PUTUSAN PUTUSAN Nomor 57/PUU-XVIII/2020 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: Nama : Dr. Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H. Alamat : Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI, Jalan Medan Merdeka Utara Nomor 9 - 13, RT 2/RW 3, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 10110. Pekerjaan : Hakim Yustisial pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia. Berdasarkan Surat Kuasa khusus tertanggal 29 Juni 2020, memberi kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Yohanes Mahatma Pambudianto, S.H., Happy Hayati Helmi, S.H., dan Arif Triono, S.H., Advokat yang memilih domisili di Komplek Ruko Tanah Abang 1 Nomor 12 T.U. lantai II, Jalan Tanah Abang 1 Nomor 12, Jakarta Pusat, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama __ bertindak untuk dan atas nama pemberi Kuasa, Selanjutnya disebut sebagai...……………………………………............. Pemohon; [1.2] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Memeriksa bukti-bukti Pemohon. 2 2. DUDUK PERKARA [2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 6 Juli 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 8 Juli 2020 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 136/PAN.MK/2020 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 9 Juli 2020 dengan Nomor 57/PUU-XVIII/2020, yang telah diperbaiki dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 Agustus 2020, pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. KEWENANGAN MAHKAMAH 1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;
Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”;
Bahwa berdasarkan ketentuan diatas, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian undang- undang terhadap UUD 1945 yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi) yang menyatakan: 3 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang- undang (UU) terhadap UUD RI tahun 1945”;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan bahwa: __ “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
memutus pembubaran partai politik;
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”; __ 5. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ). Apabila terdapat UU yang berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi ( inconstitutional ), maka Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU termasuk keseluruhannya;
Bahwa sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ), Mahkamah Konstitusi juga berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya ( the sole interpreter of constitution ) yang memiliki kekuatan hukum, sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;
Bahwa berkenaan dengan yurisdiksi Mahkamah Konstitusi tersebut dan berdasarkan uraian di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian Konstitusional Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Pajak terhadap UUD 1945. 4 II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) DAN KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu:
perorangan WNI;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik dan privat, atau;
lembaga negara”.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU- III/2005 dan Perkara Nomor 11/PUU-V/2007, juga menyebutkan tentang kapasitas Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.
Bahwa hak konstitusional Pemohon telah diatur, dijamin dan dilindungi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) sebagai berikut: Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya” __ __ __ __ __ __ 5 __ 4. Bahwa Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (Bukti P.3 – KTP), sebagai pembayar Pajak yang dibuktikan dengan kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (Bukti P.4 – NPWP) yang berprofesi sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berdasarkan Surat Petikan Keputusan Presiden Nomor 38/P Tahun 2006 tentang keputusan Pengangkatan Hakim (Bukti P.5 – Surat Keputusan Presiden) dan Surat Petikan Keputusan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 08/DJ/SK/TUN/PH/12/2006 (Bukti P.6 – Surat Keputusan).
Bahwa saat ini Pemohon menjabat sebagai Hakim Yustisial pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI berdasarkan Petikan Daftar Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara No. 317/djmt/10/2016, tanggal 3 Oktober 2016 (Bukti P.7 – SK Pengangkatan).
Bahwa Pemohon sebagai hakim selama ini aktif memperjuangkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman in casu independensi hakim. Pada tahun 2011 Pemohon memperjuangkan hak konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara. Dimana menurut Pemohon ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU Nomor 17 Tahun 2003 tersebut telah mengesampingkan esensi kemandirian kekuasaan Kehakiman dalam mengelola anggarannya sendiri. Berdasarkan keyakinan tersebut Pemohon mengajukan Permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji ketentuan norma dimaksud, Permohonan tersebut teregister dengan Nomor Perkara 28/PUU-IX/2011 yang kemudian diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada hari Senin, pada tanggal 2 Juli 2012 dan diucapkan pada sidang terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal 31 Juli 2012. Dalam Perkara tersebut Mahkamah menyatakan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( Legal Standing ) untuk mengajukan permohonan. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON 6 7. Bahwa kemudian, untuk mendapatkan jaminan kemerdekaan dan kemandirian peradilan yang menentukan indepedensi hakim, pada Tahun 2012 Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 25 ayat (6) UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto Pasal 25 ayat (6) UU 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Pasal 24 ayat (6) UU 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ke Mahkamah Konstitusi karena Pemohon merasa Hak Konstitusionalnya sebagai hakim telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan norma tersebut. Permohonan tersebut teregistrasi dengan Nomor Perkara 37/PUU-X/2012 yang kemudian diputus pada hari kamis, tanggal 26 Juli 2012 dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal 31 Juli 2012. Dalam perkara tersebut Mahkamah berkesimpulan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan.
Bahwa sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi dan menduduki jabatan ( ambt ) sebagai hakim, Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yakni hak kebebasan sebagai hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang ditanganinya. Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “ Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan ”, sedangkan ayat (2)-nya berbunyi, “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ”. Hal tersebut kemudian dijabarkan dalam ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman). Pasal 31 berbunyi, “Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung”, sedangkan Pasal 33 UU Kekuasaan 7 Kehakiman berbunyi, “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan’. 9. Bahwa berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman di atas, kebebasan atau kemerdekaan diberikan kepada institusi pelaku kekuasaan kehakiman – yaitu MA, beserta badan-badan peradilan di bawah MA, dan Mahkamah Konstitusi – untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Namun, kebebasan/kemerdekaan institusional lembaga peradilan dengan sendirinya tercermin dalam kebebasan para hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dimaksud.
Bahwa oleh karena itu, sebagai konsekuensi bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman ( rechters als uitvoerder van rechterlijke macht ) (Pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman), hakim wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman) yang secara inheren hakim juga secara individual menyandang kemandiriannya sebagai hakim, sehingga seorang ketua pengadilan pun tidak boleh mengintervensi hakim yang sedang menangani perkara. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa badan- badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, dan lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, serta lingkungan peradilan tata usaha negara sebagai institusi hanya dapat melaksanakan kewenangan melalui para hakimnya. Dengan demikian, badan peradilan sebagai suatu lingkungan kerja ( ambt ) untuk bertindak dipersonifikasikan oleh hakim sebagai pemangku jabatan ( ambtsdrager ). Konstruksi pemikiran di atas membawa konsekuensi logis bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 juga memberikan kemerdekaan dan independensi kepada hakim yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu jaminan atas kemandirian peradilan adalah hak sekaligus kewenangan konstitusional hakim. Tanpa adanya kemerdekaan dan independensi hakim, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan tidak akan dapat ditegakkan. Sebaliknya, segala bentuk ketergantungan dan keterikatan institusi badan-badan peradilan pasti akan mengurangi kemerdekaan dan 8 independensi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dengan demikian, sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi dan menduduki jabatan (ambt) sebagai Hakim, Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945.
Bahwa hak dan kewenangan konstitusional Pemohon sebagai hakim untuk mendapatkan jaminan kemerdekaan dan kemandirian peradilan yang menentukan indepedensi hakim telah dirugikan dengan berlakunya Ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, yang berbunyi: Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. 12. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak tersebut, telah mengesampingkan esensi kemandirian Kekuasaan Kehakiman dalam melakukan pembinaan badan peradilan. Hal ini disebabkan karena “ Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) tersebut, telah membuka penafsiran bahwa Pengadilan Pajak berada dibawah kekuasaan Departemen Keuangan. Padahal sangat jelas dan nyata dari sudut sistem ketatanegaraan maupun ketentuan peraturan perundang-undangan, Pengadilan Pajak adalah merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yaitu pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berada dibawah Kekuasaan Mahkamah Agung.
Bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak tersebut, telah menimbulkan dualisme sistem pembinaan terhadap Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Dualisme ini mengakibatkan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak berada di Departemen Keuangan (eksekutif). Hal ini secara langsung berdampak pula terhadap tidak adanya kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan terhadap Pengadilan Pajak. Ketentuan tersebut telah men- KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON 9 down grade kedudukan Mahkamah Agung dalam kedudukannya sebagai peradilan tertinggi atas badan-badan peradilan dibawahnya.
Bahwa berlakunya ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak menyebabkan masuknya kekuasaan Pemerintah in casu menteri Keuangan hingga ke dalam sendi-sendi Pengadilan Pajak yang secara nyata-nyata telah menabrak prinsip-prinsip kekuasan kehakiman yang merdeka. Masuknya kekuasan Pemerintah terdapat pada ketentuan- ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Pajak.
Bahwa hal ini secara langsung berdampak sistemik pula terhadap terganggunya kebebasan atau kemerdekaan diberikan kepada institusi pelaku kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung, beserta badan- badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, di pihak lain kebebasan/kemerdekaan institusional lembaga peradilan dengan sendirinya tercermin dalam kebebasan para hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dimaksud. Dengan demikian telah jelas jika hakim adalah bagian integral dari sistem Kekuasaan Kehakiman, maka indepedensi badan peradilan Pajak merupakan faktor penting yang ikut menentukan berjalan atau tidaknya sistem dimaksud. Oleh karena itu, jelas pula bahwa tanpa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan Pajak yang merdeka dan mandiri, maka peningkatan sistem peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan akan sulit dilaksanakan.
