bahwa kita seolah-olah tidak punya perencanaan; • Bahwa di bursa harga dibentuk oleh dua hal, satu fundamentalnya. Jadi, artinya fundamental supply demand seperti yang dibilang bahwa suplainya berkurang, ada perang, ada krisis teluk, dan sebagainya, itu adalah isu. Tapi suplai pada dasarnya adalah suplainya berapa, kemudian demand -nya berapa, itu adalah dari sisi fundamental. Tapi ada faktor-faktor teknikal di bursa. Artinya secara teknis bisa jadi orang yang mengorder di bursa komoditas memang butuh minyak, bisa jadi dia cuma mau dapat keuntungan finansial atau yang disebut dengan capital gain . Jadi, ada dua tipikal seperti itu; • Bahwa harga minyak terkait dengan harga di bursa perdagangan di mana pada waktu itu adalah perang mata uang yang juga masih berlangsung sampai hari ini antara US Dollar dan Yuan. Kalau mau ditarik ke belakang, persoalannya adalah karena banyak produk di- outsourcing ke China, tapi China tidak meregulalisasi Yuan. Ketika di tahun 2006, dapat dilihat harga 90 minyak saat itu akhirnya digunakan untuk menekan China secara geopolitik. Hal itu dikarenakan China inflasinya waktu itu di 2005/2006 sangat tergantung kepada kenaikan harga minyak karena konsumsinya besar. Jadi bila melihat dalam grafiknya, di mana ada dua titik di A dan B, itu statement- statement yang pada akhirnya ketika China mengalah karena karena kenaikan harga minyak. Pada 20 Mei 2006, China mengatakan meliberalisasi terbatas Yuan. Itulah kemudian menghasilkan mata uang dunia di RMB. Faktanya, setelah China mengatakan demikian, harga minyak turun. Jadi artinya, apakah bisa turun sekejap kemudian langsung turun; • Bahwa PM India mengusulkan ada pembahasan antar pemimpin dunia kalau memang harga minyak dunia mengacu bursa komoditas, maka bursa komoditasnya jangan hanya di satu negara, terkait dengan enforcement (penegakan hukum). Karena menurut Perdana Menteri India di Tahun 2006 bahwa bursa ini jangan-jangan harganya dimainkan oleh yang mungkin lebih dikenal spekulan atau pun order-order finansial, bukan order fisik. Jadi, menurut Perdana Menteri India mengusulkan kalau ingin mengacu pada bursa komoditas dunia bahwa bursa komoditasnya harus didirikan bersama. Namun isu ini sampai hari ini belum selesai; • Bahwa jika dilihat, tidak bisa dipungkiri harga minyak ini segaris dengan inflasi. Persoalannya adalah kalau sekarang harga minyak mau diikutkan ke pasar, secara konstitusinya apakah masyarakat ada di pasar, selanjutnya apakah gaji juga bisa ikut pasar karena hal itu sudah kelihatan fluktuasi. Jadi sudah jelas bahwa harganya naik-turun. Kalau tidak bisa mendirikan perusahaan seperti Sovereign Wealth Fund atau SWF yang khusus untuk melakukan transaksi order di pasar financial yang disebabkan karena harga tidak bisa dikendalikan dan jika pemimpin dunia tidak juga bisa bersepakat maka lebih baik mendirikan BUMN. Itu yang banyak didirikan oleh banyak negara, yang pertama kali melakukan Chavez, Venezuela. Karena harus diingat juga nasionalisasi migas di Venezuela itu bukan seperti yang seheroik yang diceritakan misalnya dinasionalisasi, direbut, melainkan ia beli juga. Uang belinya itu adalah uang IMF 1998, oleh mereka kemudian dijadikan modal membentuk SWF namanya FIAT. Kemudian mereka dapat 91 keuntungan dari bursa komoditas minyak. Akhirnya dibeli, harga sahamnya ditekan, betul Chavez menekan Exxon di situ; • Bahwa yang paling berpengaruh terhadap pemburukan ekonomi Indonesia ialah kalau nilai tukarnya memburuk. Hal ini dikarenakan net importir konsumsi, termasuk net importir migas di sisi lain. Nilai tukar itu sendiri bisa berubah berdasarkan perhitungan elastis terhadap pergerakan harga saham di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bursa efek Indonesia. Di Amerika Serikat beli bensin di SPBU harga pasar, tapi 75% bahkan sekarang literasi finansial di Amerika Serikat 76%, masyarakat Amerika Serikat memiliki instrumen keuangan. Artinya kalau harga minyak naik, harga saham juga naik. Analoginya jika dapat madunya, maka juga harus dapat racunnya. Ketika Indonesia memaksakan harga minyak ikut kepada bursa komoditas, apakah masyarakat mendapatkan madu dari bursa komoditas? Ini yang diterobos oleh China, mendirikan CIC, oleh Italia, oleh beberapa lainnya juga negara karena mereka menganggap kalau masyarakat literasi finansialnya masih rendah, maka ditugasi, satu SWF yang tujuannya adalah mencari madunya di pasar keuangan untuk membiayai racunnya; • Jika dilihat literasi financial Indonesia 350.000 dari 179.000.000 penduduk produktif hanya 0,16%. Dalam neraca pembayaran kita bahwa di sini persoalannya adalah pelemahan surplus ekspor di neraca perdagangan diakibatkan meningkatnya impor energi. Ini dilihat dari neraca perdagangan, di sebelahnya adalah neraca pembayaran. Jadi artinya neraca perdagangan itu adalah impornya berapa, yang dibayar berapa. Jadi ada tekanan di situ. Bahkan untuk memenuhi asumsi produksi saja, dalam beberapa kali APBN tidak mencapai realisasinya. Jadi, menurutnya mungkin yang mendasar ketika membahas segala sesuatu, baiknya kalau sudah menganggap diri kita sebagai konsumen, bukan produsen. Bahwa jika dilihat pertumbuhan tax ratio Indonesia lebih kecil dibandingkan pertumbuhan SUN; • Saksi mengusulkan kalau sekarang takut di atas 2 miliyar tidak dijamin oleh LPS, kenapa tidak dikumpulkan oleh pemerintah, beli SUN MRT misalnya, atau SUN lainnya akan dapat pendapatan pasti, jika dihitung anggap saja 11% atau berapa. Karena rata-rata berdasarkan profiling , orang yang di atas 92 5 miliyar kecenderungan uangnya tidak turn over , tidak berputar melainkan diam; • Menurut ahli, pasar harus dilindungi, maka sebaiknya negara bermain di pasar karena peranan negara di pasar ialah menegakan hukum, membuat regulasi. Namun, karena pasar bursa komoditasnya di MOPS Singapore maka Negara tidak bisa melakukan penegakan hukum, kalaupun dirasa bahwa harganya dimanipulasi oleh order-order tertentu tapi negara jadinya tidak bisa berbuat apa-apa, maka dari itu lebih baik meyerahkan saja kepada harga pasar.
Kwik Kian Gie • Menurut ahli bahwa beberapa pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang ABPN Tahun 2012 bertentangan dengan Konstitusi Republik Indonesia di mana Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 antara lain mencantumkan bahwa subsidi BBM menjadi sebesar Rp137,4 triliun. Menurut Pemerintah dan DPR yang bersepakat mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012, subsidi ini akan membengkak bilamana harga ICP di pasar internasional mencapai +15% dari harga US$105 per barel atau mencapai harga sebesar US$120,75 per barel. Karena itu, DPR mengizinkan Pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi atau bensin premium tanpa persetujuan DPR, bilamana harga ICP di pasar internasional mencapai $120,75 per barel. Pemerintah dan DPR sama sekali tidak pernah menyebutkan adanya pemasukan uang tunai dari BPH Migas sebesar Rp67,92 triliun dan pemasukan uang tunai dari penjualan migas sebesar Rp198,48 triliun. Kalau dua angka ini digabung, besarnya menjadi Rp308,10 triliun dan kalau angka ini dikurangi dengan angka subsidi sebesar Rp137,4 triliun, masih ada kelebihan uang tunai sebesar Rp128,83 triliun; • Menurut ahli dan banyak orang, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 jelas bertentangan dengan konstitusi karena undang-undang tersebut menyatakan hal-hal yang sama sekali tidak benar. Ketidakbenaran dari apa yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tercantum dalam penjelasan tentang undang-undang yang sama yang tidak dapat dipisahkan dari undang-undangnya sendiri. Di mana adanya pos 93 pemasukan PPH sebesar Rp 67,92 triliun dan di mana adanya pos pemasukan dari penjualan migas sebesar Rp 198,62 triliun. Pos pemasukan PPH-nya tercantum pada halaman 4 dengan nomor pos 41111. Pos pemasukan uang dari pejualan migas tercantum dalam halaman 4 dengan nomor pos 4211 dan 4212; • Argumentasi ahli yatu inti dari Pasal 7 ayat (1) mengatakan bahwa subsidi BBM jenis tertentu dan elpiji tabung 3 kg dalam tahun anggaran 2012 diperkirakan sebesar Rp137,4 triliun dengan volume jenis BBM tertentu sebanyak 40 juta kiloliter. Inti dari Pasal 7 ayat (6a) mengatakan bahwa Pemerintah boleh menaikkan harga BBM bersubsidi, bilamana harga rata- rata minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan lebih dari 15% dari harga yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, yaitu US$105 per barel. Bahwa dua pasal tersebut saling berkaitan yang dapat digabungkan menjadi rumusan sebagai berikut. Dengan harga bensin premium yang berlaku sebesar Rp4.500, per liter dan harga LPG tabung 3 kg yang berlaku pada saat ini, atas dasar harga ICP sebesar US$105 per barel dalam pasar internasional yang ditentukan oleh Nymex, Pemerintah mengeluarkan uang tunai dalam bentuk subsidi sebesar Rp123,6 triliun, seperti yang tercantum dalam nota keuangan tahun 201 Namun karena adanya perubahan dalam asumsi APBN, maka diterbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 yang menjadikan besarnya apa yang dinamakan subsidi BBM menjadi Rp137,4 triliun; • Bahwa subsidi dalam bentuk pengeluaran uang tunai sebesar Rp137,4 triliun menurutnya sama sekali tidak benar. Sebaliknya, yang ada adalah kelebihan uang tunai. Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012, terdapat rincian angka-angka yang letaknya pada halaman- halaman yang tidak berurutan. Kalau semua angka yang relevan dirangkum ke dalam satu tabel, hasilnya sebagai berikut. Pada halaman 4, terdapat pos yang bernomor 41111 dengan sebutan BPH Migas. Jumlahnya yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012, kolom terakhir adalah Rp.67,92 triliun. Pada halaman 7 dengan dua pos yang digabung jadi satu, yaitu pos 4211 dan pos 4212 dengan sebutan pendapatan migas, jumlahnya Rp.198,48 triliun. Jumlah pemasukan Rp.308,10 triliun. Subsidi 94 tercantum pada halaman 20 tercantum besarnya subsidi Rp.137,4 triliun. Kalau semuanya ditambahkurangkan maka kelebihan uang tunai sebesar Rp128,83 triliun, semuanya tercantum di dalam dokumen resmi undang- undang, penjelasannya yang menghitung dan yang menulis adalah para pejabat resmi dari Kementerian Keuangan yang dengan sendirinya Menteri Keuangan sendiri yang bertanggung jawab. Di mana dalam tabel tersebut tidak dimasukkan pos dana bagi hasil karena dana bagi hasil bukan pengeluaran untuk Kas Negara Republik Indonesia; • Bahwa dalam halaman 4 Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 mencantumkan adanya pemasukan uang tunai dari BPH Migas sebesar Rp67,92 triliun. Halaman 7, Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 mencantumkan adanya pemasukan uang tunai dari penjualan migas sebesar Rp198,48 triliun. