PUTUSAN PUTUSAN Nomor 57/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pajak Penghasilan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] Nama : Supriyono Alamat : di Kampung Dukuh RT.001 RW.002 Sudimara Selatan, Ciledug Tangerang Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------------- Pemohon ; [1.3] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Memeriksa bukti-bukti Pemohon; Membaca kesimpulan Pemohon;
DUDUK PERKARA [1] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal 23 Mei 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 26 Mei 2014, berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 135/PAN.MK/2014 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 57/PUU-XII/2014 pada tanggal 26 Juni 2014, yang telah diperbaiki dengan permohonan bertanggal 01 Agustus 2014 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Agustus 2014, yang pada pokoknya menguraikan hal- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 2 www.mahkamahkonstitusi.go.id hal sebagai berikut: I. PERSYARATAN FORMIL PENGAJUAN PERMOHONAN A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi 1. Perubahan UUD 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 24C UUD 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK”.
Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar... ” 3. Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut di atas, MK berwenang untuk melakukan pengujian konstitusionalitas suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945;
Dalam hal ini, Pemohon memohon agar MK melakukan pengujian UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yaitu Pasal 4 ayat (2) huruf e bertentangan dengan UUD 1945; B. Kedudukan Hukum ( Legal Standing) Pemohon Dalam Perkara a quo 5. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia. NIK 367.106.190285.0001, yang di mana kartu tanda penduduk (KTP) dikeluarkan oleh Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang, Provinsi Banten. Dimiliki dan diakuinya KTP maka kedudukan hukum/ legal standing terpenuhi untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 kepada MK sebagaimana diatur di dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK. (bukti P- 6); Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 3 www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK “Pemohon __ adalah __ pihak yang menganggap hak dan/atau Hak Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang, yaitu _:
perorangan warga negara Indonesia; _ 6. Bahwa Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, sebagai berikut:
Hak mengembangkan diri, mendapatkan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan atas ketidakmampuan atas kerugian usah Berdasarkan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. yang berbunyi: - Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 : (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manuasia. - Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan Hukum. - Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 (1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. 7. Bahwa Pemohon secara konstitusional telah dirugikan pemenuhan Hak Konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi dan menaati hukum yang dipositifkan di dalam Undang-Undang a quo , oleh karena: Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 berpotensi dan/atau mengaktualkan pengurangan hak konstitusional Pemohon dalam usahanya mengembangkan diri dalam pemenuhan kebutuhan dasar, perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta perlindungan atas ketidakmampuan akibat kerugian usaha dalam rangka melaksanakan perhitungan pajak penghasilan dengan benar, adil dan berkeadilan, sebagaimana amanah UUD 1945 yang disusun dan/atau diatur didalam UU Nomor 36 Tahun 2008. Hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 4 www.mahkamahkonstitusi.go.id 1. Pemohon adalah seorang karyawan swasta, dengan penghasilan tidak lebih dari Rp.3.700.000,- (tiga juta tujuh ratus ribu rupiah) dengan masa abdi lebih dari 10 tahun, terhitung sejak 29 Desember 2003 (bukti P-7) 2. Pemohon sementara tinggal menumpang dengan orang tua dari istri Pemohon dengan alamat Jalan H.Rian RT.12 RW. 11 Nomor 68 Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan 12260. dengan penghuni yang menjadi pertanggungan Pemohon yaitu: Ayah mertua bernama Ramadi berusia 80 Tahun, Ibu mertua bernama Soleha berusia 71 Tahun, Istri bernama Rohyanti berusia 30 Tahun (Ibu Rumah Tangga), Anak bernama Nadiah Rana Ubadah 4 Tahun kondisi berkebutuhan khusus (ada penghabatan pengkembangan otak) (bukti P- 8);
Kondisi ini mendorong Pemohon untuk berjuang memenuhi kebutuhan hidup yang terus menerus meningkat dari tahun ketahun yaitu dengan membuka usaha isi ulang pulsa kecil-kecilan di rumah tinggal saat ini. Yang di mana usaha tersebut di jalankan oleh istri Pemohon selama 1 bulan terakhir ini yang modalnya tidak lebih dari Rp.300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) (bukti P-9) 4. Awalnya Pemohon tidak berkeinginan membuka usaha terlebih sejak ditetapkannya PP Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 1 juli 2013 (bukti P-2) adalah buah penafsiran dari Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 merupakan “akar rumput” dari PP tersebut, yang menghilangkan hak Pemohon untuk memperhitungkan modal dan biaya usaha serta tidak diakuinya kerugian. Hal ini sarat akan muatan diskriminasi, penindasan, serta mengkerdilkan Pemohon untuk mengembangkan diri.