Bahwa selanjutnya dengan diberikannya sebagian besar urusan pembinaan, yakni pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan kepada Kementerian Keuangan, hal ini mengakibatkan tidak terbangunya sistem pembinaan dan kordinasi yang selaras dalam penanganan penyelesaian sengketa pajak. Hal ini menyebabkan menumpuknya beban penyelesaian perkara pajak di Mahkamah Agung, dan tentunya kondisi ini telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara yang mengerjakan konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan 10 diucapkan serta melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim (Bukti P.8 – Beberapa Putusan PK Pajak).
Bahwa pemberian urusan Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan kepada Menteri Keuangan, awalnya dilandasi dengan adanya anggapan bahwa secara SDM Mahkamah Agung in casu kamar TUN belum siap untuk melakukan pembinaan-pembinaan tersebut oleh karenanya akan dialihkan ke Mahkamah Agung secara bertahap. Dimana jika merujuk saat pembahasan RUU Pengadilan Pajak, pemerintah mengusulkan tenggat waktu yang diberikan untuk mengalihkan urusan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dari Departemen Keuangan in casu Kementerian keuangan paling lambat 5 tahun. Namun faktanya hingga saat ini tidak kunjung dialihkan. Hal ini tentunya membangun stigma kepada Mahkamah Agung tidak siap untuk mengurusi pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan. padahal sejatinya Mahkamah Agung sudah sangat siap untuk mengurusi pembinaan tersebut. Stigma ini tentunya merugikan PEMOHON sebagai hakim yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Mahkamah Agung.
Bahwa di Mahkamah Agung berlaku sistem kamar yang terdiri dari lima kamar yaitu perdata, pidana, agama, tata usaha negara dan militer. tiap- tiap kamar memiliki dan tugas dan kewenangan yang berbeda-beda. Kamar Tata Usaha Negara memiliki tugas dan kewenangan untuk menangani perkara kasasi dan peninjauan kembali perkara tata usaha negara, hak uji materiil, sengketa pajak dan perkara yang sejenis sesuai dengan petunjuk teknis yang ditetapkan Panitera Mahkamah Agung.
Bahwa Pemohon saat ini bertugas di Kamar Tata Usaha Negara sebagai Hakim Yustisial sekaligus sebagai Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara (Bukti P.9 – Penetapan Panitera Pengganti pada Kamar TUN), yang memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
membantu Majelis Hakim Agung dalam pencatatan jalannya persidangan;
melakukan pencatatan berkas perkara yang diterima dari Panitera Muda Tim; 11 c. mengetik konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan diucapkan;
menyampaikan putusan yang telah selesai diketik untuk diteliti dan diperiksa atau koreksi oleh Hakim Agung pembaca pertama;
melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, telah nyata terdapat kepentingan langsung Pemohon dalam kedudukan dan tugas Pemohon sebagai seorang Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam hubungannya dengan bekerjanya sistem kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, oleh karena itu dengan berlakunya Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak tersebut telah mengurangi hak konstitusional pemohon untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, serta menjaga kemerdekaan dan independensi peradilan.
Bahwa apabila permohonan pengujian terhadap ketentuan Pasal 5, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Pajak dikabulkan, maka Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh __ Mahkamah Agung. Hal itu dengan sendirinya akan memulihkan hak konstitusional Pemohon sebagai seorang Hakim untuk dapat menjalankan tugas secara independen dan turut menjaga kemerdekaan dan kemandirian peradilan. Bahwa berdasarkan seluruh rangkaian uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon (Perseorangan Warga Negara Indonesia) yang berprofesi dan menduduki jabatan ( ambt ) sebagai Hakim Yustisial pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang- undang ini. 12 III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN Bahwa ketentuan norma yang diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon, yakni: Pasal 5, yang menyatakan: “(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.” terhadap frasa: “Departemen Keuangan” sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Agung”. Pasal 8, yang menyatakan: “(1) Hakim diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung.” terhadap frasa: “Menteri setelah mendapat persetujuan” “(2) Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung.” terhadap frasa: “Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan” Pasal 9 ayat (5), yang menyatakan: “Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.” terhadap frasa: “Keputusan Menteri” sepanjang tidak dimaknai “dengan Peraturan Mahkamah Agung” Pasal 13, yang menyatakan: “(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena:
permintaan sendiri;
sakit jasmani dan rohani terus menerus;
telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; atau
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.” terhadap frasa: “Menteri setelah mendapat persetujuan”. “(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena tenaganya dibutuhkan oleh negara untuk menjalankan tugas negara lainnya.” terhadap frasa: “Menteri setelah mendapat persetujuan”. 13 Pasal 14, yang menyatakan: “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri, setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dengan alasan:
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
melakukan perbuatan tercela;
terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
melanggar sumpah/janji jabatan; atau
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. terhadap frasa: “Menteri, setelah mendapat persetujuan.” Pasal 16 ayat (1), yang menyatakan: “Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan Menteri.” terhadap frasa: “dengan Keputusan Presiden atas usul” sepanjang tidak dimaknai kata “oleh”, dan terhadap frasa “dan Menteri”. Pasal 17 ayat (1), yang menyatakan: “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.” terhadap frasa: “Menteri dengan persetujuan”. Pasal 22 ayat (2), yang menyatakan: “Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri.” terhadap frasa: “Keputusan Menteri” Peraturan Perundang-undangan. Pasal 25 ayat (1), yang menyatakan: “Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan Departemen Keuangan.” terhadap frasa: “Departemen Keuangan” sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Agung” Pasal 27, yang menyatakan: “Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri.” terhadap frasa: “dengan Keputusan Menteri” sepanjang tidak dimaknai “oleh Mahkamah Agung”. 14 Pasal 28 ayat (2), yang menyatakan: “Tata kerja kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri.” terhadap frasa “Keputusan Menteri” sepanjang tidak dimaknai “Peraturan Mahkamah Agung”. Pasal 29 ayat (4), yang menyatakan: “Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri”. terhadap frasa: “Menteri” sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Agung”. Pasal 34 ayat (2), yang menyatakan: “Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
... b. ... c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri.” terhadap frasa “Menteri” sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Agung”. Kesemuanya tersebut diatas bertentangan atau bertentangan secara bersyarat ( Conditionally Unconstitutional ) dengan UUD 1945, diantaranya: Pasal 1 ayat (3), yang menyatakan: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Pasal 24 ayat (1), yang menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.” Pasal 24 ayat (2), yang menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Bahwa terhadap ketentuan Norma Pasal a quo yang bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagai berikut: A. Tinjauan Yuridis Konstitusional Terhadap Sejarah Perkembangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Pajak Di Indonesia 1. Bahwa sebelum kemerdekaan, lembaga penyelesaian sengketa pajak pertama kali dibentuk pada tahun 1915, Stb No. 707 tanggal 11 Desember, dengan nama Raad van Belastingzaken , langsung di 15 bawah Gubernur Jenderal. Kemudian diubah dengan Ordonantie tot Regeling v.h. Beroep in Belastingzaken, Stb . No. 29 tanggal 27 Januari 1927, ketuanya waktu itu adalah Wakil Ketua Mahkamah Agung Hindia Beland
Bahwa pasca kemerdekaan pada tahun 1945, berdasarkan aturan peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 keberadaan Raad van Beroep voor Belastingzaken dinyatakan masih berlaku hingga tahun 1959. Dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1959 tentang Perubahan Regeling Beroep in Belastingzaken (LN Nomor 13 Tahun 1959), Raad van Beroep voor Belastingzaken diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak (MPP). Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1959 menyatakan bahwa Kata-kata "Gouverneur der Provincie West Java" dalam pasal 4 "Regeling van het beroep in belastingzaken" (Staatsblad 1927 No. 29 sebagai yang telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Staatsblad 1949 No. 251) diganti dengan "Ketua Mahkamah Agung" . Dengan demikian UU ini mengatur bahwa yang melantik ketua dan para anggota MPP adalah Ketua Mahkamah Agung.
Bahwa mengingat tuntutan masyarakat dan perkembangan keadaan mengakibatkan penyelesaian sengketa pajak oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) dianggap sudah tidak memadai lagi dengan kebutuhan dalam menyelesaikan sengketa pajak, maka pada tanggal 23 Mei 1997 Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memutuskan menetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara No. 3684).
Bahwa Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 1997 menyatakan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak adalah badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 199 16 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan banding terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya ...” Penjelasannya berbunyi sebagai berikut: Dalam hal Wajib Pajak masih merasa kurang puas terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan, Wajib Pajak masih diberi kesempatan untuk mengajukan banding ke badan peradilan pajak, dalam hal ini seperti yang ada sekarang Majelis Pertimbangan Pajak...“. Selanjutnya Undang-undang No. 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang No.6 Tahun 1983, pasa1 27 ayat (1) menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak . Ayat 2- nya: Sebelum Badan Peradilan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, pemohon banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara .
Bahwa dengan diberlakukannya UU Nomor 17 Tahun 1997, telah menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan pembinaan penyelesaian sengketa pajak, yang selama ini dipegang oleh Ketua Mahkamah Agung beralih ke Departemen Keuangan. Hal demikian tercermin dalam Ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Ketentuan ini nyata-nyata bertentangan dengan Ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Namun mengingat pada masa itu belum ada suatu lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas suatu Undang- Undang, maka ketentuan tersebut menjadi tetap berlaku.