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 mencantumkan adanya pengeluaran subsidi yang diperkirakan sebesar Rp137,4 triliun. Kalau tiga angka tersebut ditambahkurangkan, hasilnya adalah kelebihan uang tunai sebesar Rp128,83 triliun. Seperti terlihat dalam tabel 1. Entah disengaja atau tidak, dalam semua pernyataan dan keterangan resmi, Pemerintah dan DPR selalu hanya menyebut adanya angka subsidi sebesar Rp137,4 triliun. Tetapi tidak pernah menyebut adanya angka pemasukan sebesar Rp67,92 triliun dari BPH Migas dan angka pemasukan sebesar Rp198,48 triliun sebagai hasil penjualan migas. Seluruh rakyat Indonesia diberikan gambaran adanya kekurangan uang sebesar Rp137,4 triliun tanpa menyebut adanya pemasukan Rp67,92 triliun dan Rp198,48 triliun. Lantas dikatakan oleh Pasal 7 ayat (6a) bahwa bilamana harga ICP di pasar internasional yang ditetapkan oleh Nymex menjadi 105 ditambah 15% atau menjadi US$120,75 per barel, Pemerintah boleh menaikkan harga bensin premium tanpa persetujuan DPR; • Bahwa seperti dapat dilhat dari tabel 1 dengan asumsi baru, Pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar Rp128,83 triliun. Dalam menghitung kelebihan uang tunai tersebut, sudah diperhitungkan adanya uang tunai yang harus dikeluarkan untuk apa yang dinamakan subsidi sebesar Rp137,4 triliun. Menurut ahli yang menjadi alasan Pemerintah dan DPR merasa perlu menaikkan harga bensin premium bilamana harga ICP di pasar internasional yang ditetapkan oleh Nymex mencapai $120,75 per 95 barel. Sebabnya tiada lain karena alur pikirnya didasarkan atas perhitungan harga pokok dengan metode replacement value . Dalam metode ini, kerugian tidak dalam bentuk kehilangan uang tunai, tetapi hanya dalam bentuk kesempatan yang hilang. Kerugiannya tidak dalam bentuk real cash money loss , tetapi hanya dalam bentuk opportunity loss . Semua pencatatan dan pembukuan dalam APBN Republik Indonesia atas dasar uang tunai yang masuk dan yang keluar, maka menghasilkan angka surplus atau kelebihan uang tunai. Namun semua pernyataan, penjelasan, diskusi, didasarkan atas perhitungan harga pokok dengan metode replacement value method yang adalah harga yang terbentuk dalam persaingan di dunia yang ditetapkan oleh Nymex. Lebih parah lagi, landasan pikir metode menghitung harga pokok yang sama sekali bertentangan dengan landasan pikir, pola, postur, dan struktur APBN dan keuangan negara kita, disusupkan ke dalam Pasal 7 ayat (6a) dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012; • Dengan demikian, menjadi jelas bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 Pasal 7 ayat (6a) bertentangan dengan angka-angka yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 halaman 4 dan Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 Pasal 7 ayat (6a) mendasarkan diri pada harga yang tertentu di pasar internasional yang dikoordinasikan dan ditetapkan oleh Nymex. Ketentuan dan pikiran seperti ini telah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi Republik Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang bernomor 002/PUU-I/2003; • Bahwa untuk lebih lengkapnya, maka akan dilakukan kalkulasi dengan asumsi yang lebih konservatif yaitu harga ICP 120,75 per barel tidak 90 seperti sekarang ini. US$1 dianggap sama dengan Rp10.000,00 tidak sama dengan Rp9.500,00 seperti sekarang ini. Konsumsi BBM 63 miliar liter per tahun angka pemerintah sendiri, lifting 930.000 barel per hari angka pemerintah sendiri, hak Indonesia 70% angka pemerintah sendiri. Atas dasar data dan asumsi tersebut, perhitungan apakah kekurangan uang tunai atau kelebihan uang tunai menjadi sebagai berikut. Lifting hak Indonesia adalah 70% dari 365 hari yang setiap harinya mengangkat minyak sebanyak 930.000 barel atau jumlah totalnya 237.625.000 barel. Dalam liter sama 96 dengan 37,78 miliar liter, sedangkan konsumsinya 63 miliar liter, maka memang kekurangan yang harus diimpor, yaitu impor harus dilakukan sebanyak 25,22 miliar per liter. Dan impor ini kalau dinyatakan dalam barel, menjadi 158,61 juta barel. Kalau dinyatakan dalam US$ yang dikalikan dengan harga 120,75, menjadi US$191,52 miliar. Kalau impor ini dinyatakan dalam rupiah dengan kurs Rp10.000,00 per dolar menjadi Rp191,53 triliun; • Kemudian perhitungan surplusnya sebagai berikut Konsumsi Pertamax 23 miliar liter dengan harga rata-rata sebesar Rp10.000,00. Jumlah pemasukan uang ke dalam kas negara dari hasil penjualan bensin Pertamax sebanyak 23 miliar liter adalah Rp230 triliun. Konsumsi premium 40 miliar liter sebesar … dengan harga Rp4.500,00 adalah Rp180 triliun. Jadi, jumlah pemasukan uang tunai adalah Rp410 triliun. Biaya lifting, refining, transporting adalah 63 miliar liter kali 630 yang sama dengan Rp39,69 dibulatkan menjadi Rp40 trilliun sama dengan Rp30 triliun tadi. Kelebihan uang tunai menjadi Rp370 triliun dipakai untuk mengimpor sebesar Rp191,53 triliun tetap kelebihan uang tunai sebesar Rp178,47 triliun; • Dengan demikian jika digunakan semua angka tentang data dan asumsi yang diberikan oleh Pemerintah dan angka-angka tersebut dapat dirangkaikan sendiri dalam perhitungan tambah kurang secara logis, hasilnya bahkan kelebihan uang tunai sebesar Rp178,47 triliun. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan yang tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 yang menghasilkan kelebihan uang tunai sebesar Rp128,83 triliun. Bagaimanapun juga terdapat kelebihan uang tunai, bukan defisit yang mengakibatkan APBN jebol; • Mengutip dari perkataan Bapak Boediono saat menjadi menteri Keuangan bahwa harga BBM akan naik dan turun bergantung pada harga yang ada di New York. Menurut Ahli, pola pikir Pemerintah kacau balau, dari antara menghitung harga pokok yang didasarkan atas cash spaces dan menghitung harga pokok yang didasarkan atas replacement value . Dengan demikian yang menjadi pertanyaan berikutnya mengapa ketika sekarang nyatanya harga di New York turun hingga di bawah 90 harga bbmnya tidak diturunkan; • Menurut ahli, harga dari komoditi yang vital tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar melainkan ditentukan atas tiga asas ke bawah, yaitu satu 97 adalah kepatutan, kedua adalah daya beli masyarakat, ketiga adalah nilai strategisnya. Dikatakan bahwa BBM kalau dinaikkan sesuai mekanisme pasar, semua sektor ekonomi akan terpengaruh. Kalau demikian rumusan penjelasan pemerintah kepada rakyat, namanya Pemerintah tidak membohongi dan Pemerintah tidak membodohi rakyat namun yang terjadi adalah bahwa pikiran yang sama akan tetapi entah atas perintah siapa, mungkin atas perintah kekuatan asing, maka yang dipakai berpikir sampai begitu mendalamnya sampai tidak mampu lagi berpikir secara logis adalah untuk mengatakan bahwa harga pokok New York sekian. Kalau harga pokoknya sekian dijual 4.500 maka rugi 1.500, padahal rugi itu adalah rugi dalam mindset atau opportunity lost . [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pemerintah telah memberikan keterangan dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 26 Juni 2012 dan telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 1 Agustus 2012, pada pokoknya sebagai berikut: I. Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon Atas kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut “UU Mahkamah Konstitusi”), dan syarat kerugian konstitusional sebagaimana pendirian Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU- III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi dan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 dimaksud, Pemohon pengujian undang-undang diwajibkan untuk menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan. Namun sebagaimana dapat dicermati dalam permohonannya, para 98 Pemohon tidak menguraikan atau pun menyebutkan secara jelas dan tegas hak konstitusionalnya yang terdapat di dalam UUD 1945 yang dirugikan. Selain itu, sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi dan yurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) pemohon dalam pengujian undang-undang, maka kerugian atas hak konstitusional harus bersifat spesifik (khusus) dan memiliki hubungan sebab akibat ( causal verband ) dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian. Pemerintah berpendapat bahwa kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon di dalam permohonannya tidak bersifat spesifik (khusus) dan tidak memiliki hubungan sebab akibat ( causal verband ) dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian ini. Oleh karenanya, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Meskipun Pemerintah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon seharusnya tidak dapat diterima karena para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum, namun Pemerintah akan tetap memberikan penjelasan dan keterangan mengenai pokok materi pengujian undang-undang yang dimohonkan. Oleh karena itu, bersama ini Pemerintah akan menyampaikan keterangan atas ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), Pasal 15A dan Pasal 15B UU APBN-P 2012, serta terkait dengan anggaran kesehatan. II. Penjelasan Pemerintah Atas Ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6A), Pasal 15A dan Pasal 15B UU APBN-P 2012, serta Terkait Anggaran Kesehatan A. Penjelasan Umum UU APBN-P 2012 Sebagaimana amanat konstitusi, yaitu Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sesuai dengan perintah konstitusi tersebut, maka untuk tahun 2012 ini, Pemerintah bersama Dewan 99 Perwakilan Rakyat telah membentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (selanjutnya disebut “UU APBN 2012”) dan UU APBN-P 2012. Bahwa pembentukan undang-undang tentang APBN dan perubahannya tersebut, merupakan pilihan kebijakan yang bebas/terbuka ( opened legal policy ) yang diberikan UUD 1945 kepada pembentuk undang-undang, sehingga sudah sepatutnya apabila pilihan kebijakan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dimaksud tidak dapat dilakukan pengujian materiil. Selain itu, Pasal 23C UUD 1945 juga telah mengamanatkan agar hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang. Adapun undang-undang mengenai keuangan negara yang telah dibentuk oleh pembuat undang-undang di antaranya terutama adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut “UU Keuangan Negara) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut “UU Perbendaharaan Negara”). Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, undang-undang tentang APBN merupakan dasar bagi Pemerintah untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran negara. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, apabila terjadi perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja; serta keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan, maka penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dimaksud dibahas Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan. Adapun rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapatkan persetujuan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. 100 Dapat Pemerintah sampaikan bahwa dalam UU APBN 2012, asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan sebagai basis perhitungan postur APBN adalah sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi 6,7 persen, inflasi 5,3 persen, rata-rata nilai tukar rupiah Rp8.800 per dolar Amerika Serikat, rata-rata suku bunga SPN 3 bulan 6,0 persen, rata-rata harga minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Oil Price/ICP ) USD 90 per barel, dan rata-rata lifting minyak 950 ribu barel per hari. Namun dikarenakan perkembangan kondisi perekonomian yang ada, baik perekonomian global maupun domestik, maka asumsi dasar ekonomi makro tahun 2012 sebagai dasar penyusunan UU APBN-P 2012 mengalami penyesuaian, yaitu sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi 6,5 persen, inflasi 6,8 persen, rata-rata nilai tukar rupiah Rp 9.000 per dolar Amerika Serikat, rata-rata suku bunga SPN 3 bulan 5,0 persen, rata-rata harga minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Oil Price/ICP ) USD105,0 per barel, dan rata-rata lifting minyak 930 ribu barel per hari. Selain itu, untuk menampung seluruh perubahan dalam pendapatan negara dan hibah, belanja negara, serta defisit dan pembiayaan anggaran, maka perubahan terhadap APBN 2012 tersebut dilakukan secara menyeluruh, sehingga selain menampung perubahan indikator ekonomi makro tahun 2012, perubahan APBN 2012 juga dimaksudkan untuk mengakomodir perubahan-perubahan kebijakan dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN 2012. Adapun perubahan kebijakan fiskal dan langkah-langkah antisipatif yang ditetapkan dalam perubahan APBN 2012 adalah sebagai berikut: penambahan dana infrastruktur dan kebutuhan mendesak yang dibiayai dari pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL), kebijakan pengendalian subsidi BBM yang disertai dengan program kompensasi, pemotongan belanja kementerian negara/lembaga nonmodal, serta perluasan defisit anggaran dengan tambahan yang di antaranya dibiayai dari penerbitan surat berharga negara dan penambahan pemanfaatan SAL. Selain itu, langkah-langkah kebijakan tersebut juga disertai dengan optimalisasi pendapatan negara, terutama melalui peningkatan penerimaan negara bukan pajak. 