Bahwa terbukti ditetapkannya PP Nomor 46 Tahun 2013 yang terbit dan berlaku berdasarkan atas adanya ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 berbunyi: “Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” : menyatakan bahwa dasar pengenaan pajak adalah peredaran bruto, pajaknya bersifat final, dan pemahaman ini hanya diperuntukan oleh usaha kecil dan tidak berlaku bagi usaha besar, jauh dari rasa keadilan sejalan dengan artikel yang ditulis oleh Bpk.Rustom Tambunan, Ak., M.Si., M.Int.Tax tertanggal 04 juli 2013 dalam situs www.ortax.org dengan judul Ketentuan Terbaru Pajak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 5 www.mahkamahkonstitusi.go.id Penghasilan Atas UMKM : Sederhana Tapi Tidak Adil (bukti P-4). Yang menjelaskan sangat detail dan spesifik.
Namun dalam hal sumber ketidakadilan ini bisa terjadi Pemohon berpendapat bahwa “akar rumputnya” adalah Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 yang sangat berpotensi dan/atau bersifat multi tafsir dan telah nyata-nyata mengaktualkan pengurangan hak konstitusional Pemohon (Asas Res Ipsa Loquitur ). Hal ini telah terbukti atas:
Tidak ada penjelasan, tolak ukur, serta maksud dari penghasilan tertentu lainnya yang tertuang dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan b. Bila tolak ukurnya adalah jumlah penghasilan yang didapat tanpa melihat cara memperoleh penghasilan, maka akan berbenturan antara aturan yang satu dengan aturan yang lainny Sebagaimana percakapan via Telepon di Nomor (021) 500200 (kring pajak) antara Pemohon dengan Taufik (petugas kring pajak) bertindak sebagai aparatur negara yang ahli di bidang perpajakan pada tanggal 24 April 2014 (bukti P-3); Bahwa penghasilan bersifat final atau tidak final tidak dapat diukur dari besaran penghasilan yang diperoleh tetapi dari peran serta Pemohon dalam memperoleh penghasilan tersebut, bersifat pasif atau tidak pasif. Pengenyampingan hal ini akan menghilangkan amanah UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1).
Bila yang dimaksud adalah efisiensi, tanpa memperhatikan unsur keadilan, maka yang timbul adalah diskriminasi dan penindasan yang akan dialami Pemohon. Karena apabila usaha yang diderita Pemohon nyata-nyata rugi, maka Pemohon masih harus menanggung beban pajak. Berbeda hasil dengan percakapan via telepon di Nomor (021) 500200 (kring pajak) antara Pemohon dengan Arif (petugas kring pajak) bertindak sebagai aparatur negara yang ahli di bidang perpajakan pada tanggal 10 Januari 2014 (bukti P-5); Bahwa wajib pajak OP/Badan yang menyelenggarakan pembukuan diketahui nyata-nyata rugi maka NIHIL; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 6 www.mahkamahkonstitusi.go.id Pengenyampingan hal ini akan menghilangkan amanah UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1).
Bila maksud dan tujuannya adalah Kemudahan cara menghitung pajak yang berbuahkan insentif beban, tanpa melihat kekuatan membayar pajak itu sendiri, hal ini adalah kemudahan semu, ketidakmampuan pemerintah mengelola pajak yang berkedokan kemudahan yang diberikan kepada Pemohon tanpa ada unsur pemahaman dan pembelajaran perhitungan pajak di dalamnya. Ini sangat mengkerdilkan pengetahuan dan kemampuan Pemohon menghitung pajak. Hal ini akan menghilangkan amanah UUD 1945 khususnya Pasal 28C ayat (1) 8. Bahwa hak Konstitusional Pemohon tersebut telah sangat dirugikan dengan berlakunya Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008. Kerugian tersebut bersifat pasti dan spesifik yang berdasarkan penalaran yang wajar, serta mempunyai hubungan kausal dengan berlakunya Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008. Oleh karena itu, dengan dikabulkannya permohonan ini oleh MK sebagai The Sole Interpreter of The Constitution dan pengawal konstitusi maka kerugian hak konstitusional Pemohon tidak akan terjadi lagi.