Bahwa oleh karena pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan 17 ketidakadilan, dan oleh karena BPSP belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung, maka pada tanggal 12 April 2002 Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kembali memutuskan menetapkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pasal 2 UU tersebut menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak .
Bahwa terkait dengan kekuasaan pembinaan Pengadilan Pajak dalam UU No. 14 Tahun 2002 terjadi perubahan, yaitu menganut sistem pembinaan yang mendua yang dilakukan secara terpisah sebagaimana termaktub dalam Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: “(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.” 8. Bahwa pembinaan yang demikian, menunjukkan adanya inkonsistensi terhadap sistem peradilan yang ada, sehingga Pengadilan Pajak tidak sepenuhnya dapat dikategorikan tunduk terhadap sistem peradilan yang berlaku. Ketentuan Pasal 5 ayat UU No. 14 Tahun 2002 nyata-nyata bertentangan baik dengan Ketentuan Pasal 24 UUD 1945 sebelum amandemen maupun dengan Ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 pasca amandemen, karena menempatkan badan peradilan di bawah eksekutif. Namun oleh karena pada waktu itu belum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dan belum pernah ada pihak yang mempersoalkan konstitusionalitas Ketentuan Pasal 5 ayat (2) tersebut, maka hingga saat ini dengan sendirinya ketentuan tersebut masih berlaku. 18 B. Proses Pembentukan UU Tentang Pengadilan Pajak 1. Bahwa jika ditinjau dari proses pembentukan peraturan perundang- undangan, sesungguhnya semangat pembentukan Pengadilan Pajak telah tergambar secara singkat pada bagian konsideran UU Pengadilan Pajak, dimana pada bagian menimbang huruf d, dikatakan bahwa BPSP belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Kemudian pembentukan Pengadilan Pajak ditegaskan kembali pada bagian menimbang huruf e, dikatakan bahwa diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak.
Bahwa selanjutnya jika ditinjau dari materi muatan yang dimuat dalam UU Pengadilan Pajak sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, maka akan tercermin kehendak Pembentuk Undang-Undang yang menginginkan Pengadilan pajak masuk sebagai bagian dari sebuah lembaga peradilan yang merdeka dan harus dibawah salah satu lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung. Hal tersebut terlihat jelas dari konsideran pada bagian mengingat, angka 1 yang memasukan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 perubahan ketiga, yang mana jika ditinjau dari segi waktu pengundangannya UU Pengadilan Pajak diundangkan pada tanggal 12 April 2002, sementara Perubahan ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001. Artinya Pembentuk Undang-Undang menghendaki bahwa UU Pengadilan pajak tidak boleh bertentangan dengan Ketentuan Pasal 24 Perubahan ketiga UUD 1945 secara keseluruhan mulai dari Pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Bahwa terkait dengan urusan pembinaan organisasi, administrasi dan Keuangan Pengadilan Pajak, pembentuk undang-undang menghendaki tidak boleh ada dualisme pembinaan sebagaimana yang terjadi dalam UU sebelumnya (UU Nomor 17 Tahun 1997 Tentang BPSP), harus ada pemisahan tegas antara kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif dalam pembinaan penyelesaian sengketa 19 pajak demi memperkuat Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman. Hal ini didasarkan pada amanat TAP MPR No. X/MPR/1998 yang kemudian diderivasikan dalam UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana undang-undang ini adalah Undang-Undang yang telah menyatu- atapkan kekuasaan kehakiman dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Bahwa Ketentuan Pasal 11 UU No. 35 Tahun 1999 menyatakan: “(1) Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), secara organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan Undang- undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.” Oleh karenanya pada konsideran menimbang huruf e UU Pengadilan Pajak ditegaskan bahwa perlunya suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak. C. Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pengadilan Pajak Khususnya Menyangkut Original Intent Pasal 5 UU Pengadilan Pajak. (Disarikan dari Buku 1, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada Bulan November 2012) (Bukti P.10 – Buku 1 Proses Pembahasan RUU Pengadilan Pajak).
Bahwa terkait dengan Pembinaan Pengadilan Pajak, Pembentuk Undang-Undang menempatkannya dalam Ketentuan Pasal 5 RUU Badan Peradilan Pajak yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut: “(1) Pembinaan teknis peradilan Badan Peradilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Badan Peradilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) akan dialihkan ke Mahkamah Agung secara bertahap. 20 (4) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus tetap menjamin kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak” Penjelasan-nya: Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Oleh karena Badan Peradilan Pajak adalah Badan yang bersifat khusus terutama yang menyangkut materi sengketa, hukum acara, hakim yang mengadili, subjek pajak, sifat peradilan, materi putusan, dan lain-lain, maka diperlukan hakim dan panitera yang mempunyai keahlian dibidang yuridis dan teknis perpajakan sehingga pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Badan Peradilan Pajak untuk sementara perlu dilakukan oleh Departemen Keuangan. Ayat Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehakiman, pengalihan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Badan Peradilan Pajak ke Mahkamah Agung, dilakukan apabila segala sesuatu yang diperlukan untuk itu seperti misalnya sumber daya manusia sudah dapat dipenuhi. 2. Bahwa dalam Penjelasan Menteri Keuangan Mewakili Pemerintah Mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Badan Peradilan Pajak dalam Rapat Paripurna DPR-RI, 5 Februari 2001, mengemukakan latar belakang dan pokok pikiran yang melandasi pengajuan RUU tersebut sebagai berikut: Sidang Dewan yang terhormat, Sebagaimana Dewan mengetahui, pada awalnya masalah penyelesaian sengketa pajak ditangani oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang dibentuk berdasarkan Regeling van het Beroep in Belastingzaken (Staatblad Nomor 29 Tahun 1927) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 (Staatblad Nomor 29 Tahun 1927). Akan tetapi tuntutan masyarakat dan perkembangan keadaan mengakibatkan penyelesaian sengketa pajak oleh Majelis Pertimbangan Pajak dianggap sudah tidak memadai lagi, 21 sehingga dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Harapannya pada waktu itu adalah agar dapat diwujudkan suatu peradilan pajak yang independen, mampu mewujudkan keadilan bagi wajib pajak dengan proses yang sederhana, cepat, dan biaya murah. Namun, dalam perkembangannya dan sejalan dengan rasa keadilan masyarakat Wajib Pajak masalah penyelesaian sengketa pajak yang ditangani oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tersebut dirasakan masih terdapat "kendala" yang perlu disempurnakan. Salah satu kendala tersebut adalah meskipun BPSP merupakan badan peradilan, akan tetapi belum bermuara di Mahkamah Agung sebagaimana lain-lain badan kehakiman menurut Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Bahwa lebih lanjut Pemerintah menyatakan: “.... keberadaan badan peradilan pajak harus menyelaraskan dengan semangat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 yang dalam Bab V menetapkan bahwa arah kebijakan di bidang hukum adalah mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun. Berdasarkan alasan dan pertimbangan tersebut, Pemerintah berpendapat, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak perlu diubah dengan jalan menggantinya dengan undang-undang yang baru, dan nama badan peradilan tersebut adalah Badan Peradilan Pajak. Tujuan dari perubahan dan penggantian tersebut agar dapat diwujudkan peradilan perpajakan yang benar-benar mandiri (independen), tidak memihak (imparsial), mampu memberikan perlindungan hukum dan keadilan, serta memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak, tanpa meninggalkan sifat khusus badan peradilan pajak tersebut.” 4. Bahwa menyangkut pokok-pokok substansi materi dari RUU Badan Peradilan Pajak, Pemerintah menyatakan: “Meskipun dibentuk dengan maksud untuk mewujudkan adanya badan peradilan khusus di bidang perpajakan, namun status dan kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum selaras dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok- 22 pokok Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 10 dan Pasa1 13 Undang-undang tersebut. Oleh sebab itu, dalam RUU ini ditegaskan bahwa Badan Peradilan Pajak melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadiIan terhadap sengketa pajak. Dalam hal ini, Badan Peradilan Pajak merupakan badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, dan merupakan Badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.” 5. Bahwa terkait dengan penyempurnaan kelembagaan, Pemerintah menyatakan: “Saudara Ketua dan anggota Dewan yang terhormat, Mengenai penyempurnaan kelembagaan, RUU ini menegaskan bahwa pembinaan teknis peradilan Badan Peradilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung; sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan. Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan tersebut secara bertahap akan dialihkan ke Mahkamah Agung. Ketentuan ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. Dalam Undang-undang tersebut antara lain diatur mengenai pengalihan organisasi, administrasi, dan keuangan dari badan-badan peradilan yang semula berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Adapun pelaksanaan dari pengalihan tersebut dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu paling lama lima tahun. Pemerintah berpendapat, pengalihan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Badan Peradilan Pajak ke Mahkamah Agung baru dapat dilakukan apabila segala sesuatu yang diperlukan untuk itu, antara lain sumber daya manusianya sudah dapat dipenuhi. Pengalihan dimaksudkan untuk menciptakan kemandirian lembaga peradilan sehingga terdapat pemisahan tegas antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif sesuai dengan amanat TAP MPR Nomor: X/MPR/1998.” 6. Bahwa dari uraian Penjelasan Pemerintah di atas, dapat dipahami bahwa telah jelas bahwa adanya Political Will dari Pemerintah untuk menyerahkan urusan Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan kepada Mahkamah Agung. Hanya saja Pemerintah memandang Badan Peradilan Pajak adalah badan yang bersifat 23 khusus terutama yang menyangkut materi sengketa, hukum acara, hakim yang mengadili, subyek pajak, sifat peradilan, dan materi putusannya, maka diperlukan hakim dan panitera yang mempunyai keahlian di bidang yuridis dan teknis perpajakan. Oleh karenanya Pemerintah memberikan jangka waktu paling 5 tahun, baru kemudian dapat dialihkan ke Mahkamah Agung apabila segala sesuatu yang diperlukan untuk itu, antara lain sumber daya manusianya sudah dapat dipenuhi. Namun faktanya, hingga saat ini pengalihan kewenangan pembinaan baik pembinaan organisasi, pembinaan administrasi dan Pembinaan Keuangan tidak kunjung dialihkan kepada Mahkamah Agung.