101 Sebagai akibat dari perkembangan berbagai asumsi dasar ekonomi makro yang berubah dari perkiraan semula, serta dengan adanya perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang dampaknya cukup signifikan terhadap APBN 2012, maka perubahan APBN 2012 dilakukan secara menyeluruh guna menampung seluruh perubahan dalam pendapatan, belanja, serta defisit dan pembiayaan anggaran, sehingga telah terjadi pula perubahan postur APBN 2012 yang meliputi pendapatan dan hibah, belanja, defisit anggaran, dan pembiayaan. Oleh karena itu, APBN-P 2012 merupakan paket kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi yang bertujuan untuk menjaga sustainabilitas fiskal ( fiscal sustainability ), memperbaiki efisiensi ekonomi, meningkatkan investasi untuk menstimulasi ekonomi, menjaga daya beli masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. B. Penjelasan Atas Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU APBN-P 2012 Terkait dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU APBN-P 2012, dapat Pemerintah sampaikan bahwa meningkatnya alokasi anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) menjadi sebesar Rp.137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah) dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) dari yang semula hanya sebesar Rp.123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh puluh empat juta rupiah) dalam UU APBN 2012, hal tersebut sebagai akibat dari harga minyak mentah yang meningkat tajam serta nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi. Terkait dengan kondisi perekonomian dan harga minyak mentah yang melonjak tinggi, dapat Pemerintah sampaikan bahwa kenaikan anggaran subsidi BBM dan LPG dari semula Rp.123.599.674.000.000,00 menjadi Rp.137.379.845.300.000,00 dikarenakan perubahan asumsi ekonomi makro dan parameter yang ditetapkan Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam APBN-P 2012, yaitu rata-rata harga minyak mentah Indonesia berubah dari USD90 per barel menjadi USD105 per barel dan nilai tukar berubah dari Rp8.800 per USD menjadi Rp9.000 per USD. 102 Selain itu, dapat Pemerintah kemukakan bahwa pelaksanaan subsidi BBM dan LPG pada setiap akhir tahun anggaran akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menjaga good governance dan akuntabilitas realisasi penggunaan anggaran subsidi BBM dan LPG. Oleh karena itu, Pemerintah tegaskan bahwa alasan Para Pemohon yang menyatakan alokasi anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut telah di markup adalah tidak benar. C. Penjelasan Atas Pasal 7 ayat (6A) UU APBN-P 2012 Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa peningkatan alokasi anggaran subsidi BBM dan LPG tersebut dimaksudkan agar harga jual eceran BBM bersubsidi (premium, solar, minyak tanah) dan LPG tabung 3 kg tetap terkendali, sehingga Pemerintah dapat menjaga stabilitas harga dan mencegah inflasi yang sangat tinggi, serta pertumbuhan ekonomi yang tetap dinamis dan stabilitas ekonomi makro yang tetap terjaga. Namun dengan perkembangan harga minyak mentah dunia yang lonjakannya sangat tinggi dan sangat jauh di atas asumsi dalam APBN 2012, akan mendorong tingginya kebutuhan subsidi BBM dan mempersempit ruang fiskal Pemerintah untuk melaksanakan program- program yang lebih bermanfaat terhadap masyarakat banyak. Kenaikan harga ICP dan depresiasi nilai tukar rupiah pada tahun 2012 diperkirakan akan mendorong defisit secara sangat substansial menjadi di atas 3 persen terhadap PDB, yang apabila bila tidak disesuaikan, akan melanggar UU Keuangan Negara. Di samping itu, mengingat sangat sulitnya untuk memprediksi perkembangan kondisi perekonomian global maupun nasional, maka dalam keadaan tertentu, khususnya dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Price/ICP ) mengalami kenaikan yang sangat tajam, terhadap harga BBM bersubsidi sudah selayaknya harus dilakukan penyesuaian pula. Harga rata-rata ICP tersebut menjadi indikator atau asumsi makro utama bagi Pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga BBM. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa apabila harga rata-rata ICP mengalami kenaikan, maka akan berpotensi menambah jumlah anggaran subsidi BBM dalam APBN. Dengan diperlukannya tambahan subsidi BBM 103 yang sangat besar tersebut, maka berakibat pula pada bertambahnya defisit anggaran, sehingga dapat menyebabkan APBN menjadi tidak stabil. Oleh karena itu, sebagai upaya antisipasi untuk menjaga agar postur APBN tetap sehat dan seimbang, pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi. Hal ini dimaksudkan agar dalam hal harga minyak mentah mengalami kenaikan yang sangat tinggi, Pemerintah dapat menyesuaikan harga BBM bersubsidi tersebut agar tidak mengakibatkan tidak sehatnya APBN secara keseluruhan yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada stabilitas perekonomian nasional. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P 2012 atas hasil pembahasan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat diputuskan bahwa kewenangan diberikan kepada Pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Price/ICP ) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN-P 2012. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P 2012 telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi, sebagaimana terlihat jelas pada frasa “ Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi… ” Hal tersebut menegaskan bahwa harga BBM bersubsidi tidak diserahkan pada mekanisme pasar atau persaingan usaha, namun ditentukan oleh Pemerintah dengan tetap mempertimbangkan postur APBN secara keseluruhan dan perkembangan harga minyak mentah di pasar internasional. Dengan demikian, alasan pengujian para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P 2012 telah menyerahkan harga BBM bersubsidi kepada mekanisme pasar merupakan dalil yang tidak benar. D. Penjelasan Atas Pasal 15A UU APBN-P 2012 Atas ketentuan Pasal 15A UU APBN-P 2012, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 15A tersebut sangat erat kaitannya 104 dengan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (6a) yang telah Pemerintah jelaskan terdahulu. Sebagaimana telah Pemerintah sampaikan di atas, bahwa dalam rangka mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia, Pemerintah perlu diberikan kewenangan untuk melakukan kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi. Namun demikian, penyesuaian harga BBM bersubsidi tersebut berpotensi menaikkan harga pangan dan menurunnya daya beli dan tingkat kesejahteraan khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Penyesuaian harga BBM bersubsidi akan mengakibatkan naiknya inflasi menjadi di atas 7 persen, yang berpotensi menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran, serta dapat mengganggu keberlanjutan program pendidikan terutama bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 15A UU APBN-P 2012, pembuat undang-undang menetapkan program kompensasi atas penyesuaian harga BBM bersubsidi sebagai langkah antisipasi. Program kompensasi tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat miskin dari kemungkinan kenaikan harga, terutama dari jasa transportasi, serta mengurangi beban biaya hidup rumah tangga dan memberikan kompensasi biaya hidup yang meningkat. Pelaksanaan program kompensasi tersebut didasarkan pada kriteria sebagai program darurat yang bersifat sementara, dapat dilaksanakan dengan cepat, nilai bantuan memadai untuk kompensasi, program harus tepat sasaran, biaya pengelolaan efektif, dan secara kelembagaan dimungkinkan. Berdasarkan kriteria tersebut, maka program kompensasi penyesuaian harga BBM bersubsidi tahun 2012 salah satunya ditempuh melalui Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). BLSM merupakan pembayaran tunai kepada rumah tangga sasaran guna menambah pendapatan rumah tangga miskin untuk mengkompensasi biaya hidup yang meningkat. Dengan skema pembayaran tunai, maka diharapkan agar bantuan akan dimanfaatkan sesuai kebutuhan penerima, dapat didistribusikan secara cepat, serta tidak menyebabkan distorsi harga pasar. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 15A UU APBN-P 2012 telah sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa APBN sebagai wujud dari pengelolaan 105 keuangan negara dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan hal-hal tersebut, Pemerintah tegaskan bahwa alasan pengujian yang dikemukakan oleh para Pemohon yang menyatakan bahwa dana kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi dalam bentuk BLSM yang ditetapkan dalam Pasal 15A UU APBN-P 2012 tidak mempunyai dasar dan pertimbangan yang matang serta tidak dapat dipertanggungjawabkan peruntukkannya adalah tidak benar. E. Penjelasan Atas Proses Pembentukan UU APBN-P 2012 Terkait Dengan Pengujian Formil Terkait dengan pengujian formil yang diajukan para Pemohon, dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pembentukan UU APBN-P 2012 telah dilakukan sesuai dengan proses pembentukan yang diatur dalam UUD 1945, UU 12/2011, UU MD3, maupun peraturan perundang- undangan lainnya. Alasan pengujian formil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan Pasal 7 ayat (6a) telah melewati batas waktu yang ditentukan dalam Pasal 161 ayat (4) UU MD3 adalah tidak benar. Dalam ketentuan Pasal 161 ayat (4) UU MD3 tersebut dinyatakan bahwa pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR. Bahwa pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN 2012 a quo yang dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait tidak lebih dari 1 (satu) bulan dalam masa sidang. Oleh karena itu, proses pembentukan Pasal 7 ayat (6a) dimaksud tidak melanggar ketentuan Pasal 161 ayat (4) UU MD3. Sedangkan terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan pembentukan Pasal 7 ayat (6a) bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU 12/2011, menurut Pemerintah hal tersebut adalah tidak benar, karena pembentukan Pasal 7 ayat (6a) a quo telah mengikuti proses pembentukan peraturan perundang- undangan yang diatur dalam UU 12/2011. Selain itu, Pemerintah 106 berpendapat bahwa alasan pengujian yang dikemukakan para Pemohon tersebut juga bukan merupakan alasan pengujian formil, karena pengujian formil sepatutnya dilakukan terhadap proses pembentukannya, bukan materi muatan normanya. III. Kesimpulan Sejalan dengan penjelasan Pemerintah tersebut di atas, maka atas permohonan pengujian ini Pemerintah berkesimpulan bahwa:
Ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), Pasal 15A, dan Pasal 15B UU APBN-P 2012, serta terkait dengan anggaran kesehatan tidak bertentangan dengan UUD 1945;
Proses pembentukan UU APBN-P 2012 telah sesuai dengan UUD 1945, UU 12/2011, UU MD3, serta peraturan perundang-undangan lainnya;
Keterangan saksi maupun ahli para Pemohon sudah sepatutnya tidak dapat dipertimbangkan, karena keterangan yang diberikan tidak didasarkan pada fakta yang sebenarnya dan dilakukan secara parsial tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan postur APBN-P 2012 secara keseluruhan;
Permohonan pengujian atas UU APBN-P 2012 yang diajukan oleh para Pemohon dalam perkara Nomor 42/PUU-X/2012, Nomor 43/PUU-X/2012, Nomor 45/PUU-X/2012, Nomor 46/PUU-X/2012, dan Nomor 58/PUU- X/2012 a quo tidak beralasan hukum. Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, Pemerintah mohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 107 Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono) . [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberikan keterangan dalam persidangan Mahkamah pada tangal 26 Juni 2012 dan telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 29 Agustus 2012, pada pokoknya sebagai berikut: A. Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 Yang Dimohonkan Pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengujian Formil. Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian formil terhadap proses pengambilan keputusan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 dalam rapat paripurna DPR yang dianggap telah melewati batas waktu masa sidang. Adapun argumen Pemohon sebagai berikut:
Bahwa Pasal 161 ayat (4) UU MD3 menyatakan bahwa “Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR”.