Bahwa dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai pemohon pengujian Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 dalam perkara a quo karena telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta penjelasannya dan 5 (lima) syarat kerugian hak konstitusional. sebagaimana pendapat Mahkamah selama ini yang telah menjadi yurisprudensi dan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005. II. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 4 AYAT (2) HURUF E UU NOMOR 36 TAHUN 2008 A. PASAL 4 AYAT (2) HURUF E UU I NOMOR 36 TAHUN 2008 DENGAN PASAL 28D AYAT (1) UUD 1945: YANG MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON ATAS PENGAKUAN, JAMINAN, PERLINDUNGAN, DAN KEPASTIAN HUKUM YANG ADIL SERTA PERLAKUAN YANG SAMA DI HADAPAN HUKUM 10. Bahwa Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 berbunyi: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 7 www.mahkamahkonstitusi.go.id (e) penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dengan memperhatikan prinsip: kemanusian, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Hal tersebut didasarkan pada alasan sebagaimana diuraikan berikut:
Bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2013 yang memberikan kebebasan tanpa batas kepada pemerintah tanpa ada penjelasan tentang batasan, serta pengertian penghasilan lainnya yang dimaksud. Ini sangat berpontesi dan pasti akan terjadi. Membuat ketidakpastian hukum kepada pemohon dengan tidak memberi kesempatan untuk diberlakukan sama di hadapan hukum terlebih bila pemohon mengalami kerugian. Membuat pasal ini dapat menjadi produk pesanan bagi pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya. Terbukti atas terbitnya PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu: a) Penghasilan Kena pajak adalah Penghasilan Bruto dikurangi Biaya Usaha (hal ini berlaku untuk usaha beromset besar “diatas Rp.4,8M”) b) Penghasilan Kena Pajak adalah Penghasilan Bruto tiap bulan (hal ini berlaku untuk usaha beromset kecil “dibawah Rp.4,8M”); Bagaimana bisa suatu aturan mengatur hal yang sama tetapi mendapatkan hasil yang berbeda. Tidak ada jaminan hukum bagi Pemohon untuk memperhitungkan modal dan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara usaha terlebih apabila dikemudian waktu mengalami kerugian. Dalam Hal ini Pemohon dipaksa dan terikat untuk tetap membayar pajak sepanjang ada penjualan walaupun Rp.1,- (satu rupiah) hal ini pasti membuat kapok dan dapat memunculkan kekecewaan yang sangat mendalam terhadap Pemerintah. Ini bukan karena pemikiran namun dari realita yang dialami Pemohon atas produk hukum yang dihasilkan; B. PASAL 4 AYAT (2) HURUF E UU NOMOR 36 TAHUN 2008 DENGAN PASAL 28C AYAT (1) UUD 1945: YANG MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON UNTUK MENGEMBANGKAN DIRI MELALUI Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 8 www.mahkamahkonstitusi.go.id KEBUTUHAN DASARNYA, BERHAK MENDAPATKAN PENDIDIKAN DAN MEMPEROLEH MANFAAT DARI ILMU PENGETAHUAN, DEMI MENINGKATKAN KUALITAS HIDUPNYA DAN DEMI KESEJAHTERAAN UMAT MANUASIA.
Bahwa Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 berbunyi: (e) penghasilan tertentu lainnya,yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional Pemohon dalam usahanya mengembangkan diri dengan menambah sektor pendapatan keluarga dengan cara berjualan pulsa elektrik, dalam hal menghitung pajak dengan benar adil dan berkeadilan sebagaimana pemahaman dan pengetahuan Pemohon selama ini. Mengkerdilkan Pemohon dengan dengan menciptakan diktator (dictatuur) yang bernama penghasilan tertentu lainnya adalah Dasar Pengenaan Pajak adalah penghasilan bruto tiap bulan sehingga semakin sulit dan susahnya mengembangkan diri melalui kebutuhan dasarnya karena ketidakpastian hukum dan perlindungan negara. C. PASAL 4 AYAT (2) HURUF E UU NOMOR 36 TAHUN 2008 DENGAN PASAL 34 AYAT (1) UUD 1945 YANG MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON MENDAPATKAN PERLIDUNGAN DAN PEMELIHARAAN NEGARA ATAS KETIDAKMAMPUAN 13. Bahwa Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008berbunyi: (e) penghasilan tertentu lainnya,yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional Pemohon mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan atas ketidakmampuan. Hal tersebut didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut:
Mandat Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 yang diamanahkan kepada Pemerintah dapat menjadi blunder bagi aturan-aturan lainnya yang mengatur hal yang sama. Dan menghilangkan kewajiban negara dalam melindungi warga negaranya (Pemohon) terhadap ketidakmampuan yang diderita atas kerugian usaha. Terbukti dari terbitnya PP Nomor 46 Tahun 2013. Di mana penafsiran pemerintah atas Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008yang menurut Pemohon bersifat multitafsir dapat menimbulkan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 9 www.mahkamahkonstitusi.go.id hasil yang berbeda atas hal yang sama yaitu perlakuan perpajakan bagi warga negara yang mengalami kerugian usaha antara omset Rp.1,- s.d Rp.4,8M dan omset Rp.4,8M s.d tak terbatas, Hal ini dapat dijabarkan sebagaimana berikut: a) warga negara beromset usaha Rp.4,8 M s.d tak terbatas nyata-nyata mengalami kerugian maka pajak penghasilan yang harus di setor adalah 0 (NOL)/NIHIL. b) warga negara beromset usaha Rp.1,- s.d Rp.4,8 M nyata-nyata mengalami kerugian maka pajak penghasilan yang harus di setor adalah penjualan bruto tiap bulannya di kali tarif pajak. Hal ini juga sangat menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi Pemohon karena tidak ada kepastian hukum dan perlindungan atas ketidakmampuan. Tidak ada kepastian hukum dan pemeliharaan negara kepada warga negara yang tidak mampu karena mengalami kerugian usaha, membuat Pemohon enggan untuk mengembangkan usaha karena Pemohon berpendapat semakin besar usaha maka semakin besar risiko yang ditanggung. Bahwa perlu diingat kembali pertimbangan yang tercantum dalam pembukaan UU Nomor 36 Tahun 2008 huruf a yaitu mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi. dicantumkannya Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 yang bersifat multitafsir atau berpotensi salah tafsir menurut Pemohon dapat menghilangkan rasa keadilan, kepastian hukum dan sikap netral, ini sangat bertentangan dengan semangat UU Nomor 36 Tahun 2008 itu sendiri. Bahwa Bung Hatta menegaskan, di dalam membangun perekonomian nasional berlaku “doktrin demokrasi ekonomi”, bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang, kemakmuran adalah bagi semua orang, ...” (Meutia Farida Hatta Swasono; 2012:
Maka dari itu, kebijakan yang bersifat multitafsir atau dapat memunculkan kekeliruan tafsir yang membuka peluang kepada pemerintah memungut pajak dari wajib pajak yang usahnya rugi/bangkrut mengandung anasir “tirani” yang nafasnya adalah penindasan. Paham ekonomi Bung Hatta sebagaimana terumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945 bahwa pembangunan ekonomi adalah pendukung pembangunan rakyat. Di dalam kehidupan ekonomi yang berlaku adalah “daulat-rakyat” bukan “daulat-pasar” bahwa yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 10 www.mahkamahkonstitusi.go.id dibangun adalah rakyat. Suatu aturan sistem ekomoni tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri mengikuti kehendak dan selera pasar. Dengan demikian Peran Negara tidak sekadar mengintervensi, tetapi menata, untuk mewujudkan Perekonomian nasional berasas efisiensi berkeadilan dan berkelanjutan sehingga terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia 15. Masih dicantumkannya Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 tidak ada lagi dan jaminan mengembangkan diri dari pengetahuan yang dimiliki, kepastian hukum, perlindungan atas ketidakmampuan, karena tidak dijelaskan tolak ukur dari penghasilan tertentu lainnya yang dimaksud. Penafsiran Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 dengan tolak ukur kemudahan/efisiensi yang diberikan PP Nomor 46 Tahun 2013 dengan melakukan “potong kompas” atau mem- by pass perhitungan modal dan biaya usaha dalam menentukan Penghasilan Kena Pajak yang diperuntukan kepada usaha kecil dibawah Rp.4,8 M membuat tidak stabil usaha kecil yang baru memulai apa lagi yang rugi. Maka tidak dibebaskan dari pajak dan mengkompensasi atas kerugian usaha adalah sangat merugikan dan merampas hak konstitusional Pemohon. II. PETITUM Berdasarkan seluruh uraian di atas dan bukti-bukti terlampir, jelas bahwa di dalam permohonon uji materil ini terbukti bahwa Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 merugikan hak konstitusional Pemohon yang dilindungi ( protected ), dihormati ( respected ), dimajukan ( promoted ), dan dijamin ( guaranted ) UUD 1945. Oleh karena itu, diharapkan dengan dikabulkannya permohonan ini dapat mengembalikan hak konstitusional Pemohon sesuai dengan amanat konstitusi. Pemohon sangat berkeyakinan bahwa majelis hakim dapat memutuskan secara adil tanpa melihat bahwa pengujian meteril yang Pemohon ajukan tidak melihat bahwa Pemohon seorang diri (bukti P-10). Tetapi jelas bahwa pasal yang diajukan, sangat berpotensi mengurangi hak konstitusional Pemohon dan bersifat multitafsir. Dengan demikian, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang mulia berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Lainnya bertentangan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 11 www.mahkamahkonstitusi.go.id sekurang-kurangnya dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat; dan
Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang telah diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-10 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-1a : Fotokopi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
Bukti P-3 : Fotokopi Trankrip Rekaman Pembicaraan “Kring Pajak 021- 500200”, Jumat, 25 April 2014;
Bukti P-4 : Fotokopi Artikel Ortax, 4 Juli 2013 “Ketentuan Terbaru Pajak Penghasilan Atas UMKM: Sederhana Tapi Tidak Adil;
Bukti P-5 : Fotokopi Transkrip Rekaman Pembicaraan “Kring Pajak 021- 500200, Jumat, 10 Januari 2014;
Bukti P-6 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Supriyono;
Bukti P-7 : Slip Gaji Bulan Juli 2014 atas nama Supriyono;
Bukti P-8 : Fotokopi Kartu Keluarga Nomor 3671061903100016 atas nama Kepala Keluarga Supriyono;
Bukti P-9 : Bon Belanja Modal & Daftar HPP;
Bukti P-10 : Fotokopi Pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi “Hamdan Zoelva Tak Gentar Hadapi Mahfud MD di MK; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden dalam sidang tanggal 23 Oktober 2014 memberikan keterangan lisan dan menyampaikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 12 www.mahkamahkonstitusi.go.id keterangan tertulis bertanggal 23 Oktober 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 30 Oktober 2014 yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. Pokok Permohonan Pemohon Bahwa Pemohon selaku warga negara Indonesia yang bekerja sebagai karyawan swasta yang pada intinya menyatakan bahwa Pemohon secara konstitusional telah dirugikan hak konstitusionalnya oleh karena ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh dianggap berpotensi dan/atau mengaktualkan pengurangan hak konstitusional Pemohon dalam usahanya mengembangkan diri dalam pemenuhan kebutuhan dasar, perlakuan yang sama di hadapan hukum, memberikan kebebasan tanpa batas serta periindungan atas ketidakmampuan Pemohon akibat kerugian usahanya dalam melaksanakan perhitungan pajak penghasilan dengan benar dan adil, sebagaimana amanat dalam UUD 1945 II. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 13 www.mahkamahkonstitusi.go.id berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah menanggapi kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagaimana dimaksud bawah ini: Bahwa terhadap dalil Pemohon yang mengajukan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh sebagai ketentuan yang dianggap Pemohon telah merugikan hak-hak konstitusionalnya, Pemerintah berpendapat bahwa antara pasal a quo dengan posita Pemohon tidaklah relevan karena Pasal ini hanya mengatur tentang pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah untuk mengatur penghasilan tertentu lainnya. Sehingga tidak tepat Pemohon untuk mengajukan Pasal ini sebagai dasar pertentangannya dengan UUD 1945. Bahwa terhadap keberatan Pemohon yang berulangkali mempermasalahkan penetapan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, Pemerintah berpendapat hal tersebut tidak menjelaskan secara terang di mana letak pertentangan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh dengan batu ujinya tetapi lebih kepada pertentangan kerugian pribadi Pemohon dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tersebut. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 14 www.mahkamahkonstitusi.go.id Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan '."kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang- undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945", menurut Pemerintah hal ini bukanlah isu konstitusionalitas keberlakuan norma dalam Undang-Undang, sehingga Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk mengujinya. Hal-hal yang menurut Pemohon dirugikan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut, maka sebagaimana diatur di dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hal demikian dilakukan pengujiannya ke Mahkamah Agung. Dengan demikian terhadap uraian Pemohon yang mendalilkan ketentuan a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal dalam UUD 1945 adalah tidak berdasar, sehingga sudah sepatutnya apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ); Namun jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat yang berbeda, maka Pemerintah menyerahkan kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menila apakah Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor ll/PUU-V/2007); III. Keterangan Presiden Atas Materi Permohonan Yang Dimohonkan Pengujian Terhadap dalil Pemohon terkait materi pokok permohonan, perkenankanlah Pemerintah menerangkan Undang-Undang PPh secara filosofis sebagaimana yang diuraikan di bawah ini. Undang-Undang PPh dilandasi falsafah Pancasila dan UUD 1945 yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 15 www.mahkamahkonstitusi.go.id pembangunan nasional. Dengan pesatnya perkembangan sosia! ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang dipandang perlu adanya Undang-Undang PPh yang dapat meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. Undang-Undang PPh dimaksud berpegang pada prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan Undang-Undang PPh antara lain adalah untuk lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak dan lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak. Undang-Undang PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Undang-Undang PPh mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subjek Pajak (siapa yang dikenakan), Objek Pajak (penyebab pengenaan), dan Tarif Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara pemungutannya diatur dalam peraturan/ketentuan tersendiri dalam rangka mempermudah masyarakat untuk mempeiajari, memahami, serta.mematuhinya. Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan " Benefit Approach " atau pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar filosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai yang dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa; Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan a quo melanggar Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 16 www.mahkamahkonstitusi.go.id norma dasar negara, Pemerintah dapat memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa terkait dengan pendelegasian wewenang yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh ini, Mahkamah Konstitusi sudah pernah memeriksa, mengadili dan memutuskan pada Putusan Nomor 128/PUU- VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: "Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Dlrektur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi...., sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum. Bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Dlrektur Jenderal Pajak), tidaklah beralasan hukum, karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah." __ 2. Bahwa oleh karena pasal yang dimohonkan pengujiannya dalam perkara ini memiliki substansi yang sama dengan salah satu pasal yang dimohonkan pengujiannya dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi tersebut di atas yaitu Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh. Oleh karena itu kiranya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dijadikan pertimbangan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo ;
Bahwa Pemerintah berpendapat, pelimpahan wewenang pengaturan pengenaan pajak secara final terhadap penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang Undang PPh kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 telah memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan peraturan perundang- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 17 www.mahkamahkonstitusi.go.id undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan sebagai berikut: Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 4. Bahwa sebagaimana diketahui, dalam hierarki Peraturan Perundang- undangan di Indonesia, apabila ketentuan dalam Undang-Undang masih belum cukup dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka pendelegasian kewenangan pengaturan dapat dilakukan dengan tiga alternatif syarat, yaitu:
Adanya perintah yang tegas mengenai subjek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;
Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau
Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari Undang-Undang atau lembaga pembentuk Undang-Undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi;
Bahwa ketiga persyaratan tersebut bersifat alternatif dan salah satunya harus ada dalam rangka pemberian delegasi kewenangan pengaturan ( rule-making power ). Lembaga pelaksana Undang-Undang, baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu peraturan yang mengikat umum jika oleh Undang-Undang sebagai "primary legislation" memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu. Di Indonesia sendiri, dewasa ini, ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Juga ada Peraturan Menteri dan bahkan masih banyak Peraturan Direktur Jenderal yang masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat umum yang masih disebut sebagai Surat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 18 www.mahkamahkonstitusi.go.id Keputusan, seperti Keputusan Dirjen Bea Cukai, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan sebagainya. Sudah menjadi konvensi ketatanegaraan di Indonesia bahwa berbagai Undang-Undang yang mengatur pajak dan pungutan lain itu memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut, seperti Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang a quo yang memberi delegasi kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah, berkaitan dengan pajak bersifat final.