Bahwa selanjutnya dalam hubungannya dengan kekuasaan Pembinaan Pengadilan Pajak, Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi Terhadap Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Badan Peradilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
Bahwa dalam pandangannya Fraksi Golkar, yang dibacakan oleh H. Abdullah Zainie, SH, menyatakan: “Fraksi Partai Golkar menyambut baik prakarsa Pemerintah mengajukan RUU tentang Badan Peradilan Pajak dengan tujuan untuk mewujudkan peradilan perpajakan yang benar-benar independen (mandiri), tidak memihak (imparsial), mampu memberikan perlindungan hukum dan keadilan, serta memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak.” ( vide. hal. 119). Thaher Saimima, SH, menyatakan: secara substansial F-PPP berpendapat bahwa materi muatan RUU tentang Badan Peradilan Pajak ini tidak sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang hendak ditegakkan dalam kerangka sistem peradilan terpadu (integrated judiaciary system) sebagai payungnya. F-PPP berpendapat, bahwa apabila yang dikehendaki adalah Pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam sistem kekuasaan kehakiman, maka materi muatan RUU ini. perlu mengalami revisi mendasar, Pengadilan Pajak dapat saja dibentuk sebagai Badan Peradilan Khusus dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa keputusan Majelis Pertimbangan Pajak dianggap sebagai keputusan tata usaha negara (Penjelasan Pasal 48) sehingga 24 masih berada diluar lingkungan Badan Peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, apabila hendak membentuk Pengadilan Pajak dan bukan Badan Peradilan Pajak, lebih tepat untuk menempatkannya dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan harus dilepaskan dari pengaruh pemerintah sesuai yang dikehendaki oleh UU No. 14 /1970 jo. UU No. 35 /1999. Pengadilan Pajak dimaksud dapat ditentukan merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, sehingga putusannya tetap ditundukkan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970 jo UU No. 35 /1999.” ( vide. hal. 132-133) 10. Bahwa dalam pandangannya Fraksi PKB, yang dibacakan oleh Ir. Erman Soeparno, MBA, menyatakan: “Jika pembentukan BPP didasarkan atas UU No 1411970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, maka tentunya BPP tunduk atau berada dalam wahana kehidupan UU No 14 tersebut....” ( vide. hal. 141) “... dalam pasal 5 disebutkan bahwa pembinaan tehnis berada di bawah Mahkamah Agung. Namun demikian, sebagian besar isi RUU ini hampir sama dengan UU Nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Untuk menunjukkan adanya siquensi (urutan) sejarah antara UU tentang Badan Peradilan Pajak dengan UU Nomor 17 Tahun 1997 maka judul RUU ini perlu dirubah menjadi RUU tentang Perubahan UU Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menjadi Badan Peradilan Pajak.” ( vide. hal. 142) 11. Bahwa dalam pandangannya Fraksi Reformasi, yang dibacakan oleh Dr. H.M. Hatta Taliwang, mengatakan: “Pembinaan teknis peradilan Badan Peradilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Departemen keuangan. Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dalam jangka waktu lima tahun secara bertahap akan dialihkan ke Mahkamah Agung. Fraksi Reformasi berpendapat pengalihan tersebut seharusnya bisa berlangsung lebih cepat lagi, mengingat keberadaan Badan semacam ini sebetulnya sudah cukup lama yaitu sejak adanya Majelis Pertimbangan pajak. Hal ini tentunya untuk mempercepat kemandirian lembaga peradilan sehingga terjadi pemisahan tegas antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif.” ( vide . Angka 5, hal. 152).
Bahwa dalam pandangannya Fraksi TNI POLRI, yang dibacakan oleh Drs. Sudirman. S.E., Msi, mengatakan: “Pasal 2 ayat 1 Badan Peradilan Pajak adalah Badan Peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajakatau 25 penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Menurut Fraksi 1NI/POLRI, amanat Pasal ini terkesan Badan Peradilan Pajak ini berada dalam jajaran substansi kehakiman sedangkan masalah pajak berada di bawah Departemen Keuangan. Untuk itu perlu penjelasan mengenai kedudukan "Badan Peradilan Pajak" tersebut secara struktural berada di jajaran mana.” ( vide. hal. 157-158).
Bahwa dalam pandangannya Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, yang dibacakan oleh FX. Soemitro, SH, mengatakan: “ Tentang Kedudukan Badan Peradilan Pajak Menurut UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman Bab II tentang Badan-badan Peradilan dan azas-azasnya, pada pasal I 0 ayat (1) dinyatakan: "kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: a Peradilan Umum;
Peradilan Agama;
Peradilan Militer;
Peradilan Tata Usaha Negara. Jadi menurut pasal tersebut tidak ada BADAN PERADILAN PAJAK, namun demikian menurut UU No. 14 Tahun 1970, Pembentukan BADAN PERADILAN PAJAK perlu diberikan landasan hukumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1970 tersebut di atas yang menyatakan "Badan-badan Peradilan Khusus disamping dari Badan-badan Peradilan yang sudah ada hanya dapat diadakan dengan Undang-undang. Sehingga usulan Pemerintah tentang RUU Badan Peradilan Pajak ini mempunyai landasan hukum yang kuat. Catatan yang kami sampaikan tersebut disamping meletakkan legalitas kedudukan dan sifat BADAN PERADILAN PAJAK, juga memberikan masukan bahwa BADAN PERADILAN PAJAK yang akan kita bangun adalah Badan Peradilan Khusus.” 14. Bahwa sementara Pemandangan Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah, yang dibacakan oleh Drs. H. Abdullah Alwahdy, mengatakan: “ Terakhir yang ingin kami sampaikan pada kesempatan yang baik ini adalah harapan adannya penyempurnaan kelembagaan pembinaan tehnis peradilan, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan, pembinaan sumber daya manusia, terutama yang ahli dibidang yuridis dan tehnis perpajakan khususnya bagi para hakim dan panitera, serta ketegasan pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif sebagaimana yang diamanatkan oleh TAP TAP MPR Nomor: X/MPR/1998.” (vide. hal. 181). 26 15. Bahwa bahkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam pandang umumnya menyatakan tidak sependapat denga Pemerintah tentang pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Kementerian Keuangan, hal tersebut disampaikan oleh Dudhi Makmun Murod, MBA, yang menegaskan: “ Fraksi PDI Pejuangan tidak sependapat dengan Pemerintah tentang pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan. Adapun pendapat Fraksi PDI Perjuangan paling lama dalam satu tahun setelah RUU ini disahkan menjadi Undang-undang seluruh personil dari Departemen Keuangan yang ditugasi melakukan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dialihkan ke Mahkamah Agung sehingga Badan Peradilan Pajak akan berada dalam satu atap” . (vide . Bagian III, angka 4 Aturan Peralihan hal. 195-196).
Bahwa kemudian Jawaban Pemerintah Atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi DPR RI Mengenai Rancangan UU tentang Badan Peradilan Pajak, 22 Tanggal Pebruari 2001, terkait dengan urusan Pembinaan Pengadilan Pajak, Pemerintah mengatakan: “Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung dan harus tetap menjamin kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Pengangkatan hakim juga dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung. Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Badan Peradilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan namun akan dialihkan ke Mahkamah Agung secara bertahap”. (vide __ hal. 258). Lebih lanjut, Pemerintah mengatakan: “Berkaitan dengan pendapat dari Fraksi Reformasi, Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Fraksi TNI/POLRI mengenai pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dari Badan Peradilan Pajak, dapat dijelaskan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (3) RUU ini menyebutkan bahwa pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Badan Peradilan Pajak akan dialihkan ke Mahkamah Agung secara bertahap. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 1999 menyatakan bahwa ketentuan mengenai organisasi administrasi dan finansial untuk masing-masing lingkungan peradilan, diatur lebih lanjut dengan Undang-undang, sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing”. (vide . hal. 270).