Bahwa dalam Pasal 157 ayat (1) Tata Tertib DPR Tahun 2009 - 2014 menyatakan bahwa: “Pembahasan terhadap Perubahan atas APBN dilakukan oleh Badan Anggaran dan komisi terkait dengan pemerintah paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang setelah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR.
Bahwa pasal tersebut di atas mengatur secara jelas batasan waktu masa sidang rancangan undang-undang tentang perubahan APBN yaitu 1 (satu) 108 bulan setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR.
Bahwa perhitungan hari yang dimaksud pasal tersebut di atas yaitu hari kerja (5 hari dalam 7 hari kalender) terhitung mulai hari Senin sampai dengan Jumat. Hal ini dapat dismpulkan dalam pengaturan Pasal 199 ayat (1) UU MD3 yang menyebutkan bahwa: “Tahun sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya dan apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya“.
Bahwa dalam Pasal 219 ayat (1) dan ayat (2) Tata Tertib DPR Tahun 2009 – 2014 menyatakan bahwa:
Waktu rapat DPR adalah:
pada siang hari, hari Senin sampai dengan hari Kamis, dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 16.00 dengan waktu istirahat pukul 12.00 sampai dengan pukul 13.00; hari Jumat dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 16.00 dengan waktu istirahat dari pukul 11.00 sampai dengan pukul 13.30; dan
pada malam hari dari pukul 19.30 sampai dengan pukul 22.30 pada setiap hari kerja.
Penyimpangan dari waktu rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan oleh rapat yang bersangkutan.
Bahwa Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN 2012 tanggal 29 Februari 2012 sedangkan sidang Paripurna tentang perubahan APBN 2012 selesai tanggal 31 Maret 2012 pukul 01.00 pagi.
Bahwa perhitungan 1 bulan masa sidang rancangan undang-undang tentang perubahan APBN 2012 seharusnya berakhir pada hari Sabtu tanggal 31 Maret 2012 yang bukan merupakan hari kerja, maka dari itu masa sidang rancangan undang-undang tentang perubahan APBN 2012 telah habis di hari Jumat tanggal 30 Maret 2012.
Bahwa Pasal 161 ayat (4) UU MD3 dan Pasal 157 dan Pasal 219 ayat (1) dan ayat (2) Tata Tertib Anggota DPR Tahun 2009-2014 merupakan aturan turunan yang bersumber pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
Bahwa persetujuan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN 109 2012 menjadi Undang-Undang yang dilakukan oleh Rapat Paripurna DPR RI pada Hari Sabtu tanggal 31 Maret 2012 dianggap oleh Pemohon telah melanggar ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 161 ayat (4) UU MD3 serta Pasal 157 ayat (1) dan Pasal 219 ayat (1) dan ayat (2) Tata Tertib DPR Tahun 2009 - 2014. Sehingga persetujuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan APBN 2012 menjadi Undang-undang oleh DPR RI secara formil cacat hukum yaitu telah lewat batas waktu, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun bunyi pasal yang oleh Pemohon dianggap telah dilanggar yaitu:
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945: “(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. b. Pasal 161 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009: “(4) Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR”. c. Pasal 157 ayat (1) dan Pasal 219 ayat (1) dan ayat (2) Tata Tertib DPR RI Tata Tertib Anggota DPR-RI Tahun 2009 – 2014:
Waktu rapat DPR adalah:
pada siang hari, hari Senin sampai dengan hari Kamis, dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 16.00 dengan waktu istirahat pukul 12.00 sampai dengan pukul 13.00; hari Jumat dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 16.00 dengan waktu istirahat dari pukul 11.00 sampai dengan pukul 13.30; dan
pada malam hari dari pukul 19.30 sampai dengan pukul 22.30 pada setiap hari kerja.
Penyimpangan dari waktu rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan oleh rapat yang bersangkutan. 110 2. Pengujian Materiil Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), Pasal 15A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 dan beranggapan ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun bunyi pasal-pasal dimaksud sebagai berikut: Pasal 7 ayat (1) yaitu: “Subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas (LPG)) tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 diperkirakan sebesar Rp137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah), dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 KL (empat puluh juta kilo liter)“ Pasal 23 ayat (1) berbunyi : “ anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) berbunyi: “(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. (2) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) berbunyi: “(2) Cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negar 111 (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Adapun argumen yang disampaikan para Pemohon sebagai berikut: a) Bahwa angka dalam pasal tersebut di atas berubah dari yang pertama ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahun Anggaran 2012 yang menyatakan bahwa “Subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakargas cair ( liquefied petroleum gas (LPG)) tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 direncanakan sebesar Rp.123.599.674.000.000,00 (seratus duapuluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh puluh empat juta rupiah), dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 KL (empat puluh juta kiloliter).” b) Bahwa Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat ”. c) Bahwa Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus dilaksanakan dengan cara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. d) Bahwa penerapan Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 menimbulkan potensi penyelewengan anggaran karena ditemukan indikasi “ mark-up ” tanpa disertai penjelasan secara spesifik jumlah Subsidi BBM tersebut, dan tidak menunjukkan pengelolaan keuangan yang terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. e) Bahwa dengan adanya jumlah alokasi dana yang besar tanpa adanya kejelasan tujuan dan keterbukaan, seharusnya Pemerintah mengalokasikan dana tersebut pada pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik. Tunjangan 112 perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya, serta pendidikan gratis sampai jenjang perguruan tinggi sesuai dengan amanat Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. f) Bahwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menentukan: “Cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. g) Bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 menentukan jumlah besaran subsidi atas BBM dan LPG yang merupakan salah satu cabang produksi yang dibutuhkan oleh masvarakat Indonesia. h) Bahwa dengan Pemerintah yang menyandarkan jumlah Subsidi BBM pada MOPS yang merupakan mekanisme pasar dalain penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM, makn secara jelas Pemerintah telah salah dalam menentukan kebijakan (beleid) dan telah salah urus, karena seharusnya Pemerintah sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak menyandarkan jumlah subsidi dengan mekanisme pasar di mana frase "digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" tidak akan pernah terwujud. i) Bahwa dengan didasarkannya MOPS pada perumusan Pasal 7 ayat (1) UU Perubahan APBN 2012 mengakibatkan kerugian bagi buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena BBM beserta subsidinya tidak akan pernah digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 7 ayat (6a), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun bunyi pasal-pasal dimaksud sebagai berikut: Pasal 7 ayat (6a) yaitu: “Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah 113 berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya” Pasal 23 ayat (1) berbunyi : “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 28D ayat (1) berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hokum”. Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) berbunyi: “(2) Cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Adapun argumen para Pemohon sebagai berikut: a) Bahwa Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hnrus dilaksanakan dengan cara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dua hal tersebut merupakan amanat yang diberikan kepada Pemerintah yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. b) Bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 mengizinkan pemerintah menaikkan liarga BBM jika ICP (Indonesia Crude Price) naik rata-rata 15% dalam enam bulan tanpa persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. c) Bahwa selama Pemerintah menyandarkan perhitungan ICP pada mekanisme pasar maka penggunaan BBM untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 tidak akan pernah terwujud. Pemerintah hanya akan mengutamakan aspek ekonomi yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi ini daripada kemakmuran rakyat. 114 d) Bahwa jangka waktu yang dipergunakan selama 6 bulan telah mengakibatkan ketidakpastian bagi masyarakat akibat fluktuasi kenaikan harga yang menyertai isu kenaikan harga BBM, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi dari berbagai sektor masyarakat. Ketidakpastian ekonomi akibat ketidakpastian kenaikan harga BBM membawa dampak terganggunya perikatan ekonomi sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, padahal kepastian hukum adalah hak setiap warga negara Indonesia yang dilindungi oleh konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28D ayat (1), yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” e) Bahwa Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang tentang APBNP 2012, telah memberikan mandat kepada Pemerintah guna menentukan harga BBM. Sepertinya pasal ini menjalankan perintah Pasal 33 UUD 1945, akan tetapi pasal ini tidak menjadikan sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam penerntuan harga BBM yang akan dilakukan oleh Pemerintah. Harga BBM hanya ditentukan oleh harga minyak tanah Indonesia [ICP) dan minyak tanah dunia (NYMEX). Hal ini justru menunjukan bahwa dasar pertimbangan Pemerintah dalam menentukan harga BBM adalah mekanisme pasar bukan penguasaan negara untuk melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. f) Bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012 bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena harga minyak diserahkan pada mekanisme pasar yang menyebabkan Pemerintah mengutamakan aspek ekonomi y aitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi ini daripada kemakmuran rakyat. g) Bahwa harus ada kedaulatan negara dalam menentukan harga tanpa bersandar pada mekanisme pasar demi kesejahteraan masyarakat. seharusnya Harga untuk masyarakat adalah harga yang benar-benar biaya yang dikeluarkan negara dari hulu ke hilir dibagi besaran produksi- sehingga tercapai harga ekonomis dalam negeri. 115 c. Pasal 15A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 15A berbunyi: “Dalam rangka membantu masyarakat berpendapatan rendah agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah akibat gejolak harga, dialokasikan anggaran untuk bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp. 17.088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) termasuk anggaran untuk pengaman pelaksanaan (safeguarding)”. Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) berbunyi: “(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” Adapun argumen para Pemohon sebagai berikut: a) Bahwa Pasal 15A UU Perubahan APBN 2012 tidak dibahas dalam Sidang Paripurna tanggal 30 Maret 2012 dan telah ditentukan terlebih dahulu dalam rapat Badan Anggaran DPR yang tertutup untuk umum. b) Bahwa dana kompensasi sebesar Rp.17.088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupaih) menimbulkan ketidakpastian hukum karena besaran kompensasi kenaikan sebesar Rp.17.088.400.000.000,00 tidak mempunyai dasar dan pertimbangan yang matang dan tidak logis, juga karena dana kompensasi sebesar Rp.17.088.400.000.000,00 berkaitan erat dengan Pasal 7 ayat (6a) dan merupakan satu kesatuan. Yang berarti besaran dana kompensasi tergantung pada ada tidaknya kenaikan BBM. Pasal 7 ayat (6a) yang menggantungkan naik turunnya harga BBM berdasarkan harga minyak memungkinkan harga BBM mengalami kenaikan dan/atau penurunan. Sehingga penetapan dana kompenasasi BBM tidak logis dan menimbulkan ketidakpastian hukum 116 karena tidak dapat dipertanggungjawabkan peruntukkannya c) Bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (6a) pemerintah menaikkan harga BBM mengikuti harga minyak besaran persentase kenaikan harga di masa yang akan datang belum bisa diprediksi pada saat ini sehingga menjadi tidak logis dan tidak mempunyai dasar apabila besaran subsidi telah ditentukan terlebih dahulu dalam Undang-Undang ini. Pasal tersebut menjadi tidak logis dan masuk akal karena pada saat alokasi anggaran itu telah "ditempatkan", Pemerintah secara terang- terangan menyatakan apabila tidak menaikan harga BBM maka APBN akan jebol. Dengan telah "ditempatkannya" alokasi dana tersebut di atas membuat adanya sejumlah dana yang besar yang tidak dapat dipergunakan seperti seharusnya demi kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. B. Hak Dan/Atau Kewenangan Konstitusional Yang Dianggap Para Pemohon Telah Dirugikan Oleh Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), Pasal 15A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon dan sejumlah sekitar 5 juta anggota yang diwakilinya merupakan individu warga negara Indonesia yang juga merupakan warga negara pembayar pajak, sehingga secara langsung memiliki kepentingan sesuai Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, di mana di dalam APBN 2012 terdapat di dalamnya pajak yang dibayarkan oleh setiap warga negara dalam hal ini oleh para Pemohon kepada negar
Bahwa dengan kata lain hak dan kepentingan para Pemohon dan seluruh anggotanya, terpaut erat dengan proses pembahasan Undang-Undang a quo yang bukan hanya dilaksanakan atas biaya negara, yang sebagian berasal dari pemasukan pajak yang telah dibayarkan oleh para Pemohon dan anggota yang diwakilinya, tetapi para Pemohon dengan seluruh 117 anggota yang diwakilinya juga merupakan warga Negara pengguna BBM bersubsidi, di mana harga BBM bersubsidi tersebut berkaitan erat dengan implementasi Pasal 7 ayat (6a) UU Perubahan APBN 2012.