Bahwa pendelegasian wewenang oleh Undang-Undang kepada Pemerintah, yakni Presiden, Menteri-Menteri dari suatu Kementerian untuk membuat suatu peraturan atau norma umum adalah suatu praktik pemerintahan yang sudah lazim dan diterima sebagai sebuah konvensi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hal itu, ahli hukum Tata Negara Hans Kelsen menyatakan pendapatnya sebagai berikut: "Kadang-kadang pembentukan norma-norma umum Itu dlbagi kedalam dua tahapan atau lebih. Sejumlah konstitusi memberikan wewenang pembuatan norma-norma umum kepada otoritas adminstratif tertentu, seperti kepala negara (presiden) atau menteri kabinet, guna menjabarkan ketentuan undang-undang. Norma-norma umum semacam Ini, yang tidak dikeluarkan oleh organ legislatif melainkan oleh organ lain atas dasar norma-norma umum yang dikeluarkan oleh legislatif disebut peraturan atau ordonansi. Menurut sejumlah konstitusi, organ-organ administratif tertentu terutama kepala negara (presiden) atau menteri kabinet sebagai pimplnan departemen pemerintahan tertentu di bawah keadaan-keadaan luar blasa, diberi wewenang membuat norma-norma umum untuk mengatur masalah-masalah yang blasanya diatur oleh organ legislatif melalui undang- undang." Sejalan dengan pemikiran itu maka norma hukum yang lebih tinggi dapat menentukan:
organ dan prosedur pembuatan norma hukum yang lebih rendah;
substansi norma hukum yang lebih rendah.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, oleh karena ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh telah memuat secara tegas bentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan beserta muatan materi yang akan diatur dalam peraturan pelaksanaannya, maka ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh telah memenuhi syarat pendelegasian dan terhadap dalil Pemohon yang menganggap hak konstitusionalnya terabaikan berdasarkan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 19 www.mahkamahkonstitusi.go.id hak-hak yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, hal tersebut adalah tidak benar dan tidak relevan. Oleh karena itu, sepatutnyalah kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan agar permohonan Pemohon, ditoiak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );
Terhadap dalil Pemohon yang mengangggap ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh pada frasa "penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah" yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 4
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasl kepada anggota koperasl orang pribadi;
Penghasilan berupa hadiah undian;
Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksl derivatlf yang dlperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengallhan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
Penghasilan dari transaksi pengallhan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah." bersifat multitafsir, tidak menjamin hak konstitusional Pemohon atas pengakuan jaminan periindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menurut Pemerintah tidak berdasar sama sekali karena Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh bertujuan untuk memberikan ruang bagi Pemerintah guna mengantisipasi transaksi bisnis yang terus berkembang, sehingga pengaturannya dapat bersifat fleksibel dan dinamis, agar dapat mengikuti perkembangan yang ada; Namun demikian, sifat fleksibel dan dinamis yang diberikan kepada Pemerintah bukan tanpa batas, karena untuk memberikan jaminan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 20 www.mahkamahkonstitusi.go.id periindungan dan kepastian.hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, Pemerintah dalam mengatur pengenaan pajak atas penghasilan tertentu lainnya harus mempertimbangkan hal-hal antara lain sebagai berikut:
Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;
Kesederhanaan dalam pemungutan;
Berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
Pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
Memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Dengan demikian ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh telah memberikan jaminan periindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 194
Terkait dengan dalil Pemohon bahwa Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh tidak menjamin hak konstitusional Pemohon untuk mengembangkan diri melalui kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia berdasarkan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, karena dianggap telah menghalangi Pemohon menghitung sendiri pajaknya dengan benar sebagaimana pemahaman dan pengetahuan Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa saiah satu pertimbangan dalam pengaturan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh adalah demi kesederhanaan dalam pemungutan pajak yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman Wajib Pajak dalam menghitung pajaknya sendiri (self assesment), sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku; Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, pengaturan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh telah menjamin pengembangan diri melalui kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 www.mahkamahkonstitusi.go.id 10. Pemohon dalam permohonannya mendalilkan bahwa Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh tidak menjamin Pemohon untuk mendapatkan periindungan dan pemeliharaan Negara atas ketidakmampuan berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Terkait dengan dalil Pemohon di atas, Pemerintah berpendapat bahwa fungsi utama pajak adalah menghimpun dana dari rakyat untuk pembiayaan kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan. Dana yang diambil dari rakyat akan dikembalikan kepada rakyat melalui pengeluaran pemerintah yang diantaranya untuk membantu rakyat agarterentas dari kemiskinan. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa pajak yang dibayarkan rakyat digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan pengaturan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh telah menjamin periindungan dan pemeliharaan negara atas ketidakmampuan sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );
Menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 www.mahkamahkonstitusi.go.id [2.4] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 23 Oktober 2014, Dewan Perwakilan Rakyat tidak hadir dalam persidangan dan tidak menyampaikan keterangan baik lisan maupun tertulis; [2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis tanpa tanggal, bulan dan tahun, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 30 Oktober 2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893, selanjutnya disebut Undang-Undang PPh) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 www.mahkamahkonstitusi.go.id 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), __ dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian konstitusionalitas Undang-Undang PPh terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 www.mahkamahkonstitusi.go.id September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum ( legal standing) para Pemohon sesuai dengan uraian Pemohon dalam permohonannya dan bukti-bukti yang diajukan;
Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk Nomor 3671061902850001 (vide bukti P-6) yang bekerja sebagai karyawan swasta dan membuka usaha isi ulang pulsa yang dijalankan oleh istri Pemohon;
Menurut Pemohon dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, yang sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang PPh berpotensi dan/atau bersifat multitafsir dan telah nyata-nyata mengaktualkan pengurangan hak konstitusional Pemohon;
Menurut Pemohon di dalam Undang-Undang PPh in casu Pasal 4 ayat (2) huruf e tidak ada penjelasan, tolak ukur, serta maksud dari penghasilan tertentu lainnya. Apabila tolak ukurnya adalah jumlah penghasilan yang didapat tanpa melihat cara memperoleh penghasilan tersebut maka akan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 www.mahkamahkonstitusi.go.id berbenturan antara aturan yang satu dengan aturan lainnya. Sebagai contoh bahwa untuk mendapatkan kejelasan mengenai maksud penghasilan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh, Pemohon telah menelpon dua kali kepada petugas pajak yang berbeda di 500200 (kring pajak), namun kedua petugas pajak tersebut memberikan penjelasan yang berbeda-beda, yang pada pokoknya menyatakan bahwa petugas pertama memberikan penjelasan apabila usaha Pemohon isi ulang pulsa rugi maka Pemohon masih harus menanggung beban pajak sedangkan petugas kedua memberikan penjelasan bahwa apabila wajib pajak/Badan yang menyelenggarakan pembukuan (Pemohon) rugi maka nihil (dibebaskan dari pajak);
Berdasarkan hal tersebut, menurut Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945; [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan dalil Pemohon tersebut dikaitkan dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK, serta putusan Mahkamah sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian Pemohon dan berlakunya Undang-Undang a quo. Kerugian konstitusional Pemohon tersebut bersifat aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan adanya kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan kerugian konstitusional Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi. Berdasarkan penilaian dan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian permohonan a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) __ untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa Pemohon dalam pokok permohonannya mengajukan pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh yang menyatakan, _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 www.mahkamahkonstitusi.go.id _a. ... dst; _ e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Menurut Pemohon pasal dalam Undang-Undang a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, dengan alasan sebagai berikut:
Pasal dalam Undang-Undang a quo telah mengkerdilkan Pemohon dengan menciptakan diktator (dictatuur) yang bernama penghasilan tertentu lainnya adalah dasar pengenaan pajak adalah penghasilan bruto tiap bulan sehingga semakin menyulitkan dan menyusahkan Pemohon untuk mengembangkan diri melalui [ sic! ] kebutuhan dasarnya karena tidak adanya kepastian dan tidak adanya perlindungan negara;
Pasal dalam Undang-Undang a quo telah memberikan kebebasan tanpa batas kepada pemerintah karena tidak adanya penjelasan tentang batasan serta pengertian penghasilan lainnya sehingga memberikan ketidakpastian dan memberikan kesempatan yang tidak sama di hadapan hukum kepada Pemohon;
Pasal dalam Undang-Undang a quo yang memberikan amanah kepada pemerintah untuk membentuk peraturan pemerintah telah menghilangkan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya. Hal tersebut terbukti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 sebagai amanah dari Undang-Undang PPh telah bersifat multitafsir dan menimbulkan hasil yang berbeda atas hal yang sama yakni perlakuan perpajakan bagi warga negara yang mengalami kerugian usaha, khususnya terhadap Pemohon; [3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-10, tanpa mengajukan saksi ataupun ahli; [3.12] Menimbang bahwa DPR pada persidangan tanggal 23 Oktober 2014 tidak hadir dalam persidangan serta tidak pula menyampaikan keterangan tertulis kepada Mahkamah; __ [3.13] Menimbang bahwa Presiden dalam persidangan tanggal 23 Oktober 2014 telah menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 23 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 www.mahkamahkonstitusi.go.id Oktober 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 