Bahwa selanjutnya dalam Musyawarah Fraksi-fraksi DPR RI terhadap RUU tentang Badan Peradilan Pajak, 28 Juni 2001, 27 Pengantar Musyarwarah Fraksi Partai Golkar yang disampaikan oleh Drs. Naliu, mengatakan: “Badan-badan peradilan termasuk Peradilan Pajak yang melaksanakan kekuasaan kehakiman harus mandiri dan bebas dari segala pengaruh dari pihak manapun juga. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 telah mengembalikan keutuhan, kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman dibawah Mahkamah Agung yang selaras dengan jiwa dan semangat Pasal 24 UUD 1945. Fraksi Partai GOLKAR berpendapat bahwa untuk menjamin kemandirian dan kebebasan Peradilan Pajak maka seyogyanya Peradilan Pajak berada dibawah Mahkamah Agung, sehingga baik pembinaan teknis peradilan maupun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan terhadap Peradilan Pajak, dilakukan oleh Mahkamah Agung. Fraksi Partai GOLKAR berpendapat bahwa palimg lambat 3 (tiga) tahun setelah diundangkannya Undang-undang tentang Peradilan Pajak, maka kewenangan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan sudah harus dialihkan dari Menteri Keuangan kepada Mahkamah Agung”. (vide. hal. 209-210) . 18. Bahwa demikian pula pengantar Musyawarah Fraksi Reformasi yang dibacakan oleh H. Syamsul Balda, mengatakan: “Dalam GBHN menetapkan bahwa arab kebijakan di bidang hukum adalah mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun. Untuk itu, Badan Peradilan Pajak yang akan diundangkan ini haruslah mumi sebagai lembaga yudikatif, tidak dalam status pembinaan eksekutif.” (vide . Angka 3, hal. 226). __ 19. Bahwa penegasan peralihan pembinaan badan peradilan pajak ke Mahkamah Agung juga disampaikan Fraksi TNI/Polri pada tanggal 28 Juni 2001, yang disampaikan oleh Sudirman dan Supriadi, mengatakan: “Poin Kedua: Masalah tempat kedudukan terutama menyangkut perwakilan Badan Peradilan Pajak di daerah, dan masalah pembinaan Badan Peradilan Pajak yang akan dialihkan ke Mahkamah Agung secara bertahap perlu di berikan batas waktu”. __ 20. Bahwa bahkan dalam forum Rapat Kerja ke-2 Panitia Khusus (pansus), pembahasan Tahun Sidang 2000-2001, masa sidang IV, Kamis, 28 Juni 2001, beberapa fraksi seperti fraksi Partai Golkar, fraksi TNI/Polri, Fraksi Reformasi kembali menyampaikan pendapatnya terkait dengan jaminan kemandirian dan kebebasan Peradilan Pajak terkait dengan urusan Pembinaannya, baik 28 pembinaan teknis, maupun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan terhadap Pengadilan Pajak.
Bahwa Fraksi Partai Golkar, mengatakan: “Fraksi Partai Golkar berpendapat bahwa untuk menjamin kemandirian dan kebebasan Peradilan Pajak maka seyogyanya Peradilan Pajak berada dibawah Mahkamah Agung, sehingga baik pembinaan teknis peradilan maupun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan terhadap Peradilan Pajak, dilakukan oleh Mahkamah Agung. Fraksi Partai Golkar berpendapat bahwa paling lambat 3 (tiga) tahun setelah diundangkannya Undang-undang tentang Peradilan Pajak, maka kewenangan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan sudah harus dialihkan dari Menteri Keuangan kepada Mahkamah Agung.” (vide. hal. 318).
Bahwa demikian pula Fraksi TNI/Polri, mengatakan: “Kedua, Masalah tempat kedudukan terutama menyangkut perwakilan Badan Peradilan Pajak di daerah dan masalah pembinaan Badan Peradilan Pajak yang akan dialihkan ke Mahkamah Agung secara bertahap, perlu diberikan batas waktu.” (vide. hal. 330) __ 23. Bahwa, terakhir Fraksi Reformasi, mengatakan: “ Dalam GBHN menetapkan bahwa arab kebijakan di bidang hukum adalah mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun. Untuk itu, Badan Peradilan Pajak yang akan diundangkan ini haruslah mumi sebagai lembaga yudikatif, tidak dalam status pembinaan eksekutif”. (vide. hal. 334).
Bahwa berdasarkan seluruh uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa:
Badan Peradilan Pajak yang akan diundangkan haruslah mumi sebagai lembaga yudikatif, tidak dalam status pembinaan eksekutif sebagaimana yang diamanatkan oleh TAP MPR Nomor: X/MPR/1998.
Badan Peradilan Pajak merupakan Badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
Secara original intent, telah jelas dan terang benderang bahwa sikap Pemerintah dalam Pembahasan RUU Badan Peradilan Pajak menghendaki Pembinaan Organisasi, administrasi, dan 29 keuangan dialihkan ke Mahkamah Agung paling lambat 5 (lima) tahun sejak UU Pengadilan Pajak diundangkan.
Beberapa fraksi menghendaki peralihan Pembinaan Organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak dialihkan ke Mahkamah Agung paling lama 3 tahun, dan ada pula yang menghendaki cukup 1 tahun.
Bahwa namun demikian, pada saat RUU Pengadilan Pajak diundangkan menjadi Undang-Undang, Ketentuan norma Pasal 5 ayat (3) UU Pengadilan Pajak dihilangkan, bahkan pada bagian penjelasan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU Pengadilan Pajak yang memberikan tenggat waktu peralihan urusan pembinaan dari Departemen Keuangan incasu Kementerian Keuangan kepada Mahkamah Agung “hilang” dan diganti dengan frasa “Cukup Jelas”. Hal tersebut yang mengakibatkan urusan Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan tetap berada dibawah kekuasaan kementerian keuangan, padahal seharusnya jika mengikuti pandangan Pemerintah dalam pembahasan RUU Pengadilan Pajak, paling lambat 5 tahun sejak dibentuknya peradilan Pajak, terhadap pembinaan organisasi, administrasi, teknis dan keuangan pengadilan Pajak sudah beralih dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Padahal jika dilihat kondisi Mahkamah Agung saat ini tentunya sudah sangat siap untuk mengurus pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Pengadilan pajak. D. Pengadilan Pajak Adalah Pengadilan Khusus Di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Yang Berada Di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung.
Bahwa terkait dengan kedudukan Pengadilan Pajak sebagai Badan peradilan khusus di bidang perpajakan, tercermin dari Penjelasan Pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR-RI, 5 Februari 2001 pada saat Pembahasan Mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Badan Peradilan Pajak menyatakan: Meskipun dibentuk dengan maksud untuk mewujudkan adanya badan peradilan khusus di bidang perpajakan, namun status dan kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum selaras dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok- 30 pokok Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 10 dan Pasa1 13 Undang-undang tersebut. Begitu juga halnya dengan Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi DPR yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah Pengadilan khusus yang ditempatkan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan harus dilepaskan dari pengaruh pemerintah sesuai yang dikehendaki oleh UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999. __ 2. Bahwa namun demikian, penempatan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus tidak tercantum dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus baru ada pada saat diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dalam Pasal 9A menyatakan bahwa “ Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang ”, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa “Yang dimaksudkan dengan “pengkhususan” adalah deferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya pengadilan pajak .
Bahwa Ketentuan Pasal 9A UU No. 9 Tahun 2004 kemudian diubah kembali melalui UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sehingga Pasal 9A berbunyi sebagai berikut:
. Di lingkungan peradilan tata usaha negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang.
. Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian serta tunjangan hakim ad hoc diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan-nya: Ayat (1) Pengadilan khusus merupakan diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya pengadilan pajak. 31 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat Cukup jelas. 4. Bahwa yang dimaksud Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang ( vide. Pasal 1 angka 8 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Selanjutnya dalam ketentuan Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 juga dijelaskan bahwa Yang dimaksud dengan pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusai, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha Negara”. 5. Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa Pengadilan Pajak adalah merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yaitu pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berada dibawah Kekuasaan Mahkamah Agung. E. Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak Tidak Konsisten ( Inconsistent ) Atau Tidak Sesuai ( Non-Conforming, Unvereinbar ) Dengan Prinsip Negara Hukum Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman.
Bahwa Pasal 5 UU Pengadilan Pajak secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Penjelasan-nya: Cukup Jelas 32 2. Bahwa berkenaan dengan negara hukum, ciri penting negara hukum (the Rule of Law) menurut A.V. Dicey, yaitu (1) Supremacy of law , (2) Equality of law , Due process of law . The International Commission of Jurist , menambahkan prinsip-prinsip negara hukum adalah (1). Negara harus tunduk pada hukum, (2). Pemerintahan menghormati hak-hak individu, dan (3). Peradilan yang bebas dan tidak memihak. (Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK, Hal 152).
Bahwa Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman adalah suatu prinsip yang tidak bisa ditawar dalam konsep Negara Hukum. Oleh karenanya prinsi kekuasaan kehakiman yang merdeka dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan negara hukum merupakan prakondisi hubungan sebab-akibat yang tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi Negara hukum membutuhkan kekuasan kehakiman yang merdeka sebagai konsekwensi logis rule by law, not by men . Di sisi lainnya, kemerdekaan kekuasaan kehakiman butuh jaminan bahwa hukum mendasari jalannya Negara, bukan hanya sekedar kekuasan belaka. (Ibnu Sina Chandranegara, Kekuasaan Kehakiman, Pasca Transisi Politik, Rajawali Pers, PT. Raja Grafindo Persada, Depok, 2019, hal. 52-53).