Bahwa dengan keputusan Pemerintah dan DPR sebagaimana tercermin di dalam Undang-Undang a quo untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM] dengan syarat hanya menghasilkan ketidakpastian, di mana baik para pekerja/buruh dan seluruh anggota keluarganya warga negara, yang dalam hal ini diwakili oleh para Pemohon, juga para pelaku usaha yang menjadi tidak bisa memperkirakan usahanya secara lebih pasti, yang pada akhirnya hanya akan merugikan keberlangsungan hidup para pekera/buruh dan anggota keluarganya.
Bahwa dengan disahkannya Undang-Undang a quo , meski dengan penolakan sebagian anggota DPR, secara langsung dan tidak langsung telah menyebabkan kenaikan harga-harga barang kebutuhan hidup sehari- hari, hal tersebut telah menjadi pengetahuan umum ( notoir feiten ). Dan kenaikan harga secara langsung berdampak pada penurunan kualitas hidup dan bertambahnya jumlah orang miskin, di mana kelompok pinggiran seperti petani gurem, buruh, dan khususnya perempuan, yang akan paling menderita.
Banyak pengamat dan tokoh masyarakat menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak langsung pada kenaikan harga-harga seperti harga bahan pangan dan barang lainnya, energi serta tarif jasa, juga obat, yang secara langsung akan menambah beban hidup sehari-hari dari rakyat, di mana kaum perempuan dan ibu yang paling terkena dampaknya. Sementara bagi buruh kenaikan upah belum lama ini pun menjadi tidak terlalu bisa dirasakan kalau tidak sia-sia.
Bahwa para Pemohon dengan seluruh anggota yang diwakilinya yang sebagian telah berkeluarga dengan pendapatan sebagai buruh yang nominalnya jauh di bawah dari jumlah nominal pendapatan yang dibutuhkan agar dapat hidup layak dan sejahtera merupakan individu Warga Negara Republik Indonesia yang dirugikan hak konstitusionalnya karena harga barang-barang dan kebutuhan hidup menjadi melonjak mahal dan tidak menentu.
Bahwa kebijakan menaikan harga BBM sebesar 33,3 persen ini 118 membuktikan Pemerintah tidak melaksanakan amanat UUD Pasal 33 ayat (3). Selain itu, diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar," dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Perubahan Nomor 4 Tahun 2012 menganut faham liberal yang berpotensi menyengsarakan rakyat dan menghalangi rakyat untuk medapatkan hak atas kesejahteraan dirinya yang seharusnya merupakan tanggung jawab dan dipenuhi oleh negara. Bahwa pasal a quo telah bertentangan dengan pandangan atau aliran pikiran, nilai, jiwa dan semangat UUD Tahun 1945. C. Keterangan DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo , DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa “Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara.” Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang 119 secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”. Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang a quo , maka para Pemohon tidak 120 memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai pihak Pemohon. Menanggapi permohonan para Pemohon a quo , DPR berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
Pengujian atas Undang-undang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 1. Pengujian Formil Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon di atas dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa benar pembahasan APBN perubahan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang setelah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR, berdasarkan Pasal 161 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 dan Pasal 157 ayat (1) Peraturan DPR tentang Tata Tertib Nomor I/ Tata Tertib/ DPR/ I/I/2009-2010.
Bahwa adapun yang dikemukakan Pemohon mengenai masa 1 bulan yang merupakan batasan waktu pembahasan APBN-P 2012 yang dianggap telah dilewati dengan alasan APBN-P 2012 dimulai sejak Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan APBN 2012 yaitu tanggal 29 Februari 2012 sedangkan disahkan pada sidang Paripurna tanggal 31 Maret 2012 pukul 01.00 121 pagi, adalah tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan pembahasan sebuah undang-undang di DPR belum dimulai sejak saat diajukannya undang-undang tersebut oleh Pemerintah/Presiden, melainkan dimulai setelah adanya penugasan dari Badan Musyawarah DPR (BAMUS). Pembahasan undang-undang biasanya dimulai sejak rapat kerja pertama dengan Pemerintah pada pembahasan tingkat I di DPR. Adapun diketahui tanggal dimulainya pembahasan RUU APBN-P 2012 di DPR dimulai pada tanggal 6 Maret 2012, sehingga masa pembahasan RUU APBN-P 2012 belum melewati masa 1 bulan.
Bahwa ketentuan dimulainya pembahasan undang-undang oleh alat kelengkapan yang ditugaskan oleh BAMUS DPR dapat dilihat dari ketentuan Pasal 130 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) Tatib DPR RI, sebagai berikut: Pasal 130 mengatur:
Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran membahas rancangan undang-undang berdasarkan penugasan Badan Musyawarah.
Penugasan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan setelah mempertimbangkan:
pengusul rancangan undang-undang;
penugasan penyempurnaan rancangan undang-undang;
keterkaitan materi muatan rancangan undang-undang dengan ruang lingkup tugas komisi; dan
jumlah rancangan undang-undang yang ditangani oleh komisi atau Badan Legislasi. Pasal 131 mengatur:
Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi sebagai pengusul rancangan undang-undang, diprioritaskan untuk ditugaskan membahas rancangan undang-undang.
Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus yang mendapat tugas penyempurnaan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) langsung bertugas membahas rancangan undang-undang. 122 a. Bahwa dari Pasal 130 dan Pasal 131 Tata Tertib DPR di atas dipahami bahwa alat kelengkapan DPR yang ditugaskan oleh BAMUS membahas rancangan undang-undang tidak mungkin memulai tugasnya tanpa ada penugasan terlebih dulu dari BAMUS walaupun telah ada disampaikan pengajuan RUU dari Pemerintah kepada DPR, di mana hal tersebut terkait dengan aspek legalitasnya.
Bahwa pemaknaan kata “setelah” dalam Pasal 161 ayat (4) UU MD3 dan Pasal 157 ayat (1) Tatib DPR, dalam konteks hukum dapat dimaknai berbeda dengan kata “sejak” di mana kata “sejak” lebih mempunyai makna ketegasan dibanding kata “setelah.” Artinya dalam kata “setelah” pada kalimat “setelah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR” tidak langsung serta merta dapat dilakukan pembahasan oleh DPR, melainkan setelah ada penugasan dari BAMUS untuk melakukan tugasnya.
Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan bahwa persetujuan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN 2012 menjadi Undang-Undang yang dilakukan oleh Rapat Paripurna DPR RI dilakukan pada hari Sabtu tanggal 31 Maret 2012 (yang merupakan hari libur dan bukan hari kerja) sehingga telah melanggar ketentuan tentang masa batas waktu sidang pembahasan UU APBN-P 2012 (yang seharusnya hari Jumat tanggal 30 Maret 2012) adalah tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan bahwa penyimpangan dari waktu rapat dapat dimungkinkan oleh Pasal 219 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan, “penyimpangan dari waktu rapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan.” Sebagaimana dikuatkan oleh Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan, “ Ketua rapat menunda penyelesaian acara rapat untuk dibicarakan dalam rapat berikutnya atau meneruskan penyelesaian acara rapat atas persetujuan rapat apabila acara yang ditetapkan untuk suatu rapat belum terselesaikan, sedangkan waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 telah berakhir ”. 123 d. Dalam risalah rapat paripurna hari Jumat tanggal 30 Maret 2012 diketahui bahwa Ketua DPR sebagai pimpinan rapat telah meminta persetujuan dari anggota rapat soal perpanjangan waktu rapat dan telah disetujui oleh anggota rapat. (lihat risalah rapat paripurna pengesahan UU APBN-P 2012) e. Bahwa berdasarkan dalil-dalil dan keterangan yang telah diuraikan di atas, maka permohonan pemohon dalam hal uji formil tentang telah dilanggarnya ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 161 ayat (4) UU MD3 serta Pasal 157 ayat (1) dan Pasal 219 ayat (1) dan ayat (2) Tata Tertib DPR Tahun 2009 – 2014, sehingga persetujuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan APBN 2012 menjadi Undang-undang oleh DPR secara formil cacat hukum karena telah lewat batas waktu dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah tidak benar dan tidak dapat diterima.
Pengujian Materiil Terhadap permohonan pengujian materiil Pasal 7 ayat (1a), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 5A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, maka proses pembahasan dan penetapan Undang-Undang a quo telah selaras dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 tersebut. Adapun yang dimaksudkan “untuk dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab” dalam ketentuan dimaksud adalah pelaskanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang tditetapkan dalam Undang-Undang. Selanjutnya, sebagai bentuk tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, DPR juga mempunyai 124 kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan dari Undang-Undang APBNP tersebut sebagai perwujudan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A UUD 1945.