30 Oktober 2014 yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: __ • Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wajib pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan; • Pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan "benefit approach" atau pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar filosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai yang dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa; • Pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon memiliki substansi yang sama dengan permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 128/PUU-VII/2009, bertanggal 11 Maret 2010, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi a quo dapat dijadikan pertimbangan dalam permohonan Pemohon a quo ; • Pendelegasian wewenang oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yakni Presiden, Menteri-Menteri untuk membentuk ketentuan merupakan suatu praktek sebagai pelaksanaan Undang-Undang sesuai dengan kewenangannya berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, pendelegasian kewenangan pengaturan tersebut telah memenuhi syarat alternatif, yakni i) adanya perintah yang tegas mengenai subjek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; ii) adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau iii) adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari undang-undang atau lembaga pembentuk undang-undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 www.mahkamahkonstitusi.go.id Pendapat Mahkamah [3.14] Menimbang bahwa setelah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, keterangan Pemohon, bukti yang diajukan Pemohon, dan keterangan Presiden, menurut Mahkamah norma Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon pernah dimohonkan pengujian dalam perkara Nomor 128/PUU-VII/2009 dengan dasar pengujian yang sama, yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap permohonan pengujian pasal tersebut, Mahkamah pada tanggal 11 Maret 2010 telah menjatuhkan putusan dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut: “ [3.15.1] Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian maka pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum ; [3.15.2] Bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak), tidaklah beralasan hukum, karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah. Memang tidak mustahil dapat terjadi pada suatu negara yang pemerintahannya otoriter, muncul Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang bertentangan dengan UUD, sehingga pasal yang bersifat demokratis dibelenggu oleh Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 www.mahkamahkonstitusi.go.id ketentuan yang lebih rendah yang otoriter (nucleus of norms, be surrounded by corona of highly oppressive norms, imposed upon the people as a whole). Misalnya, kebebasan pers seperti yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dapat diberangus dengan Keputusan Menteri jika kepentingan penguasa terganggu (press censorship). Namun di dalam tata hukum Indonesia sudah ada mekanisme judicial review, sehingga seandainya pun terdapat Peraturan Pemerintah yang mengandung ketidakadilan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka bagi Pemohon sebagai warga negara yang dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan pengujian materiil (judicial review) kepada Mahkamah Agung; ” Berdasarkan pertimbangan dalam Putusan Nomor 128/PUU-VII/2009, bertanggal 11 Maret 2010, menurut Mahkamah permohonan Pemohon dengan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah sama dengan permohonan Pemohon dalam perkara a quo sehingga permohonan Pemohon _ne bis in idem; _ __ [3.15] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon dengan dasar pengujian Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, menurut Mahkamah pasal a quo tidak relevan untuk dijadikan dasar pengujian Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh sebab Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh mengatur mengenai pendelegasian wewenang pengaturan tentang jenis pajak penghasilan lainnya dari Undang-Undang kepada Peraturan Pemerintah, sedangkan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 mengatur mengenai hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, serta Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 mengatur fakir miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Dengan demikian permohonan Pemohon dengan dasar pengujian Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum; [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, meskipun Pemohon dalam permohonan a quo juga mengajukan dasar pengujian yang berbeda dengan Permohonan Nomor 128/PUU-VII/2009, namun Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 www.mahkamahkonstitusi.go.id demikian Mahkamah menilai pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa: [1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon; [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Aswanto, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, dan Patrialis Akbar, masing- masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal tiga puluh bulan Oktober tahun dua ribu empat belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh satu bulan Januari tahun dua ribu lima belas , selesai diucapkan pukul 113 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 www.mahkamahkonstitusi.go.id Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Suhartoyo, dan I Dewa Gede Palguna, masing-masing sebagai Anggota, didampingi oleh Sunardi sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Wahiduddin Adams ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Patrialis Akbar ttd. Suhartoyo ttd. I Dewa Gede Palguna PANITERA PENGGANTI, ttd. Sunardi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id