Bahwa Pemaknaan mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada dasarnya dibagi ke dalam 2 (dua) konsepsi. Konsep pertama dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah kemerdekaan personal hakim, dalam ini kerap dianalogikan sebagai konsep “ authors of their own opinions” . Lebih lanjut, Konsep kedua dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman, sesungguhnya membawa konsekwensi ke masalah fundamental dalam pembentukan kebijakan di bidang yudikatif yaitu kemerdekaan institusional. (ibid, hal. 53).
Bahwa secara personal Hakim memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yakni hak kebebasan sebagai hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang 33 ditanganinya. Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, sedangkan ayat (2)-nya berbunyi, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. 7. Bahwa __ hal tersebut kemudian dijabarkan dalam ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman berbunyi, “Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung”, sedangkan Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman berbunyi, “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan’. Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman di atas, kebebasan atau kemerdekaan diberikan kepada institusi pelaku kekuasaan kehakiman incasu MA, beserta badan-badan peradilan di bawah MA, dan Mahkamah Konstitusi – untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Bahwa kebebasan/kemerdekaan institusional lembaga peradilan dengan sendirinya tercermin dalam kebebasan para hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dimaksud. Karena Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman ( rechters als uitvoerder van rechterlijke macht ) (Pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman), hakim wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman) yang secara inheren hakim juga secara individual menyandang kemandiriannya sebagai hakim, bahkan seorang ketua pengadilan pun tidak boleh mengintervensi hakim yang sedang menangani perkara.
Bahwa kemudian untuk semakin mengokohkan kemerdekaan kekuasan kehakiman baik secara personal hakim maupun 34 kemerdekaan institusional, dalam ketentuan norma Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman mengatur urusan Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada dibawahnya berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Bahwa artinya pengaturan terkait organisasi, administrasi dan finansial seluruh badan peradilan yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung diletakan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, memiliki tujuan untuk menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Bahwa telah jelas dan terang benderang bahwa seluruh badan peradilan yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung merupakan satu kesatuan yang harus dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Hal tersebut sesuai dengan amanat pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Bahwa apabila kita melihat ketentuan norma a quo yang hanya memberikan pembinaan teknis kepada Mahkamah Agung dan mengambil pembinaan Organisasi, administrasi dan keuangan menjadi Kewenangan Pemerintah incasu Kementerian Keuangan, telah nyata-nyata melanggar kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, baik secara Institusional in casu Pengadilan Pajak, maupun secara personal Hakim Pengadilan Pajak.
Bahwa sebenarnya Mahkamah Konstitusi telah memberikan pemaknaan atas kedudukan pengadilan pajak dalam sistem badan peradilan dan kekuasaan kehakiman, diantaranya dalam Putusan Nomor 4/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 6/PUU-XIV/2016. Dimana secara tegas Mahkamah mengatakan bahwa kedudukan pengadilan Pajak adalah berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Bahwa dalam Putusan No. 4/PUU-II/2004, mahkamah mengatakan: “…terhadap tiadanya upaya kasasi pada Pengadilan Pajak tidak berarti bahwa Pengadilan Pajak tidak berpuncak pada Mahkamah Agung. Adanya ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, Pasal 77 ayat (3) bahwa 35 pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, serta Pasal 9A UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, telah cukup menjadi dasar bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945”. ( vide . hal. 47).
Bahwa selain itu, terdapat Pendapat Berbeda ( Dissenting Opinion ) dari Hakim Konstitusi Laica Marzuki, Hakim Konstitusi H. A. Mukthie Fadjar dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, yang senada dengan Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan No. 4/PUU-II/2004 (terkait dengan kedudukan Pengadilan Pajak dalam Kekuasaan Kehakiman, sebagai berikut: “Bahwa UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang diundangkan pada tanggal 12 April 2002 adalah undang-undang yang dibuat sesudah berlakunya Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001, dalam perubahan tersebut termasuk di dalamnya adalah perubahan terhadap kekuasaan kehakiman seperti tersebut dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, seharusnya UU Pengadilan Pajak harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan Pasal 24 UUD 1945, yaitu merupakan bagian dari sebuah lembaga peradilan yang merdeka dan harus berada dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung”. (vide. Putusan No. 4/PUU-II/2004, hal. 48-49). Lebih lanjut, menurut 3 (tiga) hakim konstitusi yang memberikan Dissenting Opinion, mengatakan _: _ “ Pasal 5 ayat (2) UU a quo yang menyatakan bahwa “Pembinaan organisasi, administrasi, keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan”, pada hal UU a quo lahir sesudah UU No. 35 Tahun 1999 yang juga menjadi salah satu dasar hukumnya yang telah menegaskan bahwa baik pembinaan teknik peradilan, maupun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung. 36 (vide. Putusan No. 4/PUU-II/2004, hal. 49-50). Bahkan menurut 3 (tiga) hakim konstitusi tersebut: “UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dapat dikatakan tidak memenuhi syarat sebagai salah satu kekuasaan kehakiman seperti yang dimaksud dalam Pasal 24 UUD 1945 dan bahkan bertentangan dengannya. Oleh karena itu, seyogyanya UU No. 14 tahun 2002 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan direkomendasikan untuk direvisi agar sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945.” (vide . Putusan No. 4/PUU-II/2004, hal. 50).
Bahwa selanjutnya terhadap kedudukan Pengadilan Pajak dalam kekuasaan kehakiman kembali ditegaskan dalam Putusan Nomor 6/PUU-XIV/2016, pada Paragraf [3.11], Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa tujuan utama di bentuknya Pengadilan Pajak adalah dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air, sehingga diperlukan dana yang memadai yang terutama bersumber dari perpajakan. Dikarenakan demikian banyaknya sengketa perpajakan sebagai upaya wajib pajak yang berusaha untuk mencari keadilan dan kepastian hukum pada akhirnya menjadikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menjadi tidak relevan lagi untuk menyelesaikan sengketa sehingga Negara pada akhirnya memberikan solusi dengan membentuk pengadilan pajak yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Bahwa meskipun pada awal pembentukannya Pengadilan Pajak ada ketidakjelasan berkenaan dengan statusnya dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Namun seiring berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi dan pembentuk Undang-Undang telah mempertegas tentang keberadaan Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. 37 3. Bahwa Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 004/PUU-II/2004 bertanggal 13 Desember 2004 telah mempertimbangkan sebagai berikut: “ bahwa Pasal 22 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan kecuali undang-undang menentukan lain. Mahkamah berpendapat bahwa tidanya upaya kasasi pada Pengadilan Pajak tidak berarti bahwa Pengadilan Pajak tidak berpuncak pada Mahkamah Agung. Adanya ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, Pasal 77 ayat (3) bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan kembali peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, serta Pasal 9A UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatukan di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, telah cukup menjadi dasar bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945” 4. Bahwa Pasal 1 angka 8 dan Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan sebagai berikut: Pasal 1 angka 8, “ Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang- undang ” __ Penjelasan Pasal 27 ayat (1), “ Yang dimaksud dengan pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusai, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha Negara ” __ 38 Berdasarkan uraian dan pertimbangan di atas maka jelaslah bahwa Pengadilan Pajak adalah merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945.
Bahwa lebih lanjut, dalam Paragraf [3.12], Mahkamah juga menegaskan: “... Adanya kewenangan yang diberikan kepada Kementerian keuangan in casu Menteri keuangan khususnya terkait dengan Pembinaan Organisasi, adminisrasi dan keuangan bagi Pengadilan Pajak termasuk juga pengusulan dan pemberhentian hakim pengadilan pajak, menurut Mahkamah hal tersebut justru telah mengurangi kebebasan hakim pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Oleh karena itu menurut Mahkamah untuk menjaga marwah lembaga pengadilan pajak dalam upaya mewujudkan kekuasan kehakiman yang merdeka maka sudah sepatutnya pengadilan pajak diarahkan pada upaya membentuk sistem peradilan yang mandiri atau yang dikenal "one roof system" atau sistem peradilan satu atap. Hal tersebut telah dilakukan terhadap lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung dimana pembinaan secara teknis yudisial maupun organisasi administrasi dan finansial berada di bawah kekuaasaan Mahkamah Agung dan bukan berada di bawah Kementerian. Terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap ( one roof system ) terhadap Pengadilan Pajak. Hal ini harus menjadi catatan penting bagi pembentuk Undang- Undang ke depannya”.
Bahwa dalam Putusan tersebut Mahkamah memang menutup dengan mengatakan bahwa hal yang telah dijelaskan oleh Mahkamah “harus menjadi catatan penting bagi pembentuk Undang- Undang ke depannya”. Namun kalimat penutup tersebut seharusnya bukanlah dipandang sebagai bentuk Sikap Mahkamah yang menyerahkan kepada Pembentuk Undang-Undang sebagai ketentuan Norma yang bersifat Open Legal Policy sehingga Mahkamah tidak dapat mengambil peran tersebut. Karena jika kita lihat substansi pengujian dalam Putusan Nomor 6/PUU-XIV/2016 bukan menguji Ketentuan Norma pada Pasal 5 UU Pengadilan Pajak yang mengatur tentang penyerahan kekuasaan pembinaan Organisasi, Administrasi dan Keuangan Pengadilan Pajak kepada Kementerian Keuangan. Hal ini secara jelas dan terang benderang 39 telaah Melanggar Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang merdeka sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Bahwa selain itu terhadap Pengujian UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap UUD 1945 baik dalam perkara Nomor 4/PUU-II/2004 dan perkara Nomor 6/PUU-XIV/2016, para pemohon tidak pernah menjadikan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak secara spesifik sebagai objek permohonan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, sehingga ketentuan tersebut masih berlaku hingga saat ini. Namun dalam kedua putusan tersebut (Putusan Nomor 4/PUU-II/2004 dan putusan Nomor 6/PUU- XIV/2016) telah memberikan rambu-rambu yang tegas bahwa Pengadilan Pajak adalah merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yaitu pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berada dibawah Kekuasaan Mahkamah Agung.