Bahwa dalam konsiderans menimbang dan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara telah disebutkan dasar-dasar sosiologis dan ekonomis perubahan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 termasuk di dalamnya ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a) dan Pasal 15A, adapun dasar pertimbangan tersebut antara lain sebagai berikut: a) bahwa sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, telah terjadi perubahan dan perkembangan pada faktor internal dan eksternal, sehingga asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam APBN 2012 sudah tidak relevan dan perlu disesuaikan. b) bahwa tingkat inflasi dalam tahun 2012 diperkirakan akan mencapai 6,8% (enam koma delapan persen), lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju inflasi yang ditetapkan dalam APBN tahun 2012. Peningkatan laju inflasi ini selain dipengaruhi oleh meningkatnya harga beberapa komoditas internasional, juga dipengaruhi oleh rencana kebijakan administered price di bidang energi dan pangan. c) bahwa nilai tukar rupiah dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.9.000,00 (sembilan ribu rupiah) per satu dolar Amerika Serikat, melemah dari asumsinya dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Pelemahan ini didorong antara lain oleh ketidakpastian ekonomi global yang diprediksi berlanjut pada tahun 2012. d) bahwa harga minyak internasional pada awal tahun 2012 mengalami peningkatan seiring dengan terbatasnya pasokan minyak mentah dunia terkait ketegangan geopolitik di negara- negara teluk yang mempengaruhi pasokan minyak mentah dunia. 125 e) Bahwa kenaikan ini pun terjadi pada ICP, yang cenderung meningkat, jika dibandingkan dengan harga rata-ratanya selama tahun 2011. Perkembangan ini diperkirakan akan berlanjut sepanjang 2012 sehingga asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama tahun 2012 diperkirakan mencapai US$105,0 (seratus lima koma nol dolar Amerika Serikat) per barel. f) Bahwa lifting minyak dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai 930 (sembilan ratus tiga puluh) ribu barel per hari, di bawah targetnya dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Hal ini terkait dengan antara lain, menurunnya kapasitas produksi dari sumur-sumur tua, dan dampak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, penurunan tersebut juga dipengaruhi faktor unplanned shut down dan hambatan non-teknis seperti permasalahan di daerah dan lain-lain. g) Bahwa perubahan pada besaran-besaran asumsi dasar ekonomi makro, pada gilirannya berpengaruh pula pada besaran-besaran APBN, dan akan diikuti dengan perubahan kebijakan fiskal dalam upaya untuk menyehatkan APBN melalui pengendalian defisit anggaran pada tingkat yang aman. h) bahwa perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juncto Pasal 42 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 yang berbunyi: “Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2012 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun Anggaran 2012, apabila terjadi:
perkiraan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2012;
ii. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; 126 iii. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarprogram, dan/atau antarjenis belanja; dan/atau
iv. keadaan yang menyebabkan SAL tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan.
Bahwa dalam memahami muatan norma Pasal 7 ayat (1) tidak dapat dipahami secara parsial mengingat ketentuan ayat (1) terkait erat dengan ketentuan Pasal 7 secara keseluruhan terutama Pasal 7 ayat (1a) yang berbunyi: “Subsidi BBM jenis tertentu dan LPG tabung 3 (tiga) kilogram sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah termasuk pembayaran kekurangan subsidi BBM jenis tertentu dan LPG tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2010 (audited) sebesar Rp.706.900.000.000,00 (tujuh ratus enam miliar sembilan ratus juta rupiah), dan perkiraan kekurangan subsidi Tahun Anggaran 2011 sebesar Rp.3.500.000.000.000,00 (tiga triliun lima ratus miliar rupiah), serta subsidi liquefied gas for vehicle (LGV) sebesar Rp.54.000.000.000,00 (lima puluh empat miliar rupiah)”. Demikian pula ketentuan Pasal 7 ayat (4) beserta penjelasannya. Pasal 7 ayat (4) berbunyi: “ Pengendalian anggaran subsidi BBM jenis tertentu dan bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas (LPG)) tabung 3 (tiga) kilogram dalam Tahun Anggaran 2012 dilakukan melalui pengalokasian BBM bersubsidi secara lebih tepat sasaran dan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap ”. Adapun Penjelasan ayat (4) menyebutkan bahwa Kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi antara lain melalui:
optimalisasi program konversi minyak tanah ke LPG tabung 3 (tiga) kilogram;
melakukan program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG);
meningkatkan pemanfaatan energi alternatif seperti bahan bakar nabati (BBN);
melakukan pengaturan konsumsi BBM bersubsidi; dan 127 e. menyempurnakan regulasi kebijakan subsidi BBM dan LPG tabung 3 (tiga) kilogram. Bahwa berdasarkan pemahaman secara keseluruhan terhadap ketentuan-ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa kenaikan asumsi atau perkiraan subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas (LPG)) tabung 3 (tiga) kilogram yang semula direncanakan sebesar Rp123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh puluh empat juta rupiah), menjadi Rp137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah) sudah termasuk pembayaran kekurangan subsidi BBM jenis tertentu dan LPG tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2010 dan perkiraan kekurangan subsidi Tahun Anggaran 2011 serta subsidi liquefied gas for vehicle (LGV). Ketiga komponen inilah yang menyebabkan perubahan asumsi/perkiraan dimaksud sehingga terjadi perubahan nilai yang siginifikan.
Bahwa pemahaman akan timbulnya ketidakpastian hukum akibat penormaan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (6a) terkait dengan tidak jelasnya jangka waktu yang menjadi acuan kenaikan dan penurunan harga eceran BBM dapat dijelaskan sebagai berikut: a) bahwa dalam penjelasan Pasal 7 ayat (6a) yang dimaksud dengan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu berjalan adalah realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama 6 (enam) bulan terakhir. Mengingat batang tubuh suatu undang-undang dan penjelasannya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam memaknai suatu norma pengaturan, maka dapat dipahami bahwa kewenangan Pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya adalah selama kenaikan atau penurunan harga ICP lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 dihitung dari realisasi harga rata-rata minyak 128 mentah selama 6 (enam) bulan terakhir terhitung sejak asumsi APBN Perubahan ditetapkan dalam Undang-Undang a quo . b) Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peratutan Perundang-undangan, suatu peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang- undangan yang bersangkutan. Dalam Pasal II Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 disebutkan bahwa “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”, sehingga jelas bahwa ketentuan dalam Undang-Undang ini termasuk di dalamnya ketentuan Pasal 7 ayat (6a) mulai berlaku terhitung sejak Undang-Undang a quo diundangkan dan tidak berlaku surut.
Bahwa penjelasan Pemohon terkait proses pembahasan dan penetapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak terbuka, dapat dijelaskan bahwa proses pembahasan Undang-Undang a quo dilakukan secara terbuka sehingga prosesnya diakses oleh seluruh masyarakat. Proses pembahasan dilakukan dalam suatu Rapat Kerja yang bersifat terbuka, sesuai dengan Pasal 240 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Tata tertib DPR Nomor 01/DPR RI/I/2009-2010 dan berdasarkan risalah-risalah Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan dalam pembahasan RUU APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 bahwa rapat besifat terbuka di mana masyarakat dapat mengikuti proses rapat dan substansi yang dibahas.
Bahwa ketentuan Pasal 15A terkait dengan Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 27 ayat (4) yang menyatakan bahwa “Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.” Dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan bahwa: “ Pengeluaran tersebut dalam ayat 129 ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan .” Sehingga pengalokasikan anggaran untuk bantuan langsung sementara masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A merupakan bentuk pengeluaran yang dapat timbul akibat adanya kebijakan kenaikan dan/atau penurunan subsidi harga eceran BBM.
Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis sebagaimana diuraikan di atas, terkait dengan pengujian materi ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 15A Undang-Undang a quo dipandang perlu melihat latar belakang perumusan pasal-pasal Undang-Undang a quo dalam risalah rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang a quo sebagai berikut:
Rapat Kerja Badan Angaran DPR Dengan Pemerintah Dalam Rangka Pembahasan RUU APBNP, Kamis, 22 Maret 2012 • BADAN KEBIJAKAN FISKAL __ “….realisasi ICP dan Lifting ini kita bisa lihat perkembangannya diamana antara bulan Desember 2011 samapi Febuari 2012 itu terjadi Deviasi sekitar 29.2% bahkan kalau kita melihat 2 bulan Pertama tahun ini deviasi harga ICP yang Asumsi yang kita pasang di APBN 2012 sudah mencapai 32.3% demikian juga lifting yang juga berada di bawah sasaran. Namun dari gambaran ini terlihat bahwa perbedaan antara ICP yang terjadi dengan yang kita pasang tidak ada tanda-tanda untuk dekat tapi terus menurunkan harga yang menjauh. Nah apa pentingnya kita melakukan kebijakan terkait harga BBM pada intinya harga BBM ini menjadi jangkar untuk menyelamatkan tidak hanya APBN tahun ini tapi juga menyehatkan APBN kedepan, tentunya ada kontreans dari Undang-Undang Keuangan Negara menyatakan bahwa Devisit tidak boleh lebih dari 3% ya sedangkan kalau tampa penyesuaian seperti bapak ibu lihat di hari-hari pertama Panja maka devisit kita mencapai 3.6% atau lebih dari 3.5%. tidak hanya kita bicara menyelamatkan APBN yang tentunya sangat 130 penting ekonomi kita.. Yang kedua tidak kalah penting harga BBM akan menjadi kunci penting untuk mendorong difersifikasi energi dari BBM ke sumber Energi lain. Kenapa kalau harga BBM bersubsidi dalam hal ini Premiun atau Solar di pasang pada harga dalam tanda kutip relatif murah maka tidak akan pernah pada insetif keingin mencoba bahan bakar altematif, entah itu bahan bakar sifatnya ataupun bahan bakar gas. Mengingat kalau kita sudah bisa mendapatkan BBM bersibsidi harga murah buat apa susah-susah mencoba mencari ernergi alternatif. Yang ketiga. kebijakan harga BBM adalah bagian dari upaya redistribusi pendapatan betul bahwa cukup besar jumlahnya masyarakat miskin yang menikmati subsidi BBM tapi kalau di lihat dari Rupiah subsidi BBM oleh berbagai kelompok masyarakat maka subsidi BBM cenderung menguntungkan kelompok menengah keatas yang seharusnya tidak menikmati subsidi, karena subsidi itu berasal dari negara dan akan menjadi beban dari anggaran. Nah kemudian sebagian dari kebijakan dari harga BBM bersubsidi penghematan yang bisa di hasilkan dari pengurangan subsidi BBM bisa dipakai untuk memperbaiki infrakstruktur. 2) Rapat Kerja Badan Angaran DPR Dengan Pemerintah Dalam Rangka Pembahasan RUU APBNP ke-6, 29 Maret 2012. Pasal Butir 11 Pasal 7 menambahkan ayat yaitu, mengisipkan ayat ((a) ayat (1) dan (2) yang berbunyi. (1a) subsidi BBM jenis tertentu dan LPG tabung 3 kg sebagaimana di maksud dalam ayat (1) sudah termasuk pembayaran kekurangan subsidi BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg tahun anggaran 2010 sebesar 706 miliar 900 juta rupiah, dan perkiraan subsidi tahun anggaran 2011 sebesar 3 triliun 500 miliar rupiah serta subsidi LPG sebesar 4 miliar rupiah. Untuk pasal 7 ayat (1a) ini rumusan Pemerintah di sepakati oleh 6 fraksi dan 3 fraksi menolak. Demikian keterangan DPR ini untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut: 131 1. Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 15A Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 15A Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. [2.5] Menimbang bahwa para Pemohon dan Pemerintah menyampaikan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah masing-masing pada tanggal 1 Agustus 2012 yang pada pokoknya menyatakan tetap dengan pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [1] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian formil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5303, selanjutnya disebut UU 4/2012) dan pengujian materiil Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 15A UU 4/2012) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 132 a. pengujian formil undang-undang;
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan _a quo; _ c. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; Terhadap ketiga hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Pengujian Formil Undang-Undang [3.3] Menimbang bahwa tentang pengujian formil Undang-Undang, Mahkamah dalam putusan Nomor 27/PUU-VIII/2009, tanggal 16 Juni 2010 khususnya paragraf [3.34] mempertimbangkan, “... Untuk kepastian hukum, sebuah Undang- Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang _cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang ...”; _ [3.4] Menimbang bahwa UU 4/2012 dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia pada tanggal 31 Maret 2012 dengan Nomor 87, sehingga batas waktu pengajuan permohonan pengujian formil Undang-Undang ke Mahkamah adalah 45 hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara (tanggal 31 Maret 2012) adalah dimulai tanggal 1 April 2012 dan berakhir pada tanggal 15 Mei 2012; [3.5] Menimbang bahwa permohonan Pemohon diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis tanggal 1 Mei 2012 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 164/PAN.MK/2012, sehingga permohonan Pemohon masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil Undang- Undang; Kewenangan Mahkamah [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, 133 selanjutnya disingkat UU MK), __ Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.7] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a), dan Pasal 15A UU 4/2012 terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para __ Pemohon [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; 134 [3.9] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan- putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.10] Menimbang bahwa dalam permohonannya para Pemohon mendalilkan sebagai konfederasi dan federasi serikat buruh di Indonesia, yang secara bersama-sama mewakili setidaknya tiga juta buruh terorganisasi yang meliputi sekitar 10% dari total buruh/pekerja formal di Indonesia yang hak dan kepentingan para Pemohon dan seluruh anggotanya, terpaut erat dengan proses pembahasan Undang-Undang a quo yang bukan hanya dilaksanakan atas biaya negara, yang sebagian berasal dari pemasukan pajak yang telah dibayarkan oleh para Pemohon dan anggota yang diwakilinya, tetapi para Pemohon dengan seluruh anggota yang diwakilinya juga merupakan warga negara pengguna BBM bersubsidi, sedangkan harga BBM bersubsidi tersebut berkaitan erat dengan implementasi Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012; [3.11] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) serta dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, para Pemohon dikategorikan sebagai perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) yang 135 secara potensial dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal dari UU 4/2012 yang dimohonkan pengujian dan apabila dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permononan a quo ; [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pendapat Mahkamah Dalam Provisi [3.13] Menimbang bahwa sehubungan dengan permohonan provisi agar dilakukan dengan acara cepat karena masa berlaku Undang-Undang a quo tidak lebih dari satu tahun, menurut Mahkamah, permohonan putusan provisi a quo tidak tepat menurut hukum dengan alasan sebagai berikut:
dalam pengujian Undang-Undang (judicial review), putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret;
ii. putusan Mahkamah tentang norma dalam perkara Pengujian Undang-Undang (judicial review) bersifat erga omnes ; iii. putusan Mahkamah bersifat prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang- Undang; Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum; Dalam Pokok Permohonan [3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mendengar dan membaca dengan saksama keterangan para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan ahli dan saksi dari para Pemohon, serta memeriksa bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 136 Pengujian Formil [3.15] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian formil terhadap proses pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 dalam rapat paripurna DPR RI yang dianggap telah melewati batas waktu masa sidang. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “ Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan _Dewan Perwakilan Daerah”; _ • Rancangan Undang-Undang a quo telah diajukan oleh Presiden dan dibahas bersama DPR berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “ Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama ”; • Pasal 22A UUD 1945 menentukan, “ Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang ”; • Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, tata cara pembentukan Undang- Undang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043, selanjutnya disebut UU MD3); • Pasal 161 ayat (4) UU MD3 menyatakan, “ Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR ”. Kemudian dalam Pasal 157 ayat (1) Tata Tertib Anggota DPR-RI Tahun 2009 - 2014 menyatakan, “ Pembahasan terhadap Perubahan atas APBN dilakukan oleh Badan Anggaran dan komisi terkait 137 dengan pemerintah paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang setelah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR ”. • Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan APBN 2012 diajukan oleh Pemerintah kepada DPR pada tanggal 29 Februari 2012; • Pasal 130 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) Tata Tertib DPR RI menyatakan:
Pasal 130
(1) Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran membahas rancangan undang-undang berdasarkan penugasan Badan Musyawarah. (2) Penugasan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana _dimaksud pada ayat (1) diputuskan setelah mempertimbangkan: _ _a. pengusul rancangan undang-undang; _ _b. penugasan penyempurnaan rancangan undang-undang; _ c. keterkaitan materi muatan rancangan undang-undang dengan ruang _lingkup tugas komisi; dan _ d. jumlah rancangan undang-undang yang ditangani oleh komisi atau Badan Legislasi.
Pasal 131
(1) Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi sebagai pengusul rancangan undang-undang, diprioritaskan untuk ditugaskan membahas rancangan undang-undang. (2) Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus yang mendapat tugas penyempurnaan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) langsung bertugas membahas rancangan undang-undang. • Berdasarkan Pasal 130 dan Pasal 131 Tata Tertib DPR di atas maka alat kelengkapan DPR bertugas membahas Rancangan Undang-Undang setelah ada penugasan terlebih dulu dari Badan Musyawarah (BAMUS). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tenggang waktu satu bulan pembahasan RUU APBN-P setelah diajukan oleh Pemerintah adalah setelah alat kelengkapan DPR ditugaskan terlebih dulu oleh BAMUS. Dalam perkara a quo dimulainya pembahasan RUU APBN-P 2012 di DPR adalah pada tanggal 6 Maret 2012 (vide keterangan tertulis DPR) sehingga masa berakhirnya satu bulan adalah 4 April 2012. Dengan demikian, dalil para Pemohon bahwa UU 4/2012 melewati waktu satu bulan adalah tidak beralasan menurut hukum; 138 • Mengenai dalil para Pemohon bahwa persetujuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan APBN 2012 menjadi Undang-Undang yang dilakukan oleh Rapat Paripurna DPR RI dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 31 Maret 2012 yang merupakan hari libur dan bukan hari kerja, menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 219 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan “ penyimpangan dari waktu rapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan ” juncto Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan, “ Ketua rapat menunda penyelesaian acara rapat untuk dibicarakan dalam rapat berikutnya atau meneruskan penyelesaian acara rapat atas persetujuan rapat apabila acara yang ditetapkan untuk suatu rapat belum terselesaikan, sedangkan waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 telah berakhir”. Dengan mendasarkan pada Pasal 219 ayat (2) dan Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR-RI, menurut Mahkamah, dalil Pemohon bahwa Undang-Undang APBN Perubahan ditetapkan pada hari libur dan bukan hari kerja adalah tidak beralasan menurut hukum. Hal tersebut sejalan dengan keterangan tertulis DPR, bertanggal Juni 2012, halaman 15 sampai dengan halaman 17; • Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon mengenai pengujian formil UU 4/2012 tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum; Pengujian Materiil [3.16] Menimbang bahwa dalam UUD 1945 diatur bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang. Artinya APBN disusun atas dasar persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Namun, pembentukan Undang- Undang APBN berbeda dengan pembuatan Undang-Undang pada umumnya, RUU APBN selalu berasal dari Presiden yang kemudian dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, sedangkan Undang-Undang pada umumnya pengajuan RUU merupakan kewenangan DPR dan juga dapat diajukan oleh Presiden. Undang-Undang APBN mempunyai batas waktu berlaku hanya untuk satu tahun anggaran, hal ini berbeda dengan Undang-Undang pada umumnya yang tidak membatasi jangka berlakunya. UU APBN diperlukan adanya setiap tahun, dan apabila Undang-Undang APBN tidak dapat ditetapkan karena DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden maka Pemerintah menjalankan APBN tahun anggaran sebelumnya. 139 Pemberlakuan APBN sebelumnya dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum, mengingat APBN sangatlah penting untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan. Dari segi substansi, Undang-Undang APBN adalah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran. Pilihan kebijakan tersebut menyangkut perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan. Sebagai Undang-Undang yang mempunyai kekuatan mengikat, Undang-Undang APBN mengikat Pemerintah dalam menghimpun pendapatan baik dari aspek jumlah maupun sumber pendapatan tersebut dan demikian juga halnya dalam pembelanjaannya. Sebagai rencana maka Undang-Undang APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon sebagai berikut: [3.17.1] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya; • Bahwa Pemerintah tidak pernah mempublikasikan secara terbuka kepada masyarakat Indonesia mengenai alasan, dasar, dan mekanisme penghitungan perubahan subsidi pada Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang pada faktanya nominal yang dialokasikan bertambah dalam jumlah yang besar. Masyarakat Indonesia hanya mengetahui proses Sidang Paripurna yang dilakukan pada tanggal 30 Maret 2012 yang hanya membahas mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012, sedangkan perubahan pasal lain dalam UU 4/2012 dibahas oleh Badan Anggaran DPR RI dengan mekanisme Sidang Tertutup untuk umum. Hal ini jelas tidak ada mekanisme keterbukaan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dalam menentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; __ • Bahwa terhadap jumlah alokasi dana yang besar tanpa adanya kejelasan tujuan dan keterbukaan, seharusnya Pemerintah mengalokasikan dana tersebut pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara 140 Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya, serta pendidikan gratis sampai jenjang perguruan tinggi sesuai dengan amanat Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; • Dengan Pemerintah menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka secara jelas Pemerintah telah salah dalam menentukan kebijakan ( beleid ) dan telah salah urus, karena seharusnya Pemerintah sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak menyandarkan jumlah subsidi dengan mekanisme pasar sehingga frasa “ dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ” tidak akan pernah terwujud. Hal demikian mengakibatkan kerugian bagi buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena BBM beserta subsidinya tidak akan pernah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Dari ketentuan tersebut maka proses pembahasan dan penetapan UU 4/2012 menurut Mahkamah telah selaras dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2), Pasal 22A, dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; __ • Dilihat dari segi substansi UU APBN yang merupakan rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran, dan UU APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran. Oleh karena itu perubahan jumlah Anggaran tentang subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair [ liquefied petroleum gas (LPG)] tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 yang direncanakan sebanyak Rp. 123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh 141 puluh empat juta rupiah) bertambah menjadi sebanyak Rp 137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah), dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 (empat puluh juta) kilo liter dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah dikarenakan asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian. Adapun perubahan APBN dalam UU 4/2012 memiliki dasar pertimbangan sebagai berikut: __ i. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, telah terjadi perubahan dan perkembangan pada faktor internal dan eksternal, sehingga asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam APBN 2012 sudah tidak relevan dan perlu disesuaikan;
ii. Tingkat inflasi dalam tahun 2012 diperkirakan akan mencapai 6,8% (enam koma delapan persen), lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju inflasi yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2012. Peningkatan laju inflasi ini selain dipengaruhi oleh meningkatnya harga beberapa komoditas internasional, juga dipengaruhi oleh rencana kebijakan administered price di bidang energi dan pangan; iii. Nilai tukar rupiah dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.9.000,00 (sembilan ribu rupiah) per satu dolar Amerika Serikat, melemah dari asumsinya dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Pelemahan ini didorong antara lain oleh ketidakpastian ekonomi global yang diprediksi berlanjut pada tahun 2012;
iv. Harga minyak internasional pada awal tahun 2012 mengalami peningkatan seiring dengan terbatasnya pasokan minyak mentah dunia terkait ketegangan geopolitik di negara-negara teluk yang mempengaruhi pasokan minyak mentah dunia;
Kenaikan tersebut juga terjadi pada ICP, yang cenderung meningkat, jika dibandingkan dengan harga rata-ratanya selama tahun 2011. Perkembangan ini diperkirakan akan berlanjut sepanjang tahun 2012 sehingga asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama tahun 142 2012 diperkirakan mencapai US$105,0 (seratus lima koma nol dolar Amerika Serikat) per barel;