Bahwa karena jika kita melihat sejak pembentukan UU Pengadilan Pajak tahun 2002, kekuasaan Pemerintah pada Pengadilan Pajak yang masih tetap eksis hingga saat ini (18 Tahun), menunjukan bahwa memang menjadi keinginan Pemerintah selaku Pembentuk Undang-Undang untuk tetap mempertahankan kekuasaannya yang secara nyata melanggar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Bahwa bahkan setelah Putusan Nomor 6/PUU-XIV/2016 tersebut diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari kamis, tanggal 4 Agustus Tahun 2016, hingga saat ini in casu Tahun 2020 (telah 4 tahun berjalan). Tidak ada perubahan yang dilakukan oleh Pembentuk Undang-Undang in casu Pemerintah untuk menyerahkan kekuasaannya dalam hal melakukan Pembinaan, administrasi dan keuangan pada pengadilan pajak kepada Mahkamah Agung. Padahal Mahkamah telah memberikan catatan penting bagi Pembentuk Undang-Undang.
Bahwa jika kita lihat fungsi dari Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitution , maka terhadap adanya pelanggaran 40 terhadap Prinsip Negara Hukum dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, dalam ketentuan Norma a quo menjadi tugas Mahkamah Konstitusi untuk meluruskan dan menempatkan kedudukan Pengadilan Pajak pada tempat yang tepat (on the track) yakni dibawah kekuasaan Mahkamah Agung sebagaimana diamanatkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 demi terwujudnya jaminan atas kemerdekaan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan, walaupun Mahkamah dengan terpaksa harus mengambil peran Pembentuk Undang-Undang.
Bahwa oleh karenanya demi tetap tegak dan terjaganya Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi sebagai “The Guardian of Constitution” maka Mahkamah harus mendudukan Pengadilan Pajak masuk ke dalam kekuasaan Mahkamah Agung dengan menempatkan frasa Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Hal tersebut tidaklah dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah membuat Norma Baru, karena sejatinya norma tersebut sudah ada incasu dalam Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, hanya saja penempatan norma tersebut mengakibatkan adanya pertentangan norma dengan Konstitusi karena secara jelas dan terang benderang telah melanggar ketentuan Norma Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. F. Ketentuan Norma Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), Pasal 34 ayat (2) Melanggar Prinsip Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman 1. Bahwa dengan diberikannya urusan Pembinaan Organisasi, Administrasi dan Keuangan kepada kementerian Keuangan tanpa adanya tenggat waktu peralihan sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, mengakibatkan diaturnya kewenangan-kewenangan menteri keuangan ke dalam Pengadilan Pajak secara mapan, sebagaimana diuraikan pada tabel dibawah ini: 41 PASAL BUNYI PASAL Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) __ “(1) Hakim diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung”. “(2) Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung”. __ Pasal 9 ayat (5) “ Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri”. __ Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) __ “(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena:
permintaan sendiri;
sakit jasmani dan rohani terus menerus;
telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; atau
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.” “(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena tenaganya dibutuhkan oleh negara untuk menjalankan tugas negara lainnya”. __
Pasal 14
“Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri, setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dengan alasan:
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
melakukan perbuatan tercela;
terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
melanggar sumpah/janji jabatan; atau
melanggar larangan sebagaimana 42 dimaksud dalam Pasal 12.” Pasal 16 ayat (1) __ “Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan Menteri”. Pasal 17 ayat (1) “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung”. Pasal 22 ayat (2) __ “Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri”. Pasal 25 ayat (1) “Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan Departemen Keuangan”. Pasal 27 “Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri”. Pasal 28 ayat (2) “Tata kerja kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri”. Pasal 29 ayat (4) “Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri”. Pasal 34 ayat (2) “Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
...
...
persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri”. __ 2. Bahwa ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sangat jelas bahwa kewenangan Kementerian Keuangan dalam Pengadilan Pajak sangat besar. Hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip independensi yang mempersyaratkan adanya pemisahan kekuasaan ( separation of power ), baik secara fungsional maupun institusional. Kewenangan 43 yang besar tersebut menyebabkan besarnya potensi Pengadilan Pajak tidak independen dalam menjalankan kewenangan yang dimiliki, karena Kementerian Keuangan (Dirjen Pajak) merupakan salah satu pihak yang selalu menjadi tergugat dalam sengketa pajak.
Bahwa ketentuan norma sebagaimana termuat dalam tabel diatas bertentangan dengan prinsip independensi lembaga peradilan yang secara tegas dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, karena untuk mewujudkan Pengadilan Pajak yang independen/bebas, dibutuhkan pengaturan ulang atas ketentuan mengenai pembinaan “ dual roop” tersebut menjadi sistem pembinaan “satu atap/ one roop system ” di bawah Mahkamah Agung. Selain itu, perlu juga diatur mengenai penghapusan kewenangan Kementerian Keuangan yang terkait Pengadilan Pajak dalam UU Nomor 14 Tahun 2002. Hal ini merupakan prinsip yang tidak bisa ditawar dan menjadi ranah Mahkamah Konstitusi sebagai “ The Guardian of Constitution” untuk __ menegakan prinsip-prinsip yang dijamin dalam UUD 1945 . Berdasarkan seluruh uraian diatas, sangat penting kiranya bagi Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitution, untuk meluruskan dan mendudukan urusan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, demi terwujudnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman terwujudnya kemandirian lembaga peradilan in casu Pengadilan Pajak, dan memberikan pemisahan tegas antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif, serta agar tetap tegaknya prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUUD 1945. Apabila Mahkamah mengabulkan permohonan ini, Mahkamah tidak perlu khawatir akan menyebabkan terjadinya kekosongan hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta kevakuman pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan pengadilan pajak, mengingat sifat Putusan Mahkamah Konstitusi yang final and binding . Artinya amar putusan yang memberikan pemaknaan terhadap ketentuan norma a quo memiliki kekuatan hukum mengikat selama UU Pengadilan Pajak belum direvisi. Sama seperti saat Mahkamah mengabulkan Permohonan Perkara Nomor 49/PUU-IX/2011 dan Nomor 34/PUU-X/2012 yang banyak membatalkan dan memberikan 44 pemaknaan terhadap ketentuan pasal-pasal dalam UU Mahkamah Konstitusi yang hingga saat ini belum dilakukan Revisi. IV. PETITUM Berdasarkan seluruh alasan-alasan Permohonan para pemohon tersebut diatas, mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berkenan memutus dengan amar putusan: Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan:
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Hakim diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung”.
permintaan sendiri;
sakit jasmani dan rohani terus menerus;
telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; atau
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.” 2.6. Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 13 ayat (2) selengkapnya berbunyi “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena tenaganya dibutuhkan oleh negara untuk menjalankan tugas negara lainnya.” 2.7. Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 14 selengkapnya berbunyi “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari 46 jabatannya oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dengan alasan:
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
melakukan perbuatan tercela;
terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
melanggar sumpah/janji jabatan; atau
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.” 2.8. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “dengan Keputusan Presiden atas usul ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ oleh” dan terhadap frasa “ dan Menteri ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 16 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.” 2.9. Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri dengan persetujuan ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 17 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.” 2.10. Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Keputusan Menteri ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ peraturan perundang-undangan” sehingga ketentuan norma Pasal 22 ayat (2) selengkapnya berbunyi “Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi 47 Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan peraturan perundang-undangan.” 2.11. Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Departemen Keuangan ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 25 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan Mahkamah Agung.” 2.12. Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “dengan Keputusan Menteri ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ oleh Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 27 selengkapnya berbunyi “Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur oleh Mahkamah Agung.” 2.13. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “dengan Keputusan Menteri ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ oleh Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 28 ayat (2) selengkapnya berbunyi “Tata kerja kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Peraturan Mahkamah Agung.” 2.14. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 29 ayat (4) selengkapnya berbunyi “Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera 48 Pengganti diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung.” 2.15. Pasal 34 ayat (2) huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 34 ayat (2) huruf c selengkapnya berbunyi “Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
persyaratan lain yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-10, sebagai berikut:
Bukti P-1: Fotokopi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Bukti P-2: Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-3: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk;
Bukti P-4: Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
Bukti P-5: Fotokopi Surat Petikan Keputusan Presiden No. 38/P Tahun 2006 tentang Keputusan Pengangkatan Hakim;
Bukti P-6: Fotokopi Surat Petikan Keputusan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 08/DJ/SK/TUN/PH/12/2006;
Bukti P-7: Fotokopi Daftar Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 49 317/Djmt/KEP/10/2016, tanggal 3 Oktober 2016;
Bukti P-8: Fotokopi Putusan Perkara Pajak pada Peninjauan Kembali;
Bukti P-9: Fotokopi Penetapan Panitera Pengganti pada Kamar Tata Usaha Negara;
Bukti P-10: Buku 1, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada Bulan November 2012. [2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas undang-undang, in casu Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat 50 (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189, selanjutnya disebut UU 14/2002) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang- undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat;
lembaga negara. Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan 51 konstitusional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat- syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan perihal kedudukan hukum Pemohon. Namun, sebelumnya Mahkamah akan menguraikan hal-hal yang menjadi alasan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), dan Pasal 34 ayat (2) UU 14/2002 yang menyatakan: Pasal 5 ayat (2):
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Pasal 8 ayat (1) dan ayat :
Hakim diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung. 52 Pasal 9 ayat (5):
Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2):
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena:
.”.