vi. Lifting minyak dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai 930 (sembilan ratus tiga puluh) ribu barel per hari, di bawah target dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Hal ini antara lain terkait dengan menurunnya kapasitas produksi dari sumur-sumur tua, dan dampak diberlakukannya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, penurunan tersebut juga dipengaruhi faktor unplanned shut down dan hambatan non-teknis seperti permasalahan di daerah dan lain-lain; vii. Perubahan pada besaran asumsi dasar ekonomi makro, pada gilirannya berpengaruh pula pada besaran APBN, dan akan diikuti dengan perubahan kebijakan fiskal dalam upaya untuk menyehatkan APBN melalui pengendalian defisit anggaran pada tingkat yang aman. (vide keterangan tertulis DPR); • Pasal 27 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juncto Pasal 42 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 menyatakan, “ Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2012 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun _Anggaran 2012, apabila terjadi: _ i. perkiraan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi _yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2012; _ _ii. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; _ iii. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran _antarunit organisasi, antarprogram, dan/atau antarjenis belanja; dan/atau _ iv. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan” . • Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan hukum; 143 • Keinginan para Pemohon mengenai pengalihan subsidi pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya sebagaimana didalilkan, menurut Mahkamah adalah keinginan yang wajar, namun tidak berarti bahwa subsidi yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 menjadi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena hak yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, tidak hanya menjadi kewajiban Pemerintah untuk memenuhinya tetapi juga kewajiban para Pemohon sendiri untuk mengusahakannya. Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah salah satu cara Pemerintah sebagai representasi negara memenuhi Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak beralasan hukum; • Bahwa selanjutnya mengenai dalil para Pemohon bahwa dengan menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah, sebagaimana diketahui oleh khalayak ramai ( notoire feiten ), hasil pembahasan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah memutuskan untuk memberi kewenangan kepada Pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Price/ICP ) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun 2012. Menurut Mahkamah, justru dengan adanya pembahasan antara Pemerintah dengan DPR tersebut berarti harga BBM bersubsidi tidak diserahkan pada mekanisme pasar atau persaingan usaha, melainkan ditentukan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan yang terjadi karena APBN berkaitan dengan banyak aspek. Dengan adanya pembahasan dan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah berarti penentuan harga BBM bersubsidi tersebut tidak dengan sendirinya mengikuti mekanisme pasar atau persaingan usaha karena penentuan harga BBM bersubsidi telah dimusyawarahkan oleh pembentuk Undang-Undang. Hal itu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004. Terlebih lagi faktanya, yang dikhawatirkan bahwa harga BBM akan mengalami kenaikan juga tidak terjadi. Dengan demikian, alasan pengujian para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang telah menyerahkan harga BBM bersubsidi kepada mekanisme pasar merupakan dalil yang tidak beralasan hukum; [3.17.2] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 mengizinkan Pemerintah menaikkan harga BBM jika ICP ( Indonesia Crude Price ) naik rata-rata 15% (lima belas persen) dalam enam bulan tanpa persetujuan DPR sebagai wakil rakyat; • Selama Pemerintah menyandarkan penghitungan ICP pada mekanisme pasar maka penggunaan BBM untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak akan pernah terwujud. Pemerintah hanya akan mengutamakan aspek ekonomi, yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi ini daripada kemakmuran rakyat. Hal demikian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan ketidakpastian hukum di masyarakat menyangkut naik atau tidaknya harga BBM dan ketidakjelasan kapan dan berapa jumlah kenaikan harga BBM dalam jangka waktu enam bulan. Ketidakpastian hukum itu sendiri telah mengakibatkan ketidakadilan karena rakyat menjadi korban akibat ketidakpastian harga BBM namun harga-harga non BBM sudah terlanjur banyak yang naik, sedangkan pasar justru menikmati ketidakpastian ini dengan menaikkan harga-harga kebutuhan masyarakat sehingga tetap mendapatkan laba tertinggi dan tetap dapat melakukan akumulasi modal; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena harga minyak diserahkan pada mekanisme pasar yang menyebabkan Pemerintah mengutamakan aspek ekonomi yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi daripada kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, harus ada kedaulatan negara dalam menentukan harga 145 tanpa bersandar pada mekanisme pasar demi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian keberlakuan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 berpotensi menyebabkan kerugian bagi para Pemohon (buruh) dan masyarakat karena tidak dapat membeli harga BBM dengan harga ekonomis dan mendapatkan fungsi dari BBM yang sejatinya diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 menyatakan, “ Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya ”. Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) dinyatakan bahwa “ Yang dimaksud dengan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu berjalan adalah realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama 6 (enam) bulan terakhir ”. Dari Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak berarti Pemerintah menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR, karena pemberian wewenang kepada Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam pasal a quo adalah berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Waktu enam bulan justru memberikan kepastian hukum, karena Pemerintah harus memperhatikan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu enam bulan sejak UU 4/2012 tersebut diundangkan (31 Maret 2012) baru dapat menyesuaikan harga BBM. Jika dalam kurun waktu enam bulan tersebut harga rata-rata minyak mentah Indonesia __ tidak mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 maka harga jual eceran BBM bersubsidi tidak disesuaikan. Terlebih lagi faktanya harga eceran BBM bersubsidi juga tidak mengalami kenaikan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adanya pertentangan antara Pasal 7 ayat (6a) dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan hukum; 146 • Mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 yang oleh para Pemohon didalilkan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena menyandarkan pada mekanisme pasar, menurut Mahkamah dalil tersebut telah dipertimbangkan Mahkamah dalam pertimbangan mengenai Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 dalam paragraf [3.17.1] , sehingga mutatis mutandis juga berlaku untuk dalil permohonan a quo . Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17.3] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 15A UU 4/2012 tidak dibahas dalam Sidang Paripurna tanggal 30 Maret 2012 dan telah ditentukan terlebih dahulu dalam rapat Badan Anggaran DPR RI yang tertutup untuk umum. Hal demikian mengakibatkan tidak adanya keterbukaan dalam proses penyusunan Pasal 15A UU 4/2012; • Pasal 15A UU 4/2012 tentang besaran alokasi dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menjadi tidak logis dan tidak mempunyai dasar karena telah ditentukan terlebih dahulu sebelum ditentukan masuk atau tidaknya Pasal 7 ayat (6a) dalam UU 4/2012 yang menjadi syarat dari Pasal 15A UU 4/2012. Oleh karena itu, menurut para Pemohon Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; • Dengan adanya Pasal 15A UU 4/2012 dimana Pemerintah mengalokasikan dana subsidi yang tidak jelas dasar dan tujuan kegunaannya daripada menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena tidak dapat merasakan manfaat secara langsung dari APBN 2012. Hal demikian jelas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 147 • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”, menurut Mahkamah frasa “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah terhadap pelaksanaan dari APBN yang setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang, sedangkan yang didalilkan oleh para Pemohon “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah berkaitan dengan proses penetapan APBN. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tafsiran terbuka yang termuat dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 seperti yang didalilkan para Pemohon adalah kurang tepat. Dengan demikian, menurut Mahkamah, keterbukaan yang dimaksudkan oleh para Pemohon tidak ada kaitannya dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon tidak beralasan hukum; • Mengenai keterbukaan dalam proses pembahasan dan penetapan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana yang diterangkan oleh DPR dalam keterangan tertulisnya bertanggal Juni 2012, bahwa proses pembahasan dilakukan dalam suatu Rapat Kerja yang bersifat terbuka, sesuai dengan Pasal 240 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Tata tertib DPR Nomor 01/DPR RI/I/2009-2010 dan berdasarkan risalah-risalah Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan dalam pembahasan RUU APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 bahwa rapat bersifat terbuka dimana masyarakat dapat mengikuti proses rapat dan substansi yang dibahas (vide keterangan tertulis DPR halaman 21). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan hukum; • Pasal 15A UU 4/2012 menyatakan, “Dalam rangka membantu masyarakat berpendapatan rendah agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah akibat gejolak harga, dialokasikan anggaran untuk bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp. 17.088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun 148 delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) termasuk anggaran untuk pengaman pelaksanaan (safeguarding)” . Ketentuan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 karena bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp.
088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) diberikan sebagai akibat gejolak harga ketika Pemerintah menaikkan harga eceran BBM bersubsidi. Hal tersebut sesuai dengan keterangan tertulis Pemerintah tanggal 1 Agustus 2012, halaman 17 yang menerangkan bahwa “ penyesuaian harga BBM bersubsidi tersebut berpotensi menaikkan harga pangan dan menurunnya daya beli dan tingkat kesejahteraan khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Penyesuaian harga BBM bersubsidi akan mengakibatkan naiknya inflasi menjadi di atas 7 persen, yang berpotensi menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran, serta dapat mengganggu keberlanjutan program pendidikan terutama bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 15A UU APBN- P 2012, pembuat undang-undang menetapkan program kompensasi atas penyesuaian harga BBM bersubsidi sebagai langkah antisipasi. Program kompensasi tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat miskin dari kemungkinan kenaikan harga, terutama dari jasa transportasi, serta mengurangi beban biaya hidup rumah tangga dan memberikan kompensasi biaya hidup _yang meningkat”; _ Bahwa Pasal 15A UU 4/2012 adalah pasal tambahan yang sebelumnya tidak terdapat dalam UU 22/2011. Hal demikian dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan, “Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran”. Dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan bahwa “ Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan .” Oleh karena itu, pengalokasian anggaran untuk bantuan langsung 149 sementara masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A UU 4/2012 merupakan bentuk pengeluaran yang dapat timbul akibat adanya kebijakan kenaikan dan/atau penurunan subsidi harga eceran BBM; Menimbang bahwa selain pertimbangan-pertimbangan yang bersifat substantif tersebut, dalam praktik dan faktanya tidak terjadi kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam waktu enam bulan terakhir sejak UU 4/2012 diundangkan sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012. Pemberian wewenang kepada Presiden untuk mengubah harga BBM bersubsidi sesuai dengan Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, sudah terlampaui baik dihitung sejak Januari tahun 2012 maupun dihitung sejak diundangkannya UU 4/2012, tanggal 31 Maret 2012, sehingga pasal tersebut tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum; [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: [1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon tentang pengujian formil Undang-Undang masih dalam tenggang waktu yang ditentukan; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 150 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan : Dalam Provisi: Menolak permohonan provisi para Pemohon; Dalam Pokok Permohonan: Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh delapan, bulan November, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal tiga belas, bulan Desember, tahun dua ribu dua belas , selesai diucapkan pukul 132 WIB oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai 151 Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Achmad Sodiki ttd. Harjono ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Hamdan Zoelva ttd. M. Akil Mochtar ttd. Anwar Usman PANITERA PENGGANTI, ttd. Cholidin Nasir