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena tenaganya dibutuhkan oleh negara untuk menjalankan tugas negara lainnya”. Pasal 14: Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri, setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dengan alasan:
. Pasal 16 ayat (1):
Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan Menteri. Pasal 17 ayat :
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Pasal 22 ayat (2):
Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 25 ayat (1):
Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan Departemen Keuangan. Pasal 27: Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 28 ayat (2):
Tata kerja kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri. 53 Pasal 29 ayat (4):
Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri. Pasal 34 ayat (2) :
Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
... b. ... c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri”.
Bahwa Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (Bukti P.3), sebagai pembayar Pajak yang dibuktikan dengan kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (Bukti P.4) yang berprofesi sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Surat Petikan Keputusan Presiden Nomor 38/P Tahun 2006 tentang Keputusan Pengangkatan Hakim (Bukti P.5) dan Surat Petikan Keputusan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 08/DJ/SK/TUN/PH/12/2006 (Bukti P.6).
Bahwa Pemohon saat ini bertugas di Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung sebagai Hakim Yustisial sekaligus sebagai Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara (Bukti P.9), yang memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
membantu Majelis Hakim Agung dalam pencatatan jalannya persidangan;
melakukan pencatatan berkas perkara yang diterima dari Panitera Muda Tim;
mengetik konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan diucapkan;
menyampaikan putusan yang telah selesai diketik untuk diteliti dan diperiksa atau dikoreksi oleh Hakim Agung pembaca pertama;
melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim.
Bahwa menurut Pemohon dengan diberikannya sebagian besar urusan pembinaan Pengadilan Pajak, yakni pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan, kepada Kementerian Keuangan, mengakibatkan tidak terbangunnya sistem pembinaan dan koordinasi yang selaras dalam penanganan penyelesaian sengketa pajak. Hal ini menyebabkan menumpuknya beban penyelesaian perkara pajak di Mahkamah Agung dan tentunya kondisi ini telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara yang mengerjakan konsep putusan hasil 54 musyawarah Majelis yang akan diucapkan serta melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim (Bukti P.8).
Bahwa berdasarkan uraian di atas, menurut Pemohon terdapat kepentingan langsung Pemohon dalam kedudukan dan tugas Pemohon sebagai seorang Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam hubungannya dengan bekerjanya sistem kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 194 Oleh karena itu dengan berlakunya Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tersebut telah mengurangi hak konstitusional Pemohon untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, serta menjaga kemerdekaan dan independensi peradilan.
Bahwa menurut Pemohon apabila permohonan pengujian terhadap ketentuan Pasal 5, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), Pasal 34 ayat (2) UU 14/2002 dikabulkan, maka pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh __ Mahkamah Agung. Hal tersebut dengan sendirinya akan memulihkan hak konstitusional Pemohon sebagai seorang Hakim untuk dapat menjalankan tugas secara independen dan turut menjaga kemerdekaan dan kemandirian peradilan. Berdasarkan uraian pada angka 1 sampai dengan angka 6 di atas, Mahkamah mempertimbangkan perihal kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa Pemohon menjelaskan sebagai perseorangan Warga Negara Indonesia yang bertugas di Kamar Tata Usaha Negara sebagai Hakim Yustisial sekaligus sebagai Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung (Bukti P.9), yang memiliki tugas dan fungsi membantu Majelis Hakim Agung dalam pencatatan jalannya persidangan, melakukan pencatatan berkas perkara yang diterima dari Panitera Muda Tim, mengetik konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan diucapkan, menyampaikan putusan yang telah selesai diketik untuk diteliti dan diperiksa atau dikoreksi oleh Hakim Agung pembaca pertama, dan melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim. Lebih lanjut, menurut Pemohon, dengan diberikannya sebagian besar urusan pembinaan Pengadilan Pajak, yakni pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan kepada 55 Kementerian Keuangan, hal ini mengakibatkan tidak terbangunnya sistem pembinaan dan koordinasi yang selaras dalam penanganan penyelesaian sengketa pajak. Selain itu, menurut Pemohon, hal tersebut menyebabkan menumpuknya beban penyelesaian perkara pajak di Mahkamah Agung dan tentunya kondisi tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara yang mengerjakan konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan diucapkan serta melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim;
Bahwa terhadap penjelasan Pemohon sebagaimana dijelaskan pada huruf a di atas, penting bagi Mahkamah untuk menilai apakah Pemohon memenuhi unsur/syarat sebagai subjek hukum yang dapat dikualifikasikan sebagai Pemohon yang dirugikan hak konstitusionalnya;
Bahwa penegasan sebagaimana dimaksud pada huruf b tersebut diperlukan, oleh karena sebagai Pemohon di samping memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, juga harus memenuhi syarat-syarat adanya anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007. Oleh karena itu dalam Perkara a quo Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut perihal kualifikasi subjek hukum Pemohon dan anggapan kerugian konstitusional yang dijelaskan Pemohon;
Bahwa berkaitan dengan status Pemohon sebagai Hakim Yustisial sekaligus sebagai Panitera Pengganti pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung yang memiliki tugas dan fungsi membantu Majelis Hakim Agung sebagaimana dijelaskan pada huruf a di atas, menurut Mahkamah status Pemohon tersebut tidak berkaitan langsung dengan anggapan kerugian konstitusional Pemohon dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Pemohon sebagai Hakim Yustisial maupun Panitera Pengganti di Mahkamah Agung. Sebab Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik, baik yang bersifat aktual maupun potensial yang dialami oleh Pemohon. Terlebih apabila anggapan kerugian konstitusional tersebut dikaitkan dengan adanya hubungan sebab akibat 56 ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya norma dari pasal-pasal yang dimohonkan pengujian.
Bahwa benar Pemohon adalah Hakim yustisial dan Panitera Pengganti pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, namun saat ini Pemohon bukanlah subjek hukum yang secara langsung terhambat dalam melaksanakan fungsinya yang membutuhkan kemandirian hakim, khususnya mengaktualisasikan independensinya dalam mengambil putusan terhadap perkara-perkara perpajakan, sehingga memengaruhi dan bahkan dapat menciderai rasa keadilan yang diakibatkan belum adanya sistem satu atap terhadap Pengadilan Pajak ( one roof system ). Di samping itu Pemohon adalah juga bukan subjek hukum yang secara langsung terkena dampak adanya sistem pembinaan Pengadilan Pajak di bawah Kementerian Keuangan yang dapat berpengaruh terhadap independensi pengadilan pajak di dalam melaksanakan fungsi yudisialnya. Oleh karena itu dengan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah tetap tidak mendapatkan keyakinan adanya anggapan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon tersebut yang bersifat spesifik, baik aktual maupun potensial yang dapat terjadi pada diri Pemohon dan hal tersebut berkorelasi dengan berlakunya norma dari pasal- pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon.
Bahwa terhadap penjelasan Pemohon pernah memiliki kedudukan hukum dalam permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah, yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 28/PUU-IX/2011 perihal pengujian Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 37/PUU-X/2012 perihal Pengujian Pasal 25 ayat (6) Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto Pasal 25 ayat (6) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan Pasal 24 ayat (6) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Mahkamah berpendapat, bahwa terhadap pemohon yang pernah memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan pengujian undang- undang di Mahkamah Konstitusi tidak serta-merta dapat memiliki kedudukan 57 hukum untuk mengajukan permohonan pengujian dalam perkara lain. Sebab, kedudukan hukum yang dimiliki pemohon tergantung terpenuhi atau tidaknya kualifikasi subjek hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, dan juga harus terpenuhinya syarat-syarat adanya anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, di mana kedua syarat tersebut harus dipenuhi karena bersifat kumulati
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, oleh karena Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maka terhadap anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dipersyaratkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Sebab, antara subjek hukum dan syarat-syarat kerugian konstitusional merupakan persyaratan yang bersifat kumulatif yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam Permohonan a quo , maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: [1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon; __ [4.2] Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak dipertimbangkan. 58 Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, dan Manahan M.P. Sitompul masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa , tanggal satu , bulan September , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin , tanggal dua puluh delapan , bulan September , tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.46 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, dan Manahan M.P. Sitompul , masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Achmad Edi Subiyanto sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman 59 ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Suhartoyo ttd. Saldi Isra ttd. Arief Hidayat ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Wahiduddin Adams ttd. Manahan M.P. Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Achmad Edi Subiyanto